Rabu, 02 Mei 2012

review buku media dan budaya populer


Cultural studies (kajian budaya) menfokuskan diri pada hubungan antara relasi-relasi sosial dengan makna-makna. Berbeda dengan “kritik kebudayaan” yang memandang kebudayaan sebagai bidang seni, estetika, dan nilai-nilai moral / kreatif, kajian budaya berusaha mencari penjelasan perbedaan kebudayaan dan praktek kebudayaan tidak dengan menunjuk nilai-nilai intrinsik dan abadi(how good), tetapi dengan menunjuk seluruh peta  relasi sosial (in whose interst).
Dengan demikian setiap pemilahan antara masyarakat atau praktek yang “berkebudayaan” dan yang “tidak berkebudayaan” yang diwarisi dari tradisi elit kritisisme kebudayaan, sekarang dipandang terminologi klas.
Bentuk kajian budaya dipengaruhi secara langsung oleh perlawanan untuk mendekolonialisasikan konsep tersebut dan untuk mengkritisi tendensi yang berusaha mempertahankan aturan-aturan yang mereproduksi kelas dan ketidaksamaan lainnya. Maka kajian budaya membangun sebuah kerangka kerja yang berusaha menempatkan dan menemukan kembali kebudayaan dari kelompok-kelompok yang sampai sekarang dilupakan. Inilah awal diperhatikannya bentuk-bentuk dan sejarah perkembangan kebudayaan kelas pekerja, serta analisis bentuk-bentuk kontemporer kebudayaan populer dan media.
Tidak seperti disiplin akademis tradisional, kajian budaya tidak mempunyai ranah intelektual atau disiplin yang terdefinisi dengan jelas. Ia tumbuh subur pada batas-batas dan pertemuan bermacam wacana yang sudah dilembagakan terutama dalam sastra, sosiologi dan sejarah.Bagian dari hasilnya, dan bagian dari pergolakan politik dan intelektual tahun 1960 an(yang ditandai dengan perkembangan dengan cepat dan meluasnya struktualisme, semiotik,marxisme dan feminisme) kajian budaya memasuki periode perkembangan terotis yang intensif. Tujuannya adalah untuk mengetahuibagaimana kebudayaan(produksi sosialmakna dan kesadaran) dapat dijelaskan dalam dirinya sendiri dan dalam hubungannya dengan ekonomi (produksi) dan politik(relasi sosial).
APA YANG KITA MAKSUD DENGAN “MEDIA”?
Pengertian media massa komunikasi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk komunikas. Alat bantu untuk memindahkan pesan dari satu sumber kepada penerima. Media komunikasi ini menjadi alat bantu atau seperangkat sarana yang digunakan untuk kelancaran proses komunikasi. Istilah ‘media’ mencakup sarana komunikasi seperti pers, media penyiaran (broadcasting) dan sinema.
APA ITU SEJARAH “MEDIA”?
Pada dasarnya sejarah adalah tentang informasi dan interpretasi
•    Informasi adalah tentang bukti dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer dapat berupa wawancara dengan seorang produsen film, atau satu eksemplar Undang-Undang Penyiaran 1991. Hal ini adalah informasi tangan pertama. Sumber sekunder dapat berupa contoh materi media apa pun – suatu majalah atau acara televisi. Hal ini adalah informasi tangan kedua karena berasal dari para produser, institusi. Kita dapat mendeduksi pelbagai hal dari membaca suatu artikel koran, tetapi hal ini tidak sama dengan berbicara kepada reporter dan editor yang mula-mula memproduksinya.
•    Interpretasi adalah tentang pemahaman seseorang akan bukti tersebut, teori-teori yang dibentuk tentang signifikasi informasi tersebut.
Pelbagai pendekatan dominan terhadap sejarah media yang juga berhubungan dengan teori-teori dominan tentang media berfokus pada poin-poin berikut ini :
•    Hakikat dan pertumbuhan kekuasaan media (dalam institusi media), termasuk manajemen dan kontrol terhadap media.
•    Perubahan dalam hubungan antara institusi dan pemerintah;
•    Sifat dasar perkembangan teknologi dalam media ketika mereka mempengaruhi item-tem lain dalam daftar ini, termasuk produk-produk media;
•    Perubahan dalam pelbagai produk dan bentuk media, terutama dalam hubungannya dengan pelbagai jenis realisme
•    Perubahan dalam sensor terhadap media, berkaitan dengan perubahan sikap sosial dan dengan ide tentang pengaruh media
•    Perubahan dalam representasi kelompok sosial dalam produk-produk media
•    Hubungan antara perubahan sosial dan produk-produk media, termasuk kebangkitan pemasaran dan penciptaan audiens generasi muda
•    Pertumbuhan operasi media; juga berkaitan dengan genre media





KONSEP-KONSEP  KAJIAN MEDIA DAN CULTURAL STUDIES
            Fokus studi kajian budaya (CS) ini adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang dapat dilihat dalam budaya pop. Di dalam tradisi Kajian Budaya di Inggris yang diwarisi oleh Raymonds Williams, Hoggarts, dan Stuart Hall, menilai konsep budaya atau “culture” (dalam bahasa Inggris) merupakan hal yang paling rumit diartikan sehingga bagi mereka konsep tersebut disebut sebuah alat bantu yang kurang lebih memiliki nilai guna.
         Williams mendefinisikan konsep budaya menggunakan pendekatan universal, yaitu konsep budaya mengacu pada makna-makna bersama. Makna ini terpusat pada makna sehari-hari: nilai, benda-benda material/simbolis, norma. Kebudayaan adalah pengalaman dalam hidup sehari-hari: berbagai teks, praktik, dan makna semua orang dalam menjalani hidup mereka (Barker, 2005: 50-55). Kebudayaan yang didefinisikan oleh Williams lebih dekat ‘budaya’ sebagai keseluruhan cara hidup.

IDEOLOGI
•    Istilah ini merujuk pada ide-ide tentang hakikat dan operasi hubungan kekuasaan dalam budaya dan masyarakat
•    Istilah ini juga merujuk pada pelbagai kepercayaan dan nilai-nilai dominan yang diterima begitu saja (taken for granted)
Intinya adalah tentang cara-cara pelbagai aspek media berkontribusi terhadap kelangsungan pelbagai kepercayaan dan nilai tersebut tanpa dipertanyakan. Sebagai contoh, banyak materi media menyiratkan pentingnya romansa, pernikahan, dan upacar pernikahan; hal tersebut secara tersirat menyetujui ketiga elemen ini. Upacara pernikahan Pangeran Charles dan Putri Diana pada 1981 adalah peristiwa budaya besar yang secara komersial disindikasikan di seluruh dunia. Secara ironis hal tersebut tampaknya juga merupakan dukungan yang kuat terhadap nilai dari ketiga unsur ini.
BENTUK
•    Konsep ini merujuk pada cara media membentuk produk-produk seperti film atau suratkabar
•    Konsep ini merujuk pada cara mengkonstruksi pelbagai kualitas seperti realisme
Artinya adalah seberapa jauh konstruksi ini membentuk dan mendistorsi makna-makna sosial yang dimunculkan oleh produk. Sebagai contoh : pengenalan terhadap banyak acara baru memengaruhi persepsi kita tentang kebenaran informasi mereka melalui simbolisme logi dan melalui sorotan pada wajah serta porsi berita yang besar berkaitan dengan kekuasaan (big desk of power)
NARASI
•    Konsep ini merujuk pada aspek bentuk yang berkaitan dengan konstruksi cerita dan drama
•    Dapat diperdebatkan bahwa artikel berita mengisahkan cerita sebanyak yang dilakukan novel
Artinya adalah bagaimana narasi membentuk makna. Sebagai contoh, banyak narasi (baik narasi berita maupun narasi fiksi) memasukkan konflik antara orang-orang, tetapi sebenarnya lebih merupakan konflik antara ide-ide yang berbeda.
TEKS
•    Konsep ini merujuk kepada semua produk media seolah-olah semua produk tersbut adalah “buku” menaruh perhatian kepda fakta bahwa semua produk tersebut dapat “dibaca” untuk mengetahui makna-maknanya.
Artinya adalah bagaimana teks dapat atau tidak dapat dibaca dengan cara yang berbeda oleh para audiens yang berbeda dan mengapa. Dikaitkan dengan cultural studies, peristiwa upacara pernikahan tersebut (dilihat ‘ideologi’ di atas) juga menjadi teks untuk dibaca seperti halnya foto upacara pernikahan di majalah.
GENRE
•    Konsep ini merujuk pada fakta bahwa sebagian besar produk media terbagi ke dalam pelbagai kategori atau tipe.
Artinya adalah bagaimana pelbagai kategori repetitif ini juga dapat mengulangi pelbagai makna sosial dan praktik sosial. Sebagai contoh, banyak drama kriminalitas televisi mengulang pandangan bahwa aktivitas kriminal itu menggairahkan (meskipun salah) dan bahwa deteksi kejahatan didominasi oleh penggunaan teknologi. Kedua pandangan ini secara umum tidak benar dalam pengalaman sehari-hari para petugas kepolisian.
REPRESENTASI
•    Konsep ini merujuk pada presentasi media terhadap pelbagai kelompok sosial, yang dikategorikan dengan banyak cara – antara lain melalui gender, etnisitas, umur, dan kelas sosial.
•    Konsep tersebut tidak hanya mencakup tipe-tipe spesifik (wanita-wanita tua) tetapi juga tipe-tipe kolektif (kaum berusia lanjut) dan mungkin institusi/kondisi (usia lanjut, rumah orang-orang berusia lanjut)
•    Semua hal ini dapat direpresentasikan, sering secara berulang dan mengkomunikasikan makna-makna yang dominan (lihat ideologi)
Artinya adalah seberapa jauh representasi tersebut positif atau negatif.
AUDIENS
•    Konsep ini merujuk pada pelbagai kelompok orang yang dapat didefinisikan yang mengonsumsi produk-produk media
•    Suatu audiens dapat didefinisikan dikaitkan dengan pelbagai pengelompokan sosial – para wanita untuk fiksi romantis, atau pria muda untuk permainan komputer
Artinya adalah seberapa jauh persepsi audiens sendiri terhadap kelompok sosialnya (dan pengalaman budaya yang lain) memengaruhi preferensinya terhadap serta pembacaan akan, materi yang ditargetkan kepadanya.
EFEK
•    Konsep ini merujuk pada proposisis tentang bagaiana dan mengapa produk media memengaruhi para audiens
Artinya adalah seberapa jauh para audiens pasif atau aktif dalam hal memahami media. Sebagai contoh, apakah para penonton film dilihat sebagai tas-tas yang ke dalamnya makna budaya dimasukkan? Atau apakah mereka dilihat sebagai pemangsa, yang merampas hal-hal yang memikat dan menarik mereka, dan membuang semua pengalaman lain dalam menonton film?


INSTITUSI
•    Konsep ini merujuk pada organisasi-organisasi yang menjalankan dan mengontrol media.
Artinya adalah tentang pelbagai konsekuensi dari cara organisasi ini beroperasi untuk memelihara kepentingan kapitalisme tetapi mengabaikan kepentingan bagian-bagian tertentu dari komunitas (seperti kaum penganggur)
PELBAGAI PENDEKATAN KRITIS DALAM PERKEMBANGAN KAJIAN MEDIA DAN CULTURAL STUDIES
Para peneliti dari Mahzab Birmingham berusaha melakukan praksis dengan pendekatan yang mereka gunakan, dengan kata lain mereka memandang keilmuan mereka sebagai suatu instrumen bagi perjuangan budaya. Mereka meyakini bahwa perubahan semacam itu akan terjadi dalam dua cara, yaitu: pertama dengan mengidentifikasi kontradiksi dalam masyarakat, di mana resolusinya akan mengarah pada hal yang positif, yang berlawanan dengan resolusi yang apresif dan juga perubahan ; dan kedua, dengan memberikan interpretasi yang akan membantu masyarakat memahami dominasi dan jenis perubahan yang diinginkan. Samud Beeker mendiskripsikan tujuan yang hendak mereka capai adalah memberikan pukulan keras balik pada khalayak melalui media agar tidak menjadi terlalu mudah menerima dengan ilusi atau praktik-praktik media yang ada karena isi media dianggap hanya membawa kesadaran palsu (false consciousness).
David Barrat (1986) memuji karya tulis Dennis McQuail serta karya tulis Curran dan Seaton dalam mendeskripsikan tiga tahap dalam perkembangan cultural studies, semua dengan penekanan terhadap ide tentang pengaruh-pengaruh :
1.    Sampai 1949 : dalam periode tersebut dipercayai bahwa, terutama berdasarkan kritik Marxis yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt, bahwa media memengaruhi audiens sebagai massa; bahwa media dapat menghasilkan perilaku konformis; dan bahwa media merusak budaya (yang diasumsikan sebagai usaha pencapaian budaya tinggi kaum elit).
2.    Dari 1940 sampai 1965 : selama periode ini disepakati bahwa media mungkin tidak memiliki efek jangka pendek terhadap audiens (meskipun pers populer tetap berpegang pada gagasan tersebut!)
3.    Dari 1965 sampai 1985 : selama periode ini penekanan bergeser dari efek-efek dan konteks sosial audiens ke mengamati isi dan bentuk-bentuk produk-produk media
Raymond Williams (1974) mengamati cara di mana televisi dan teknologinya telah menjadi medium dominan dari budaya populer. Ia menghubungkan medium tersebut dengan konsep-konsep budaya tinggi dan budaya ‘rendah’. Pandangan-pandangannya didorong oleh gagasan tentang pelbagai determinan ekonomi yang membentuk cara institusi-institusi memproduksi budaya populer televisi, yang menjadi institusi sosial itu sendiri.
McQuail (1983) berargumen bahwa terdapat tiga unsur kunci bagi semua teori media, setidaknya jika kitaberharap untuk menyelididiki hubungan antara komunikasi massa dan perubahan sosial selama satu periode waktu
1.    Teknologi komunikasi
2.    Bentuk dan isi materi media
3.    Perubahan sosial itu sendiri – merujuk kepada struktur sosial, perkembangan institusi-institusi dan pelbagai pergeseran dalam kepercayaan dan sikap publik
Hubungan antara buaya media dan masyarakat
empat istilah kunci
            MEDIA            Arah efek               MASYARAKAT
Istilah
Idealisme
Materialisme
Interdependensi
Otonomi                    tidak ada
Secara khusus, McQuail memulai kembali argumen apakah budaya media memengaruhi masyarakat (struktur sosial) atau sebaliknya.
Dia menawarkan empat istilah kunci (lihat diagram di atas)
1.    Interdependensi : istilah ini menunjukkan hubungan dinamis antara dua unsur di mana satu unsur secara tidak terelakkan memengaruhi unsur yang lainnya;
2.    Idealisme : istilah ini merujuk pada keyakinan bahwa media memang memengaruhi masyarakat, setidaknya melalui efek-efek teknologinya
3.    Materialisme : istilah ini berargumen bahwa masyarakat dibentuk oleh kekuatan politik dan ekonomi, dan bahwa media mungkin memiliki bagian dalam hal ini, tetapi bahwa media lebih merupakan refleksi dari perubahan dan pembentukan
4.    Otonomi : istilah ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang harus ada antara media dan masyarakat.
Satu contoh ‘kepercayaan idealistis’ bahwa media memang memengaruhi masyarakat adalah rasa takut terhadap anjing pit bull terrier (sejenis anjing yang sangat kuat dan terlatih untuk bertarung-peneri) pada 1993. Televisi dan pers menampilkan cerita-cerita tentang anak-anak yang dianiaya atau bahkan dibunuh oleh anjing-anjing ini. Tuntutan untuk bertindak menyusul kemudian, termasuk dari beberapa anggota parlemen dan badan legislasi yang berpandangan negatif segera memerintahkan anjing peranakan ini dibunuh atau dinonaktifkan.
Dominic Strinati dan Stephen Wagg (1992) menyajikan pendekatan lain terhadap teori media dan sejarah.
Dia juga menulis tentang postmodernisme dalam satu bab dalam Morleh, dkk (ed) 1996. Menurut pandangan postmodernis tidak mungkin ada realitas atau kebenaran objektif tentang cara oran menginterpretasi dunia sosial. Yang ada hanyalah pelbagai interpretasi relatif terhadap realitas, yang didefinisikan melalui iklan dabn bentuk-bentuk lain budaya populer. Dengan adanya perluasan saluran-saluran media yang cepat, dunia yang dihuni oleh orang-orang makin artifisial. Dikemukakan bahwa kajian media dan cultural studies hendaknya menaruh perhatian pada gaya (yaitu bentuk) dan pada makna-makna yang ditarik dari gaya.
Morley beragumen bahwa kita telah bergerak dari periode teori modernis tentang audiens massa ke suatu situasi ketika kita harus berbicara tentang media penyiaran dengan cakupan yang kecil (narrowcasting, sebagai lawan dari broadcasting-penerj) dan audiens spesifik. Hal ini dikaitkan dengan semacam gaya (yaitu bentuk) yang ironik dan referensial. Sebagai contoh, iklan yang ada sekarang ini untuk produk coklat menggunakan karakter-karakter yang merupakan pahlawan pada serial Western 1950-an (Lone Ranger dan Tonto). Hal tersebut memunculkan pertanyaan yang menarik tentang kepada siapa iklan tersebut ditujukan dan bagaimana hal tersebut akan dipahami.
       Dalam perkembangan studi media, kritik telah beranjak dari memercayai bahwa media melakukan pelbagai hal kepada orang-orang, ke mengamati apa yang dilakukan orang-orang dengan media, dan pada materi media yang sesungguhnya. Minat terhadap efk-efek media telah menjadi faktor yang konstan ketika studi tentang media mengalami kemajuan. Hal ini penting dalam kritik-kritik sosiolois terhadap media. Namun, orang-orang yang mengambil pendekatan cultural studies akan berargumen bahwa efek-efek tersebut untuk sebagian besar tidak dapat dibuktikan, dan bahwa adalah lebih bermanfaat untuk berkonsentrasi kepada teks, konteks sosial, dan kelompok-kelompok sosial.

PELBAGAI PERDEBATAN BUDAYA POPULER BUDAYA MASSA SEBAGAI BUDAYA POPULER
KAUM STRUKTURALIS – KAUM KULTURALIS
Perdebatan ini dapat dilihat sebagai perbedaan opini antara kaum Marxis dan kaum postmodernis. Dikaitkan dengan maksud dan hasil analisis terhadap budaya populer, argumen tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
•    Produksi dan konsumsi budaya populer disokong oleh struktur-struktur dominasi. Struktur-struktur ini dapat dan hendaknya dicari dalam hubungan antara institusi-institusi dan dalam lokasi kekuasaan. Konsumen memiliki kekuasaan yang terbatas.
Atau
•    Budaya populer adalah tentang bentuk-bentuk perilaku sosial dan tentang bagaimana item-item produksi massa digunakan. Karena itu, jika kita ingin brebicara tentang kekuasaan, maka konsumen memang mmiliki kontrol yang brtahap terhadap budaya mereka sendiri.
•    Asumsi tentang dan pencarian trehadap struktur-struktur secara umum berifat ilusi karena hubungan antara institusi-institusi begitu rumit dan bergeser sehingga pelbagai penjelasan determinis tentang siapa yang melakukan apa bagi siapa dan bagaimana hanyalah buang-buang waktu saja.
•    Hal yang penting adalah memerhatikan makna dan hubungan sosial yang diproduksi oleh artifak-artifak tersebut dan perilaku-perilaku budaya populer.
BUDAYA TINGGI (ELITISME) – BUDAYA RENDAH
Perdebatan ini secara esensial berkaitan erat dengan status budaya dalam masyarakat dan kepemilikannya oleh satu kelompok sosial atau kelompok yang lain. Secara kasar, perdebatan ini menaruh balet melawan klab dansa, teater melawan televisi, dan seterusnya.
KONSUMSI SEBAGAI KESENANGAN
Perdebatan ini berpusat pada audiens dan bersifat positif dalam pandangannya tentang budaya populer :
•    Konsumsi itu bukan tentang audiens massa sebagai korban pasif produksi massa.
•    Individu dan audiens dari pelbagai ukuran mencapai kesenangan (yaitu kenikmatan) dalam mengonsumsi media massa. Kesenangan ini adalah hal positif yang terhadapnya audiens memiliki kontrol bertahap karena hal tersebut secara aktif berkaitan dengan teks.
PARA TEORITISI DALAM BIDANG BUDAYA POPULER
Secara umum, terdapat beberapa perbedaan antara pandangan Marxis (klasik) tentang budaya, yang melihatnya dikendalikan oleh determinan-determinan ekonomi dan sebagai model konsep kelas sosial dari atas ke bawah (top-down), dan pandangan neo-Marxis yang tetap berminat pada struktur kekuasaan, tetapi melihat isu kekuasaan sebagai hal yang rumit, dengan konsumen budaya tidak sekedar menjadi korban.

MARXISME
Pandangan Marxis klasik adalah bahwa institusi-institusi budaya (yaitu pendidikan) digunakan oleh kaum elit untuk melegitimasi kekuasaannya. Bagian dari legitimasi tersebut adalah menjadikan kelas pekerja menerima ketidaksetaraan sosial. Kekuasaan diterapkan melalui kontrol terhadap ekonomi dan terhadap sarana produksi. Karena itu determinan-determinan ekonomi mengatur hubungan sosial dan hakikat budaya.
Ralph Milliband (1973) meringkas pandangan tentang media (dan budaya) dari sudut pandang Marxis klasik ketika dia menggunakan kembali frasa Marx yang terkenal, yang menyebut media sebagai ‘opium masyarakat’. Di balik kiasan terhadap kepasifan massal yang dibentuk melalui budaya massa ini, terdapat keberlanjutan ide dominasi ideologis oleh kaum elit.
Antoni Gramsci mengembangkan ide-ide tentang budaya dan masyarakat ketika dipenjara oleh kaum Fasis Italia antara 1926 dan 1937 (ketika dia mati). Dengan banyak cara, dia hendaknya dideskripsikan sebagai penganut neo- atau pos-Marxis, karena ide-idenya hanya dipublikasikan pada 195-an dan sesudahnya, dalam buku-buku seperti Selevtions from Prison Notebooks (1971). Dia menjauhi pandangan deterministik Marxis, tetapi sangat menaruh perhatian kepada kelas sosial dan konflik. Dia mengembangkan ide hegemoni untuk mendeskripsikan makna yang melaluinya satu kelas sosial dapat mempertahankan kontrol terhadap kelas-kelas yang lain, dengan menggunakan kontrol koersif (bersifat memaksa) dan konsesual untuk menerapkan kekuasaan.
NEO – MARXISME
Kaum Marxis pasca Perang Dunia II (1950-an dan sesudahnya) menggarap ulang sesuatu yang menurut sebagian orang dianggap sebagai pandangan simplitis yang sudah ada sebelumnya tentang kelas sosial, kekuasaan, dn budaya. Secara khusus, gagasan tentang ideologi dan lokasi kekuasaan dikembangkan, sebagai contoh, melalui buku karya Gramsci dan konsep hegemoni. Hubungan antara institusi sosial dan interaksi konsep diakui rumit. Tidak lagi dipercayai bahwa massa adalah penerima atau resipien pasif dari budaya yang diproduksi secara massal.
Raymond Williams sangat penting sebagai penganut Marxisme dan bapak pendidi cultural studies Inggris. The Long Revolution (1961) mengamati perubahan budaya dan sosial di Inggris. Buku tersebut melontarkan asumsi tentang superioritas satu jenis ekspresi budaya yang (seni tinggi) yang diperlawankan dengan jenis ekspresi budaya yang lain. Buku ini melihat media dan objek-objek produksi massa sebagai bagian dari revolusi. Buku tersebut tertarik pada ‘makna’ dan ‘nilai’ dalam budaya, dan bgaimana keduanya berubah.
Louis Althusser adalah pengkritik Marxisme sekaligus penganut Marxisme yang berkomitmen. Dia juga dianggap sebagai seorang strukturalis. Pandangannya adalah bahwa ideologi merembes ke semua bidang kehidupan (all-pervasive), yaitu bahwa ideologi mendefinisikan identitas yang kita percayai kita miliki sebagai anggota budaya tertentu (lihat Alkthusser, 1969). Identitas ini diungkapkan melalui praktik-praktik materi – sesuatu yang mungkin disebut sebagai perilaku budaya. Jadi, seseorang yang pergi ke suatu acara kumpul-kumpul (clubbing) sebenarnya menanggapi kekuatan-kekuatan ideologi. Kekuatan ini bekerja untuk menciptakan realitas sosial kita dan untuk mempertahankan hubungan budaya. Namun, dia juga mengatakan bahwa menjadi seorang “clubber” berarti mengadopsi identitas palsu yang menyembunyikan realitas tentang apa yang sebenarnya berlangsung, terutama delam hal pengaruh-pengaruh (termasuk media) yang membujuk kita bahwa clubbing itu baik-baik saja dan bermakna.
MODERNISME
Pemikiran modernis menaruh perhatian kepada rasionalitas dan struktur. Pemikiran tersebut sering dikaitkan dengan pelbagai seni dan dengan ‘seni tinggi’ pada, bukan dengan, sesuatu yang tanpa bentuk dan kacau-balau yang disebut budaya populer. Pemikiran modernis tentang masyarakat dan budaya didorong oleh renungan tentang pelbagai konsekuensi urbanisasi, industrialisasi, dan mekanisasi. Pemikiran ini berusaha (memang seperti halnya Marx) untuk mengemukakan pelbagai kepastian tentang struktur dan hubungan sosial, untuk melihat gambaran besarnya, dan untuk mencapai model ideal tentang bagaimana keadaan seharusnya.
Walter Benjamin (1936) merujuk kepada signifikasi reproduksi mekanis. Dia berbicara tentang kamera dan produksi citra ssecara kultural. Kekuasaan teknologi untuk menduplikasi suara dan gambar melalui pelbagai media secara tak terbatalkan telah mengubah hakikat budaya. Citra telah menjadi murah dan tersedia secara luas.
Richard Hoggart (1958) menghasilkan kritik yang penting terhadap budaya massa. Adalah menarik bahwa dia menghadap ke dua arah seklaigus. Dia menulis secara sensitif tentang nilai budaya kelas pekerja tempat dia dibesarkan, dan jelas dia merupakan seorang “kulturalis” awal, suatu inspirasi bagi cultural studies. Tetapi dia juga mengajarkan nilai budaya tinggi dan berbicara secara merendahkan tentang budaya generasi muda 1950-an. Apa yang memang telah dia lakukan adalah menggunakan bentuk-bentuk literer analisis tekstual dalam memberi komentar tentang budaya yang memang dia kagumi, termasuk lagu-lagu populer.
INTERAKSIONISME
Max Weber merujuk kepada intensionalitas, kontrol, dan makna ketika dia menjelaskan tindakan-tindakan oleh dan di antara orang-orang. Tindakan-tindakan ini adalah bagian dari perilaku kebudayaan kita dan kita harus menggunakan pengetahuan kebudayaan kita untuk memahami tindakan-tindakan tersebut, untuk memahami praktik-praktik sosial kita sendiri. Dia berbicara tentang tindakan yang relevan dengan makna. Weber memberikan ruang kepada pengaruh individu-individu terhadap masyarakat, tidak seperti Marx. Dia tidak begitu yakin terhadap pentingnya kelas sosial, meskipun dia tertarik kepada sumber-sumber dan penerapan kekuasaan.
Stan Cohen dikenal baik sebagai pemikir yang menyelidiki interaksionisme dan perilaku budaya dalam studinya tentang Mods dan Rockers pada awal 1960-an. Studi ini diselidiki secara lebih rinci pada bagian lain buku ini. Dia mengamati interaksi antara kelompok-kelompok generasi muda, antara masyarakat lokal dan kelompok-kelompok tersebut, dan antara media dan kelompok-kelompok tersebut. Dia menyimpulkan bahwa laporan-laporan media tentang perilaku yang diduga bersifat anti-sosial dan dilakukan oleh para pemuda tersebut sangat dilebih-lebihkan dan bahwa media bersalah dalam menciptakan tanda peringatan yang keliru di antara publik – kepanikan moral.
FUNGSIONALISME
Dikaitkan dengan budaya populer, penganut pandangan ini tertarik pada institusi-institusi yang menganut budaya tersebut. Hal ini dapat merujuk pada hubungan antara media dan keluarga. Para fungsionalis berargumen bahwa keluarga mungkin telah harus berubah dalam menanggapi media, yang telah menjadi bagian dari hiburan dan pengalaman domestik (rumah tangga) mereka.
Emile Durkheim memahami institusi-institusi ini dikaitkan dengan keseimbangan di antara masyarkaat. Proses-proses sosial akna bergerak untuk memperbaiki setiap ketidakseimbangan dan memulihkan tatanan, meskipun hal tersebut dilakukan melalui adaptasi dna perubahan. Masyarakat itu sendiri menciptakan representasi kolektif – yang secara umum memiliki pelbagai pandangan tentang isu dan perilaku yang menginformasikan hakikat keseimbangan dan perubahan.
STRUKTURALISME
Strukturalisme bersekutu dengan semiotika, dan dengan demikian tanda-tanda dalam suatu teks diambil untuk diorganisasikan dengan cara yang bermakna, menurut beberapa prinsip. Strukturalisme telah mengarah ke analisis terhadap cita-cita secara khusus, dan terhadap bagaimana makna dikidekan dalam citra-citra tersebut dan dikemudian didekodekan oleh pengamat. Makna-makna itu sendiri dapat dilihat berkaitan dengan pelbagai kondisi ketidaksetaraan sosial dan dengan peneraan konsep (Marxisme).
POSTMODERNISME
Pandangan ini telah bereaksi terhadap gagasan tentang pelbagai kepastian dan struktur. Postmodernisme adalah tentang studi mengenai bentuk-bentuk budaya populer. Pandangan ini adalah tentang studi mengenai bentuk serta isi. Postmodernisme adalah tentang kaitan antara teks (intertekstualitas). Pandangan ini memercayai bahwa media telah mendefinisikan dan mendominasi hubungan-hubungan sosial, bahkan mendefinisikan apa yang kita pahami sebagai realitas. Teks-teks posmodern bermain dengan gaya dan bentuk, tidak tertarik kepada struktur-struktur naratif logis atau kesimpulan-kesimpulan moral. Mereka menjadikan pembedaan antara seni tinggi dan seni rendah tanpa makna dengan menjarah humor dan referensi dari budaya tinggi. Mereka menyukai penggunaan ironi dalam hal humor hitam dan penggunaan teks-teks referensi silang.
David Morley (1996) menghasilkan laporan yang rapi tentang postmodernisme yang didefinisikan dengan mempertentangkannya dengan modernisme :
•    Suatu penolakan terhadap solusi-solusi tital : tiada kebenaran atau ‘jawaban’ mutlak dalam masyarakat dan budaya modern;
•    Suatu penolakan terhadap teologi, atau kepastian-kepastian tentang bagaimana masyarakat bekerja : tiada model yang sempurna tentang bagaimana pelbagai hal bekerja ‘dibawah permukaan’ : hal yang dapat kita yakini hanyalah permukaan itu sendiri – yaitu gaya dan penampilan.
•    Suatu penolakan terhadap idealisme, terhadap utopia : tidak ada masyarakat ideal atau budaya yang sempurna.
Pierre Bourdieu (1984) sering menjadi rujukan oleh John Fiske dalam buku yang bermanfaat, Memahami Budaya Populer (Fiske, 1989). Salah satu dari ide-ide paling menarik milik Bourdieu secara luas membedakan antara budaya kelas pekerja (populer) dan budaya kelas menengah (intelektual) dalam hal keterlibatan dan keterpisahan, perbedaan antara partisipasi dan apresiasi.
Jean Baudrillard berargumen menentang pandangan bahwa terdapat suatu realitas budaya dan sosial mutlak yang ada selain dari apa yang kita lihat dan kita baca melalui media. Pandangannya adalah bahwa realitas media telah berkesinambungan dengan realitas sosial. Apa yang terdapat di layar adalah bagian yang besar dari realitas, seperti halnya apa yang kita lakukan dlma kehidupan sehari-hari kita. Dia tertarik dengan intertekstualitas, dengan pandangan bahwa setiap tanda memiliki semacam hubungan dengan setiap tanda yang lain. Dalam dunia Baudrillard, ujar Kenneth Thompson (1997), ‘realitas berdisintegrasi menjadi citra dan tontonan.’
FEMINISME
Feminisme berkaitan dengan studi tentang representasi, dengan makna dalam teks, dengan hakikat konsumsi audiens, dan dengan hubungan sosial, tetapi selalu dengan merujuk pada bagaimana dan mengapa gender itu penting. Pandangan ini memiliki kaitan yang penting dengan Marxisme karena menaruh perhatian pada pengungkapan kekuasaan dalam gender, karena gender beroperasi dalam budaya populer. Kaum feminis menaruh perhatian pada apakah teks-teks budaya populer mereplikasi ketidaksetaraan konsep dalam hubungan antara pria dan wanita. Dapat dikatakan bahwa feminisme itu tentang menggunakan perangkat-perangkat kritis yang ada dalam wilayah khusus gender.
MEDIA MASSA : INSTITUSI DAN KEKUASAAN
TINJAUAN : BEBERAPA ISU UTAMA
•    Kekuasaan global. Isu kunci di sini adalah bagaimana kekuasaan ini dapat (atau bahkan perlu) dimoderasi ketika sebagian berada di luar kontrol pemerintah-pemerintah nasional.
•    Pemerintah dan interdependensi media. Ekspansi saluran-saluran komunikasi media telah menambah sarana bagi pemerintah untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial. Media telah menjadi esensial dalam proses pemilihan umum dan publisitas pemerintah.
•    Kebangkitan pemasaran : operasi-operasi media telah menjadi didominisai oleh pasar : produk-produk media dan audiens dipasarkan sebagai komoditas dan media tergantung kepada iklan sebagai pendapatan mereka.
Isu kunci di sini adalah seberapa jauh media telah menjadi instrumen kekuatan pasar dan seharusnya atau tidak seharusnya dibolehkan melanjutkan untuk beroperasi seperti demikian.
•    Manufaktur pelbagai gaya hidup. Isu kunci di sini adalah isu tentang pengaruh media terhadap perilaku sosial dan preferensi pelbagai kelompok dalam masyarakat, terutama kelompok generasi muda.
•    Portofolio produk. Isu kunci di sini adalah sekedar isu kekuasaan yang diberikan oleh portofolio produk ini kepada mereka untuk memiliki suara yang berbicara melalui pelbagai suratkabar, radio, dan televisi (seperti dalam kasus Daily Mail & General Trust Group yang memiliki Daily Mail, separo Teletext, dan seperempat radio GWR) yang memiliki ‘bahasa-bahasa’ yang berbeda. Dominasi genre. Produk-produk organisasi media dibentuk oleh.

UNGKAPAN-UNGKAPAN KEKUASAAN
Mendeskripsikan aspek-aspek ungkapan kekuasaan berarti membantu mengidentifikasi bagaimana pengaruh dapat terjadi, meskipun hal ini tetap meninggalkan pertanyaan besar tentang hakikat kuantitatif dan kualitatif efek-efek media.
Max Horkheimer dan Theodor Adorno (1972) menggunakan frasa industri kebudayaan untuk mendeskripsikan penciptaan dan distribusi benda-benda kebudayaan. Mereka melihat hal tersebut menggantikan aktivitas live (langsung, pemain dan penonton hadir secara fisik) lokal, atau subkultur. Tetapi bukti tidak mendukung pandangan negatif ini. Produksi budaya media ada di keseluruhan aktivitas budaya “live”.
•    Imperialisme kebudayaan. Frasa ini mengemukakan bahwa institusi-institusi media Barat, terutama yang berasal dari Amerika, menciptakan kekaisaran ide yang baru di seluruh dunia (Tunstall, 1978).
KEKUASAAN TERSEMBUNYI
Frasa kesadaran palsu telah keluar dari Aliran Marxisme Frankfurt. Idenya adalah bahwa media mengungkapkan kekuasaannya dengan menciptakan ide yang palsu tentang pelbagai nilai dan hubungan sosial, sehingga apa yang kita kira kita tahu sebagai benar adalah angan-angan – pandangan tentang dunia banyak dibentuk melalui media.
Terdapat tiga istilah kunci yang membantu menjelaskan kekuasaan tersembunyi dalam media, masyarakat, dan budaya. Ketiganya telah dikembangkan melalui analisis marxis tentang kekuasaan dan tentang hubungan-hubungan sosial :
1.    Ideologi
Istilah ini mendeskripsikan suatu erangkat koheren ide dan nilai yang mengungkapkan pandangan tentang dunia (sosial, ekonomi, dan politik), bagaimana keadaan dunia itu sekarang, dan bagaimana dunia itu seharusnya. Istilah ini juga merepresentasikan ide tentang hubungan kekuasaan dalam masyarakat, siapa yang memiliki kekuasaan macam apa, siapa yang tidak, siapa yang seharusnya memiliki kekuasaan, siapa yang seharusnya tidak. Makna-makna yang mungkin kita dapat dari analisis tentang teks-teks media cenderung ideologis. Apa persisnya makna-makna tersebut – apa artinya menjadi seorang anak – misalnya – merupakan suatu persoalan untuk diargumenkan.
2.    Hegemoni
Hegemoni adalah tentang cara menerapkan kekuasaan ideologi yang tidak terlihat. Hegemoni adalah tentang proses-proses yang melaluinya seperangkat ide miliki satu kelompok sosial menjadi dominan dalam suatu masyarakat. Istilah tersebut berasal dari karya tulis Gramsci yang secara luas, melihat perjuangan ini sebagai perjuangan kelas, dan yang banyak berkaitan dengan budaya. Ketika membahas konsep tersebut, kita dapat berbicara tentang kolonisasi kelas menengah terhadap sepakbola (football), yang disimbolkan oleh novel Nick Hornby yang berjudul Fever Pitch. Satu kelas sosial mencoba untuk mencapai hegemoni terhadap kelas sosial yang lain berkaitan dengan sepakbola, yang hanya terdapat dalam arena publik karena presentasinya di media.
3.    Wacana
Wacana (discourses) adalah perangkat-perangkat makna tentang rentang ‘topik’ yang luas. Makna ini diproduksi oleh cara-cara menggunakan dan memahami bahasa. ‘Bahasa’ dapat berarti sebentuk komunikasi, termasuk bahasa visual foto, televisi dan bioskop. Idenya adalah bahwa cara kita ‘berbicara’ tentang sesuatu mengatakan segala sesuatu ihwal cara kita berpikir tentang hal tersebut.
TEORI-TEORI TENTANG MEDIA MASSA DAN MASYARAKAT
TEORI FUNGSIONALIS
Dalam fungsionalis kita dapat mempelajari struktur masyarakat tanpa memperhatiak fungsinya terhadap struktur lain, begitu pula kita dapat meneliti fungsi berbagai proses sosial yang mungkin tidak memiliki struktur.
Teori tentang media ini memandang media menampilkan suatu pekerjaan, melakukan suatu fungsi bagi masyarakat atau negara atau bahkan ideologi yang dominan. Masalahnya adalah bahwa kita memiliki pelbagai pandangan yang berbeda tentang apa yang seharusnya atau tampaknya merupakan fungsi-fungsi  media, sesuai dengan asal mula kita. Jadi, audiens mungkin melihat media itu melayani maksud-maksud yang berbeda dengan maksud-maksud yang – menurut para pemilik media – mereka layani.
Strinati (1995) berargumen bahwa ‘masalah mendasar tentang pelbagai penjelasan fungsionalis adalah bahwa penjelasan tersebut merupakan sebab-sebab fenomen sosial dalam hal konsekuensi-konsekuensinya.’ Dengan kata lain, apa yang tampaknya dilakukan oleh media sekarang untuk masyarakat pertama-tama menjelaskan mengapa mereka muncul.
Karenanya, Strinati melihat pelbagai interpretasi fungsionalis itu terlalu simplistis dan cacat. ‘Argumen-argumen fungsionalis sering menyiratkan ... kontinuitas yang dijamin selamnya dari sistem yang seharusnya dilayani oleh institusi tersebut.’ Karena media memobilisasikan opini, mereka melayani suatu tujuan yang menjamin bahwa mereka harus selalu ada untuk tujuan tersebut.
TEORI PLURALIS
Pandangan-pandangan tentang media dan masyarakat tersebut secara umum berargumen bahwa banyak media menawarkan beraneka ragam materi untuk pelbagai audiens. Pandangan-pandangan ini tidak menganggap ide tnetang kekuasaan media sebagai masalah yang nyata. Mereka berargumen :
•    Bahwa masyarakat tidak dihadapkan dengan pandangan yang sifatnya koheren dan mengontrol dari institusi-institusi;
•    Bahwa para audiens benar-benar menghadapi pelbagai pilihan nyata tentang apa yang mereka baca dan tonton;
•    Bahwa terdapat begitu banyak pengaruh sosial terhadap para audiens sedemikian rupa sehingga mustahil berbicara tentang pengaruh dominan media.
Pandangan-pandangan pluralis tentang kekuasaan berasal dari karya Max Weber. Dia mengajukan argumen tentang representasi demokratis melalui pelbagai partai politik. Partai-partai ini, beserta kelompok-kelompok tertekan yang berbeda, mewakili pelbagai kepentingan dari bagian-bagian yang berbeda dalam masyarakat.


TEORI LIBERTARIAN (PLURALIS LIBERAL)
Libertarianisme dalam suatu pengertian adalah anak kapitalisme – kpercayaan bahwa kebebasan-bagi-semua akan berlaku pada semua orang pada akhirnya. Pasar bebas dalam ide-ide yang dipublikasikan secara bebas memberikan pilihan yang bebas terhadap masyarakat. Secara khusus, diargumenkan bahwa kebebasan ini memberikan media cakupan untuk bertindak sebagai pengawas (watchdog) terhadap pemerintah, memeriksa seberapa jauh pemerintah melayani masyarakat secara umum.
Pluralisme liberal adalah pandangan (atau ideologi) yang diambil tentang media oleh sebagian besar orang yang bekerja di media. Pandangan tersebut berargumen bahwa pasar yang bebas membawa pers yang bebas dan media yang bebas.
Berkaitan dengan efek terhadap masyarakat, para pluralis berargumen bahwa media tidak memiliki banyak pengaruh.
         Boyd-Barret (1995) meringkas perbedaan antara pluralisme (liberal) dan neo-marxisme berkaitan dengan penggambaran tentang kekerasan dalam media. Dia mengemukakan bahwa :
1.    Kaum pluralis tertarik pada apakah individu dapat dibuat untuk menjadi lebih agresif
2.    Kaum marxis tertarik pada apakah individu dibuat untuk menjadi lebih tunduk pada kekuatan-kekuatan hukum dan tatanan
3.    Dari sudut pandang libertarian, adalah benar bahwa media memaikan bagian dalam memperlihatkan perselisihan tentang ‘cash for question’, ketika beberapa anggota parlemen dipaparkan menjadi perkakas bagi para pelobi. Tetapi tatkala mereka secara mencolok gagal menantang pemerintah Inggris pada awal 1980-an ketika pemeintah tersebut membawa negara ke dalam kancah perang dengan Argentina dan tanpa (berdasarkan pemungutan opini awal) dukungan jelas dari mayoritas penduduk di negara tersebut.
TEORI MARXIS
Pandangan marxis tentang hubungan media dengan masyarakat bertentangan dengan pandangan pluralis. Pandangan marxis dapat dianggap sebagai teori-teori kontrol. Namun, pelbagai pernyataan dogmatis marxis tentang keburukan yang tidak terbantahkan yang mengontrol pengaruh penganut kelas media terhadap masyarakat tidak lagi lebih memuaskan daripada pelbagai pernyataan pluralis yang samar-samar dan tidak berdasar tentang dunia kebebasan dan pilihan yang menakjubkan.
Yang jelas adalah pandangan marxis berargumen bahwa media secra umum merepresentasikan pandangan konservatif tentang isu-isu sosial, dan merepresentasikan pelbagai nilai dan kepentingan orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam masyarakat, yang biasanya menolak pandangan orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan.
Graham Murdock dan Peter Golding mengambil pandangan ini yang disebut Strinati sebagai perspektif ekonomi politik.
•    Mereka menyatakan bahwa hakikat kepemilikan memang penting karena hal itu memberikan kekuasaan pada media, dan bahwa hal ini diterapkan bertentangan dengan pelbagai kepentingan bagian-bagian tertentu dalam masyarakat
•    Mereka mengadopsi determinisme ekonomi ketika mengemukakan bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi telah menyebabkan konsentrasi kepemilikan yang telah menekankan jenis-jenis kontrol yang dimiliki oleh media terhadap masyarakat dalam produksi ide-ide tentang hubungan sosial.
       Teori konflik, sebagai pengembangan dari marxisme, berkaitan dengan konsep hegemoni.
1.    Dalam hal ini, teori tersebut berfokus pada konflik kelas sebagai perjuangan-perjuangan sosial mendasar untuk mendapatkan kekuasaan.
2.    Dapat diargumenkan bahwa media terlibat dalam perjuangan tersebut jika mereka memberikan privilese (hak-hak istimewa) terhadap pandangan-pandangan satu kelas sosial dan menolak kepentingan kelas-kelas lain.
3.    Strinati (1995) juga mengkritik teori konflik untuk ‘suatu bentuk reduksionisme kelas yang melaluinya semua budaya dijelaskan melalui hubungannya dengan perjuangan kelas.’ Dia berargumen bahwa ‘penekanan marxis yang khas terhadap determinisme ekonomi bersifat terbatas secara sosiologi.’ Dengan kata lain, marxisme tidak hanya merupakan satu-satunya perkakas untuk memahami budaya media dan bagaimana hal ini memengaruhi audiens.

TEORI FEMINIS
Liesbet Van Zoonen (1994) membedakan antara feminisme radikal dan feminisme sosialis. Feminisme radikal mengambil semacam pandangan marxis tentang apa yang dilakukan oleh pelbagai institusi media terhadap perempuan dan terhadap ide-ide tentang perempuan.
1.    Pendekatan-pendekatan kebudayaan terhadap studi feminis dipersiapkan untuk mengambil pandangan yang lebih luas tentang masalah kekuasaan bagi perempuan dan di mana masalah itu diletakkan.
2.    Pendekatan-pendekatan ini tidak hanya menyalahkan institusi-institusi yang didominasi oleh pria, tetapi melihat kekuasaan dalam konteks sosial dan kekuasaan dalam institusi-institusi sosial yang lain.
TEORI POSTMODERNIS
Pelbagai kepentingan dan karakteristik postmodernisme lebih mudah dideskripsikan :
•    Ide bahwa materi media sekadar merupakan bagian dari realitas kita dan bukan ‘sesuatu yang lain’;
•    Intertekstualitas dalam film-film seperti Natural Born Killers, di mana pelbagai referensi terhadap film-film yang lain adalah bagian dari pemahaman terhadapnya;
•    Penggunaan ironi dalam menceritakan pelbagai kisah, khususnya humor hitam;
•    Pemisahan narasi/pengeditan, seperti dalam film Pulp Fiction, yang bertentangan dengan pelbagai konvensi tentang teks realis pada umumnya;
•    Bermain-main dengan realisme dan surelisme;
•    Ide bahwa tidak terdapat perbedaan antara seni dan budaya populer; definisi tentang budaya tinggi/budaya rendah tidak lagi bermakna.
1.    postmodernisme mengatakan bahwa budaya media adalah realitas bagi audiens
2.    audiens menganut budaya ini dan tidak harus menjadi korbannya
3.    postmodernisme lebih tertarik kepada pelbagai kesenangan dalam teks daripada efek-efeknya yang mungkin terhadap masyarakat.
Teori-teori Media : fokus kepentingan







PRODUKSI MEDIA DAN BERITA
Produk media secara umum dapat dilihat sebagai proses dimana makna-makna diproduksi melalui teks media. Makna tersebut bagi produsen dan bagi audiens dapat berbeda. Proses produksi tersebut juga merupakan proses pemilihan. Media dapat dideskripsikan sebagai memproduksi komoditas, memproduksi budaya, dan memproduksi makna-makna tentang masyarakat.
Produksi dikendalikan oleh pelbagai imperatif yang merupakan bagian dari sistem kapitalis, dibentuk oleh pelbagai praktik yang merutinkan (routinise) dan menjual produk, serta dipengaruhi oleh konteks komersial.
Berita secara khusus merupakan bentuk produk yang khusus karena hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kita suatu pandangan yang bermanfaat tentang dunia. Kritik-kritik terhadap berita memunculkan perhatian terhadap pelbagai interpretasi yang saling berkonflik yang ditawarkan oleh pandangan pluralis dan pandangan determinis; terhadap bahasa khusus ang digunakan dalam berita; terhadap komodifikasi berita, dan terhadap pengoperasian ideologi melalui berita.
Proses pembuatan berita dipengaruhi oleh ide-ide di ruang berita tentang profesionalisme, nilai-nilai berita dan agenda yang memberikan prioritas terhadap beberapa cerita dibandingkan cerita-cerita yang lain. Presentasi berita merujuk kepadabentuk atau perlakuan terhadap berita. Hal tersebut mencakup penyaji berita itu sendiri, pembingkaian cerita-cerita berkaitan dengan keadaan ideal dalam solusi-solusi konsensual terhadap konflik sosial, dan pembentukan beberapa cerita berkaitan dengan kepanikan moral. Perlakuan terhadap berita ini memunculkan penciptaan ide-ide tentang norma sosial dan tentang penyimpangan. Semua proses pemilihan dan perangkat-perangkat bentuk cerita mengarah ke tindakan mempertanyakan gagasan imparsialitas berita.
REPRESENTASI, RAS, DAN BUDAYA GENERASI MUDA
         Representasi merujuk pada pengkategorian orang-orang dan penmgkategorian ide-ide tentang mereka. Dikaitkan dengan media, hal tersebut dipahami secara dominan melalui gambar, tetapi dapat berlangsung melalui sarana komunikasi apa pun. Ide-ide yang direpresentasikan dikaitkan dengan ideologi dan secara khusus menyangkut tempat subjek dalam masyarakat vis a vis kekuasaan. Representasi dikonstruksi melalui cara bagaimana media digunakan, dan melalui cara kita melihat subjek tersebut.
Representasi terhadap ras dapat mendukung rasisme dan mengonstruksi suatu identitas yang didominasi oleh ide tentang menjadi berbeda, yaitu liyan (the other). Representasi tersebut berubah sesuai dengan sikap-sikap sosial pada suatu periode waktu, tetapi tidak menghilang.
       Media sering merepresentasikan generasi muda sebagai melakukan pelanggaran terhadap hukum atau norma (delinquent) atau menyimpang (deviant). Tetapi representasi ini mengabaikan fakta bahwa banyak orang muda tidak tampak sebagai subkultur di jalanan atau di klab. Bahkan ketika mereka terlihat, kini mereka mungkin menjadi kelas menengah sebagai kelas pekerja.
Terdapat perdebatan tentang apakah media membentuk budaya generasi muda melalui komoditas pemasaran, atau apakah budaya generasi muda yang memunculkan gayanya sendiri, bahkan menggunakan komoditas, yang kemudian ditiru oleh industri musik dan mode utama.
          Juga diperdebatkan bahwa penampilan dan perilaku subkultur generasi muda adalah tanda perlawanan terhadap budaya yang dominan, suatu tanda perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan di antara wacana-wacana.

AUDIENS, EFEK, DAN PERDEBATAN TENTANG KEKERASAN
         Definisi audiens tidak sesederhana tampaknya. Terdapat banyak cara yang berbeda untuk memprofilkan audiens, berdasarkan jumlah atau berdasarkan karakteristik psikologis, sebagai contoh. Beberapa orang berargumen bahwa audiens tidak ada sampai mereka berinteraksi dengan media.
Definisi efek-efek juga problematik karena efek-efek psikologis tidak dapat ‘dilihat’, dan efek-efek perilaku dapat muncul dari begitu banyak pengaruh yang lain yang bertindak terhadap masyarakat pada saat yang sama seperti media. Tidak lagi dipercayai bahwa media sekedar melakukan pelbagai hal bagi masyarakat. Jika media memang memiliki efek, efek tersebut berkombinasi dengan faktor kebudayaan dan dengan aktivitas audiens itu sendiri.
             Audiens disapa melalui teks-teks dengan pelbagai gaya dan dengan efek memosisikan audiens pada suatu tingkat yang berkaitan dengan bagaimana audiens akan memajami teks tersebut.
           Audiens membaca teks-teks dengan banyak cara, sebagian dari cara tersebut cocok dengan maksud-maksud yang diduga dimiliki oleh media. Tampaknya bahwa audiens dapat berinteraksi dengan media untuk memuaskan pelbagai kebutuhan dan mendapatkan kesenangan, tetapi selalu dengan cara-cara yang diperumit oleh faktor-faktir seperti konteks dan gender. Hal ini merupakan kesenjangan tentang kekuasaan ideologi dalam teks, yang bertolak belakang dengan – kekuasaan audiens – pembaca. Terdapat pelbagai pendekatan riset audiens yang berkaitan dengan teori-teori makro tentang pengaruh media secara umum, dan dengan minat-minat mikro terhadap perilaku audiens tertentu.
        Bukti riset tentang kekerasan dalam media, dan kritik terhadap riset ini,mengungkapkan bahwa model efek-efek sederhana tidaklah memadai. Bahkan model efek-efel yang rumit menjadi dipertanyakan karena banyaknya jumlah variabel yang memengaruhi ‘pembacaan’ materi yang mengandung kekerasan.
Riset tentang kekerasan terbagi ke dalam area-area dominan seperti efek, sikap kebudayaan, profil/tanggaoan audiens, institusi, dan faktor-faktor ideologis.
Masalah kunci dalam mengevaluasi kekerasan dan efek-efeknya adalah metodologi riset yang digunakan, kadang-kadang dikombinasikan dengan penegasan-penegasan yang memiliki kekurangan (flawed) bukti – yaitu kepercayaan, bukan keyakinan, yang mengarah ke hasil-hasilnya. Namun, pelbagai kecemasan sosial tentang kekerasan tetap harus ditangani, dan metodologi yang diperbaiki dapat memberikan hasil dalam hal membuat suatu kaitan antara kekerasan dalam media serta perilaku sosial, yang tidak harus selalu bersifat sebab akibat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar