Kamis, 29 Maret 2012

kelas sebagai sistem

KELAS SEBAGAI SISTEM



Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Sosiologi Pendidikan Program Study Sosiologi




Oleh :
RETNO WAHYU WULANDARI
NIM :  S25 1108010

PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012

KELAS SEBAGAI SISTEM SOSIAL

Ruang kelas bukan sekedar ruang fisik semata, namun ia melampaui ini yaitu mencakup juga ruang sosial dan budaya.
A.    Kelas sebagai Sistem Sosial
Kata system merupakan kata  yang berasal dari bahasa yunani,  systematos, systema. Tatang Amirin(2003) menyimpulkan systema memiliki pengertian berikut: (1) suatu hubungan yang tersusun ats sekian banyak bagian, dan (2) hubungan yang berlangsung diantara satuan atau komponen secara teratur.
Bagaimana batasan yang diberikan oleh para ahli tentang definisi system? Berikut beberapa pandangan berbagai ahli tentang konsep system, antara lain : (1) menurut Winardi system dikemukakan dalam bukunya Pengantar tentang teori system dan Analisis system, bahwa system merupakan suatu kelompok elemen yang interdependen yang antar berhubungan atau saling mempengaruhi satu sama lain. Sistem merupakan suatu konglomerat hal-hal tertentu yang secara keseluruhan membentuk suatu keseluuhan yang menyatu. (2) , batasan menurut Gabriel A.Almond, bahwa system diartikan sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya suatu organisasi yang berinteraksi dengan suatu lingkungan, yamg mempengaruhinya maupun dipengaruhinya. (3) menurut Robert M.Z.Lawang, adapun inti gagasan Lawang sebagai berikut: system adalah suatu saling ketergantunagn antara satu komponen dan komponen lainnya dalam hubungan timbal balik yang konstan, konstan artinya apa yang terjadi kemarin merupakan perulangan dari yang sebelumnya, dan besuk akan diulang kembali dengan cara yang sama. Dan karena sifatnya kontan inilah, maka pola hubungan interaksi ini memiliki system tertentu. Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa system merupakan suatu kelompok elemen-elemen yang saling berhubungansecara interdependen (saling ketergantungan dan konstan).
Seperti telah didiskusikan terdahulu, sosiolog utama  yang dirujuk jika membahas system social adalah Talcott Parsons. Parsons merupakan salah seorang tokoh utama yang mempopulerkan pendekatan system dalam sosiologi kontemporer. Suatu system hanya bisa fungsional apabila semua persyaratan terpenuhi. Ada empat persyaratan fungsional yang dibutuhkan oleh suatu system yaitu: Adaptation/adaptasi (A), Goal attainment/pencapaian tujuan (G), Integration/integrasi (I), dan Latent pattern maintenance/pola pemeliharaan laten.
 Dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di sana terdapat gabungan dari r dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan. Ruang kelas memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt, 1984). Hakikat keberadaan kelompok sosial bukan tergantung dari dekatnya jarak fisik, melainkan pada kesadaran untuk berinteraksi, sehingga kelas bersifat permanen dan tidak hanya suatu agregasi atau kolektivitas semata. Pada akhirnya, peran dan fungsi yang diembannya dalam struktur pendidikan lebih terjamin.
1.    Struktur Sosial Kelas
Ruang kelas merupakan miniatur dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul person-person dari latar belakang status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda, meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama. Beberapa ciri khas struktur kelas yang memiliki kesamaan dengan masyarakat adalah sebagai berikut:
a.    Komposisi Anggota
Heterogenitas adalah aspek umum yang hampir selalu ada di kelas manapun. Di sana, selain latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, juga terdapat perbedaan jenis kelamin (seksualitas) kecuali di sekolah khusus, keberagaman agama, sampai pada karakteristik individu yang saling berlainan secara fisik maupun psikis yang ditandai dengan perbedaan antarpersonalnya. Keberagaman komposisi kelas merupakan warna yang biasa, seperti halnya dalam masyarakat karena institusi pendidikan berlaku universal yang memberi kebebasan bagi siapa saja yang memenuhi syarat untuk bergabung.
b.    Struktur Birokratis Berupa Peran dan Status
Di dalam kelas yang majemuk itu, terdapat suatu tata aturan kelas yang diikat oleh sekolah dan diperankan oleh wakil-wakil siswa yang disebut pengurus kelas. Lahirlah berbagai “jabatan” yang terbentuk secara hierarkis sesuai dengan tugas dan kewenangan mereka di dalam kelas, baik itu oleh guru yang berperan sebagai wali kelas maupun siswa-siswanya yang terakumulasi dalam jabatan ketua kelas, sekretaris, bendahara, dan seterusnya. Pola imitatif yang dibawa dari lingkup luar masyarakat ini tersusun karena diperlukannya sistem penegakan tata aturan institusi serta pola pengendalian sosial yang ketat mengingat fungsi dunia pendidikan yang sedemikian nyata sehingga memerlukan tindakan konkret untuk pelestarian fungsi institusi dan segenap norma-norma kelas dan sekolah tersebut. Salah satu bentuknya adalah penetapan status birokratis dari unsur-unsur kelas yang merepresentasikan anggota-anggotanya sebagai wujud dari masyarakat kecil.
2.    Pola Komunikasi dalam Kelas
Mari kita pahami lebih dalam dengan contoh hubungan guru-murid. Melalui cara pandang ruang kelas sebagai system pertukaran. Kita bisa melihat bahwa hubungan guru-murid sebagai suatu system pertukaran. Hubungan guru-murid sebagai suatu system pertukaran terbentuk apabila unsur atau item, dalam hal ini guru dan para murid,memiliki ketergantungan terhadap suatu pertukaran yang terus menerus atau ajek. Dalam system pertukaran, guru dan murid dipandang mempunyai ketergantungan satu sama lain dalam rangka memperoleh keuntungan, baik bersfat ekstrinsik berupa materi dan benda maupun intrinsic berupa nilai(peringkat), penghargaan, pengakuan,perhatian, cinta, dan kasih saying. Apa yang dilakukan guru berujung pada pendapatan finansial yang layak,penghargaan,pengakuan,kecintaan terhadap murid, orang tua/wali murid, dan kepala sekolah. Adapun para murid dalam proses pertukaran berusaha memeperoleh nilai, penghargaan, kasih saying, perhatian, cinta dari guru.
Komunikasi menjadi elemen penting dalam segala kegiatan di kelas karena memungkinkan adanya pertukaran interaksi timbal balik antara warga kelas (murid-murid ataupun murid-guru). Selain itu, arti penting komunikasi dalam pencapaian tujuan belajar di kelas adalah untuk mengkomunikasikan dan menyalurkan informasi dan keterampilan. Konsekuensi logisnya, setiap kelas memerlukan adanya pola alur komunikasi yang berjalan secara lancar dan efektif dari masing-masing pihak. Aktivitas penyampaian informasi dari guru dijelaskan dalam berbagai paparan tentang materi pelajaran beserta penjelasannya yang kadang disertai dengan berbagai tugas dan pertanyaan yang disampaikan kepada murid sebagai bentuk komunikasi dari guru. Sebaliknya siswa bisa merespon dengan bertanya, menjawab, berdiskusi dengan teman sekelas dan sebagainya, manapun dengan aktivitas di luar pelajaran. Namun, aspek ini tidak sesederhana itu, melainkan dititikberatkan pada peran komunikasidalam keberlangsungan kelas, sesuai dengan beberapa eksperimententang komunikasi kelas oleh beberapa ahli, antara lain oleh Bavelas dan Leavit (dalam Horton dan Hunt, 1999), yang menghasilkan beberapa pola komunikasi yang telah diuji dalam eksperimennya tahun 1958. Hasil kesimpulan dari eksperimen tersebut adalah bahwasanya pola komunikasi mempengaruhi kegiatan, kepuasan, kecepatan dan kecermatan dalam menemukan permasalahan baik pada tingkat individu maupun kelompok. Dua pola keempat (terpusat/setir) di mana dalam pola melingkar terjadi pemerataan peran dan status serta kepemimpinan masing-masing anggotanya, terdapat keaktifan anggota dan seluruh anggotanya puas terhadap kinerja meskipun kelompok masih sedikit melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah. Sebaliknya pada tipe yang terpusat, mereka cenderung terorganisasi secara cepat dalam memecahkan masalah dengan kesalahan yang relatif sedikit, kelompok tersebut sangat kuat dan stabil walaupun seluruh kegiatan kelompok itu belum tentu memuaskan semua anggotanya. Leavit mengatakan bahwasanya pemusatan ini dianggap karena posisi pemimpinnya yang fungsi utamanya menerima, mengorganisasi dan mengirim berita. Dalam hal ini, secara faktor kesemuanya terwujud dalam bentuk kegiatan belajar kelas yang selama ini diterapkan yaitu sentralisasi peran guru yang sangat besar. Selama ini, guru memang menjadi pusat komunikasi kelas dan mendominasi setiap kegiatan penyaluran informasi ini melalui penyampaian materi pelajaran, memberikan pertanyaan, mendeskripsikan penjelasan dan lain sebagainya.
Model komunikasi secara terpusat ini mengandung beberapa implikasi yaitu, pertama, struktur komunikasi kelas dimaksud paling tidak memuaskan seluruh anggota kelompok, kecuali anggota yang paling sentral (dalam hal ini adalah guru). Kedua, tipe kelompok ini dianggap paling produktif dalam menyelesaikan secara tepat tugas-tugas yang jelas strukturnya, akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan hasil tindakan orang yang memegang peranan sentral. Pola komunikasi kelompok ini sangat terpusat (highly centralized group) tampak sangat teratur dan efisien dikarenakan tindakan anggotanya yang pasif. Dengan kata lain, komunikasi yang terbentuk hanyalah komunikasi dengan pemimpinnya saja. Dalam sistem ini, pemegang peranan sentral akan banyak bisa belajar dan merasa puas dengan posisi dan kelompoknya akan tetapi efeknya, individu lain tidak banyak memperoleh kesempatan untuk belajar.
3.    Iklim Sosial di Kelas
Bagaimana guru mengontrol kelas? Kenapa ada situasi yang berbeda dalam kelas yang sama? Jika seorang guru sedabg menerangkan suatu pelajaran kepda muridnya pada suatu kelas, suasana kelas tampak terkendali. Kelas merupakan perwujudan masyarakat heterogen kecil di mana di dalamnya terdapat variasi komposisi dan hubungan antarpersonal yang melahirkan mekanisme interaksi sosial yang kontinu. Mekanisme ini terus berlanjut dala lingkup sosialnya (di kelas) dan secara faktual terakumulasi ke dalam bentuk-bentuk hubungan antara individu-individu di dalam suatu kelas ataupun hubungan kelompok. Hal terpenting adalah interelasi yang terjadi antara guru dengan murid yang melambangkan bentuk konkret dari suasana kelas dan membentuk suatu iklim sosial.
Pembentukan iklim sosial kelas sangat bergantung pada variasi hubungan guru-murid serta alur penerimaan informasi dan komunikasi yang kesemuanya dinaungi dalam sebuah koridor gaya kepemimpinan dariseorang guru, baik yang mengikuti kepemimpinan terpusat (sentralistik), demokratis maupun gaya kepemimpinan yang memberi kebebasan penuh (laissez faire) kepada para muridnya. Dariperpaduan itulah terbentuk berbagai macam iklim sosial di kelasyang merefleksikan bentuk hubungan vertikal kelas antara gurumuriddalam kegiatan belajar di dalam kelas yang sangat mempengaruhikeberhasilan siswa dalam kegiatan belajar ataupunbersosialisasi didalamnya.Menurut Faisal dan Yasik (1985) terdapat enam iklim sosialyang timbul di kelas yaitu sebagai berikut.
a.     Iklim Terbuka
Dalam iklim terbuka ini, tingkah laku guru menggambarkan integrasi antara kepribadian seorang guru sebagai individu dan peranannya sebagai pimpinan di dalam kelas. Dia selain memberikan kritik, juga mau menerima kritikan dari para siswa. Hubungan guru dengan siswa bersifat fleksibel sehingga suasana ini dapat mempertinggi kreativitas siswa karena mereka dapat bekerja sama dan berkreasi tanpa adanya beban mental. Kebijaksanaan yang diambil seorang guru biasanya memberikan kemudahan bagi setiap siswa untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Efeknya, setiap murid biasanya dapat memperoleh kepuasan dalam melaksanakan tugas hubungan ini serta dapat memperlancar jalannya organisasi di kelas maupun organisasi di sekolah yang lebih luas.


b.    Iklim Mandiri
Dalam bentuk ini, masing-masing mendasarkan pada kemampuan dan tanggung jawab yang mereka miliki. Para siswa mendapatkan kebebasan dari guru untuk mendapatkan kebebasan kebutuhan belajar dan kebutuhan sosial mereka. Mereka tidak terlalu dibebani dengan tugas-tugas yang berat dan menyulitkan mereka. Untuk memperlancar tugas siswa, seorang guru membuat prosedur dan peraturan yang jelas, yang dikomunikasikan di dalam kelas. Yang lebih esensial dalam iklim mandiri ini, antara guru dan siswa bekerja sama dengan baik, penuh tenggang rasa, dan penuh kesungguhan hati. Kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing membuat guru memberikan kelongggaran-kelonggaran sehingga kontrol yang ketat tidak diperlukan karena para murid dipercaya memiliki moral yang cukup tinggi.
c.     Iklim Terkontrol
Dalam iklim terkontrol ini, titik sentral kebijakan seorang guru adalah menekankan pada pencapaian prestasi siswa di kelas, tetapi di sisi lain justru mengorbankan kepuasan kebutuhan sosial siswa. Oleh karena tuntutan ini, para guru menjalankan komando mengajar secara kaku dan keras serta siswa diharuskan menjalankan kegiatan belajar dengan keras. Mereka akhirnya sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri sehingga tidak bisa mendapat kesempatan untuk membentuk hubungan kerja yang lebih akrab dan sosialitas tinggi. Hubungan pribadi sesama siswa jarang dilaksanakan karena mereka sibuk dengan pekerjaan atau tugas mereka sendiri-sendiri yang dituntut prestasi dan keberhasilan nyata. Fungsi pimpinan sangat dominan karena tidak adanya fleksibilitas dalam organisasi kelas tersebut. Setiap pembelajaran yang telah terjadwal dijalankan secara ketat dan full dan untuk menjaga keberlangsungan belajarnya guru menerangkan aturan yang keras dan disertai sanksi fisik atau nonfisik yang berlaku mulai saat itu juga.
d.    Iklim Persaudaraan
Pada jenis ini, hubungan yang terjadi antara guru dan siswa sangat erat, baik dalam kegiatan belajar maupun kegiatan di luar itu. Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan sosial sangat menonjol, tetapi umumnya guru kurang mempunyai kegiatan yang berorientasi pada fase oriented. Para siswa tidak dibebani dengan tugas-tugas yang menyulitkan, sebab guru berusaha agar para siswa dapat bekerja semudah mungkin dan merasa bahagia. Kelas merupakan satu ikatan keluarga sehingga di antara mereka banyak terjalin komunikasi dan saling menasihati. Pendekatan guru terhadap anak didiknya sangat personal walaupun masih memerankan diri mereka sebagai pimpinan. Dalam kelas seperti ini tidak banyak aturan yang digunakan sebagai pedoman sehingga akibatnya tugas belajar
kurang diperhatikan. Pengaruh lainnya, prestasi belajar kurang optimal karena tidak pernah mendapatkan kritik.
e.    Iklim Tertutup
Dalam model ini, seorang guru tidak memberikan kepemimpinan yang memadai kepada para siswa. Ia mengharapkan agar setiap siswa mengembangkan inisiatif masing-masing. Namun ia tidak memberi kebebasan kepada para siswa untuk merealisasikan inisiatif tersebut secara nyata karena tidak adanya keterbukaan dan komunikasi yang efektif. Antara siswa yang satu dengan yang lain kurang dapat bekerja sama dengan baik. Akibatnya, prestasi yang dicapai pun rendah karena seringkali timbul perbedaan persepsi dan pandangan tentang prestasi yang harus ditargetkan. Para guru menerapkan aturan-aturan yang semuanya bersifat sepihak dan kurang memperhatikan kepentingan siswa.

B.    TEORI RUANG KELAS
1.    Pendekatan Interaktif
Pendekatan interaksi memberikan perhatian yang khusus terhadap pengamatan pada metode pengajaran dalam mengelola ruang kelas yang efisien.
a.    Perilaku Dominatif versus integratif
Pendekatan interaksi memerhatikan bagaimana pengaruh perilaku dominatif  yang diperbandingkan dengan perilaku integratif terhadap anak.Guru, dalam perspektif ini, dipandang memiliki perilaku yang berbeda dalam memperlakukan murid atau peserta didik di ruang kelas. Perilaku dominatif memosisikan guru sebagai sebagai sumber kebenaran. Guru juga dipandang sebagai makhluk maha tahu terhadap segala sesuatu. Gurulah sebagai tokoh penentu tentang benar salah terhadap suatu hal, misalnya sikap, perilaku, aktivitas atau kerja.Sebaliknya, anak dianggap sebagai makhluk bodoh, yang senantiasa perlu bimbingan dan arahan dari guru.
Studi perilaku guru telah dilakukan oleh H.H.Anderson, namun studi tersebut, seperti yang dikutif oleh Robinson (1986:128), tidak sampai menjelaskan tentang perilaku seperti apa yang paling efisien dan efektif dalam mengajar di ruang kelas.


b.    Gaya kepemimpinan guru
Gaya kepemimpinan guru dapat mempengarui produktivitas anak-anak di ruang kelas. Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat dibagi sedikitnya dalam tiga jenis, yaitu autokratik, demokratik, dan laisser faire. Gaya kepemimpinan guru yang autukratik dicirikan dengan kepemimpinan yang otoriter, tidak memberikan ruang bertukar pandangan/pendapat terhadap sesuatu antara guru dan murid, dan tidak memberikan ruang ruang bagi suatu perbedaan terhadap sesuatu. Selanjutnya, gaya kepemimpinan guru yang demokratik ditandai dengan keemimpinan yang demokratis, adanya ruang untuk bertukar pikiran/pendapat/pandangan, dan kebaikan bersama dikontruksikan secara bersama melalui musyawarah. Adapun gaya kepemimpinan laisser-faire dikarakteristikan dengan kepemimpinan yang cuek dan ruang bertukar pandangan atau pendapat tidak diperlukan sebab peserta didik dibolehkan melakukan apa saja apabila dia memandang sesuatu ini penting untuk dilakukan.
Gaya kepemimpinan demokratik diajukan sebagai suatu bentuk gaya yang perlu dikembangkan disekolah. Walaupun produktifitas anak paling tinggi dibawah gaya kepemimpinan autokratik apabila ia hadir dirang kelas. Namun bila ia tidak ada, produktifitasnya rendah, seperti halnya anak-anak dibawah pengasuhan guru yang berpola kepemimpinan laisser-faire.
Gaya kepemimpinan guru disekolah dapat mempengaruhi cara berpikir, merasa dan bertindak siswa dikemudian hari. Bagi siswa yang mengganggap apa-apa yang diterima, diperoleh, dan dipelajari di sekolah merupakan suatu yang baik untuk dijadikan pedoman, referensi atau ujukan dimasa akan datang, maka sikap dan perilaku sosial budaya dan politik siswa ini, secara teoritis hipotesis akan juga bias cermin gaya kepemimpinan gurunya ketika di masa sekolah dahulu. Seberapa jauh bias ini, tergantung pula konteks sosialisasi lainnya , baik primer maupun sekunder.
2.    Pendekatn interpretatif
Realitas sosial termasuk ruang kelas, dipahami sebagai kenyataan interaksional yang dipenuhi berbagai simbol. Salah satu proses interpretiatif dipahami oleh W.I.Thomas(1966) sebagai definisi situasi. Bagi Thomas suatu stimulus(rangsangan) tidak langsung dilanjuti dengan tanggapan(respons), tetapi melewati suatu proses penilaian dan pertimbangan melalui pemberian makna terhadap suatu stimulus yang diterima.
Jadi, ketika suatu definisi situasi terbentuk, maka ia digunakan terus meneus digunakan, sehingga sukar untuk mengubahnya. Dengan cara pandang demikian, maka sekali guru mendefinisikan situasi hubungannya dengan seorang murid sebagai seorang bodoh,maka definisi ini akan terus digunakan, sehingga sukar mengubahnya , meskipun murid ini tidak lagi bodoh, misalnya.
Dengan cara pandang definisi sosial, maka pendidikan , menurut Waller, merupakan seni menanamkan definisi situasi yang berlaku pada kaum muda, dan yang sudah diterima oleh golongan penyelanggara sekolah. Dengan demikian , sekolah merupakan suatu alat yang ampuh untuk melakukan kontrol sosial.
3.    Pendekatan Radikal
Salah satu teori yang terpentingdalam pendekatan radikal adalah teori pelabelan(teori labelling). Teori ini dikatakan radikal karena ia mempertanyakan sesuatu yang dipandang”memang seharusnya demikian” dan memberiakan alternatif cara pandang dalam melihat sesuatu. Teori pelabelan memiliki akar pemikiran yang sama dengan teori definisi situasi dari W.I.Thomas yaitu perspektif interaksionisme simbolik.
Teori pelabelan memberikan penekanan pada signifikan label(nama,reputasi) yang diberikan pada diri seseorang. Oleh sebab itu ,label dipandang menjadi bagian dari konsep diri seseorang yang membawa seseorang ke arah suatu persepsi , prasangka atau pentimpangan tertentu yang dikenakan pada dirinya.
Dalam teori ini, korban pemberian label dilihat sebagi korban, yaitu korban penggunaan kekuasaan yang semena-mena deri pemegang kekuasaan, suatu bentuk dari abuse of power(penyalahgunaan kekuasaan).
Selanjutnya , apa konsekuensi pemberian label terhadap murid? Dampak pemberian suatu label terhadap murid dalah persepsi, prasangka atau penyimpangan tertentu yang dikenakan pada dirinya.Persepsi dan prasangka ini menciptakan self fulfilling prophecy(pembenaran ramalan pribadi), yaitu suatu ramalan yang mengawali serangkaian peristiwa, yang akhirnya membuat ramalan ini benar-benar menjadi kenyataan, sehingga meraka dikelompokkan sama seperti apa yang mereka persepsikan dan prasangka seperti awalnya. Sementara itu, kurangnya pilihan menyebabkan orang yang dilabel lama kelamaan memandang dirinya sendiri sebagaimana orang lain memandangnya.



KELAS SEBAGAI SISTEM



Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Sosiologi Pendidikan Program Study Sosiologi












Oleh :
RETNO WAHYU WULANDARI
NIM :  S25 1108010

PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012

KELAS SEBAGAI SISTEM SOSIAL

Ruang kelas bukan sekedar ruang fisik semata, namun ia melampaui ini yaitu mencakup juga ruang sosial dan budaya.
A.    Kelas sebagai Sistem Sosial
Kata system merupakan kata  yang berasal dari bahasa yunani,  systematos, systema. Tatang Amirin(2003) menyimpulkan systema memiliki pengertian berikut: (1) suatu hubungan yang tersusun ats sekian banyak bagian, dan (2) hubungan yang berlangsung diantara satuan atau komponen secara teratur.
Bagaimana batasan yang diberikan oleh para ahli tentang definisi system? Berikut beberapa pandangan berbagai ahli tentang konsep system, antara lain : (1) menurut Winardi system dikemukakan dalam bukunya Pengantar tentang teori system dan Analisis system, bahwa system merupakan suatu kelompok elemen yang interdependen yang antar berhubungan atau saling mempengaruhi satu sama lain. Sistem merupakan suatu konglomerat hal-hal tertentu yang secara keseluruhan membentuk suatu keseluuhan yang menyatu. (2) , batasan menurut Gabriel A.Almond, bahwa system diartikan sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya suatu organisasi yang berinteraksi dengan suatu lingkungan, yamg mempengaruhinya maupun dipengaruhinya. (3) menurut Robert M.Z.Lawang, adapun inti gagasan Lawang sebagai berikut: system adalah suatu saling ketergantunagn antara satu komponen dan komponen lainnya dalam hubungan timbal balik yang konstan, konstan artinya apa yang terjadi kemarin merupakan perulangan dari yang sebelumnya, dan besuk akan diulang kembali dengan cara yang sama. Dan karena sifatnya kontan inilah, maka pola hubungan interaksi ini memiliki system tertentu. Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa system merupakan suatu kelompok elemen-elemen yang saling berhubungansecara interdependen (saling ketergantungan dan konstan).
Seperti telah didiskusikan terdahulu, sosiolog utama  yang dirujuk jika membahas system social adalah Talcott Parsons. Parsons merupakan salah seorang tokoh utama yang mempopulerkan pendekatan system dalam sosiologi kontemporer. Suatu system hanya bisa fungsional apabila semua persyaratan terpenuhi. Ada empat persyaratan fungsional yang dibutuhkan oleh suatu system yaitu: Adaptation/adaptasi (A), Goal attainment/pencapaian tujuan (G), Integration/integrasi (I), dan Latent pattern maintenance/pola pemeliharaan laten.
 Dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di sana terdapat gabungan dari r dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan. Ruang kelas memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt, 1984). Hakikat keberadaan kelompok sosial bukan tergantung dari dekatnya jarak fisik, melainkan pada kesadaran untuk berinteraksi, sehingga kelas bersifat permanen dan tidak hanya suatu agregasi atau kolektivitas semata. Pada akhirnya, peran dan fungsi yang diembannya dalam struktur pendidikan lebih terjamin.
1.    Struktur Sosial Kelas
Ruang kelas merupakan miniatur dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul person-person dari latar belakang status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda, meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama. Beberapa ciri khas struktur kelas yang memiliki kesamaan dengan masyarakat adalah sebagai berikut:
a.    Komposisi Anggota
Heterogenitas adalah aspek umum yang hampir selalu ada di kelas manapun. Di sana, selain latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, juga terdapat perbedaan jenis kelamin (seksualitas) kecuali di sekolah khusus, keberagaman agama, sampai pada karakteristik individu yang saling berlainan secara fisik maupun psikis yang ditandai dengan perbedaan antarpersonalnya. Keberagaman komposisi kelas merupakan warna yang biasa, seperti halnya dalam masyarakat karena institusi pendidikan berlaku universal yang memberi kebebasan bagi siapa saja yang memenuhi syarat untuk bergabung.
b.    Struktur Birokratis Berupa Peran dan Status
Di dalam kelas yang majemuk itu, terdapat suatu tata aturan kelas yang diikat oleh sekolah dan diperankan oleh wakil-wakil siswa yang disebut pengurus kelas. Lahirlah berbagai “jabatan” yang terbentuk secara hierarkis sesuai dengan tugas dan kewenangan mereka di dalam kelas, baik itu oleh guru yang berperan sebagai wali kelas maupun siswa-siswanya yang terakumulasi dalam jabatan ketua kelas, sekretaris, bendahara, dan seterusnya. Pola imitatif yang dibawa dari lingkup luar masyarakat ini tersusun karena diperlukannya sistem penegakan tata aturan institusi serta pola pengendalian sosial yang ketat mengingat fungsi dunia pendidikan yang sedemikian nyata sehingga memerlukan tindakan konkret untuk pelestarian fungsi institusi dan segenap norma-norma kelas dan sekolah tersebut. Salah satu bentuknya adalah penetapan status birokratis dari unsur-unsur kelas yang merepresentasikan anggota-anggotanya sebagai wujud dari masyarakat kecil.
2.    Pola Komunikasi dalam Kelas
Mari kita pahami lebih dalam dengan contoh hubungan guru-murid. Melalui cara pandang ruang kelas sebagai system pertukaran. Kita bisa melihat bahwa hubungan guru-murid sebagai suatu system pertukaran. Hubungan guru-murid sebagai suatu system pertukaran terbentuk apabila unsur atau item, dalam hal ini guru dan para murid,memiliki ketergantungan terhadap suatu pertukaran yang terus menerus atau ajek. Dalam system pertukaran, guru dan murid dipandang mempunyai ketergantungan satu sama lain dalam rangka memperoleh keuntungan, baik bersfat ekstrinsik berupa materi dan benda maupun intrinsic berupa nilai(peringkat), penghargaan, pengakuan,perhatian, cinta, dan kasih saying. Apa yang dilakukan guru berujung pada pendapatan finansial yang layak,penghargaan,pengakuan,kecintaan terhadap murid, orang tua/wali murid, dan kepala sekolah. Adapun para murid dalam proses pertukaran berusaha memeperoleh nilai, penghargaan, kasih saying, perhatian, cinta dari guru.
Komunikasi menjadi elemen penting dalam segala kegiatan di kelas karena memungkinkan adanya pertukaran interaksi timbal balik antara warga kelas (murid-murid ataupun murid-guru). Selain itu, arti penting komunikasi dalam pencapaian tujuan belajar di kelas adalah untuk mengkomunikasikan dan menyalurkan informasi dan keterampilan. Konsekuensi logisnya, setiap kelas memerlukan adanya pola alur komunikasi yang berjalan secara lancar dan efektif dari masing-masing pihak. Aktivitas penyampaian informasi dari guru dijelaskan dalam berbagai paparan tentang materi pelajaran beserta penjelasannya yang kadang disertai dengan berbagai tugas dan pertanyaan yang disampaikan kepada murid sebagai bentuk komunikasi dari guru. Sebaliknya siswa bisa merespon dengan bertanya, menjawab, berdiskusi dengan teman sekelas dan sebagainya, manapun dengan aktivitas di luar pelajaran. Namun, aspek ini tidak sesederhana itu, melainkan dititikberatkan pada peran komunikasidalam keberlangsungan kelas, sesuai dengan beberapa eksperimententang komunikasi kelas oleh beberapa ahli, antara lain oleh Bavelas dan Leavit (dalam Horton dan Hunt, 1999), yang menghasilkan beberapa pola komunikasi yang telah diuji dalam eksperimennya tahun 1958. Hasil kesimpulan dari eksperimen tersebut adalah bahwasanya pola komunikasi mempengaruhi kegiatan, kepuasan, kecepatan dan kecermatan dalam menemukan permasalahan baik pada tingkat individu maupun kelompok. Dua pola keempat (terpusat/setir) di mana dalam pola melingkar terjadi pemerataan peran dan status serta kepemimpinan masing-masing anggotanya, terdapat keaktifan anggota dan seluruh anggotanya puas terhadap kinerja meskipun kelompok masih sedikit melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah. Sebaliknya pada tipe yang terpusat, mereka cenderung terorganisasi secara cepat dalam memecahkan masalah dengan kesalahan yang relatif sedikit, kelompok tersebut sangat kuat dan stabil walaupun seluruh kegiatan kelompok itu belum tentu memuaskan semua anggotanya. Leavit mengatakan bahwasanya pemusatan ini dianggap karena posisi pemimpinnya yang fungsi utamanya menerima, mengorganisasi dan mengirim berita. Dalam hal ini, secara faktor kesemuanya terwujud dalam bentuk kegiatan belajar kelas yang selama ini diterapkan yaitu sentralisasi peran guru yang sangat besar. Selama ini, guru memang menjadi pusat komunikasi kelas dan mendominasi setiap kegiatan penyaluran informasi ini melalui penyampaian materi pelajaran, memberikan pertanyaan, mendeskripsikan penjelasan dan lain sebagainya.
Model komunikasi secara terpusat ini mengandung beberapa implikasi yaitu, pertama, struktur komunikasi kelas dimaksud paling tidak memuaskan seluruh anggota kelompok, kecuali anggota yang paling sentral (dalam hal ini adalah guru). Kedua, tipe kelompok ini dianggap paling produktif dalam menyelesaikan secara tepat tugas-tugas yang jelas strukturnya, akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan hasil tindakan orang yang memegang peranan sentral. Pola komunikasi kelompok ini sangat terpusat (highly centralized group) tampak sangat teratur dan efisien dikarenakan tindakan anggotanya yang pasif. Dengan kata lain, komunikasi yang terbentuk hanyalah komunikasi dengan pemimpinnya saja. Dalam sistem ini, pemegang peranan sentral akan banyak bisa belajar dan merasa puas dengan posisi dan kelompoknya akan tetapi efeknya, individu lain tidak banyak memperoleh kesempatan untuk belajar.
3.    Iklim Sosial di Kelas
Bagaimana guru mengontrol kelas? Kenapa ada situasi yang berbeda dalam kelas yang sama? Jika seorang guru sedabg menerangkan suatu pelajaran kepda muridnya pada suatu kelas, suasana kelas tampak terkendali. Kelas merupakan perwujudan masyarakat heterogen kecil di mana di dalamnya terdapat variasi komposisi dan hubungan antarpersonal yang melahirkan mekanisme interaksi sosial yang kontinu. Mekanisme ini terus berlanjut dala lingkup sosialnya (di kelas) dan secara faktual terakumulasi ke dalam bentuk-bentuk hubungan antara individu-individu di dalam suatu kelas ataupun hubungan kelompok. Hal terpenting adalah interelasi yang terjadi antara guru dengan murid yang melambangkan bentuk konkret dari suasana kelas dan membentuk suatu iklim sosial.
Pembentukan iklim sosial kelas sangat bergantung pada variasi hubungan guru-murid serta alur penerimaan informasi dan komunikasi yang kesemuanya dinaungi dalam sebuah koridor gaya kepemimpinan dariseorang guru, baik yang mengikuti kepemimpinan terpusat (sentralistik), demokratis maupun gaya kepemimpinan yang memberi kebebasan penuh (laissez faire) kepada para muridnya. Dariperpaduan itulah terbentuk berbagai macam iklim sosial di kelasyang merefleksikan bentuk hubungan vertikal kelas antara gurumuriddalam kegiatan belajar di dalam kelas yang sangat mempengaruhikeberhasilan siswa dalam kegiatan belajar ataupunbersosialisasi didalamnya.Menurut Faisal dan Yasik (1985) terdapat enam iklim sosialyang timbul di kelas yaitu sebagai berikut.
a.     Iklim Terbuka
Dalam iklim terbuka ini, tingkah laku guru menggambarkan integrasi antara kepribadian seorang guru sebagai individu dan peranannya sebagai pimpinan di dalam kelas. Dia selain memberikan kritik, juga mau menerima kritikan dari para siswa. Hubungan guru dengan siswa bersifat fleksibel sehingga suasana ini dapat mempertinggi kreativitas siswa karena mereka dapat bekerja sama dan berkreasi tanpa adanya beban mental. Kebijaksanaan yang diambil seorang guru biasanya memberikan kemudahan bagi setiap siswa untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Efeknya, setiap murid biasanya dapat memperoleh kepuasan dalam melaksanakan tugas hubungan ini serta dapat memperlancar jalannya organisasi di kelas maupun organisasi di sekolah yang lebih luas.


b.    Iklim Mandiri
Dalam bentuk ini, masing-masing mendasarkan pada kemampuan dan tanggung jawab yang mereka miliki. Para siswa mendapatkan kebebasan dari guru untuk mendapatkan kebebasan kebutuhan belajar dan kebutuhan sosial mereka. Mereka tidak terlalu dibebani dengan tugas-tugas yang berat dan menyulitkan mereka. Untuk memperlancar tugas siswa, seorang guru membuat prosedur dan peraturan yang jelas, yang dikomunikasikan di dalam kelas. Yang lebih esensial dalam iklim mandiri ini, antara guru dan siswa bekerja sama dengan baik, penuh tenggang rasa, dan penuh kesungguhan hati. Kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing membuat guru memberikan kelongggaran-kelonggaran sehingga kontrol yang ketat tidak diperlukan karena para murid dipercaya memiliki moral yang cukup tinggi.
c.     Iklim Terkontrol
Dalam iklim terkontrol ini, titik sentral kebijakan seorang guru adalah menekankan pada pencapaian prestasi siswa di kelas, tetapi di sisi lain justru mengorbankan kepuasan kebutuhan sosial siswa. Oleh karena tuntutan ini, para guru menjalankan komando mengajar secara kaku dan keras serta siswa diharuskan menjalankan kegiatan belajar dengan keras. Mereka akhirnya sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri sehingga tidak bisa mendapat kesempatan untuk membentuk hubungan kerja yang lebih akrab dan sosialitas tinggi. Hubungan pribadi sesama siswa jarang dilaksanakan karena mereka sibuk dengan pekerjaan atau tugas mereka sendiri-sendiri yang dituntut prestasi dan keberhasilan nyata. Fungsi pimpinan sangat dominan karena tidak adanya fleksibilitas dalam organisasi kelas tersebut. Setiap pembelajaran yang telah terjadwal dijalankan secara ketat dan full dan untuk menjaga keberlangsungan belajarnya guru menerangkan aturan yang keras dan disertai sanksi fisik atau nonfisik yang berlaku mulai saat itu juga.
d.    Iklim Persaudaraan
Pada jenis ini, hubungan yang terjadi antara guru dan siswa sangat erat, baik dalam kegiatan belajar maupun kegiatan di luar itu. Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan sosial sangat menonjol, tetapi umumnya guru kurang mempunyai kegiatan yang berorientasi pada fase oriented. Para siswa tidak dibebani dengan tugas-tugas yang menyulitkan, sebab guru berusaha agar para siswa dapat bekerja semudah mungkin dan merasa bahagia. Kelas merupakan satu ikatan keluarga sehingga di antara mereka banyak terjalin komunikasi dan saling menasihati. Pendekatan guru terhadap anak didiknya sangat personal walaupun masih memerankan diri mereka sebagai pimpinan. Dalam kelas seperti ini tidak banyak aturan yang digunakan sebagai pedoman sehingga akibatnya tugas belajar
kurang diperhatikan. Pengaruh lainnya, prestasi belajar kurang optimal karena tidak pernah mendapatkan kritik.
e.    Iklim Tertutup
Dalam model ini, seorang guru tidak memberikan kepemimpinan yang memadai kepada para siswa. Ia mengharapkan agar setiap siswa mengembangkan inisiatif masing-masing. Namun ia tidak memberi kebebasan kepada para siswa untuk merealisasikan inisiatif tersebut secara nyata karena tidak adanya keterbukaan dan komunikasi yang efektif. Antara siswa yang satu dengan yang lain kurang dapat bekerja sama dengan baik. Akibatnya, prestasi yang dicapai pun rendah karena seringkali timbul perbedaan persepsi dan pandangan tentang prestasi yang harus ditargetkan. Para guru menerapkan aturan-aturan yang semuanya bersifat sepihak dan kurang memperhatikan kepentingan siswa.

B.    TEORI RUANG KELAS
1.    Pendekatan Interaktif
Pendekatan interaksi memberikan perhatian yang khusus terhadap pengamatan pada metode pengajaran dalam mengelola ruang kelas yang efisien.
a.    Perilaku Dominatif versus integratif
Pendekatan interaksi memerhatikan bagaimana pengaruh perilaku dominatif  yang diperbandingkan dengan perilaku integratif terhadap anak.Guru, dalam perspektif ini, dipandang memiliki perilaku yang berbeda dalam memperlakukan murid atau peserta didik di ruang kelas. Perilaku dominatif memosisikan guru sebagai sebagai sumber kebenaran. Guru juga dipandang sebagai makhluk maha tahu terhadap segala sesuatu. Gurulah sebagai tokoh penentu tentang benar salah terhadap suatu hal, misalnya sikap, perilaku, aktivitas atau kerja.Sebaliknya, anak dianggap sebagai makhluk bodoh, yang senantiasa perlu bimbingan dan arahan dari guru.
Studi perilaku guru telah dilakukan oleh H.H.Anderson, namun studi tersebut, seperti yang dikutif oleh Robinson (1986:128), tidak sampai menjelaskan tentang perilaku seperti apa yang paling efisien dan efektif dalam mengajar di ruang kelas.


b.    Gaya kepemimpinan guru
Gaya kepemimpinan guru dapat mempengarui produktivitas anak-anak di ruang kelas. Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat dibagi sedikitnya dalam tiga jenis, yaitu autokratik, demokratik, dan laisser faire. Gaya kepemimpinan guru yang autukratik dicirikan dengan kepemimpinan yang otoriter, tidak memberikan ruang bertukar pandangan/pendapat terhadap sesuatu antara guru dan murid, dan tidak memberikan ruang ruang bagi suatu perbedaan terhadap sesuatu. Selanjutnya, gaya kepemimpinan guru yang demokratik ditandai dengan keemimpinan yang demokratis, adanya ruang untuk bertukar pikiran/pendapat/pandangan, dan kebaikan bersama dikontruksikan secara bersama melalui musyawarah. Adapun gaya kepemimpinan laisser-faire dikarakteristikan dengan kepemimpinan yang cuek dan ruang bertukar pandangan atau pendapat tidak diperlukan sebab peserta didik dibolehkan melakukan apa saja apabila dia memandang sesuatu ini penting untuk dilakukan.
Gaya kepemimpinan demokratik diajukan sebagai suatu bentuk gaya yang perlu dikembangkan disekolah. Walaupun produktifitas anak paling tinggi dibawah gaya kepemimpinan autokratik apabila ia hadir dirang kelas. Namun bila ia tidak ada, produktifitasnya rendah, seperti halnya anak-anak dibawah pengasuhan guru yang berpola kepemimpinan laisser-faire.
Gaya kepemimpinan guru disekolah dapat mempengaruhi cara berpikir, merasa dan bertindak siswa dikemudian hari. Bagi siswa yang mengganggap apa-apa yang diterima, diperoleh, dan dipelajari di sekolah merupakan suatu yang baik untuk dijadikan pedoman, referensi atau ujukan dimasa akan datang, maka sikap dan perilaku sosial budaya dan politik siswa ini, secara teoritis hipotesis akan juga bias cermin gaya kepemimpinan gurunya ketika di masa sekolah dahulu. Seberapa jauh bias ini, tergantung pula konteks sosialisasi lainnya , baik primer maupun sekunder.
2.    Pendekatn interpretatif
Realitas sosial termasuk ruang kelas, dipahami sebagai kenyataan interaksional yang dipenuhi berbagai simbol. Salah satu proses interpretiatif dipahami oleh W.I.Thomas(1966) sebagai definisi situasi. Bagi Thomas suatu stimulus(rangsangan) tidak langsung dilanjuti dengan tanggapan(respons), tetapi melewati suatu proses penilaian dan pertimbangan melalui pemberian makna terhadap suatu stimulus yang diterima.
Jadi, ketika suatu definisi situasi terbentuk, maka ia digunakan terus meneus digunakan, sehingga sukar untuk mengubahnya. Dengan cara pandang demikian, maka sekali guru mendefinisikan situasi hubungannya dengan seorang murid sebagai seorang bodoh,maka definisi ini akan terus digunakan, sehingga sukar mengubahnya , meskipun murid ini tidak lagi bodoh, misalnya.
Dengan cara pandang definisi sosial, maka pendidikan , menurut Waller, merupakan seni menanamkan definisi situasi yang berlaku pada kaum muda, dan yang sudah diterima oleh golongan penyelanggara sekolah. Dengan demikian , sekolah merupakan suatu alat yang ampuh untuk melakukan kontrol sosial.
3.    Pendekatan Radikal
Salah satu teori yang terpentingdalam pendekatan radikal adalah teori pelabelan(teori labelling). Teori ini dikatakan radikal karena ia mempertanyakan sesuatu yang dipandang”memang seharusnya demikian” dan memberiakan alternatif cara pandang dalam melihat sesuatu. Teori pelabelan memiliki akar pemikiran yang sama dengan teori definisi situasi dari W.I.Thomas yaitu perspektif interaksionisme simbolik.
Teori pelabelan memberikan penekanan pada signifikan label(nama,reputasi) yang diberikan pada diri seseorang. Oleh sebab itu ,label dipandang menjadi bagian dari konsep diri seseorang yang membawa seseorang ke arah suatu persepsi , prasangka atau pentimpangan tertentu yang dikenakan pada dirinya.
Dalam teori ini, korban pemberian label dilihat sebagi korban, yaitu korban penggunaan kekuasaan yang semena-mena deri pemegang kekuasaan, suatu bentuk dari abuse of power(penyalahgunaan kekuasaan).
Selanjutnya , apa konsekuensi pemberian label terhadap murid? Dampak pemberian suatu label terhadap murid dalah persepsi, prasangka atau penyimpangan tertentu yang dikenakan pada dirinya.Persepsi dan prasangka ini menciptakan self fulfilling prophecy(pembenaran ramalan pribadi), yaitu suatu ramalan yang mengawali serangkaian peristiwa, yang akhirnya membuat ramalan ini benar-benar menjadi kenyataan, sehingga meraka dikelompokkan sama seperti apa yang mereka persepsikan dan prasangka seperti awalnya. Sementara itu, kurangnya pilihan menyebabkan orang yang dilabel lama kelamaan memandang dirinya sendiri sebagaimana orang lain memandangnya.



3 komentar: