GENDER DAN PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN MASYARAKAT DESA
Gender adalah peranan atau tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang diciptakan atau dibentuk dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun budaya. Pengertian lain mengenai gender yaitu perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Deangan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
Belakangan ini ramai dibicarakan tentang kesetaraan gender yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun yang perlu digaris bawahi adalah kesetaraan gender bukan berarti jumlah laki-laki dan perempuan harus sama dalam setiap kegiatan dan tidak pula memperlakukan laki-laki dan perempuan sama persis. Kesetaraan gender adalah memerhatikan dan menghargai perbedaan sifat, sikap, aspirasi, dan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan. Ini berarti hak, kesempatan, dan tanggung jawab tidak tergantung pada apakah mereka lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Laki-laki dan perempuan bisa hidup dalam kesetaraan guna memenuhi tuntutan hidup.
Kesetaraan gender juga terkait dengan bidang pendidikan yang memungkinkan memberi kesempatan kepada laki-laki dan perempuan untuk mencapai potensi mereka. Kesetaraan gender dalam pendidikan meningkatkan akses terhadap pendidikan yang bermutu, relevan dan berdaya saing.
Kesetaraan gender dalam pendidikan mungkin sudah mulai terjalin kuat di lingkungan perkotaan, namun lain halnya jika kesetaraan gender dilihat melalui kaca mata masyarakat desa. Dalam lingkungan pedesaan masih banyak sekali dijumpai anak-anak gadis usia sekolah yang harus berhenti mengenyam bangku sekolah setelah menempuh pendidikan setara SMP.
Menurut beberapa pandangan masyarakat desa menyebutkan bahwa seorang anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi. Mereka sudah merasa puas menyekolahkan anak-anak perempuannya setelah bisa membaca dan menulis. Mereka berpendapat bahwa perempuan hanyalah “konco wingking” yang berarti perempuan nantinya hanyalah sekedar sebagai pendamping dan pengabdi bagi laki-laki.
Namun jika dipahami lebih dalam lagi ternyata ketimpangan kesetaraan gender dalam pendidikan masyarakat desa tidak sepenuhnya karena faktor pandangan sempit tentang peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Kendala ekonomi masyarakat desa yang kebanyakan bekerja sebagai petani juga menjadi penyebab utama ketimpangan kesetaraan gender itu. Logikanya adalah jika sebuah keluarga dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan bahkan cenderung kurang tentu akan berpikir seribu kali jika ingin menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang tinggi.
Dengan demikian pemecahan masalah kesetaraan gender dalam pendidikan masyarakat desa tidak hanya melalui penekanan tentang arti penting sebuah pendidikan bagi anak-anak baik laki-laki dan perempuan, namun juga diperlukan sebuah solusi lanjut tentang faktor ekonomi masyarakat desa yang sebagian besar sebagai petani miskin.
Pada tahun 2001, nilai Indeks Pembangunan Gender (Gender-related evelopment Index, GDI) Indonesia menempati urutan ke-91 dari 144
negara. Dengan hal ini berarti ketidaksetaraan gender di berbagai bidang
pembangunan masih merupakan masalah yang dihadapi Indonesia pada
masa mendatang. Dalam biang pendidikan, walaupun kebijakan
pendidikan di Indonesia tidak membedakan akses menurut jenis kelamin,
dalam kenyataannya perempuan masih tertinggal dalam menikmati
kesempatan belajar. Sebagai contoh, pada tahun 1980, hanya 63%
penduduk perempuan yang melek huruf, sementara laki-laki 80%.
Sepuluh tahun kemudian persentase melek huruf untuk perempuan
meningkat menjadi 79% dan laki-laki 90%. Pada tahun 1998, kesenjangan
melek huruf antara laki-laki dan perempuan semakin mengecil, yaitu laki-
laki 93,40% dan perempuan 85,50%. Namun jika dilhat dari jumlahnya,
masih terdapat 11,7 juta perempuan yang buta huruf dibandingkan
dengan 5,2 juta laki-laki.
Perbedaan partisipasi antara perempuan dan laki-laki juga dapat dilihat
menurut jenjang pendidkan. Sensus Penduduk 1990 menunjukkan bahwa
ada 32% laki-laki lulusan Sekolah Dasar(SD), sementara perempuan
lulusan SD hanya 28%. Pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP), terdapat sekitar 12% laki-laki lulusan SLTP dan hanya 9%
perempuan lulusan SLTP. Pada tingkat Sekolah Menengah (SM), terdapat
12% laki-laki lulusan SM, sementara perempuan lulusan SM hanya 8%.
Pada jenjang perguruan tinggi (PT), ada 2% laki-laki lulusan PT dan hanya
1% perempuan lulusan PT (Biro Pusat Statistik, 1992). Pada tahun 1999 terjadi perubahan. Penduduk perempuan yang berhasil menamatkan SD
sudah mencapai 33,40%, sementara penduduk laki-laki yang lulus SD
hanya 32,50%. Perempuan yang berpendidkan SLTP 13,00%, sedikit
lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama, yaitu 15,00%.
Penduduk perempuan yang berpendidikan SM sebesar 11,40%, lebih
rendah dari penduduk laki-laki yang berpendidikan sama yaitu 15,70%.
Sementara itu, penduduk penduduk perempuan berpendidikan sarjana
sudah mencapai 2,19%, tapi masih lebih rendang dibanding laki-laki yang
berpendidikan sama yaitu 3,20%.
Ketidaksetaraan gender juga terlihat dari angka partisipasi berdasarkan
kelompok usia maupun jenjang penddikan. Pada tahun 1991, Angka
Partisipasi Murni (APM) laki-laki adalah 84%, sedikit lebih tinggi dari APM
perempuan yang 83 %. Pada tahun 1997, APM perempuan di tingkat SD
adalah 92%, lebih rendah dari APM laki-laki yang 97,10% (Pusat
Informasi Depdiknas,!998). pada tahun 1997, APM laki-laki di SLTP adalah
57,11%, sedangkan APM perempuan 54,70%. Di tingkat SM, APM laki-laki
30,20%, sedangkan APM perempuan 29,80%.
Fenomena ketimpangan gender dalam bidang pendidikan dalam
masyarakat Indonesia memang masih sangat kuat. Dalam banyak
keluarga, anak perempuan tidak menjadi prioritas untuk melanjutkan
pendidikan. Pada sekolah kejuruan, ada stereotip bahwa siswa perempuan
tidak cocok dengan sekolah kejuruan teknologi. Pada perguruan tinggi,
mahasiswa perempuan dipandang lebih cocok dengan ilmu-ilmu lembut,
seperti ilmu-ilmu sosial, ekonomi, sastra; dan kurang cocok dengan
teknologi. Demikian pula jumlah tenaga pendidik perempuan lebih banyak
pada sekolah dasar dan semakin berkurang pada sekolah
atau perguruan tinggi.
. Gender Dalam Kurikulum dan Proses Pendidikan
Data dan informasi yang dikumpulkan melalui profil gender seperti ini
sangatlah tidak memadai untuk dapat mengungkapkan kesenjangan
gender secara menyeluruh yang terjadi dalam kurikulum dan proses
pengelolaan pendidikan. Namun, dalam berbagai literatur telah banyak
dibahas bagaimana peran-peran gender yang terjadi dalam proses
pendidikan yang cenderung lebih bias laki-laki, dalam proses
pembelajaran. Dalam studi ini kesenjangan gender yang terjadi dalam
proses pengelolaan pendidikan dan pembelajaran di sekolah dapat dilihat
dari berbagai indikator, namun karena berbagai keterbatasan yang ada,
studi ini hanya mengungkapkan beberapa gejala yang menarik dalam (1)
gender dalam proses pengelolaan pendidikan, dan (2) isi kurikulum
sekolah dan buku pelajaran.
1). Gender Dalam Proses Pengelolaan Pendidikan
Yang dimaksud dengan proses pengelolaan pendidikan adalah
keseluruhan proses dan mekanisme pendayagunaan sumber daya
pendidikan untuk mengatur jalannya sistem pendidikan nasional pada
setiap bentuk kegiatan pengelolaan pendidikan dari mulai proses
pengambilan keputusan, perencanaan, pengelolaan sampai dengan
pelaksanaan operasional pendidikan. Setiap keputusan yang diambil oleh
pimpinan, sejak tingkatan strategis sampai dengan tingkatan operasional,
harus dijabarkan secara konsisten ke dalam langkah-langkah operasional
pengelolaan, sehingga pelaksanaan pendidikan benar-benar
mencerminkan tujuan kebijaksanaan. Oleh karena itu, kesenjangan
gender yang terjadi dalam keseluruhan proses pengelolaan dan
pelaksanaan setiap satuan pendidikan, akan sangat dipengaruhi oleh
keputusan yang diambil oleh pimpinan. Jika bias gender terjadi pada suatu
keputusan strategis yang dijadikan sebagai landasan operasional
2) Kurikulum Sekolah dan Buku Pelajaran
Yang dimaksud dengan kurikulum sekolah adalah keseluruhan proses
pembelajaran yang berlangsung di setiap satuan pendidikan, yang secara
langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap intensitas siswa
belajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang sudah
ditetapkan, atau dapat disingkat dengan istilah "proses pembelajaran".
Kualitas dan kuantitas proses pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik faktor anak, faktor fasilitas sekolah, guru, lingkungan belajar,
dan muatan kurikulum yang termuat dalam buku pedoman kurikulum
yang didistribusikan ke setiap satuan pendidikan. Namun di antara
berbagai faktor tersebut, salah satu faktor panting artinya adalah isi
kurikulum yang tertulis dalam bentuk tujuan-tujuan kurikuler, pokok-
pokok bahasan serta isi atau materi dan contoh-contoh dalam buku
pelajaran pada setiap mata pelajaran yang diberikan di sekolah.
Pengaruh isi kurikulum terhadap terjadinya kesenjangan gender dalam
proses pendidikan di sekolah perlu diamati secara seksama karena apa
yang berlangsung dalam proses pembelajaran sangat sulit digambarkan
dan dibuktikan dengan angka-angka. Namun demikian, terdapat beberapa
indikator panting yang dapat dijadikan sebagai proksi dari permasalahan
gender dalam proses tersebut. Di antara indikator yang sangat panting
adalah proporsi perempuan yang berpartisipasi dalam pengembangan
kurikulum dan buku pelajaran.
Salah satu faktor yang menyebabkan bias laki-laki dalam pendidikan
adalah disebabkan karena laki-laki sangat dominan dalam mempengaruhi
isi kurikulum. Isi kurikulum yang umumnya telah dituangkan dan
dijabarkan ke dalam materi pelajaran yang ditulis pada buku-buku
pelajaran itu merupakan faktor yang sangat kuat pengaruhnya terhadap
terjadinya proses pembelajaran yang kurang tanggap gender. Para
pengembang kurikulum. dalam berbagai bidang studi umumnya
didominasi oleh laki-laki, walaupun bukan kesengajaan, karena peran
perempuan sebagai pengembang kurikulum sangat kecil, maka isi
kurikulum cenderung disusun dari sudut pandang laki-laki. Komposisi
perempuan yang berprofesi sebagai pengembang kurikulum sangat
rendah, sehingga dimungkinkan bahwa segala kepentingan yang
menyangkut perempuan kurang disuarakan.
KONDISI RIIL MASYARAKAT DESA
Kajian tentang matapencaharian masyarakat desa di Bali, terutama yang bertalian dengan sistem pertanian lahan kering maupun lahan basah, telah banyak dilakukan oleh pakar dari dalam maupun mancanegara. Hal ini dapat dilihat misalnya dari apa yang dilakukan oleh Geertz (1959, 1977), Geertz dan Geertz (1975), Geertz (1981), Pitana ed., (1993), Grader (1969), Duff-Cooper (1990), Atmadja (1998), Teken et al. (1988), Covarrubias (1972), Eiseman (1988, 1990), Korn (1933), dll. Aneka kajian tersebut amat berharga, karena mampu memberikan pemahaman yang luas dan mendalam tentang agroekosistem yang berkembang pada masyarakat pedesaan di Bali. Berkat kajian tersebut, Bali dengan sistem subaknya, amat terkenal. Bahkan, keterkenalan itu menimbulkan generalisasi, yakni Bali diidentifikasikan dengan subak. Padahal dalam masyarakat Bali ada sekelompok anggota masyarakat yang menekuni aktivitas kerajinan.
Kajian yang dilakukannya cendrung terfokus pada kaum laki-laki sebagai subjek penelitiannya. Sehingga informasi yang diperoleh terbatas hanya mengungkapkan visi, persepsi laki-laki, sehingga sangat sarat dengan dominasi budaya patriarki. Padahal dalam kehidupan masyarakat tidak saja laki-laki yang memberikan sumbangan bagi dinamika dan keberlangsungan system sosiokultural di Bali, tetapi juga kaum wanita. Kondisi semacam itu dapat dikatakan merupakan suatu proses pemarjinalan kaum perempuan.
Kemarginalan kaum perempuan pada masyarakat di Bali, baik secara akademik , sosiokultural, maupun ekonomik – pembangunan, tentu saja memerlukan penanggulangan agar pemahaman terhadap berbagai aspek tentang kehidupan mereka menjadi lebih luas, mendalam dan konprehensif. Berdasarkan pemahaman itu bisa pula dipakai sebagai acuan untuk memberdayakan mereka ke arah suatu kemajuan yang berbasiskan pada kebutuhan nyata pada masyarakat pengerajin . Untuk itulah, maka kajian terhadap etos kerja wanita dalam kehidupan masyarakat pengerajin di Bali tidak saja penting, tetapi juga amat diperlukan, baik dilihat dari segi akademik maupun kebutuhan pembangunan.
Bertitik tolak dari kenyataan itulah akan dikaji etos kerja wanita pada masyarakat petani di Desa Tojan Klungkung, Bali. Di desa ini terdapat sebanyak 100 kepala keluarga pengerajin yang menekuni bidang usaha kerajinan tenun, kramik, lukis dan perak.
Para istri melakukan aktivitas di luar pertanian, yaitu sebagai pengerajin. Hasil kerajinannya selanjutnya mereka jual ke pasar Klungkung atau kepada para tengkulak.
Artadi (1993) menunjukkan bahwa secara umum wanita Bali termasuk pekerja keras. Gejala ini berkaitan dengan keberlakuan ideologi patriarki sebagaimana tercermin dari adanya sistem kekerabatan patrilinial pada masyarakat Bali. Sistem ini mengakibatkan wanita yang telah menikah harus masuk dan tinggal di lingkungan kerabat suaminya. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, ideologi patriarhi mengakibatkan pula wanita tersubordinasi oleh laki-laki ataupun suaminya. Kondisi ini mendorong wanita bekerja keras agar eksistensinya dihargai oleh suami maupun lingkungan keluarganya (Atmadja, 1998). Sehingga kehidupan mereka tidak mutlak tergantung pada sang suami. Bahkan, berkat kemandirian itu status mereka bisa pula terangkat di mata suami maupun lingkungan keluarganya. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa ada kesepakatan bahwa wanita Bali tergolong wanita yang ulet berkerja guna mensejahteraan kehidupan rumah tangganya.
Dalam perspektif sistem ekonomi kapitalis pekerjaan yang dianggap bernilai tinggi dalam masyarakat adalah pekerjaan yang mampu menghasilkan uang tunai. Apalagi di era sekarang ini, manusia terjerat pada budaya konsumen, bahkan telah mengarah pada pembentukkan masyarakat yang menganut sistem ekonomi libodo, maka kepimilikan akan uang agar bisa memenuhi nafsu mereka untuk mengkonsumsi aneka jasa dan barang yang persediaan melimpah di pasar, menjadi amat penting (Lury, 1998; Piliang, 1998, 1999). Kondisi masyarakat seperti ini dapat mendorong laki-laki maupun wanita untuk bekerja lebih keras lagi, agar nafsu mereka mengkonsumsi barang dan atau jasa terpenuhi secara berkelanjutan, bahkan dalam kondisi yang semakin meningkat, baik dilihat dari kualitas maupun kuantitasnya.
Bila gagasan ini dibandingkan dengan perilaku istri pada masyarakat pengerajin di desa Tojan, tampaknya tidak jauh berbeda. Hal ini mengingat bahwa keterlibatan mereka dalam kehidupan ekonomi tidak saja di sector domestic, tetapi juga disektor publik/ nafkah. Wijaya (1995) menunjukkan di beberapa daerah umumnya wanita amat bergairah sebagai pekerja rumahan, karena kegiatan tersebut bisa dipadukan secara elastis dengan kegiatan domestik. Karena itu, idiom wanita Bali yang menyatakan bahwa mereka harus bekerja keras agar bisa memiliki pendapatan secara mandiri sepertinya tidak terabaikan oleh para istri petani/pengerajin di desa Tojan.
Gejala ini menarik untuk ditelaah, terutama bertalian dengan latar belakang yang menyebabkan mereka begitu antusias menggunakan peluang kerja yang tersedia. Dengan mengacu kepada Weber (1979), Bellah (1992) dan Mubyarto et al. (1991) gejala ini tidak terlepas dari superstruktur ideologi yang mereka miliki, terutama bertalian dengan etos kerja. Karena, etos kerja yang menentukan sikap dan perilaku manusia dalam hal menangani suatu pekerjaan. Namun dalam kenyataannya, faktor lain yang bersumber dari struktur sosial dan infrastruktur material, tentu tidak bisa diabaikan, karena bisa pula memberikan penguatan atau kendala terhadap etos kerja (Alatas, 1988; cf. Sanders, 1993; Burn, Baumgartner dan Devilie, 1987). Karena itu, usaha untuk menjelaskan antusiasme para istri petani terjun ke sektor nafkah, dengan sendirinya tidak hanya dicari pada etos kerja, melainkan perlu pula ditelusuri pada aspek-aspek lain yang tercakup di dalam struktur sosial dan infrastruktur material yang mereka miliki.
Antusiasme mereka terjun ke sektor nafkah dapat mengakibatkan sumbangan wanita terhadap aset ekonomi rumah tangga mereka menjadi amat berarti. Hal ini tentu memperngaruhi pula posisi mereka di lingkungan keluarga, bahkan bisa mengindarkan keberadaanya tersubordinasi oleh laki-laki atas wanita, sebagaimana yang diamanatkan dalam ideologi patriarki. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Sanderson (1993) atau Marx (dalam Elster 2000; Magnis-Suseno, 1999) bahwa ketimpangan penguasaan aset antara laki-laki dengan wanita bisa memperkuat subordonasi laki-laki terhadap wanita. Sejalan dengan gagasan ini menarik pula untuk dikaji tentang posisi politis wanita pada masyarakat pengerajin di desa Tojan sebagai implikasi dari keterlibatan mereka dalam memberikan sumbangan kepada aset keluarga mereka.
pendidikan, maka akan mengakibatkan terjadinya bias gender yang
semakin melebar, pada tingkatan operasional.
Dalam tingkatan yang paling strategis, kesenjangan dalam mekanisme
pengelolaan pendidikan terletak pada partisipasi perempuan di dalam
proses pengambilan keputusan, sejak tingkatan nasional, provinsi,
kabupaten, sampai dengan satuan pendidikan di lapangan. Peran
tradisional perempuan dalam keluarga yang terlanjur sudah
dikonstruksikan dengan fungsi reproduktifnya, secara konsisten tercermin
pula pada struktur jabatan struktural di lingkungan Departemen
Pendidikan Nasional menurut gender. Jumlah perempuan, secara
keseluruhan, sampai saat ini baru dapat mengambil posisi yang sangat
kecil dalam melaksanakan peran-peran mereka di dalam pengelolaan
pendidikan nasional. Tabel 2.10 menunjukkan bahwa jumlah perempuan
yang menduduki jabatan struktural pada tahun 2003 masih sangat
rendah, mulai dari Eselon I s/d Eselon V. Hal yang sama juga terjadi pada
jabatan Fungsional Umum, dimana laki-laki sangat dominan dengan angka
70,5%. Dari kenyataan ini menunjukkan bahwa partisipasi perempuan
dalam proses pengambilan keputusan di lingkungan lembaga-lembaga
resmi pendidikan nasional masih sang at rendah, bahkan boleh dikatakan
kurang berarti. Padahal jabatan struktural dalam lingkungan birokrasi
pendidikan memegang kunci utama khususnya dalam melahirkan
kebijaksanaan strategis yang dapat dijadikan landasan untuk
mengarahkan berbagai kebijakan operasional pada tingkatan-tingkatan
jabatan yang lebih rendah termasuk mereka yang beroperasi di lapangan.
Tabel 2.10 juga menunjukkan, di samping kecil proporsinya, gejala lain
menunjukkan bahwa semakin tinggi jabatan struktural, semakin kecil
partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Proporsi
perempuan yang hanya sebesar 21,50% yang menduduki jabatan eselon
V, secara konsisten semakin mengecil proporsinya untuk posisi jabatan-
jabatan yang lebih tinggi hingga jabatan eselon I, yang hanya mencapai
8,50% saja. Gejala ini menunjukkan bahwa kesenjangan gender yang
terjadi dalam sistem pengelolaan pendidikan di Indonesia sangatlah
mendasar karena perempuan hanya menempati posisi sebagai penerima
keputusan yang harus tunduk terhadap kebijaksanaan apapun yang
ditentukan oleh para pejabat birokrasi, yang umumnya dikuasai oleh laki-
laki. Keadaan ini akan semakin lebih diperparah lagi, jika perempuan yang
proporsinya sangat kecil itu, juga belum memiliki wawasan gender seperti
yang diharapkan.
Dalam birokrasi tingkatan menengah, para pejabat Eselon III dan IV
perempuan yang berperan sebagai pemimpin pengelolaan pendidikan
sehari-hari sejak tingkat pusat sampai dengan daerah menduduki posisi
yang sangat kecil dan kurang menentukan. Proporsi perempuan yang
menduduki jabatan struktural tingkatan ini masin-masin hanya 13,2% dan
21,6%, suatu jumlah yang sangat tidak rasional dalam kaitan dengan
perimbangan kekuatan menurut gender dalam menggerakan operasional
pendidikan sehari-hari. Dapatlah disimpulkan bahwa mulai dari proses
pengambilan keputusan tertinggi di lingkungan lembaga-lembaga
pemerintah hingga para penentu kebijakan operasionalnya, kaum laki-laki
masih memegang peran yang sangat dominant dibandingkan kaum
perempuan, Kondisi ini akan mempertegas berbagai dugaan yang
berkembang saat ini bahwa sangatlah wajar jika kesenjangan gender akan
tetap bertahan sebagai permasalahan yang bersifat struktural
Tidak ada komentar:
Posting Komentar