Rabu, 02 Mei 2012

Sosiologi ditafsirkan kembali

BAB I
SOSIOLOGI SEBAGAI CARA PANDANG


Dalam alam modern ini, berbagai institusi dan kelompok sosial, bahkan individu bergerak dengan cepat dari keadaan kekanak-kanakan ke keadaan pikun, dengan masa peralihan yang sangat singkat, demikian pula dalam disiplin ilmu sosiologi. Para sosiolog pada tahun 1950-1960 baru saja menyadari tentang profesi baru mereka, sekarang para sosiolog sepertinya banyak menghabiskan waktu untuk meyakinkan keadaan profesi mereka dan  bekerja di lingkungan akademik dengan kesulitan ekonomi yang parah.Bahkan pada akhirnya para sosiolog banyak mempengaruhi kelompok intelektual di Eropa Barat dan Amerika Utara.
Fakta bahwa sosiolog kurang diperhitungkan oleh ahli lain lebih mudah diatasi daripada keraguan para sosiolog itu sendiri terhadap profesi mereka. Topik yang dibahas sekarang lebih menyangkut pada pemahaman diri yang tepat atas disiplin sosiologi itu sendiri. Sosiologi selama ini dan yang akan datang merupakan suatu pendekatan yang sah, bahkan  penting terhadap realitas kehidupan kolektif. Salah satu ciri sosiologi yang inhern adalah pengakuan yang rendah hati terhadap realitas, menepis khayalan termasuk yang berasal dari sosiologi itu sendiri.
Sosiologi pada awalnya bukan saja merupakan suatu pendekatan baru yang mempelajari masyarakat, tetapi benar-benar merupakan bagian dari penemuan gejala-gejala masyarakat itu sendiri. Albert Solomon mengatakan “ lebih masuk akal untuk memahami disiplin sosiologi sebagai satu langkah dalam perkembangan perspektif yang dengan tepat dapat disebut bersifat sosiologis (sociological)”, berbeda dengan ilmu pengetahuan modern dan ilmu humaniora lainnya; fisika, biologi, ekonomi, hukum, politik, semua sudah diamati terlebih dahulu sebelum lahir ilmu-ilmu modern tersebut.
Persepsi sosiologi awalnya adalah persepsi dinamika otonom; masyarakat adalah suatu nama untuk sesuatu yang berlangsung menurut kaidah-kaidah yang masih harus ditemukan dibawah struktur-struktur kolektif sebagaimana didefinisikan “secara resmi oleh disiplin normatif seperti teologi, filsafat dan hukum”.Persepsi sosiologi berikutnya adalah bahwa sosiologi merupakan suatu cara pandang terhadap dunia segera setelah menemukan objek penyelidikannya. Seperti halnya R.Merton menciptakan dua istilah fungsi lembaga yaitu fungsi manifest ; fungsi yang ditentukan secara resmi dan fungsi latent  yaitu fungsi yang terselubung (ipso facto). Bahwa dibawah bangunan yang nampak dalam dunia manusia ada struktur yang kepentingan dan kelembagaan yang tersembunyi. Yang nyata bukanlah merupakan keseluruhan cerita, tetapi yang tersembunyi haruslah dipelajari, atau dengan kata lain ” dunia bukanlah sebagaimana nampaknya”.
Secara intrinsik sosiologi memiliki karakter subversif terhadap “tatanan yang baik” yang disahkan dengan definisi-definisi resmi. Hal ini berlaku tanpa memperdulikan apakah seorang sosiolog “bermaksud” subversif atau tidak. Seperti pada masa sosiologi klasik, Emille Durkheim, Max Weber, Vilfredo Pareto walaupun dianggap sebagai tokoh konservatif tetapi mereka adalah tokoh reformis yang lunak dengan pemikiran-pemikiran mereka yang bersifat menggoyahkan dan mengganggu serta membuat marah kepada mereka yang memegang teguh “aturan yang ditentukan secara resmi”.
Kekhasan sosiologi adalah negatif dan secara paradoksal. Justru dalam negasilah sosiologi dapat menyumbangkan yang terbaik dalam pendirian positif. Para sosiolog selalu berselisih dengan disiplinnya sendiri jika ingin memainkan peran sebagai pembela (berbuat sebagai sosiolog). Perspektif sosiologi didasarkan pada rasionalitas, itulah sebabnya sosiologi pada tahap awal memahami dirinya sebagai suatu science/ilmu, tetapi pemahaman diri ini akan selalu berada dalam ketegangan tertentu karena ada dorongan “yang bersifat menelanjangi” atau negatif  dari perspektif sosiologi. Para sosiolog selalu tergoda untuk menerapkan pandangan mereka demi “perbaikan” rasionalitas masyarakat. Motif ini menjadi lebih mendesak lagi dalam konteks sekulerisasi, dimana norma-norma agama mulai memudar pengaruhnya dan makin pentingnya penataan ulang masalah-masalah insani dengan cara rasional.
    Pada abad XX modernitas, rasionalitas dan sekuler berada dalam kondisi krisis. Sosiologi merasa tidak dapat kembali kepada imam zaman pencerahan. Dikatakan oleh Max Weber bahwa ini adalah situasi sulit. Seseorang mencoba melihat dunia sejelas mungkin dan menderita “kekecewaan” radikal. Sekalipun demikian ia tetap bertekad melakukan intervensi agar lebih manusiawi”. Inilah alasan pertama relevansi Weber yang disebut “prise de conscience” sosiologi.
    Fokus terhadap modernitas menyiratkan sesuatu usaha untuk melihat masyarakat masa kini sebagai suatu keseluruhan. Maknanya bahwa perspektif sosiologis adalah komprehensif dan komparatif. Sosiolog yang baik selalu memiliki rasa ingin tahu  yang tidak pernah terpuaskan bahkan mengenai hal-hal yang remeh sekalipun dari perilaku manusia. Rasa ingin tahu tersebut mendorong untuk melaksanakan penelitian yang sulit terhadap beberapa sudut kecil dunia sosial yang dianggap remeh oleh orang lain.
Sosiologi harus kembali ke persoalan-persoalan besar mengenai susunan dunia modern. Sosiologi sebagai suatu disiplin harus memperoleh kembali suatu visi mengenai keseluruhan masyarakat kontemporer. Seperti yang oleh Marcel Mauss disebut Le Fait Sosial Total (pembentukan masyarakat seutuhnya). Artinya panggilan seorang sosiolog pada hakekatnya merupakan panggilan Kosmopolitan. Revitalisasi sosiologi akan berarti diatas segalanya jika merupakan suatu perspektif tertentu mengenai cara pandang terhadap dunia. Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan bukan seperangkat doktrin dan sumber-sumbernya tidak boleh kebal terhadap penelanjangan.
Weber memiliki suatu pemahaman yang khas tentang arti dari studi masalah-masalah insani dan gejala-gejala insani yang tidak dapat berbicara sendiri tetapi harus ditafsirkan. Penafsiran tersebut memiliki suatu moral, bahkan dimensi kemanusiaan yang meliputi (1)penghormatan terhadap orang lain (2)maksud-maksud mereka(3)harapan-harapan(4)cara hidup (5) tekad melihat dunia sosial seperti adanya (tanpa memandang harapan dan rasa takut seseorang  melihat das sein dan das solen menurut kepercayaan mereka).
    Emille Durkheim dan semua mashab sosiologi perancis memperlihatkan suatu semangat yang lebih dekat dengan semangat gerakan pencerahan. Metodenya masih Positivis, seperti ilmu pengetahuan alam. Meskipun masyarakat dengan jelas dipahami sebagai suatu realitas sui generis, metode sosiologi tidak ditentukan oleh kualitas masyarakat itu sendiri, tetapi oleh suatu konsep abstrak mengenai bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan. Durkheim tidak memisahkan antara das sein dengan das solen dalam realitas sosial
Tradisi Marxis berbeda dengan Durkheim, terdapat erosi yang sama dalam garis das sein dan das solen dalam masyarakat, alasannya bukanlah ideal positifis ilmu pengetahuan yang disebabkan karena masyarakat dilihat dari aspek filsafat sejarah, ke satu titik dimana pemahaman ilmiah dianggap tidak mungkin kecuali sebagai integral dar prosedur filosofis. Pada prosedur ini berdirilah suatu visi utopia masa depan, yang tanpa itu keseluruhan prosedur tersebut akan kehilangan sifatnya yang masuk akal.
Tidak ada metode ilmiah yang dapat menelaah semua realitas manusia secara komprehensif dan akhirnya tidak problematis. Sebaliknya, ilmu pengetahuan memandang objeknya dalam suatu cara yang selektif, parsial, ipo facto, problematis. Ilmu pengetahuan tidak akan pernah dapat memberikan suatu patokan moral untuk suatu tindakan, tetapi suatu pemahaman yang sama untuk menghindarkan utopianisme yang melihat masa kini sebagai menuju ke masa depan yang tak terelakkan dan menyelamatkan. Jika ilmu pengetahuan tidak dapat memberikan moralitas , maka lebih tak dapat lagi memberikan doktrin penyelamatan. Pemahaman ilmu pengetahuan dan sosiologi sebagai suatu ilmu pada akhirnya akan menjelaskan perbedaan antara analisis-analisis intelektual, perbedaan antara refleksi dan realitas kehidupan.
Positivisme dan utopianisme dewasa ini merupakan dua kubu yang dominan dalam sosiologi yang mewakili penyimpangan dalam keilmuan sosiologi dalam bidang kerja maupun metodenya, hal ini akan menimbulkan penyangkalan-penyangkalan pada struktur koqnitif disiplin sosiologi, tetapi juga memberikan jalan pintas dan  jalan keluar yang mudah dari berbagai ketegangan antara das sein dan das solen.
Dunia dewasa ini jauh berbeda pada masa hidup Weber. Proses rasionalisasi yang oleh Weber dianggap sebagai suatu modernitas, masih berkembang saat ini dan menjadi suatu fenomenal global yang nyata. Sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya tidak dapat menghindar dari perkembangan tersebut. Positivisme dalam gerakan semangat pencerahan mencakup pula sikap modernisasi, dan individu-individu dengan pemahaman positivisme tentang sosiologilah yang sangat rawan terhadap modernisasi, karena nalar kritis mereka dapat roboh  dengan tiba-tiba dan menyeluruh, manakala kesulitan-kesulitan eksistensial mencapai tingkat tertentu. Pada saat kritis tatanan sosial telah menjadi semakin dalam dan di berbagai tempat telah bersifat bencana. Oleh karena itu suatu reprise de conscience (pengambilan sikap kembali) sosiologi akan mencakup suatu pengakuan akan batas-batas.
    Sosiologi seperti apapun bentuknya, merupakan suatu cara pandang yang amat khas tentang dunia insani. Satu fokus yang dibahas haruslah sebuah penjernihan yang cermat tentang apa yang sesungguhnya cara pandang tersebut. Kemudian langkah berikutnya haruslah berupa suatu penjernihan mengenai tindakan penafsiran sosiolog
BAB  2
TINDAKAN PENAFSIRAN


Semua orang mempunya makna dan berusaha hidup dalam suatu dunia yang bermakna. Tetapi, tentunya ada makna yang lebih dapat diterima dibandingkan makna-makna lainnya. Pembedaan berikut dibuat Alfred Schutz: dua jenis makna yang luas dapat dibedakan: ada makna dalam dunia kehidupan individu sendiri, yaitu makna yang secara aktual atau potensial “dalam jangkauan” (within reach) atau “ada di tangan” (at hand), yaitu makna-makna yang biasanya dimengerti sendiri secara alamiah dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian ada berbagai makna di luar dunia kehidupan individu itu sendiri, makna masyarakat-masyarakat lain atau sektor yang kurang akrab dari masyarakat individu itu sendiri, juga makna-makna dari masa silam; ini semua merupakan makna yang tidak secara langsung terdapat secara alamiah, tidak ‘dalam  jangkauan’ atau tidak ‘ada di tangan’ tetapi harus lebih disesuaikan melalui proses inisiasi tertentu, apakah itu melalui pelibatan diri sendiri dalam suatu konteks sosial yang berbeda (khususnya untuk makna-makna yang berhubungan dengan masa silam) atau melalui disiplin intelektual tertentu.
 Lebih lanjut orang harus membedakan antara menafsirkan makna-makna individu-individu dengan siapa dia dalam interaksi tatap muka yang aktual atau potensial (mereka yang oleh Schutz disebut dengan consociates), makna-makna individu-individu dengan siapa interaksi seperti itu tidak sedang berlangsung (disebut ‘sezaman’, atau dalam hal masa silam, disebut ‘pendahulu), dan akhirnya makna-makna yang terdapat dalam berbagai struktur anonim (makna suatu institusi dimana manusia-manusia konkritnya tidak pernah melakukan interaksi).
Penafsiran juga merupakan salah satu inkorporasi, memahami suatu hal yang baru dengan menghubungkannya dengan yang lama yang ada dalam pengalamannya sendiri. Penafsiran atas suatu komunikasi memerlukan usaha intelektual untuk memahaminya yang berlangsung secara tahap demi tahap. Sudah barang tentu, hal tersebut nampaknya terjadi secara spontan, dengan keseluruhan bagian informasi yang dengan cepat sedang diserap dan ‘bekerja ke dalam’ sistem kognitif. Aktivitas penafsiran yang sedang berlangsung ini mengambil tempat dalam benak saya sementara percakapan di luar berjalan, itu berarti bahwa penafsiran saya berlangsung dalam pembicaraan batin, yang merupakan suatu iringan sotto voce (sampingan) yang penting bagi pertukaran lisan itu.
Tindakan mendengarkan perlu dilakukan jika teman bicara sedang memberikan suatu informasi. Harus selalu memerhatikan apa yang sedang dibicarakan, dan tidak boleh membiarkan pikiran kita mengembara sehingga harus mencoba menangkap gelombang komunikasi. Tidak boleh menyela dengan penilaian atau pendapat-pendapat sendiri. Hal ini dapat menyebabkan si pembicara marah, atau akan mengalihkan perhatian dari apa yang sedang ia komunikasikan. Ini berarti kita harus mampu mengontrol dorongan-dorongan kekacauan pikiran atau pengaruh emosional (positif atau negatif).
Kenyataan yang terjadi bahwa minat untuk mengetahui perihal yang dibicarakan telah bangkit, mengandung pula suatu pengetahuan baru yang relevan buat kita, menempatkan istilah Schutztian yang lebih tepat, apa yang kita lakukan dalam tindakan penafsiran ini adalah menyesuaikan struktur relevansi kita sendiri dengan struktur relevansi  orang lain dan kelompok di mana ia termasuk. Semakin lama percakapan itu berlangsung, semakin lengkaplah penyesuaian struktur-struktur relevansi ini.
Orang dapat mempergunakan dua istilah Jean Piaget, pertama, bahwa orang dapat mengasimilasikan pandangannya – itu berarti bahwa kita telah menyerapnya dalam pandangan kita sendiri; yang akibatnya tidak banyak berubah dan kedua, kita tealah mengakomodasikan pandangan kita terhadap pandangannya dan mengubah pandangan kita secara substansial. Dengan demikian kita dapat melihat dunia secara lain. Secara mudahnya, kita tidak dapat menafsirkan makna orang lain tanpa mengubah, walaupun paling sedikit, sistem makna kita sendiri.
Apa yang digambarkan tersebut merupakan penafsiran (menurut kehidupan sehari-hari ataupun sebagai seorang sosiolog) makna-makna yang timbul dalam setiap interaksi tatap muka. Tindakan penafsiran dalam percakapan tatap muka akan berbeda dengan tindakan penafsiran dari membaca surat kabar. Dalam surat kabar, pandangan dunia disajikan dalam cara yang amat terorganisir, berbeda dengan penyajian yang longgar dalam percakapan tatap muka.Selain itu, surat kabar menyajikan pandangannya terhadap kita dalam apa yang disebut proto ilmiah yakni suatu berita yang di dalam dirinya sendiri sudah ada suatu bentuk penafsiran – atau, lebih tepatnya cara berita itu disajikan sudah mengandung suatu penafsiran.
Masih ada lagi soal penafsiran atas struktur yang seluruhnya anonim, tanpa melihat bagaimana makna-maknanya disampaikan. Ini adalah masalah menafsirkan konstelasi kelembagaan besar, bukan makna individu-individu atau kelompok individu. dari bentuk-bentuk mereka yang nampaknya beku. Dalam suatu kasus yang dibicarakan, bahkan dalam hal percakapan biasa dalam kehidupan sehari-hari apa yang terkait di dalamnya adalah suatu penafsiran makna dari orang lain melalui suatu interaksi dan interpenetrasi yang kompleks dari struktur-struktur relevansi, sistem-sistem makna dan kumpulan-kumpulan pengetahuan.
Masalah Konseptualisasi
“Fakta mentah”tidak ada dalam ilmu pengetahuan tetapi terdapat fakta dalam kerangka konseptual yang juga berlaku dalam kehidupan biasa.Hal ini berarti kehidupan juga diorganisir dalam benak semua orang yang berpartisipasi didalamnya dan organisasi ini berlangsung dengan menggunakan sesuatu kerangka konseptual meskipun tidak canggih atau tidak logis dan batapa samar-samar kesadaran partisipan terhadapnya.
Adanya minat mengandaikan adanya kerangka konseptual dengan masa data merupakan penerapan langsung suatu konsep terhadap apa yang diamati.Konsep mengandaikan adanya sistem konsep yang lebih besar yang berkaitan dengan bidang aktivitas seksual. Konsep terebut tidak definisikan secara tajam dan betul-betul ilmiah  karena hubungan antara yang satu dengan yang lain tidak diterangkan dan faliditas empirisnya tidak diuji secara ketat dengan bukti yang menjadi ciri konsep dalam suatu kerangka acuan ilmiah.
” Peta untuk hidup” merupakan konsep-konsep semu dari kehidupan biasa yang mempunyai maksud pragmatis yang menonjol yang secara pragmatis diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang disebut oleh Alfred Schutz sebagai tipifikasi yang ditunjukan secara panjang lebar ,kehidupan sosial bisa tidak akan mungkin tanpa itu : orng tidaka akan tahu “ bahwa sesuatu adalah sesuatu”.Sosiolog tidak begitu saja memungut tipifikasi seperti apa adanya dengan mengetahui benar semuanya. Jika pengetahuan ini hilang,tidak ada penafsiran yang muncul dari apa yang sesungguhnya sedang berlangsung.
              Apa yang dihasilkan oleh penalaran ini memang sederhana tetapi sangat penting secara metodologis: konsep sosiologi tidak dapat berupa model pemikiran yang dipaksakan dari luar (biasa dilakukan oleh kaum positivis dari semua aliran),harus terkait dengan tipifikasi yang berlaku dalam situasi yang sedang dipelajari.Maksud penafsiran sosiologis adalah “mengeluarkan”makna itu dengan lebih jelas dan menghubungkannya(secara kausal dan cara lain) dengan berbagai makna dan berbagai sistem makna. Istilah Schutzian konsep sosiologis adalah konstruk tingkat kedua(konstruk pertama adalah tipifikasi yang sudah ditemukan sosiolog dalam situasi itu),atau dengan istilah Weberian konsep sosiologis bersifat menandai makna (sinnadaequat) yang berarti menjaga tujuan-tujuan bermakna dari pelaku dalam situasi itu.
               Teori Weber  tentang tipe-tipe ideal (ideal types) didalam sosiologi merupakan “tipe ideal” yang membawa konstruksi suatu terjemahan dari tipifikasi biasa ini. dalam kerangka acuan ilmiah maka konsep-konsep itu “nyata’-tidak benar-benar ada tetapi dikonstruksi “secara buatan” sebagai contoh konseptual Weber : birokrasi dan asketisisme duniawi (inner- worldy asceticism yang merupakan tipe ideal yang dikonstruksi oleh Max Weber untuk maksud-maksud penafsiran. Perbedaan dua konsep itu,dan dalam jarak masing-masing dari tipifikasi kehidupan bisa ditimbulkan oleh perbedaan dalam maksud kognitif  Weber.
            Pemindahan makna kehidupan sehari-hari kedalam dunia makna yang berbeda yaitu dunia ilmu sosial merupakan inti penafsiran sosiologi ,ini merupakan penjelasan awal mengenai situasi yang dipermasalahkan :penafsiran sosiologi tidak hanya memahami sesuatu  tetapi memahaminya dalam suatu cara baru yang tidak mungkin terjadi sebelum perpindahan itu berlangsung.         
Masalah Hasil Konseptualisasi
Sosiologi dari awal sangat dipengaruhi oleh positivis yang membuat dipancangkanya hukum-hukum universal. Deskripsi mengenai konseptualisasi menunjukan kelemahan cita-cita ini,gejala sosial akan rusak jika makna yang melakat padanya diabaikan tetapi pengertian ini mempunyai imlikasi lebih lanjut,hukum-hukum dianggap mempunyai keabsahan universal sementara sisitem makna insani tidak.
Konseptualisasi tentunya dapat membantu membangun hubungan kausal tetapi dapat membantu jika makna-makna yang berlaku dalam situasi itu diperhitungkan. Berbeda dari positivisme adalah cita-cita fungsionalisme,menuntut penemuan fungsi yang tidak tergantung pada maksud pelaku dalam suatu situasi sosial (laten function dari Robert Merton;untuk menemukan manifest function).
Masalah Bukti
Penafsiran sosiologis bukan suatu perenungan filosofis.Penafsiran selalu diuji dengan bukti empiris.Proposisi soiologis tidak pernah merupakan aksioma tetapi hipotesa yang secara empiris dapat digugurkan dan mirip dengan proposisi dalam semua ilmu tetapi bukti dalam sosiologi tidak sama dengan ilmu alam-justru karena selalu melibatkan makna-makna.
Pemaknaan ini tentu berkaitan dengan bagaimana penerapan metodologi. Dalam bahasa sosiologi Amerika masalah metode-metode (untuk dibedakan dengan masalah metode dalam suatu arti pendekatan intelektual yang umum ).Selama ini masalah ini dibicarakan dalam rangka mempertentangkan metode kuantitatif dan kualitatif. Sayangnya pemahaman penafsiran soiologis selalu disertai dengan antagonisme terhadap metode-metode kuantitatif,ini merupakan sutu kesalahpahaman.Apapun yang dikemukan disini sama sekali tidak mengandung arti lebih mengutamakan metode kualitatif diatas metode kuantitatif dalam penelitian empiris.
Masalah Objektivitas
           Penafsiran yang diajukan oleh pengkritik aliran positivis dianggap mengandung”subjektivitas murni”,”intuisi”atau”emphati”yaitu usaha untuk memperoleh pengetahuan tanpa kontrol dan koreksi.Ini merupakan kesalahpahaman dan merupakan permainan tebak-tebakan dimana segala sesuatu diperbolehkan.Yang menjadi soal adalah masalah onjektivitas penafsiran sosiologis dan ciri objektivitas perlu ndiuraikan sedikit lebih jauh-tidak hanya terhadap para pengkritisi positivis yang memperkenalkan kriteria objektivitas yang diambil dari ilmu-ilu alam,tetapi juga terhadap para pengkritisi semua aliran yang menyangkal bahwa objektivitas jenis apapun adalah mungkin dalam penafsiran realitas sosial.
         Objektivitas ilmiah merupakan suatu struktur relevansi tertentu yang dapat ditetapkan oleh seorang individu dalam kesadarannya kemungkinan ini dapat menyangkal kemungkinan umum penerapan relevansi dalam kesadaran tetapi penyangkalan jelas kontradiktif dengan pengalaman sehari-hari maupun bukti ilmiah jadi,sesungguhnya penerapan-penerapan berlangsung sepanjang waktu dalam kehidupan sehari-          
           Mengusahakan objektivitas dan kebebasnialian berarti membangun pertahanan kritis terhadap dogmatisme dari ilmu pengetahuan yang terbaik menurut Karl Popper,pencarian konstan dan sistematis untuk data yang mengugurkan akan berarti bila mengajukan hipotesa yang terdapat nilai-nilai yang relevan dengan proposisi tersebut.Kesimpulan masalah ini: kami setuju dengan kaum positivis bahwa memang terdapat sesuatu yang disebut objektivitas ilmiah sekalipun dalam praktek sulit untuk ditemukan namun kami setuju dengan kaum positivis karena objektivitas ilmu pengetahuan menafsirkan tidak ada kesamaan dengan objektivitas ilmu kealaman.Para kritisi ilmu sosiologis,kaum para antipositivis radikal menyangkal kemungkinan setiap niali-nilai dari penelitian ilmiah kami setuju dengan mereka bahwa kepentingan ekstra-ilmiah kerapkali mempengaruhi tindakan penafsiran dan pengaruh semacam itu harus diungkapkan dan kami tidak setuju bahwa fakta ini menolak baik prinsip maupun kemungkinan praktis suatu ilmu pengetahuan sosialyang objektif.
Masalah Penerapan
           Tidak dapat dihindarkan bahwa semua pengetahuan mengenai masyarakat dapat diterapkan oleh orang yang mengerjakan proyek pragmatis tertentu tetapi yang terpenting adalah memahami penafsiran sosiologis yang merupakan proses kognitif yang bersifat amat khusus,dalam struktur relevansi diterapkan dalam tindakan masyarakat tetapi stuktur relevansi ini ditinggalkan yaitu oengurungan nilai-nilai seseorang itu sendiri dan semua penerapan perlu berdasarkan nilai.
        








BAB III
INTERPRETASI SOSIOLOGI DAN MASALAH RELATIVITAS


Relativitas dari permulaan, merupakan suatu objek kajian disipilin sosiologi. Sosiolog selalu tertarik untuk menyelidiki lebih lanjut sampai berapa jauh perbedaan ini dapat diterangkan dalam kaitannya dengan aneka karakteristik dua masyarakat itu. Sosiologi juga merupakan suatu produk relativitas yang sama, yang selalu menjadi salah satu dari objek-objek kajiannya. Jika sosiolog tidak mengalami sendiri kejutan relativitas, maka gejala relativitas itu tidak akan masuk kedalam kesadarannya.
Perhatian sosiologi terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai “kenyataan” dan “pengetahuan”, pada permulaannya dibenarkan oleh fakta relativitas sosialnya. Kumpulan-kumpulan spesifik dari “kenyataan” dan “pengetahuan” berkaitan dengan konteks-konteks sosial yang spesifik, dan bahwa hubungan-hubungan itu harus dimasukkan ke dalam suatu analisa sosiologis yang memadai mengenai konteks-konteks itu. Dengan demikian maka kebutuhan akan “sosiologi pengetahuan” sudah muncul bersama adanya perbedaan-perbedaan yang bisa diamati di antara berbagai masyarakat dari segi apa yang sudah diterima begitu saja sebagai “pengetahuan” dalam masyarakat-masyarakat itu.
Sosiologi pengetahuan menekuni analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Selain itu, sosiologi pengetahuan  memahami dan mempelajari sifat tersusun (contructed) dari apa yang oleh manusia dimaksudkan sebagai realitas. Suatu konsep yang berguna dalam masalah ini adalah konsep mengenai struktur kemasukakalan. Lain orang lain pula definisinya  mengenai realitas yang masuk akal.
Sosiologi pengetahuan memperoleh proposisi akarnya dari Marx—yakni bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialinya. Memang telah banyak perdebatan tentang macam determinasi yang bagaimana yang sebenarnya dimaksudkan oleh Marx. Bagaimana pun, sosiologi pengetahuan telah mewarisi dari Marx bukan hanya perumusan yang paling tajam dari masalah sentralnya, tetapi juga beberapa dari konsep-konsep kuncinya. Di antaranya perlu disebutkan secara khusus konsep-konsep tentang “ideologi” (ide-ide yang merupakan senjata bagi berbagai kepentingan sosial) dan tentang “kesadaran palsu” (alam pikiran yang teralienasi dari keberadaan sosial yang sebenarnya dari si pemikir).Yang merupakan pokok perhatian Marx adalah bahwa pemikiran manusia didasarkan atas kegiatan manusia (“kerja” dalam arti yang seluas-luasnya) dan atas hubungan-hubungan sosial yang ditimbulkan oleh kegiatan itu.
 Skema “sub/superstruktur” yang mendasar itu telah diambil-alih dalam berbagai bentuknya oleh sosiologi pengetahuan, dimulai dengan Scheler yang pemikiran nya didasarkan pada kenyataan yang mendasarinya. Dalam sosiologi pengetahuan secara eksplisit telah dirumuskan dengan cara yang berlawanan dengan Marxisme, dan berbagai pendirian telah timbul di dalamnya mengenai sifat hubungan antara kedua komponen skema itu.
Gagasan-gagasan Nietzsche tidak begitu eksplisit kelanjutannya di dalam sosiologi pengetahuan, namun gagasannya itu sangat mewarnai latar belakang intelektual umumnya dan “suasana batin” di mana ia telah timbul. Nietzsche telah mengembangkan teorinya sendiri mengenai “kesadaran palsu” di dalam analisa-analisanya mengenai arti sosial dari penipuan dan penipuan diri (deception and self-deception) dan mengenai ilusi sebagai suatu syarat hidup yang perlu.
Historisisme, terutama sebagaimana yang diekspresikan dalam karya Wilhelm Dilthey, secara langsung mendahului sosiologi pengetahuan. Temanya yang dominan adalah kesadaran yang sangat kuat mengenai relativitas semua perspektif mengenai berbagai peristiwa manusia; artinya mengenai historisitas yang tak terelakkan dari pemikiran manusia. Konsep-konsep historisisme tertentu—seperti “determinasi situasional” (Standortsgebundenheit) dan “kedudukan dalam kehidupan” (Sitz im Leben)—dapat diterjemahkan secara langsung sebagai mengacu kepada “lokasi sosial” dari pemikiran.
Minat Scheler dalam sosiologi pengetahuan, dan dalam persoalan-persoalan sosiologis pada umumnya, pada pokoknya hanya merupakan satu episode yang sepintas saja dalam karir filosofisnya. Tujuan akhirnya adalah pembentukan suatu antropologi filosofis yang akan mengatasi relativitas sudut-sudut pandang yang berlokasi spesifik historis dan sosial. Sosiologi pengetahuan lalu akan menjadi alat untuk mencapai tujuan ini, dan tugas utamanya adalah untuk menembus kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh relativisme sehingga tugas filsafat yang sesungguhnya dapat dimulai.
Sejalan dengan orientasi ini, sosiologi pengetahuan Scheler pada pokoknya merupakan sebuah metode negatif. Scheler mengemukakan argumen bahwa hubungan antara “faktor-faktor ideal” (Idealfaktoren) dan “faktor-faktor nyata” (Realfaktoren),—istilah-istilah yang jelas mengingatkan orang pada skema “sub/superstruktur” menurut Marx—hanya merupakan hubungan yang regulatif saja. Artinya, “faktor-faktor nyata” mengatur kondisi-kondisi di mana “faktor-faktor ideal” tertentu dapat tampil dalam sejarah, tetapi tidak dapat mempengaruhi isi dari yang disebut belakangan itu. Dengan kata lain, masyarakat menentukan kehadiran (Dasein) tetapi tidak menentukan hakikat (Sosein) ide-ide.
Scheler menganalisa dengan sangat terinci cara pengetahuan manusia dibentuk oleh masyarakat. Ia menandaskan bahwa pengetahuan manusia diberikan dalam masyarakat sebagai suatu a priori bagi pengalaman individu dengan memberikan kepadanya tatanan maknanya. Tatanan ini, meskipun tergantung kepada suatu situasi sosio-historis tertentu, menampakkan diri kepada individu sebagai cara yang sudah sewajarnya untuk memandang dunia. Scheler menamakannya “pandangan dunia yang relatif-natural” (relativnaturliche Weltanschauung) dari suatu masyarakat—sebuah konsep yang mungkin masih dapat dianggap sebagai sentral bagi sosiologi pengetahuan.
Sesudah “penemuan” sosiologi pengetahuan oleh Scheler itu, berlangsung perdebatan yang luas di Jerman mengenai kesahihan, ruang lingkup dan penerapan disiplin baru itu. Dari perdebatan ini lahirlah sebuah rumusan yang menandai pengalihan letak sosiologi pengetahuan ke dalam suatu konteks sosiologi yang lebih sempit. Dengan rumusan itulah sosiologi pengetahuan sampai di dunia berbahasa Inggris. Rumusan itu adalah yang dibuat oleh Karl Mannheim.
Perhatian utama Mannheim tertuju kepada gejala ideologi. Ia membedakan antara konsep-konsep ideologi yang partikular, yang total dan yang umum—ideologi sebagai yang hanya merupakan satu bagian saja dari pemikiran seorang lawan (serupa dengan “kesadaran palsu” menurut Marx); dan (di sini Mannheim beranggapan bahwa ia melangkah lebih jauh dari Marx); ideologi sebagai karakteristik tidak hanya dari pemikiran lawan melainkan juga dari pemikiran sendiri.Mannheim berpendapat bahwa objek pemikiran secara berangsur-angsur menjadi lebih jelas dengan adanya akumulasi berbagai perspektif mengenainya. Ini merupakan tugas sosiologi pengetahuan, yang dengan demikian merupakan alat pembantu yang penting dalam upaya memperoleh pemahaman yang benar mengenai peristiwa-peristiwa manusia.
Merton telah menyusun sebuah paradigma bagi sosiologi pengetahuan, dengan merumuskan kembali tema-tema utamanya dalam bentuk yang padat dan koheren. Konstruksinya itu menarik, karena ia merupakan upaya untuk mengintegrasikan cara pendekatan sosiologi pengetahuan dengan cara pendekatan teori struktural-fungsional. Konsep-konsep Merton sendiri mengenai fungsi-fungsi yang “manifes” dan yang “laten” diterapkan pada bidang ideasi. Sedangkan Talcott Parsons juga telah mengomentari sosiologi pengetahuan. Namun komentarnya itu hanya terbatas kepada suatu kritik terhadap Mannheim dan tidak berusaha mengintegrasikan disiplin itu ke dalam sistem teorinya sendiri.
Di dalam kerangka acuan sosiologi, sekalipun batas-batasnya jelas, terdapat cara-cara dengan mana relativitas dunia sosial terlampaui, meskipun pelampauan ini bersifat sebagian atau sementara. Sosiologi tidak dapat memecahkan persoalan relativitas dalam arti menghakimi sistem-sistem makna yang saling berbanturan dari segi kebenaran asasi mereka. Jikapun penghakiman seperti itu memang mungkin dilakukan, tugas itu harus diserahkan ke filsafat, etika atau teologi.
Sosiologi tidak dapat menawarkan petunjuk moral. Meskipun begitu, sosiologi mempunyai suatu hubungan yang aneh dengan etika, atau paling kurang dengan suatu jenis etika tertentu. Oleh Marx Weber disebut dengan ‘ Etika Tanggung Jawab “ ( Verantwortungsethik ) yaitu etika yang mengambil kriteria tindakannya dari perhitungan atas akibat yang mungkin dan bukan dari prinsip-prinsip mutlak. Konsep lainnya terdapat suatu “ afinitas tunggal “ ( Wahlverwandschaft ) yang mendalam antara pilihan moral ini dan pemahamannya terhadap metode sosiologi.
Moralitas dan agama merupakan dua wilayah di mana dampak relativitas modern tampak paling merusak. Bagi masyarakat, sebagai suatu keseluruhan, perelativan moralitas mungkin merupakan masalah yang serius, karena hal ini menggerogoti landasan kemana setiap kolektivitas manusia harus bersandar. Masalah ini dapat lebih diperjelas dengan melihat pada gejala pluralisme
Penilaian moral sosiolog dapat juga dianalisa secara sosiologis dan social sosiologis. Tetapi, sekali lagi analisa seperti ini tidak akan dengan sendirinya menghasilkan kriteria etis dari suatu penghakiman asasi atas berbagai kontradiksi moral yang dapat diperoleh secara empiris. ( suatu analisa fenomenologis yang lengkap mengenai masalah ini akan membedakan antara aspek-aspek “neotik” dan “neomatic”  dari penilaian moral, tetapi ini harus berada di luar cakupan kita sekarang )
Moralitas sebagai bangunan ekstern dari norma-norma dan sebagai internalisasi unsur-unsur kesadaran pribadi, secara empiris dapat di temukan dan karena itu merupakan pokok masalah sebenarnya bagi sosiologi serta disiplin-disiplin empiris lainnya ( termasuk psikologi ). Etika di lain pihak, merupakan disiplin normatif yang ditemukan secara empiris. Sosiologi mempengaruhi etika karena ia menyadarkan etikus terhadap relativitas empiris dari keyakinan-keyakinan moral. Masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut :   Dapatkah seseorang bertanya mengenai kebenaran agama setelah ia mengetahui bahwa system-sistem keagamaan juga merupakan konstruksi social.?. Bahwa system-sistem keagamaan adalah semacam konstruksi dan juga merupakan konstruksi dalam kerangka acuan analisa empiris.
Semua pengalaman keagamaan berlangsung dalam suatu konteks social, bahkan pada diri seorang pertama ( yang membawa serta dengannya suatu konteks social yang telah diinternalisasi ). Sosiologi dan teologi merupakan dua disiplin  yang berbeda, dengan struktur relevansi yang berbeda secara tajam. Sosiologi tidak punya pilihan kecuali mengurung status ontologism pertanyaan-pertanyaan keagamaan, yang semuanya memang bersifat keagamaan, melampaui jangkauan pengalaman empiris.
Teologi ( Islam, Kristen atau apapun yang anda miliki ) tidak akan berarti apapun kecuali kurungan-kurungan dihilangkan. Tetapi seperti halnya hubungan antara sosiologi dan etika, sosiologi dan teologi satu sama lain saling mempengaruhi. Paling tidak seorang teolog yang peka secara sosiologis harus memperhitungkan “ketersusunan” sistem-sistem keagamaan dan setidaknya akan menyisihkan bentuk-bentuk tertentu fundamentalise teologis yang tidak dapat mengakui hal ini.
Sebaliknya teologi terhadap sosiologi secara tidak langsung dapat memainkan sosiologi tanpa kepekaan teologis sama sekali, akan tetapi sosiologi agama akan harus mengembangkan semacam “telinga teologis” . Para sosiolog klasik memahami, tidak saja Weber tetapi juga Durkheim, Simmel, Pareto dan lainnya; Bahwa agama merupakan suatu pusat gejala sosial, karena dalam sebagian besar sejarah manusia, agamalah yang telah memberikan makna-makna hakiki dan nilai-nilai kehidupan.

BAB IV
INTERPRETASI SOSIOLOGI DAN MASALAH KEBEBASAN


Perspektif sosiologi menyingkap “keterikatan” manusia dalam dua cara, pertama sejak dilahirkan manusia telah berada di dalam konteks sosial yang mengikatnya. Ini artinya bahwa ia menemukan dirinya di tengah lingkungan control sosial.. Oleh karena itu Durkheim menegaskan bahwa fakta sosial adalah “benda” yang menimbulkan daya pengikat. Seseorang tidak dapat merasakan solidaritas dari manusia-manusia lain, tanpa mengalami kontrol sosial atas kehidupan dirinya.. Kedua adalah sosialisasi. Sosialisasi dapat dipandang sebagai suatu proses yang luar biasa kuatnya di mana struktur masyarakat “obyektif” “di luar sana” diinternalisasikan dalam kesadaran. Menurut George Herbert Mead sebagai suatu hasil sosialisasi, setiap individu dapat dipandang sebagai suatu produk masyarakatnya.
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan empiris berurusan dengan pengaruh kausal dua dimensi masyarakat ini. Sehingga sosiologi tampil sebagai suatu perspektif “deterministis”. Sosiologi menjelaskan tindakan atau peristiwa ini atau itu dari segi hubungan kausal surut ke waktu lampau baik dalam konteks sosial maupun dalam kesadaran yang tersosialisasi. Akan tetapi sifat “deterministis” sosiologi ini kerapkali membangkitkan permusuhan orang menentang disiplin tersebut, bahkan sosiologi dipandang sebagai musuh dari kebebasan.
Sistem hukum yang mendasar dari masyarakat Barat dibangun atas dasar suatu konsep pertanggung jawaban individu. Jika perbuatan-perbuatan atau bahkan motif-motif terdalam seorang individu dapat dijelaskan dalam kaitannya dalam konteks sosialnya dan sosialisasinya, dalam pengertian apa orang masih bisa mengatakan bahwa ia bertanggung jawab atas suatu tindakan kriminal? Akibatnya, hukuman yang sah semakin dipahami dalam pengertian pragmatis, tidak dikaitkan dengan konsep tanggung jawab individu. Banyak orang yang merasa bahwa determinisme sosiologi ini menggerogoti landasan moral masyarakat Barat.
Ada ketegangan lain dalam tradisi sosiologi yang baik secara eksplisit maupun implisit bertentangan dengan determinisme. Terdapat suatu penolakan bahkan pemberontakan terhadap penindasan masyarakat atas individu. Dasar empirisnya terletak dalam fakta sederhana tetapi amat penting yaitu bahwa pribadi manusia sesungguhnya memberomtak terhadap masyarakat. Terdapat suatu kemungkinan bagi manusia untuk memberontak terhadap masyarakat; karena itu jaringan kontrol sosial tidak sempurna. Dan ada kemungkinan bagi manusia untuk mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang benar-benar baru; maka sosialisasi tidak pernah sempurna.
Mead menyinggung kenyataan yang sangat khas bahwa manusia merupakan subyek sekaligus obyek bagi dirinya sendiri. Hal itu berarti kemampuan manusia untuk menjadi bebas merupakan sifat pembawaan manusia yang inheren dan universal. Manusia hanya menjadi bebas dengan mengatakan tidak terhadap, dengan menafikan, berbagai sistem determinasi di mana ia menemukan dirinya sendiri atau ke dalam mana ia terlempar. Kebebasan manusia hanya berarti jika kebebasan itu mencakup pelampauan kausalitas ini.
Kebebasan manusia bukan merupakan semacam lobang dalam rentetan dari suatu kausalitas, atau dengan kata lain suatu perbuatan barangkali dinilai secara bebas, dapat juga sekaligus dinilai sebagai terikat secara kausal.  Kebebasan tidak dapat diterangkan oleh metode-metode ilmu pengetahuan empiris manapun dan sudah pasti termasuk sosiologi. Proposisi apapun mengenai kebebasan manusia membawa ke pembelokan dari ilmu pengetahuan ke wilayah pembicaraan yang lain, baik melalui pengalaman subyektif, iman atau penalaran.
Terdapat dua cara dimana sosiologi sebagai sosiologi dapat membicarakan kebebasan. Pertama, dengan menafsirkan kepercayaan manusia akan kebebasan dan dengan menganalisa konteks sosial serta berbagai konsekuensi sposial dari kepercayaan tersebut. Kedua, berkisar pada latar eksternal dan berbagai hambatan obyektif terhadap tindakan yang didasari kepecayaan akan kebebasan. Pada pendekatan ini kebebasan dimaknai sebagai konsep pilih-pilihan. Sosiologi menganalisa serangkaian pilihan-pilihan dalam situasi sosial khusus.
Modernisasi memperluas pilihan sehingga masyarakat modern lebih bebas  daripada masyarakat tradisional. Dalam doktrin mazhab Stoa, kebebasan individu terletak pada kemampuannya untuk membedakan antara apa yang dapat dan tidak dapat dia lakukan.  Sebenarnya kesadaran akan potensi membebaskan diri ini sudah ada sejak lama, bahkan semenjak jaman Auguste Comte. Dalam sosiologi mutakhir, sang pembebas atau kesadaran diri “emansipator” dari sosiologi mengambil bentuk berbeda-beda. Pemahaman kita tentang metode sosiologi tidak memungkinkan adanya kaitan langsung disiplin ini dengan doktrin-doktrin pembebasan apapun. Ilmu pengetahuan harus universal atau jika tidak maka sama sekali bukan ilmu pengetahuan.
Terdapat suatu paradoks yang aneh dalam hubungan antara sosiologi dengan cita-cita pembebasan. Secara historis, ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu instrument kebebasan dan telah mebebaskan orang dari segala bentuk “keterikatan”yang dalam perspektif ilmiah dipahami sebagai “takhayul”. Ilmu pengetahuan merupakan suatu kekuatan bagi kebebasan yang lebih besar dari kekuatan raksasa yang menguasai yang menguasai lingkungan dan jasmani manusia sendiri sebagai akibatnya. Akan tetapi paradoksnya, ilmu pengetahuan itu sendiri menimbulkan pranata-pranata, sistem-sistem pemikiran dan akhirnya program-program sosial politik yang bahkan lebih mengikat manusia dibandingkan dengan “takhayul” yang telah digantikannya.
Cita-cita sosial politik dari pembebasan melalui ilmu pengetahuan mempunyai suatu akibat antidemokrasi yang menyatu di dalamnya. Terdapat kepentingan-kepentingan yang mapan dalam masyarakat modern dari golongan yang menginginkan kekuasaan, yang membuat kegunaan ilmu sosial politik dari ilmu pengetahuan dapat diterima umum. Masalah utamanya adalah bagaimana mempertahankan kebebasan rakyat dari ambisi kediktatoran penguasa.
Sebenarnya suatu pemahaman terhadap ilmu pengetahuan yang tidak totalitas dan “sederhana” akan menguntungkan demokrasi atau dengan kata lain dengan memahami ilmu pengetahuan sebagai suatu pendekatan parsial dan “aspektual’ terhadap realitas manusia, ilmuwan tidak akan  menempati satus elit kognitif dan akibatnya baik hak-hak kognitif maupun politis orang-orang biasa tetap diargai dan itu merupakan inti demokrasi. Ada dua penekanan utama dari “libersionis” dalam sosiologi, pertama individual atau sosiologi dipahami sebagai alat pembebasan individu, terutama aksistensi pribadi; kedua, secara politis atau sosiologi dipahami sebagai alat perjuangan politis ini itu untuk kebebasan yang lebih besar bagi masayrakat secara keseluruhan.
Tugas yang dibebankan pada sosiologi adalah “pemahaman”. Menurut tradisi pembongkaran dan penelanjangannya sosiologi memerangi pemikiran menyimpang (kesadaran palsu) yang sebelumnya mengesahkan berbagai tekanan yang ada dalam kehidupan seseorang, yang menimbulkan pemahaman yang merupakan awal pembebasan pada tingkat kehidupan nyata(praksis). Dalam hal ini sosiologi mengungkapkan kelemahan atau kekurangan dari struktur masyarakat yang selama ini dipandang kaku dan keras oleh individu, sehingga memungkinkan individu untuk keluar dari struktur-struktur sosial tersebut (ekstasis). Konsep penting di sini adalah peranan. Sosiologi menganalisa peranan-peranan dan menyingkapkan sifatnya yang tersusun. Wawasan ini memiliki implikasi praktis yakni pembongkaran, dimana tujuan utamanya adalah untuk menciptakan eksistensi “bebas peranan” yang mengubah hubungan antara individu dengan dirinya, orang lain, dan sunia.
Sosiologi tidak memberikan penghayatan ke dalam semua bentuk determinasi sosial dan karena itu membuka pilihan-pilihan baru. Namun, terdapat batas-batas situasi sosial individu ;
1.    tidak semua pilihan secara sosial tersedia dan tidak semuanya secara sosial dapat dilakukan.
2.    Pilihan yang tergambar secara jelas dalam kesadaran barangkali memilliki kemungkinan sangat kecil untuk secara empiris diwujudkan dalam masyarakat.
3.    Bahkan kesadaran yang paling bebaspun tetap merupakan kesadaran tersosialisasi dan kenyataan ini menimbulkan batas-batas.
Semua tindakan memilih jika bukan merupakan pengalaman yang mudah hilang harus diwujudkan dalam bentuk-bentuk sosial. Artinya bentuk-bentuk sosial akan melahirkan sebuah determinasi baru. Sebuah kebiasaan yang muncul lain dari biasanya dipandang sebagai sesuatu yang baru, akan tetapi saat itu kemudian terulang secara berkali-kali maka akan terjadi atau mengalami proses institusionalisasi yang pada akhirnya akan melahirkan awal dari sebuah keterikatan yang baru..
Alasannya adalah kehidupan sosial manusia tidak mungkin tanpa ukuran ketertiban dan itu berarti pada gilirannya aktivitas manusia harus diorganisir dalam pola-pola yang secara timbale\ balik dapat dikenali dan diramalkan (institusionalisasi). Deskripsi dari institusionalisasi dan pembentukan peran ini dapat digeneralisasi menjadi spektrum perubahan pribadi dari pembebasan hingga menjadi sebaliknya yakni awal keterikatan. Pengalaman pertama tidak dapat berulang. Itulah mengapa masa kanak-kanak adalah suatu periode yang menggairahkan, dan orang tak dapat kembali pada masa lampau.

Konsep totalitas dari manapun mengenai pembebasan menjadi tidak mungkin. Orang akan menyadari bahwa pilihan apapun, betapapun membebaskannya untuk pertama kali, akan membawa pada pola-pola baru yang menampik pilihan-pilihan lain. Tetapi ini juga tidak berarti bahwa tidak ada pembebasan sejati. Orang tetap mengharapkan suatu pilihan yang membebaskan tetapi orang tidak akan mengharapkan pembebasan total. Yang terpenting adalah pembebasan seseorang dapat mempersempit batas-batas orang lain.
Dengan demikian orang harus bertanggung jawab atas segala akibat dari pilihan pembebasan yang telah mereka ambil. Perspektif sosiologi menyarankan kerendahan hati, kesederhanaan dan rasa hormat terhadap orang lain dan pemahan yang tidak absolustik dan tidak dogmatis terhadap ekstasi pribadi seseorang.bentuk pemahaman liberasionis terhadap sosiologi mengikuti rumus umum “tekanan – pemahaman - pembebasan”.  Peranan yang diemban oleh sosiologi dalam pembebasan ini adalah untuk memberikan pemahaman dari awal praksis pembebasan. Peran tersebut adalah:
1.    Sebagai teori pembebasan sosiologi memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai struktur sosial beroperasi, termasuk struktur yang dianggap menindas.
2.    Sebagai fungsi politis, sosiologi menjalankan fungsi propaganda yang dapat bermanfaat bagi bagi kawan maupun lawan dalam usaha pembebasan.
3.    Fungsi logika, sosiologi dapat menyarankan proses dan bentuk organisasi yang kiranya akan membuahkan hasil tertentu yang diharapkan .
Akan tetapi di luar itu semua, sosiologi juga menyadari terdapat suatu kecenderungan anti utopia yang inheren dalam pemikiran sosiologi. Seorang sosiolog harus mengetahuiu akibat-akibat yang tidak diaharapkan dari tindakan sosiologis, fungsi-fungsi laten dan keterbatasan lembaga-lembaga, mengenai beban masa lampau dan kemenduaan kekuasaan. Sosiologi adalh suatu usaha untuk memahami realitas sosial—segala sesuatu keras yang mengelak sari keinginan-keinginan kita. Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan tidak boleh menganggap dirinya sebagai patokan tunggal atau utama bagi tindakan politis.



BAB 5
SOSIOLOGI DI ANTARA TEKNOKRASI DAN IDEOLOGI


Sosiologi sebagai keseluruhan menjadi baik pengetahuan teknis maupun doktrin ideologis. Dengan kegunaan teknokratis, sosiologi dipahami dan diterapkan sebagai suatu satuan pengetahuan teknis untuk melayani “rekayasa sosial”. Hal ini menunjuk pada “mentalitas rekayasa” yang merupakan unsure strategis dari kesadaran modern yang dibentuknoleh revolusi teknologi. Mentalitas ini lahir dari dan sepenuhnya sesuai bagi wilayah teknologi itu sendiri. Degi-segi pokok dari mentalitas rekayasa ini dapat digambarkan: suatu pendekatan “atomistis” atau “perbagian” terhadap realitas. Dunia dipahami sebagai sesuatu yang terdiri dari satuan-satuan yang dapat dilepas-lepaskan dan kemudian disatukan kembali. Cara dan tujuan dapat dengan mudah dipisahkan. Memiliki kecenderungan kuat ke arah berpikir abstrak terutama kuantitatif. Memiliki kecenderungan untuk memecahkan masalah. Selain itu terdapat semangat untuk menemukan hal-hal baru dan memberi penilaian positif terhadap inovasi. Memiliki keterlibatan afeksi atau emosi yang rendah.
Bila sosiologi ditempatkan untuk melayani teknokrasi, maka hampir secara otomatis diterjemahkan ke dalam kategori-kategori mentalitas teknokrasi yang khas. Pertama, terdapat keinginan agar sosiologi dapat diterapkan pada urusan-urusan praktis. Sosiologi dengan kecenderungan positivistic yang kuat dengan mudah dapat dibawa ke arah itu. Selain itu ada tekanan untuk segera membuahkan hasil yang dapat diterapkan. Dari segi dinamika sosial-psikologis, tekanan ini cenderung terinternalisasi oleh para sosiolog yang menemukan dirinyadalam posisi ini.dengan kata lain, para sosiolog sendiri sekarang menganggap diri mereka sebagai pemecah masalah praktis atau sebagai “perekayasa sosial”. Lebih jauh, sekarang telah ada ukuran yang disepakati bersama bagi “keberhasilan” penelitian sosiologis, dalam arti bagaimana hasil penelitian ini sesuai dengan kepentingan apapun dari “sumber dana”. Dengan demikian, sosiologi tidak hanya menjadi alat teknokrasi, tapi ia dipaksa untuk membawa dirinya agar seirama dengan kepentingan teknokrasi.

Penerapan teknokratis dari sosiologi telah sering dikritik atas dasar penilaian moral, sebab tujuan atau tindakan lembaga teknokratis tertentu telah dinilai secara moral dapat ditolak. Jika orang beranggapan bahwa sosiolog bertanggung jawab atas penerapan-penerapan dari hasil kerjanya, maka akan timbul kasus di mana kritik-kritik moral akan dibenarkan. Tapi penting untuk melihat bahwa penerapan teknokratis dari sosiologi cenderung mengarah kepada deformasi menjadi maskapai sosiologi, sekalipun tujuan eksternalnya di luar penilaian moral. Ini lebih merupakan alasan metodologis dari pada etis: integritas cara pemahaman sosiologis di sini digantungkan kepada maksud-maksud yang tidak ada hubungannya. Paling banter sosiologi dalam keadaan menghamba kepada teknokrasi ini menjadi suatu kegiatan yang sangat parochial, terikat pada keadaan dan pragmatis.
Deformasi yang paling biasaadalah bila sosiolog, yang sekarang kurang lebih menjadi bagian dari suatu organisasi teknokrat, dengan sengaja atau (lebih mungkin) tanpa sesadarnya menyesuaikan hasil-hasil kerjanya dengan keinginan-keinginan organisasi tersebut. Sosiologi yang telah tergabung ke dalam suatu organisasi teknokrat dipaksa untuk membuahkan informasi dan penafsiran yang tidak dapat dipercaya. Dengan demikian, paradoksnya, ia berkurang kegunaannya bagi “patronnya”. Sosiologi akan sangat berguna jika ia dibiarkan melakukan tugasnya di atas landasannya sendiri, yakni, dalam struktur relevansinya sendiri. Dengan demikian sosiolog tidak boleh terserap ke dalam mentalitas teknokrat. Karena mentalitas dan konteks sosial berkaitan erat (yang sesungguhnya merupakan akar pengertian dari sosiologi pengetahuan), barangkali perlu disarankan agar sosiolog berinduk kepada semacam lembaga yang tidak teknokratis.
Ada akibat lain dari penggunaan teknokratis dari sosiologi: tekanan untuk menghasilkan sosiologi yang sejauh mungkin kelihatan seperti ilmu-ilmu kealaman yang telah terbukti sangat sesuai dengan tujuan-tujuan teknokratis, yang berarti suatu kesetiaan kepada sosiologi positivistis. Hal ini menyangkut suatu kultus terhadap kuantifikasi. Pada kasus ekstrim, berupa suatu sikap di mana proposisi sosiologis apapun yang tidak dapat dinyatakan secara matematis dianggap “lemah”, tidak ilmiah dan tidak berguna.

Terdapat suatu kesalahan dalam sosiologi positivistis yaitu keyakinan bahwa penafsiran dapat dikesampingkan. Kesalahan ini, sudah tentu, tidak harus berkaitan dengan teknokrasi dan kepentingan praktisnya. Ia juga dapat tampil dalam bentuk suatu “ilmu murni”. Jadi kesalahan terletak pada kegagalan untuk memahami sifat khas realitas manusia dan dengan demikian, sifat khas dari setiap usaha untuk menggambarkan dan menjelaskan realitas ini. sosiologi positivistik yang dipelihara oleh teknokrasi itu cenderung mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak terlalu menyenangkan para teknokrat, yang pada gilirannya membantu menjatuhkan maskapai sosiologi sebagai organisasi yang sedang mencari kedudukan. Akibat semacam ini berkaitan dengan penyakit sosiologi dewasa ini serta kurang mengakar dalam masyarakat yang lebih luas.
“Rekayasa sosial” tidak hanya menjadi kegiatan profesional di kalangan ilmuwan tetapi juga praksis eksistensial dari sejumlah besar masyarakat umum. Kehidupan manusia merupakan suatu realitas yang kuat, dan tidak dapat diserap ke dalam “mentalitas rekayasa”. Hal tersebut meruntuhkan bangunan rapuh di mana para “perekayasa sosial” berusaha mengurung dan merasionalisasinya. Namun sejauh usaha-usaha rekayasa ini berhasil, kesadaran sehari-hari itu menjelma menjadi kesadaran “teknokratis”. “Imperialisme” teknokratis ini, baik dalam pikiran maupun dalam praksis sosial, merupakan salah satu dari kontradiksi serius dalam modernitas. Tak pelak lagi timbul perlawanan terhadapnya. Perlawanan-perlawanan ini yang pada hakekatnya bukan sekedar antiteknokratis namun menentang modernisasi, telah timbul sejak awal zaman modern.
Adanya penerapan ideology bagi sosiologi dimaksudkan segala usaha untuk menjadikan sosiologi sebagai alat pemberi makna bagi tujuan-tujuan politik. Pada prinsipnya penerapan ideologis dari sosiologi semacam itu dapat bersifat baik konservatif maupun revolusioner, ditujukan baik bagi pelestarian status quo maupun bagi perubahan yang lebih atau kurang radikal. Dewasa ini, karena berbagai alasan sejarah, sosiologi jarang digunakan sebagai suatu ideology politik untuk mempertahankan status quo (kecuali di Negara-negara sosialis di mana semacam “sosiologi” berfungsi sebagai suatu sub-bagian dari dogma Marxis untuk mengesahkan rezim).
Seringkali sosiologi ideologis menampilkan diri sebagai suatu pemberontakan terhadap penggunaan teknokratis. Dari kedudukannya sebagai pelayan teknokrasi (Negara, sistem korporasi, serta berbagai struktur birokrasi yang berkaitan) yang sedang berkuasa, sekarang sosiologi harus berbalik menyerang teknokrasi itu sendiri. Dalam menentang penggunaan teknokratis dari sosiologi, mereka yang memiliki orientasi tersebut umumnya akan menganggap mereka seperti antiteknokrat par excellence.
Antara penggunaan teknokratis serta ideologis dari sosiologi terdapat suatu struktur relevansi eksternal yang dipaksakan atas sosiologi. Relevansi eksternal tersebut bersifat pragmatis, bukan pemaksaan kerangka referensi teoritis yang berbeda terhadap sosiologi, namun mobilitas sosiologi bagi tujuan-tujuan praktis. Dalam dua kasus ini,”cara pandang” sosiologis digantungkan di bawah tuntutan pragmatis untuk memperoleh “hasil-hasil yang berguna”. Hal ini merupakan respon terhadap tekanan sosial dan demikian kognitif dari situasi. Kekhasan dari semangat sosial diserap ke dalam oleh “mentalitas rekayasa” dan “mentalitas revolusi” dari paham apapun. Baik teknokrasi maupun ideology membuahkan elitism kognitif yang serupa dank has, di satu pihak disebut “ahli”, di pihak lain dari kelompok apapun menyebut dirinya “pelopor” dari perubahan yang sedang diusahakan secara revolusioner.
Masalah umum baik dalam penggunaan teknokratis maupun ideologis dari sosiologi adalah hubungan antara teori dan praksis, suatu hubungan terputus. Sosiolog yang terlibat dalam proyek pragmatis apapun, baik bersifat teknis maupun politis, harus tetap mempertahankan “keterputusan” ini bila tidak ingin terseret ke dalam mentalitas pragmatis yang mengancam kelangsungan sikap ilmiah.










BAB 6
SOSIOLOGI DALAM KRISIS DUNIA MODERN


Jika kita berbicara mengenai modernitas, maka berhubungan langsung dengan bagaimana proses yang bertahap dari masa ke masa. Modernitas / modern merupakan perpaduan dari unsure teknologi, ekonomi, social dan kognitif yang diperoleh oleh ilmuwan secara empiris. Modernitas adalah perwujudan kemajuan, yang terjadi karena adanya perubahan kehidupan akibat inovasi teknologi yang terus berkembang. Hal ini mampu memeberikan perubahan pada seluruh pranata kehidupan bahkan sampai pada kehidupan individu.
Modernitas membawa manfaat dari segi material dan non material. Maksudnya, modernitas tidak hanya berhubungan dengan pembentukan standar hidup, tetapi juga pada gagasan. Namun demikian, tuntutan dari keduanya yang kian tinggi justru menyebabkan berbagai dislokasi salah satunya adalah anomi. Dislokasi ini timbul karena adanya ketidakpuasan yang akan berakibat pada berbagai perlawanan, anti kemapanan dan bersifat radikal. Hal ini menimbulkan indikasi timbulnya kondisi atau tindakan kontramodern. Kontramodernisasi ini lebih bersifat menghambat dan memodifiskasi daripada membalik proses modernisasi. Inilah yang dkatakan bahwa modernisasi mengalami krisis.
Dalam kaitannya dengan modernitas, sosisologi berperan dalam memberikan pencerahan, bentuk kesadaran rasional dan penting. Dala perselisihan antara modernitas dan kontra modernitas, maka sosiologi bertindak dalam ranah modernitas. Memilih kearah kemajuan serta berperilaku rasional dan mulai meninggalkan hal yang bersifat takhayul.Dalam pernyataan yang lebih luas, maka sosiologi melihat modern dan kontramodern sebagai sesuatu yang memiliki relativitas.
Krisis modernitas membawa dampak pada disintegrasi di tengah kajian integrasi yang selama ini mejadi pusat perhatian sosiologi. Seorang sosiolog klasik Vilfredo Paretoo mengatakan bahwa siklus integrasi dan integrasi mewarnai kualitas hukum sosiohitoris-suatu pemahaman positivistis. Oleh pareto hal ini dijelaskan bahwa kehidupan manusia saat ini berdasarkan pada perkembangan di masa lampau dan diproyeksikan untuk masa depan.
Masalah modern yang khas dari tatanan social berakar dalam berbagai perkembangan kelembagaan, namun itu semua juga telah terinternalisasi dalam struktur kesadaran yang khas. Seperti yang diungkapkan oleh Max Weber hal ini dipahami sebagai sifat inti modernitas yaitu rasionalitas. Rasionalitas dalam masyarakat tradisional dianggap sebagai kekuatan disintegratif. Namun pada masyarakat yang modern, rasionalitas pranata dan kesadaran tetap sejalan dengan integrasi social, kecuali system social terjebak dalam masalah ( tidak berjalan sesuai harapan ).
Untuk menjelaskan hubungan lebih mendalam tentang masalah tersebut, maka Anold Gehlen mengemukakan pendapatnya tentang kelembagaan serta penerapannya dalam masyarakat modern. Dijelaskan bahwa lembaga-lembaga berfungsi meyediakan program yang kukuh dan terpercaya yang dapat diikuti oleh individu dengan tingkat kesadaran yang rendah, tanpa dipikirkan dan bersifat spontan. Dalam hal ini Gehlen mengembangkan dua konsep strategisnya yaitu latar belakang dan latar depan. Latar depan berupa kegiatan yang terprogram secara kokoh serta latar depan berupa individu dengan segenap inovasinya.
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa setiap tindakan yang didahului pertimbangan pikiran bagi perilaku terlembaga berarti suatu awal deinstitusinalisasi. Konsep deinstitusionalisasi dan institusionalisasi direrapkan Gehlen secara umum bagi berbagai masyarakat yang berbeda. Tidak hanya terbatas pada masyarakat modern. Apa yang khas dari masyarakat modern adalah tingkat pemikiran, pertimbangan dan pemilihan yang sangat tinggi dalam semua segi dari kesadaran rasional.
Proses umum dari deinstitusionaisasi dapat digambarkan sebagai berikut bahwa suatu system institusi berjalan kemudian mulai timbul masalah ( segala sesuatu tidak berjalan seperti sedia kala ) masalah tersebut akan muncul dan mendesak kesadaran, sehingga memunculkan kesdaran baru . namun hal tersebut bukan berarti dimaknai sebagai munculnya disintegrasi, tetapi hany pola yang mulai tindak seimbang.
Hal tersebut memberikan gambaran pada masyarakat pra modern, yang mana ditandai dengan hanya sedikit memiliki dorongan internal kearah perubahan sosial, sosialisasi cenderung berhasil, terdapat sedikit penyimpanagn, kemungkinan pertentangan social terkendali dengan ketat oleh solidaritas kolektif. Dengan demikian masalah yang dihadapi kiranya bersifat eksternal,artinya berasal dari luar system itu sendiri.
Modernitas jika dibandingkan dengan system social tradisional, memiliki perbedaan. Hal ini dapat terihat bahwa kesadaran baru, perhatian baru terhadap masyarakat ditandai oleh semaca, rasionalitas kritis yang baru. Baik kewiraswataan yang memaksa masyarakat melalui kekuatan ekonomi pasar maupun pola birokrasi yang dipaksakan oleh campur tangan pemerintah, yaitu seperti rasionalitas weberian. Kesadaran rasional yang khas oleh para sosiolog dijelaskan tentang berbagai masalah kehidupan manusia yang hanya dapat dipahami dengan sangat tidak memadai oleh rasionalitas. Secar sederhana rasionalitas baru tidak dapat membuahkan nilai nilai kepuasan, kecuali nilai teknis murni. Hal ini lah yang menjadi dasar kita belajar krisis modernitas.
Sosiologi adalah struktur kesadaran modern yang menyediakan jawaban bagi masalah kehidupan social, jawaban modern yang khas, degan sifat-sifat dan keterbatasanb jenis rasionalitas ini. Sosilogi menyediaan berbagai konsep dan skema yang menjelaskan dengan apa proses perubahan dapat dianalisa dan dijelaskan. Perubahan dalam hal ini berkaitan dengan pengilmiahan dan ideologisasi kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini akan terdjadi kebebasnilaian ilmiah ( yang spenuhnya benar dalam struktur relevansi ilmiah ) menjadi kebebasnilaian kehidupan sehari-hari ( dimana ia menjadi salah tempat ). Akibatnya proporsi normative diterjemahkan melalui kognitif.
Berkenaan dengan sosiologi pop,maka dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya. Hal ini dikarenakan kegagalan sosiologi pop dalam melihat batas tegas antara ilmu dan kehidupan. Ini menyebabkan terjadinya perubahan dari metode analisa proses legitimasi dalam masyarakat kekuatan legitimasi atau deligitimasi itu sendiri. Karena keterbatasan inherennya sosiologi tidak dapat diterima untuk meligitimasi apapun. Apa yang dapat dilakukannya dengan dampak popular yang luas adalah mendelegitimasikanya. Dengan demikian sosiologi mendorong terjadinya kekecewaan, anomie, dan disintegrasi normative masyarakat modern.Jadi dalam hal ini sosiologi juga memiliki peranan untuk menciptakan perpecahan dalam masyarakat, terutama perpecahan antara mereka yang menggunankan nila lama ( rasionalitas yang tebatas ), dengan mereka yang hendak menciptakan nilai baru dengan rasionalitas ilmiah.

Penting untuk dipahami bahwa dampak yang luas dari sosiologi bukan sekedar masalah kegiatan sejumlah individu yang mepengaruhi masyarakat melelui pengajaran atau penulisan. Sosiologi sebagai suatu bentuk institusi kesadaran itulah yang menimbulkan dampak tersebut. Artinya bukan para sosiologi sebagai individu tetapi sosiolog seabagai suatu profesi itulah yang menjadi masalah terlepas dari luar proposisi etis yang sudah jelas bahwa individu, termasuk para sosiolog harus bertanggunga jawab terhadap perbuatnnya. Selanjutnya sosiologi secara etis dibedakan dalam dua situasi. Pertama situasi dimana nilai-nilai lebih kurang tetapi masih utuh dan yang kedua dalah terdapat disintegrasi yang nampak nyata.
Gejala modern yang makin nampak terlihat dalam berbagai wujud inovasi. Dua gejala kunci dari dunia modern adalah otonomi individu seta kebebasan politik, masing-masing sebagai cita-cita normative berupa rencana yang akan terwujud. Keduanya memberikan makna analisa sosiologis yang sangat luas. Oleh karena itu sosiologi merupakan bidang metode ilmiah yang tetap tegak pada tradisi yang kukuh sekalipun tradisi tersebut berasal dalam zaman yang khas dengan perubahan dan krisis/





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar