GENDER DAN PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN MASYARAKAT DESA
Gender adalah peranan atau tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang diciptakan atau dibentuk dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun budaya. Pengertian lain mengenai gender yaitu perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Deangan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
Belakangan ini ramai dibicarakan tentang kesetaraan gender yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun yang perlu digaris bawahi adalah kesetaraan gender bukan berarti jumlah laki-laki dan perempuan harus sama dalam setiap kegiatan dan tidak pula memperlakukan laki-laki dan perempuan sama persis. Kesetaraan gender adalah memerhatikan dan menghargai perbedaan sifat, sikap, aspirasi, dan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan. Ini berarti hak, kesempatan, dan tanggung jawab tidak tergantung pada apakah mereka lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Laki-laki dan perempuan bisa hidup dalam kesetaraan guna memenuhi tuntutan hidup.
Kesetaraan gender juga terkait dengan bidang pendidikan yang memungkinkan memberi kesempatan kepada laki-laki dan perempuan untuk mencapai potensi mereka. Kesetaraan gender dalam pendidikan meningkatkan akses terhadap pendidikan yang bermutu, relevan dan berdaya saing.
Kesetaraan gender dalam pendidikan mungkin sudah mulai terjalin kuat di lingkungan perkotaan, namun lain halnya jika kesetaraan gender dilihat melalui kaca mata masyarakat desa. Dalam lingkungan pedesaan masih banyak sekali dijumpai anak-anak gadis usia sekolah yang harus berhenti mengenyam bangku sekolah setelah menempuh pendidikan setara SMP.
Menurut beberapa pandangan masyarakat desa menyebutkan bahwa seorang anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi. Mereka sudah merasa puas menyekolahkan anak-anak perempuannya setelah bisa membaca dan menulis. Mereka berpendapat bahwa perempuan hanyalah “konco wingking” yang berarti perempuan nantinya hanyalah sekedar sebagai pendamping dan pengabdi bagi laki-laki.
Namun jika dipahami lebih dalam lagi ternyata ketimpangan kesetaraan gender dalam pendidikan masyarakat desa tidak sepenuhnya karena faktor pandangan sempit tentang peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Kendala ekonomi masyarakat desa yang kebanyakan bekerja sebagai petani juga menjadi penyebab utama ketimpangan kesetaraan gender itu. Logikanya adalah jika sebuah keluarga dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan bahkan cenderung kurang tentu akan berpikir seribu kali jika ingin menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang tinggi.
Dengan demikian pemecahan masalah kesetaraan gender dalam pendidikan masyarakat desa tidak hanya melalui penekanan tentang arti penting sebuah pendidikan bagi anak-anak baik laki-laki dan perempuan, namun juga diperlukan sebuah solusi lanjut tentang faktor ekonomi masyarakat desa yang sebagian besar sebagai petani miskin.
Pada tahun 2001, nilai Indeks Pembangunan Gender (Gender-related evelopment Index, GDI) Indonesia menempati urutan ke-91 dari 144
negara. Dengan hal ini berarti ketidaksetaraan gender di berbagai bidang
pembangunan masih merupakan masalah yang dihadapi Indonesia pada
masa mendatang. Dalam biang pendidikan, walaupun kebijakan
pendidikan di Indonesia tidak membedakan akses menurut jenis kelamin,
dalam kenyataannya perempuan masih tertinggal dalam menikmati
kesempatan belajar. Sebagai contoh, pada tahun 1980, hanya 63%
penduduk perempuan yang melek huruf, sementara laki-laki 80%.
Sepuluh tahun kemudian persentase melek huruf untuk perempuan
meningkat menjadi 79% dan laki-laki 90%. Pada tahun 1998, kesenjangan
melek huruf antara laki-laki dan perempuan semakin mengecil, yaitu laki-
laki 93,40% dan perempuan 85,50%. Namun jika dilhat dari jumlahnya,
masih terdapat 11,7 juta perempuan yang buta huruf dibandingkan
dengan 5,2 juta laki-laki.
Perbedaan partisipasi antara perempuan dan laki-laki juga dapat dilihat
menurut jenjang pendidkan. Sensus Penduduk 1990 menunjukkan bahwa
ada 32% laki-laki lulusan Sekolah Dasar(SD), sementara perempuan
lulusan SD hanya 28%. Pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP), terdapat sekitar 12% laki-laki lulusan SLTP dan hanya 9%
perempuan lulusan SLTP. Pada tingkat Sekolah Menengah (SM), terdapat
12% laki-laki lulusan SM, sementara perempuan lulusan SM hanya 8%.
Pada jenjang perguruan tinggi (PT), ada 2% laki-laki lulusan PT dan hanya
1% perempuan lulusan PT (Biro Pusat Statistik, 1992). Pada tahun 1999 terjadi perubahan. Penduduk perempuan yang berhasil menamatkan SD
sudah mencapai 33,40%, sementara penduduk laki-laki yang lulus SD
hanya 32,50%. Perempuan yang berpendidkan SLTP 13,00%, sedikit
lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama, yaitu 15,00%.
Penduduk perempuan yang berpendidikan SM sebesar 11,40%, lebih
rendah dari penduduk laki-laki yang berpendidikan sama yaitu 15,70%.
Sementara itu, penduduk penduduk perempuan berpendidikan sarjana
sudah mencapai 2,19%, tapi masih lebih rendang dibanding laki-laki yang
berpendidikan sama yaitu 3,20%.
Ketidaksetaraan gender juga terlihat dari angka partisipasi berdasarkan
kelompok usia maupun jenjang penddikan. Pada tahun 1991, Angka
Partisipasi Murni (APM) laki-laki adalah 84%, sedikit lebih tinggi dari APM
perempuan yang 83 %. Pada tahun 1997, APM perempuan di tingkat SD
adalah 92%, lebih rendah dari APM laki-laki yang 97,10% (Pusat
Informasi Depdiknas,!998). pada tahun 1997, APM laki-laki di SLTP adalah
57,11%, sedangkan APM perempuan 54,70%. Di tingkat SM, APM laki-laki
30,20%, sedangkan APM perempuan 29,80%.
Fenomena ketimpangan gender dalam bidang pendidikan dalam
masyarakat Indonesia memang masih sangat kuat. Dalam banyak
keluarga, anak perempuan tidak menjadi prioritas untuk melanjutkan
pendidikan. Pada sekolah kejuruan, ada stereotip bahwa siswa perempuan
tidak cocok dengan sekolah kejuruan teknologi. Pada perguruan tinggi,
mahasiswa perempuan dipandang lebih cocok dengan ilmu-ilmu lembut,
seperti ilmu-ilmu sosial, ekonomi, sastra; dan kurang cocok dengan
teknologi. Demikian pula jumlah tenaga pendidik perempuan lebih banyak
pada sekolah dasar dan semakin berkurang pada sekolah
atau perguruan tinggi.
. Gender Dalam Kurikulum dan Proses Pendidikan
Data dan informasi yang dikumpulkan melalui profil gender seperti ini
sangatlah tidak memadai untuk dapat mengungkapkan kesenjangan
gender secara menyeluruh yang terjadi dalam kurikulum dan proses
pengelolaan pendidikan. Namun, dalam berbagai literatur telah banyak
dibahas bagaimana peran-peran gender yang terjadi dalam proses
pendidikan yang cenderung lebih bias laki-laki, dalam proses
pembelajaran. Dalam studi ini kesenjangan gender yang terjadi dalam
proses pengelolaan pendidikan dan pembelajaran di sekolah dapat dilihat
dari berbagai indikator, namun karena berbagai keterbatasan yang ada,
studi ini hanya mengungkapkan beberapa gejala yang menarik dalam (1)
gender dalam proses pengelolaan pendidikan, dan (2) isi kurikulum
sekolah dan buku pelajaran.
1). Gender Dalam Proses Pengelolaan Pendidikan
Yang dimaksud dengan proses pengelolaan pendidikan adalah
keseluruhan proses dan mekanisme pendayagunaan sumber daya
pendidikan untuk mengatur jalannya sistem pendidikan nasional pada
setiap bentuk kegiatan pengelolaan pendidikan dari mulai proses
pengambilan keputusan, perencanaan, pengelolaan sampai dengan
pelaksanaan operasional pendidikan. Setiap keputusan yang diambil oleh
pimpinan, sejak tingkatan strategis sampai dengan tingkatan operasional,
harus dijabarkan secara konsisten ke dalam langkah-langkah operasional
pengelolaan, sehingga pelaksanaan pendidikan benar-benar
mencerminkan tujuan kebijaksanaan. Oleh karena itu, kesenjangan
gender yang terjadi dalam keseluruhan proses pengelolaan dan
pelaksanaan setiap satuan pendidikan, akan sangat dipengaruhi oleh
keputusan yang diambil oleh pimpinan. Jika bias gender terjadi pada suatu
keputusan strategis yang dijadikan sebagai landasan operasional
2) Kurikulum Sekolah dan Buku Pelajaran
Yang dimaksud dengan kurikulum sekolah adalah keseluruhan proses
pembelajaran yang berlangsung di setiap satuan pendidikan, yang secara
langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap intensitas siswa
belajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang sudah
ditetapkan, atau dapat disingkat dengan istilah "proses pembelajaran".
Kualitas dan kuantitas proses pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik faktor anak, faktor fasilitas sekolah, guru, lingkungan belajar,
dan muatan kurikulum yang termuat dalam buku pedoman kurikulum
yang didistribusikan ke setiap satuan pendidikan. Namun di antara
berbagai faktor tersebut, salah satu faktor panting artinya adalah isi
kurikulum yang tertulis dalam bentuk tujuan-tujuan kurikuler, pokok-
pokok bahasan serta isi atau materi dan contoh-contoh dalam buku
pelajaran pada setiap mata pelajaran yang diberikan di sekolah.
Pengaruh isi kurikulum terhadap terjadinya kesenjangan gender dalam
proses pendidikan di sekolah perlu diamati secara seksama karena apa
yang berlangsung dalam proses pembelajaran sangat sulit digambarkan
dan dibuktikan dengan angka-angka. Namun demikian, terdapat beberapa
indikator panting yang dapat dijadikan sebagai proksi dari permasalahan
gender dalam proses tersebut. Di antara indikator yang sangat panting
adalah proporsi perempuan yang berpartisipasi dalam pengembangan
kurikulum dan buku pelajaran.
Salah satu faktor yang menyebabkan bias laki-laki dalam pendidikan
adalah disebabkan karena laki-laki sangat dominan dalam mempengaruhi
isi kurikulum. Isi kurikulum yang umumnya telah dituangkan dan
dijabarkan ke dalam materi pelajaran yang ditulis pada buku-buku
pelajaran itu merupakan faktor yang sangat kuat pengaruhnya terhadap
terjadinya proses pembelajaran yang kurang tanggap gender. Para
pengembang kurikulum. dalam berbagai bidang studi umumnya
didominasi oleh laki-laki, walaupun bukan kesengajaan, karena peran
perempuan sebagai pengembang kurikulum sangat kecil, maka isi
kurikulum cenderung disusun dari sudut pandang laki-laki. Komposisi
perempuan yang berprofesi sebagai pengembang kurikulum sangat
rendah, sehingga dimungkinkan bahwa segala kepentingan yang
menyangkut perempuan kurang disuarakan.
KONDISI RIIL MASYARAKAT DESA
Kajian tentang matapencaharian masyarakat desa di Bali, terutama yang bertalian dengan sistem pertanian lahan kering maupun lahan basah, telah banyak dilakukan oleh pakar dari dalam maupun mancanegara. Hal ini dapat dilihat misalnya dari apa yang dilakukan oleh Geertz (1959, 1977), Geertz dan Geertz (1975), Geertz (1981), Pitana ed., (1993), Grader (1969), Duff-Cooper (1990), Atmadja (1998), Teken et al. (1988), Covarrubias (1972), Eiseman (1988, 1990), Korn (1933), dll. Aneka kajian tersebut amat berharga, karena mampu memberikan pemahaman yang luas dan mendalam tentang agroekosistem yang berkembang pada masyarakat pedesaan di Bali. Berkat kajian tersebut, Bali dengan sistem subaknya, amat terkenal. Bahkan, keterkenalan itu menimbulkan generalisasi, yakni Bali diidentifikasikan dengan subak. Padahal dalam masyarakat Bali ada sekelompok anggota masyarakat yang menekuni aktivitas kerajinan.
Kajian yang dilakukannya cendrung terfokus pada kaum laki-laki sebagai subjek penelitiannya. Sehingga informasi yang diperoleh terbatas hanya mengungkapkan visi, persepsi laki-laki, sehingga sangat sarat dengan dominasi budaya patriarki. Padahal dalam kehidupan masyarakat tidak saja laki-laki yang memberikan sumbangan bagi dinamika dan keberlangsungan system sosiokultural di Bali, tetapi juga kaum wanita. Kondisi semacam itu dapat dikatakan merupakan suatu proses pemarjinalan kaum perempuan.
Kemarginalan kaum perempuan pada masyarakat di Bali, baik secara akademik , sosiokultural, maupun ekonomik – pembangunan, tentu saja memerlukan penanggulangan agar pemahaman terhadap berbagai aspek tentang kehidupan mereka menjadi lebih luas, mendalam dan konprehensif. Berdasarkan pemahaman itu bisa pula dipakai sebagai acuan untuk memberdayakan mereka ke arah suatu kemajuan yang berbasiskan pada kebutuhan nyata pada masyarakat pengerajin . Untuk itulah, maka kajian terhadap etos kerja wanita dalam kehidupan masyarakat pengerajin di Bali tidak saja penting, tetapi juga amat diperlukan, baik dilihat dari segi akademik maupun kebutuhan pembangunan.
Bertitik tolak dari kenyataan itulah akan dikaji etos kerja wanita pada masyarakat petani di Desa Tojan Klungkung, Bali. Di desa ini terdapat sebanyak 100 kepala keluarga pengerajin yang menekuni bidang usaha kerajinan tenun, kramik, lukis dan perak.
Para istri melakukan aktivitas di luar pertanian, yaitu sebagai pengerajin. Hasil kerajinannya selanjutnya mereka jual ke pasar Klungkung atau kepada para tengkulak.
Artadi (1993) menunjukkan bahwa secara umum wanita Bali termasuk pekerja keras. Gejala ini berkaitan dengan keberlakuan ideologi patriarki sebagaimana tercermin dari adanya sistem kekerabatan patrilinial pada masyarakat Bali. Sistem ini mengakibatkan wanita yang telah menikah harus masuk dan tinggal di lingkungan kerabat suaminya. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, ideologi patriarhi mengakibatkan pula wanita tersubordinasi oleh laki-laki ataupun suaminya. Kondisi ini mendorong wanita bekerja keras agar eksistensinya dihargai oleh suami maupun lingkungan keluarganya (Atmadja, 1998). Sehingga kehidupan mereka tidak mutlak tergantung pada sang suami. Bahkan, berkat kemandirian itu status mereka bisa pula terangkat di mata suami maupun lingkungan keluarganya. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa ada kesepakatan bahwa wanita Bali tergolong wanita yang ulet berkerja guna mensejahteraan kehidupan rumah tangganya.
Dalam perspektif sistem ekonomi kapitalis pekerjaan yang dianggap bernilai tinggi dalam masyarakat adalah pekerjaan yang mampu menghasilkan uang tunai. Apalagi di era sekarang ini, manusia terjerat pada budaya konsumen, bahkan telah mengarah pada pembentukkan masyarakat yang menganut sistem ekonomi libodo, maka kepimilikan akan uang agar bisa memenuhi nafsu mereka untuk mengkonsumsi aneka jasa dan barang yang persediaan melimpah di pasar, menjadi amat penting (Lury, 1998; Piliang, 1998, 1999). Kondisi masyarakat seperti ini dapat mendorong laki-laki maupun wanita untuk bekerja lebih keras lagi, agar nafsu mereka mengkonsumsi barang dan atau jasa terpenuhi secara berkelanjutan, bahkan dalam kondisi yang semakin meningkat, baik dilihat dari kualitas maupun kuantitasnya.
Bila gagasan ini dibandingkan dengan perilaku istri pada masyarakat pengerajin di desa Tojan, tampaknya tidak jauh berbeda. Hal ini mengingat bahwa keterlibatan mereka dalam kehidupan ekonomi tidak saja di sector domestic, tetapi juga disektor publik/ nafkah. Wijaya (1995) menunjukkan di beberapa daerah umumnya wanita amat bergairah sebagai pekerja rumahan, karena kegiatan tersebut bisa dipadukan secara elastis dengan kegiatan domestik. Karena itu, idiom wanita Bali yang menyatakan bahwa mereka harus bekerja keras agar bisa memiliki pendapatan secara mandiri sepertinya tidak terabaikan oleh para istri petani/pengerajin di desa Tojan.
Gejala ini menarik untuk ditelaah, terutama bertalian dengan latar belakang yang menyebabkan mereka begitu antusias menggunakan peluang kerja yang tersedia. Dengan mengacu kepada Weber (1979), Bellah (1992) dan Mubyarto et al. (1991) gejala ini tidak terlepas dari superstruktur ideologi yang mereka miliki, terutama bertalian dengan etos kerja. Karena, etos kerja yang menentukan sikap dan perilaku manusia dalam hal menangani suatu pekerjaan. Namun dalam kenyataannya, faktor lain yang bersumber dari struktur sosial dan infrastruktur material, tentu tidak bisa diabaikan, karena bisa pula memberikan penguatan atau kendala terhadap etos kerja (Alatas, 1988; cf. Sanders, 1993; Burn, Baumgartner dan Devilie, 1987). Karena itu, usaha untuk menjelaskan antusiasme para istri petani terjun ke sektor nafkah, dengan sendirinya tidak hanya dicari pada etos kerja, melainkan perlu pula ditelusuri pada aspek-aspek lain yang tercakup di dalam struktur sosial dan infrastruktur material yang mereka miliki.
Antusiasme mereka terjun ke sektor nafkah dapat mengakibatkan sumbangan wanita terhadap aset ekonomi rumah tangga mereka menjadi amat berarti. Hal ini tentu memperngaruhi pula posisi mereka di lingkungan keluarga, bahkan bisa mengindarkan keberadaanya tersubordinasi oleh laki-laki atas wanita, sebagaimana yang diamanatkan dalam ideologi patriarki. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Sanderson (1993) atau Marx (dalam Elster 2000; Magnis-Suseno, 1999) bahwa ketimpangan penguasaan aset antara laki-laki dengan wanita bisa memperkuat subordonasi laki-laki terhadap wanita. Sejalan dengan gagasan ini menarik pula untuk dikaji tentang posisi politis wanita pada masyarakat pengerajin di desa Tojan sebagai implikasi dari keterlibatan mereka dalam memberikan sumbangan kepada aset keluarga mereka.
pendidikan, maka akan mengakibatkan terjadinya bias gender yang
semakin melebar, pada tingkatan operasional.
Dalam tingkatan yang paling strategis, kesenjangan dalam mekanisme
pengelolaan pendidikan terletak pada partisipasi perempuan di dalam
proses pengambilan keputusan, sejak tingkatan nasional, provinsi,
kabupaten, sampai dengan satuan pendidikan di lapangan. Peran
tradisional perempuan dalam keluarga yang terlanjur sudah
dikonstruksikan dengan fungsi reproduktifnya, secara konsisten tercermin
pula pada struktur jabatan struktural di lingkungan Departemen
Pendidikan Nasional menurut gender. Jumlah perempuan, secara
keseluruhan, sampai saat ini baru dapat mengambil posisi yang sangat
kecil dalam melaksanakan peran-peran mereka di dalam pengelolaan
pendidikan nasional. Tabel 2.10 menunjukkan bahwa jumlah perempuan
yang menduduki jabatan struktural pada tahun 2003 masih sangat
rendah, mulai dari Eselon I s/d Eselon V. Hal yang sama juga terjadi pada
jabatan Fungsional Umum, dimana laki-laki sangat dominan dengan angka
70,5%. Dari kenyataan ini menunjukkan bahwa partisipasi perempuan
dalam proses pengambilan keputusan di lingkungan lembaga-lembaga
resmi pendidikan nasional masih sang at rendah, bahkan boleh dikatakan
kurang berarti. Padahal jabatan struktural dalam lingkungan birokrasi
pendidikan memegang kunci utama khususnya dalam melahirkan
kebijaksanaan strategis yang dapat dijadikan landasan untuk
mengarahkan berbagai kebijakan operasional pada tingkatan-tingkatan
jabatan yang lebih rendah termasuk mereka yang beroperasi di lapangan.
Tabel 2.10 juga menunjukkan, di samping kecil proporsinya, gejala lain
menunjukkan bahwa semakin tinggi jabatan struktural, semakin kecil
partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Proporsi
perempuan yang hanya sebesar 21,50% yang menduduki jabatan eselon
V, secara konsisten semakin mengecil proporsinya untuk posisi jabatan-
jabatan yang lebih tinggi hingga jabatan eselon I, yang hanya mencapai
8,50% saja. Gejala ini menunjukkan bahwa kesenjangan gender yang
terjadi dalam sistem pengelolaan pendidikan di Indonesia sangatlah
mendasar karena perempuan hanya menempati posisi sebagai penerima
keputusan yang harus tunduk terhadap kebijaksanaan apapun yang
ditentukan oleh para pejabat birokrasi, yang umumnya dikuasai oleh laki-
laki. Keadaan ini akan semakin lebih diperparah lagi, jika perempuan yang
proporsinya sangat kecil itu, juga belum memiliki wawasan gender seperti
yang diharapkan.
Dalam birokrasi tingkatan menengah, para pejabat Eselon III dan IV
perempuan yang berperan sebagai pemimpin pengelolaan pendidikan
sehari-hari sejak tingkat pusat sampai dengan daerah menduduki posisi
yang sangat kecil dan kurang menentukan. Proporsi perempuan yang
menduduki jabatan struktural tingkatan ini masin-masin hanya 13,2% dan
21,6%, suatu jumlah yang sangat tidak rasional dalam kaitan dengan
perimbangan kekuatan menurut gender dalam menggerakan operasional
pendidikan sehari-hari. Dapatlah disimpulkan bahwa mulai dari proses
pengambilan keputusan tertinggi di lingkungan lembaga-lembaga
pemerintah hingga para penentu kebijakan operasionalnya, kaum laki-laki
masih memegang peran yang sangat dominant dibandingkan kaum
perempuan, Kondisi ini akan mempertegas berbagai dugaan yang
berkembang saat ini bahwa sangatlah wajar jika kesenjangan gender akan
tetap bertahan sebagai permasalahan yang bersifat struktural
Rabu, 23 Mei 2012
Rabu, 02 Mei 2012
Sosiologi ditafsirkan kembali
BAB I
SOSIOLOGI SEBAGAI CARA PANDANG
Dalam alam modern ini, berbagai institusi dan kelompok sosial, bahkan individu bergerak dengan cepat dari keadaan kekanak-kanakan ke keadaan pikun, dengan masa peralihan yang sangat singkat, demikian pula dalam disiplin ilmu sosiologi. Para sosiolog pada tahun 1950-1960 baru saja menyadari tentang profesi baru mereka, sekarang para sosiolog sepertinya banyak menghabiskan waktu untuk meyakinkan keadaan profesi mereka dan bekerja di lingkungan akademik dengan kesulitan ekonomi yang parah.Bahkan pada akhirnya para sosiolog banyak mempengaruhi kelompok intelektual di Eropa Barat dan Amerika Utara.
Fakta bahwa sosiolog kurang diperhitungkan oleh ahli lain lebih mudah diatasi daripada keraguan para sosiolog itu sendiri terhadap profesi mereka. Topik yang dibahas sekarang lebih menyangkut pada pemahaman diri yang tepat atas disiplin sosiologi itu sendiri. Sosiologi selama ini dan yang akan datang merupakan suatu pendekatan yang sah, bahkan penting terhadap realitas kehidupan kolektif. Salah satu ciri sosiologi yang inhern adalah pengakuan yang rendah hati terhadap realitas, menepis khayalan termasuk yang berasal dari sosiologi itu sendiri.
Sosiologi pada awalnya bukan saja merupakan suatu pendekatan baru yang mempelajari masyarakat, tetapi benar-benar merupakan bagian dari penemuan gejala-gejala masyarakat itu sendiri. Albert Solomon mengatakan “ lebih masuk akal untuk memahami disiplin sosiologi sebagai satu langkah dalam perkembangan perspektif yang dengan tepat dapat disebut bersifat sosiologis (sociological)”, berbeda dengan ilmu pengetahuan modern dan ilmu humaniora lainnya; fisika, biologi, ekonomi, hukum, politik, semua sudah diamati terlebih dahulu sebelum lahir ilmu-ilmu modern tersebut.
Persepsi sosiologi awalnya adalah persepsi dinamika otonom; masyarakat adalah suatu nama untuk sesuatu yang berlangsung menurut kaidah-kaidah yang masih harus ditemukan dibawah struktur-struktur kolektif sebagaimana didefinisikan “secara resmi oleh disiplin normatif seperti teologi, filsafat dan hukum”.Persepsi sosiologi berikutnya adalah bahwa sosiologi merupakan suatu cara pandang terhadap dunia segera setelah menemukan objek penyelidikannya. Seperti halnya R.Merton menciptakan dua istilah fungsi lembaga yaitu fungsi manifest ; fungsi yang ditentukan secara resmi dan fungsi latent yaitu fungsi yang terselubung (ipso facto). Bahwa dibawah bangunan yang nampak dalam dunia manusia ada struktur yang kepentingan dan kelembagaan yang tersembunyi. Yang nyata bukanlah merupakan keseluruhan cerita, tetapi yang tersembunyi haruslah dipelajari, atau dengan kata lain ” dunia bukanlah sebagaimana nampaknya”.
Secara intrinsik sosiologi memiliki karakter subversif terhadap “tatanan yang baik” yang disahkan dengan definisi-definisi resmi. Hal ini berlaku tanpa memperdulikan apakah seorang sosiolog “bermaksud” subversif atau tidak. Seperti pada masa sosiologi klasik, Emille Durkheim, Max Weber, Vilfredo Pareto walaupun dianggap sebagai tokoh konservatif tetapi mereka adalah tokoh reformis yang lunak dengan pemikiran-pemikiran mereka yang bersifat menggoyahkan dan mengganggu serta membuat marah kepada mereka yang memegang teguh “aturan yang ditentukan secara resmi”.
Kekhasan sosiologi adalah negatif dan secara paradoksal. Justru dalam negasilah sosiologi dapat menyumbangkan yang terbaik dalam pendirian positif. Para sosiolog selalu berselisih dengan disiplinnya sendiri jika ingin memainkan peran sebagai pembela (berbuat sebagai sosiolog). Perspektif sosiologi didasarkan pada rasionalitas, itulah sebabnya sosiologi pada tahap awal memahami dirinya sebagai suatu science/ilmu, tetapi pemahaman diri ini akan selalu berada dalam ketegangan tertentu karena ada dorongan “yang bersifat menelanjangi” atau negatif dari perspektif sosiologi. Para sosiolog selalu tergoda untuk menerapkan pandangan mereka demi “perbaikan” rasionalitas masyarakat. Motif ini menjadi lebih mendesak lagi dalam konteks sekulerisasi, dimana norma-norma agama mulai memudar pengaruhnya dan makin pentingnya penataan ulang masalah-masalah insani dengan cara rasional.
Pada abad XX modernitas, rasionalitas dan sekuler berada dalam kondisi krisis. Sosiologi merasa tidak dapat kembali kepada imam zaman pencerahan. Dikatakan oleh Max Weber bahwa ini adalah situasi sulit. Seseorang mencoba melihat dunia sejelas mungkin dan menderita “kekecewaan” radikal. Sekalipun demikian ia tetap bertekad melakukan intervensi agar lebih manusiawi”. Inilah alasan pertama relevansi Weber yang disebut “prise de conscience” sosiologi.
Fokus terhadap modernitas menyiratkan sesuatu usaha untuk melihat masyarakat masa kini sebagai suatu keseluruhan. Maknanya bahwa perspektif sosiologis adalah komprehensif dan komparatif. Sosiolog yang baik selalu memiliki rasa ingin tahu yang tidak pernah terpuaskan bahkan mengenai hal-hal yang remeh sekalipun dari perilaku manusia. Rasa ingin tahu tersebut mendorong untuk melaksanakan penelitian yang sulit terhadap beberapa sudut kecil dunia sosial yang dianggap remeh oleh orang lain.
Sosiologi harus kembali ke persoalan-persoalan besar mengenai susunan dunia modern. Sosiologi sebagai suatu disiplin harus memperoleh kembali suatu visi mengenai keseluruhan masyarakat kontemporer. Seperti yang oleh Marcel Mauss disebut Le Fait Sosial Total (pembentukan masyarakat seutuhnya). Artinya panggilan seorang sosiolog pada hakekatnya merupakan panggilan Kosmopolitan. Revitalisasi sosiologi akan berarti diatas segalanya jika merupakan suatu perspektif tertentu mengenai cara pandang terhadap dunia. Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan bukan seperangkat doktrin dan sumber-sumbernya tidak boleh kebal terhadap penelanjangan.
Weber memiliki suatu pemahaman yang khas tentang arti dari studi masalah-masalah insani dan gejala-gejala insani yang tidak dapat berbicara sendiri tetapi harus ditafsirkan. Penafsiran tersebut memiliki suatu moral, bahkan dimensi kemanusiaan yang meliputi (1)penghormatan terhadap orang lain (2)maksud-maksud mereka(3)harapan-harapan(4)cara hidup (5) tekad melihat dunia sosial seperti adanya (tanpa memandang harapan dan rasa takut seseorang melihat das sein dan das solen menurut kepercayaan mereka).
Emille Durkheim dan semua mashab sosiologi perancis memperlihatkan suatu semangat yang lebih dekat dengan semangat gerakan pencerahan. Metodenya masih Positivis, seperti ilmu pengetahuan alam. Meskipun masyarakat dengan jelas dipahami sebagai suatu realitas sui generis, metode sosiologi tidak ditentukan oleh kualitas masyarakat itu sendiri, tetapi oleh suatu konsep abstrak mengenai bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan. Durkheim tidak memisahkan antara das sein dengan das solen dalam realitas sosial
Tradisi Marxis berbeda dengan Durkheim, terdapat erosi yang sama dalam garis das sein dan das solen dalam masyarakat, alasannya bukanlah ideal positifis ilmu pengetahuan yang disebabkan karena masyarakat dilihat dari aspek filsafat sejarah, ke satu titik dimana pemahaman ilmiah dianggap tidak mungkin kecuali sebagai integral dar prosedur filosofis. Pada prosedur ini berdirilah suatu visi utopia masa depan, yang tanpa itu keseluruhan prosedur tersebut akan kehilangan sifatnya yang masuk akal.
Tidak ada metode ilmiah yang dapat menelaah semua realitas manusia secara komprehensif dan akhirnya tidak problematis. Sebaliknya, ilmu pengetahuan memandang objeknya dalam suatu cara yang selektif, parsial, ipo facto, problematis. Ilmu pengetahuan tidak akan pernah dapat memberikan suatu patokan moral untuk suatu tindakan, tetapi suatu pemahaman yang sama untuk menghindarkan utopianisme yang melihat masa kini sebagai menuju ke masa depan yang tak terelakkan dan menyelamatkan. Jika ilmu pengetahuan tidak dapat memberikan moralitas , maka lebih tak dapat lagi memberikan doktrin penyelamatan. Pemahaman ilmu pengetahuan dan sosiologi sebagai suatu ilmu pada akhirnya akan menjelaskan perbedaan antara analisis-analisis intelektual, perbedaan antara refleksi dan realitas kehidupan.
Positivisme dan utopianisme dewasa ini merupakan dua kubu yang dominan dalam sosiologi yang mewakili penyimpangan dalam keilmuan sosiologi dalam bidang kerja maupun metodenya, hal ini akan menimbulkan penyangkalan-penyangkalan pada struktur koqnitif disiplin sosiologi, tetapi juga memberikan jalan pintas dan jalan keluar yang mudah dari berbagai ketegangan antara das sein dan das solen.
Dunia dewasa ini jauh berbeda pada masa hidup Weber. Proses rasionalisasi yang oleh Weber dianggap sebagai suatu modernitas, masih berkembang saat ini dan menjadi suatu fenomenal global yang nyata. Sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya tidak dapat menghindar dari perkembangan tersebut. Positivisme dalam gerakan semangat pencerahan mencakup pula sikap modernisasi, dan individu-individu dengan pemahaman positivisme tentang sosiologilah yang sangat rawan terhadap modernisasi, karena nalar kritis mereka dapat roboh dengan tiba-tiba dan menyeluruh, manakala kesulitan-kesulitan eksistensial mencapai tingkat tertentu. Pada saat kritis tatanan sosial telah menjadi semakin dalam dan di berbagai tempat telah bersifat bencana. Oleh karena itu suatu reprise de conscience (pengambilan sikap kembali) sosiologi akan mencakup suatu pengakuan akan batas-batas.
Sosiologi seperti apapun bentuknya, merupakan suatu cara pandang yang amat khas tentang dunia insani. Satu fokus yang dibahas haruslah sebuah penjernihan yang cermat tentang apa yang sesungguhnya cara pandang tersebut. Kemudian langkah berikutnya haruslah berupa suatu penjernihan mengenai tindakan penafsiran sosiolog
BAB 2
TINDAKAN PENAFSIRAN
Semua orang mempunya makna dan berusaha hidup dalam suatu dunia yang bermakna. Tetapi, tentunya ada makna yang lebih dapat diterima dibandingkan makna-makna lainnya. Pembedaan berikut dibuat Alfred Schutz: dua jenis makna yang luas dapat dibedakan: ada makna dalam dunia kehidupan individu sendiri, yaitu makna yang secara aktual atau potensial “dalam jangkauan” (within reach) atau “ada di tangan” (at hand), yaitu makna-makna yang biasanya dimengerti sendiri secara alamiah dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian ada berbagai makna di luar dunia kehidupan individu itu sendiri, makna masyarakat-masyarakat lain atau sektor yang kurang akrab dari masyarakat individu itu sendiri, juga makna-makna dari masa silam; ini semua merupakan makna yang tidak secara langsung terdapat secara alamiah, tidak ‘dalam jangkauan’ atau tidak ‘ada di tangan’ tetapi harus lebih disesuaikan melalui proses inisiasi tertentu, apakah itu melalui pelibatan diri sendiri dalam suatu konteks sosial yang berbeda (khususnya untuk makna-makna yang berhubungan dengan masa silam) atau melalui disiplin intelektual tertentu.
Lebih lanjut orang harus membedakan antara menafsirkan makna-makna individu-individu dengan siapa dia dalam interaksi tatap muka yang aktual atau potensial (mereka yang oleh Schutz disebut dengan consociates), makna-makna individu-individu dengan siapa interaksi seperti itu tidak sedang berlangsung (disebut ‘sezaman’, atau dalam hal masa silam, disebut ‘pendahulu), dan akhirnya makna-makna yang terdapat dalam berbagai struktur anonim (makna suatu institusi dimana manusia-manusia konkritnya tidak pernah melakukan interaksi).
Penafsiran juga merupakan salah satu inkorporasi, memahami suatu hal yang baru dengan menghubungkannya dengan yang lama yang ada dalam pengalamannya sendiri. Penafsiran atas suatu komunikasi memerlukan usaha intelektual untuk memahaminya yang berlangsung secara tahap demi tahap. Sudah barang tentu, hal tersebut nampaknya terjadi secara spontan, dengan keseluruhan bagian informasi yang dengan cepat sedang diserap dan ‘bekerja ke dalam’ sistem kognitif. Aktivitas penafsiran yang sedang berlangsung ini mengambil tempat dalam benak saya sementara percakapan di luar berjalan, itu berarti bahwa penafsiran saya berlangsung dalam pembicaraan batin, yang merupakan suatu iringan sotto voce (sampingan) yang penting bagi pertukaran lisan itu.
Tindakan mendengarkan perlu dilakukan jika teman bicara sedang memberikan suatu informasi. Harus selalu memerhatikan apa yang sedang dibicarakan, dan tidak boleh membiarkan pikiran kita mengembara sehingga harus mencoba menangkap gelombang komunikasi. Tidak boleh menyela dengan penilaian atau pendapat-pendapat sendiri. Hal ini dapat menyebabkan si pembicara marah, atau akan mengalihkan perhatian dari apa yang sedang ia komunikasikan. Ini berarti kita harus mampu mengontrol dorongan-dorongan kekacauan pikiran atau pengaruh emosional (positif atau negatif).
Kenyataan yang terjadi bahwa minat untuk mengetahui perihal yang dibicarakan telah bangkit, mengandung pula suatu pengetahuan baru yang relevan buat kita, menempatkan istilah Schutztian yang lebih tepat, apa yang kita lakukan dalam tindakan penafsiran ini adalah menyesuaikan struktur relevansi kita sendiri dengan struktur relevansi orang lain dan kelompok di mana ia termasuk. Semakin lama percakapan itu berlangsung, semakin lengkaplah penyesuaian struktur-struktur relevansi ini.
Orang dapat mempergunakan dua istilah Jean Piaget, pertama, bahwa orang dapat mengasimilasikan pandangannya – itu berarti bahwa kita telah menyerapnya dalam pandangan kita sendiri; yang akibatnya tidak banyak berubah dan kedua, kita tealah mengakomodasikan pandangan kita terhadap pandangannya dan mengubah pandangan kita secara substansial. Dengan demikian kita dapat melihat dunia secara lain. Secara mudahnya, kita tidak dapat menafsirkan makna orang lain tanpa mengubah, walaupun paling sedikit, sistem makna kita sendiri.
Apa yang digambarkan tersebut merupakan penafsiran (menurut kehidupan sehari-hari ataupun sebagai seorang sosiolog) makna-makna yang timbul dalam setiap interaksi tatap muka. Tindakan penafsiran dalam percakapan tatap muka akan berbeda dengan tindakan penafsiran dari membaca surat kabar. Dalam surat kabar, pandangan dunia disajikan dalam cara yang amat terorganisir, berbeda dengan penyajian yang longgar dalam percakapan tatap muka.Selain itu, surat kabar menyajikan pandangannya terhadap kita dalam apa yang disebut proto ilmiah yakni suatu berita yang di dalam dirinya sendiri sudah ada suatu bentuk penafsiran – atau, lebih tepatnya cara berita itu disajikan sudah mengandung suatu penafsiran.
Masih ada lagi soal penafsiran atas struktur yang seluruhnya anonim, tanpa melihat bagaimana makna-maknanya disampaikan. Ini adalah masalah menafsirkan konstelasi kelembagaan besar, bukan makna individu-individu atau kelompok individu. dari bentuk-bentuk mereka yang nampaknya beku. Dalam suatu kasus yang dibicarakan, bahkan dalam hal percakapan biasa dalam kehidupan sehari-hari apa yang terkait di dalamnya adalah suatu penafsiran makna dari orang lain melalui suatu interaksi dan interpenetrasi yang kompleks dari struktur-struktur relevansi, sistem-sistem makna dan kumpulan-kumpulan pengetahuan.
Masalah Konseptualisasi
“Fakta mentah”tidak ada dalam ilmu pengetahuan tetapi terdapat fakta dalam kerangka konseptual yang juga berlaku dalam kehidupan biasa.Hal ini berarti kehidupan juga diorganisir dalam benak semua orang yang berpartisipasi didalamnya dan organisasi ini berlangsung dengan menggunakan sesuatu kerangka konseptual meskipun tidak canggih atau tidak logis dan batapa samar-samar kesadaran partisipan terhadapnya.
Adanya minat mengandaikan adanya kerangka konseptual dengan masa data merupakan penerapan langsung suatu konsep terhadap apa yang diamati.Konsep mengandaikan adanya sistem konsep yang lebih besar yang berkaitan dengan bidang aktivitas seksual. Konsep terebut tidak definisikan secara tajam dan betul-betul ilmiah karena hubungan antara yang satu dengan yang lain tidak diterangkan dan faliditas empirisnya tidak diuji secara ketat dengan bukti yang menjadi ciri konsep dalam suatu kerangka acuan ilmiah.
” Peta untuk hidup” merupakan konsep-konsep semu dari kehidupan biasa yang mempunyai maksud pragmatis yang menonjol yang secara pragmatis diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang disebut oleh Alfred Schutz sebagai tipifikasi yang ditunjukan secara panjang lebar ,kehidupan sosial bisa tidak akan mungkin tanpa itu : orng tidaka akan tahu “ bahwa sesuatu adalah sesuatu”.Sosiolog tidak begitu saja memungut tipifikasi seperti apa adanya dengan mengetahui benar semuanya. Jika pengetahuan ini hilang,tidak ada penafsiran yang muncul dari apa yang sesungguhnya sedang berlangsung.
Apa yang dihasilkan oleh penalaran ini memang sederhana tetapi sangat penting secara metodologis: konsep sosiologi tidak dapat berupa model pemikiran yang dipaksakan dari luar (biasa dilakukan oleh kaum positivis dari semua aliran),harus terkait dengan tipifikasi yang berlaku dalam situasi yang sedang dipelajari.Maksud penafsiran sosiologis adalah “mengeluarkan”makna itu dengan lebih jelas dan menghubungkannya(secara kausal dan cara lain) dengan berbagai makna dan berbagai sistem makna. Istilah Schutzian konsep sosiologis adalah konstruk tingkat kedua(konstruk pertama adalah tipifikasi yang sudah ditemukan sosiolog dalam situasi itu),atau dengan istilah Weberian konsep sosiologis bersifat menandai makna (sinnadaequat) yang berarti menjaga tujuan-tujuan bermakna dari pelaku dalam situasi itu.
Teori Weber tentang tipe-tipe ideal (ideal types) didalam sosiologi merupakan “tipe ideal” yang membawa konstruksi suatu terjemahan dari tipifikasi biasa ini. dalam kerangka acuan ilmiah maka konsep-konsep itu “nyata’-tidak benar-benar ada tetapi dikonstruksi “secara buatan” sebagai contoh konseptual Weber : birokrasi dan asketisisme duniawi (inner- worldy asceticism yang merupakan tipe ideal yang dikonstruksi oleh Max Weber untuk maksud-maksud penafsiran. Perbedaan dua konsep itu,dan dalam jarak masing-masing dari tipifikasi kehidupan bisa ditimbulkan oleh perbedaan dalam maksud kognitif Weber.
Pemindahan makna kehidupan sehari-hari kedalam dunia makna yang berbeda yaitu dunia ilmu sosial merupakan inti penafsiran sosiologi ,ini merupakan penjelasan awal mengenai situasi yang dipermasalahkan :penafsiran sosiologi tidak hanya memahami sesuatu tetapi memahaminya dalam suatu cara baru yang tidak mungkin terjadi sebelum perpindahan itu berlangsung.
Masalah Hasil Konseptualisasi
Sosiologi dari awal sangat dipengaruhi oleh positivis yang membuat dipancangkanya hukum-hukum universal. Deskripsi mengenai konseptualisasi menunjukan kelemahan cita-cita ini,gejala sosial akan rusak jika makna yang melakat padanya diabaikan tetapi pengertian ini mempunyai imlikasi lebih lanjut,hukum-hukum dianggap mempunyai keabsahan universal sementara sisitem makna insani tidak.
Konseptualisasi tentunya dapat membantu membangun hubungan kausal tetapi dapat membantu jika makna-makna yang berlaku dalam situasi itu diperhitungkan. Berbeda dari positivisme adalah cita-cita fungsionalisme,menuntut penemuan fungsi yang tidak tergantung pada maksud pelaku dalam suatu situasi sosial (laten function dari Robert Merton;untuk menemukan manifest function).
Masalah Bukti
Penafsiran sosiologis bukan suatu perenungan filosofis.Penafsiran selalu diuji dengan bukti empiris.Proposisi soiologis tidak pernah merupakan aksioma tetapi hipotesa yang secara empiris dapat digugurkan dan mirip dengan proposisi dalam semua ilmu tetapi bukti dalam sosiologi tidak sama dengan ilmu alam-justru karena selalu melibatkan makna-makna.
Pemaknaan ini tentu berkaitan dengan bagaimana penerapan metodologi. Dalam bahasa sosiologi Amerika masalah metode-metode (untuk dibedakan dengan masalah metode dalam suatu arti pendekatan intelektual yang umum ).Selama ini masalah ini dibicarakan dalam rangka mempertentangkan metode kuantitatif dan kualitatif. Sayangnya pemahaman penafsiran soiologis selalu disertai dengan antagonisme terhadap metode-metode kuantitatif,ini merupakan sutu kesalahpahaman.Apapun yang dikemukan disini sama sekali tidak mengandung arti lebih mengutamakan metode kualitatif diatas metode kuantitatif dalam penelitian empiris.
Masalah Objektivitas
Penafsiran yang diajukan oleh pengkritik aliran positivis dianggap mengandung”subjektivitas murni”,”intuisi”atau”emphati”yaitu usaha untuk memperoleh pengetahuan tanpa kontrol dan koreksi.Ini merupakan kesalahpahaman dan merupakan permainan tebak-tebakan dimana segala sesuatu diperbolehkan.Yang menjadi soal adalah masalah onjektivitas penafsiran sosiologis dan ciri objektivitas perlu ndiuraikan sedikit lebih jauh-tidak hanya terhadap para pengkritisi positivis yang memperkenalkan kriteria objektivitas yang diambil dari ilmu-ilu alam,tetapi juga terhadap para pengkritisi semua aliran yang menyangkal bahwa objektivitas jenis apapun adalah mungkin dalam penafsiran realitas sosial.
Objektivitas ilmiah merupakan suatu struktur relevansi tertentu yang dapat ditetapkan oleh seorang individu dalam kesadarannya kemungkinan ini dapat menyangkal kemungkinan umum penerapan relevansi dalam kesadaran tetapi penyangkalan jelas kontradiktif dengan pengalaman sehari-hari maupun bukti ilmiah jadi,sesungguhnya penerapan-penerapan berlangsung sepanjang waktu dalam kehidupan sehari-
Mengusahakan objektivitas dan kebebasnialian berarti membangun pertahanan kritis terhadap dogmatisme dari ilmu pengetahuan yang terbaik menurut Karl Popper,pencarian konstan dan sistematis untuk data yang mengugurkan akan berarti bila mengajukan hipotesa yang terdapat nilai-nilai yang relevan dengan proposisi tersebut.Kesimpulan masalah ini: kami setuju dengan kaum positivis bahwa memang terdapat sesuatu yang disebut objektivitas ilmiah sekalipun dalam praktek sulit untuk ditemukan namun kami setuju dengan kaum positivis karena objektivitas ilmu pengetahuan menafsirkan tidak ada kesamaan dengan objektivitas ilmu kealaman.Para kritisi ilmu sosiologis,kaum para antipositivis radikal menyangkal kemungkinan setiap niali-nilai dari penelitian ilmiah kami setuju dengan mereka bahwa kepentingan ekstra-ilmiah kerapkali mempengaruhi tindakan penafsiran dan pengaruh semacam itu harus diungkapkan dan kami tidak setuju bahwa fakta ini menolak baik prinsip maupun kemungkinan praktis suatu ilmu pengetahuan sosialyang objektif.
Masalah Penerapan
Tidak dapat dihindarkan bahwa semua pengetahuan mengenai masyarakat dapat diterapkan oleh orang yang mengerjakan proyek pragmatis tertentu tetapi yang terpenting adalah memahami penafsiran sosiologis yang merupakan proses kognitif yang bersifat amat khusus,dalam struktur relevansi diterapkan dalam tindakan masyarakat tetapi stuktur relevansi ini ditinggalkan yaitu oengurungan nilai-nilai seseorang itu sendiri dan semua penerapan perlu berdasarkan nilai.
BAB III
INTERPRETASI SOSIOLOGI DAN MASALAH RELATIVITAS
Relativitas dari permulaan, merupakan suatu objek kajian disipilin sosiologi. Sosiolog selalu tertarik untuk menyelidiki lebih lanjut sampai berapa jauh perbedaan ini dapat diterangkan dalam kaitannya dengan aneka karakteristik dua masyarakat itu. Sosiologi juga merupakan suatu produk relativitas yang sama, yang selalu menjadi salah satu dari objek-objek kajiannya. Jika sosiolog tidak mengalami sendiri kejutan relativitas, maka gejala relativitas itu tidak akan masuk kedalam kesadarannya.
Perhatian sosiologi terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai “kenyataan” dan “pengetahuan”, pada permulaannya dibenarkan oleh fakta relativitas sosialnya. Kumpulan-kumpulan spesifik dari “kenyataan” dan “pengetahuan” berkaitan dengan konteks-konteks sosial yang spesifik, dan bahwa hubungan-hubungan itu harus dimasukkan ke dalam suatu analisa sosiologis yang memadai mengenai konteks-konteks itu. Dengan demikian maka kebutuhan akan “sosiologi pengetahuan” sudah muncul bersama adanya perbedaan-perbedaan yang bisa diamati di antara berbagai masyarakat dari segi apa yang sudah diterima begitu saja sebagai “pengetahuan” dalam masyarakat-masyarakat itu.
Sosiologi pengetahuan menekuni analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Selain itu, sosiologi pengetahuan memahami dan mempelajari sifat tersusun (contructed) dari apa yang oleh manusia dimaksudkan sebagai realitas. Suatu konsep yang berguna dalam masalah ini adalah konsep mengenai struktur kemasukakalan. Lain orang lain pula definisinya mengenai realitas yang masuk akal.
Sosiologi pengetahuan memperoleh proposisi akarnya dari Marx—yakni bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialinya. Memang telah banyak perdebatan tentang macam determinasi yang bagaimana yang sebenarnya dimaksudkan oleh Marx. Bagaimana pun, sosiologi pengetahuan telah mewarisi dari Marx bukan hanya perumusan yang paling tajam dari masalah sentralnya, tetapi juga beberapa dari konsep-konsep kuncinya. Di antaranya perlu disebutkan secara khusus konsep-konsep tentang “ideologi” (ide-ide yang merupakan senjata bagi berbagai kepentingan sosial) dan tentang “kesadaran palsu” (alam pikiran yang teralienasi dari keberadaan sosial yang sebenarnya dari si pemikir).Yang merupakan pokok perhatian Marx adalah bahwa pemikiran manusia didasarkan atas kegiatan manusia (“kerja” dalam arti yang seluas-luasnya) dan atas hubungan-hubungan sosial yang ditimbulkan oleh kegiatan itu.
Skema “sub/superstruktur” yang mendasar itu telah diambil-alih dalam berbagai bentuknya oleh sosiologi pengetahuan, dimulai dengan Scheler yang pemikiran nya didasarkan pada kenyataan yang mendasarinya. Dalam sosiologi pengetahuan secara eksplisit telah dirumuskan dengan cara yang berlawanan dengan Marxisme, dan berbagai pendirian telah timbul di dalamnya mengenai sifat hubungan antara kedua komponen skema itu.
Gagasan-gagasan Nietzsche tidak begitu eksplisit kelanjutannya di dalam sosiologi pengetahuan, namun gagasannya itu sangat mewarnai latar belakang intelektual umumnya dan “suasana batin” di mana ia telah timbul. Nietzsche telah mengembangkan teorinya sendiri mengenai “kesadaran palsu” di dalam analisa-analisanya mengenai arti sosial dari penipuan dan penipuan diri (deception and self-deception) dan mengenai ilusi sebagai suatu syarat hidup yang perlu.
Historisisme, terutama sebagaimana yang diekspresikan dalam karya Wilhelm Dilthey, secara langsung mendahului sosiologi pengetahuan. Temanya yang dominan adalah kesadaran yang sangat kuat mengenai relativitas semua perspektif mengenai berbagai peristiwa manusia; artinya mengenai historisitas yang tak terelakkan dari pemikiran manusia. Konsep-konsep historisisme tertentu—seperti “determinasi situasional” (Standortsgebundenheit) dan “kedudukan dalam kehidupan” (Sitz im Leben)—dapat diterjemahkan secara langsung sebagai mengacu kepada “lokasi sosial” dari pemikiran.
Minat Scheler dalam sosiologi pengetahuan, dan dalam persoalan-persoalan sosiologis pada umumnya, pada pokoknya hanya merupakan satu episode yang sepintas saja dalam karir filosofisnya. Tujuan akhirnya adalah pembentukan suatu antropologi filosofis yang akan mengatasi relativitas sudut-sudut pandang yang berlokasi spesifik historis dan sosial. Sosiologi pengetahuan lalu akan menjadi alat untuk mencapai tujuan ini, dan tugas utamanya adalah untuk menembus kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh relativisme sehingga tugas filsafat yang sesungguhnya dapat dimulai.
Sejalan dengan orientasi ini, sosiologi pengetahuan Scheler pada pokoknya merupakan sebuah metode negatif. Scheler mengemukakan argumen bahwa hubungan antara “faktor-faktor ideal” (Idealfaktoren) dan “faktor-faktor nyata” (Realfaktoren),—istilah-istilah yang jelas mengingatkan orang pada skema “sub/superstruktur” menurut Marx—hanya merupakan hubungan yang regulatif saja. Artinya, “faktor-faktor nyata” mengatur kondisi-kondisi di mana “faktor-faktor ideal” tertentu dapat tampil dalam sejarah, tetapi tidak dapat mempengaruhi isi dari yang disebut belakangan itu. Dengan kata lain, masyarakat menentukan kehadiran (Dasein) tetapi tidak menentukan hakikat (Sosein) ide-ide.
Scheler menganalisa dengan sangat terinci cara pengetahuan manusia dibentuk oleh masyarakat. Ia menandaskan bahwa pengetahuan manusia diberikan dalam masyarakat sebagai suatu a priori bagi pengalaman individu dengan memberikan kepadanya tatanan maknanya. Tatanan ini, meskipun tergantung kepada suatu situasi sosio-historis tertentu, menampakkan diri kepada individu sebagai cara yang sudah sewajarnya untuk memandang dunia. Scheler menamakannya “pandangan dunia yang relatif-natural” (relativnaturliche Weltanschauung) dari suatu masyarakat—sebuah konsep yang mungkin masih dapat dianggap sebagai sentral bagi sosiologi pengetahuan.
Sesudah “penemuan” sosiologi pengetahuan oleh Scheler itu, berlangsung perdebatan yang luas di Jerman mengenai kesahihan, ruang lingkup dan penerapan disiplin baru itu. Dari perdebatan ini lahirlah sebuah rumusan yang menandai pengalihan letak sosiologi pengetahuan ke dalam suatu konteks sosiologi yang lebih sempit. Dengan rumusan itulah sosiologi pengetahuan sampai di dunia berbahasa Inggris. Rumusan itu adalah yang dibuat oleh Karl Mannheim.
Perhatian utama Mannheim tertuju kepada gejala ideologi. Ia membedakan antara konsep-konsep ideologi yang partikular, yang total dan yang umum—ideologi sebagai yang hanya merupakan satu bagian saja dari pemikiran seorang lawan (serupa dengan “kesadaran palsu” menurut Marx); dan (di sini Mannheim beranggapan bahwa ia melangkah lebih jauh dari Marx); ideologi sebagai karakteristik tidak hanya dari pemikiran lawan melainkan juga dari pemikiran sendiri.Mannheim berpendapat bahwa objek pemikiran secara berangsur-angsur menjadi lebih jelas dengan adanya akumulasi berbagai perspektif mengenainya. Ini merupakan tugas sosiologi pengetahuan, yang dengan demikian merupakan alat pembantu yang penting dalam upaya memperoleh pemahaman yang benar mengenai peristiwa-peristiwa manusia.
Merton telah menyusun sebuah paradigma bagi sosiologi pengetahuan, dengan merumuskan kembali tema-tema utamanya dalam bentuk yang padat dan koheren. Konstruksinya itu menarik, karena ia merupakan upaya untuk mengintegrasikan cara pendekatan sosiologi pengetahuan dengan cara pendekatan teori struktural-fungsional. Konsep-konsep Merton sendiri mengenai fungsi-fungsi yang “manifes” dan yang “laten” diterapkan pada bidang ideasi. Sedangkan Talcott Parsons juga telah mengomentari sosiologi pengetahuan. Namun komentarnya itu hanya terbatas kepada suatu kritik terhadap Mannheim dan tidak berusaha mengintegrasikan disiplin itu ke dalam sistem teorinya sendiri.
Di dalam kerangka acuan sosiologi, sekalipun batas-batasnya jelas, terdapat cara-cara dengan mana relativitas dunia sosial terlampaui, meskipun pelampauan ini bersifat sebagian atau sementara. Sosiologi tidak dapat memecahkan persoalan relativitas dalam arti menghakimi sistem-sistem makna yang saling berbanturan dari segi kebenaran asasi mereka. Jikapun penghakiman seperti itu memang mungkin dilakukan, tugas itu harus diserahkan ke filsafat, etika atau teologi.
Sosiologi tidak dapat menawarkan petunjuk moral. Meskipun begitu, sosiologi mempunyai suatu hubungan yang aneh dengan etika, atau paling kurang dengan suatu jenis etika tertentu. Oleh Marx Weber disebut dengan ‘ Etika Tanggung Jawab “ ( Verantwortungsethik ) yaitu etika yang mengambil kriteria tindakannya dari perhitungan atas akibat yang mungkin dan bukan dari prinsip-prinsip mutlak. Konsep lainnya terdapat suatu “ afinitas tunggal “ ( Wahlverwandschaft ) yang mendalam antara pilihan moral ini dan pemahamannya terhadap metode sosiologi.
Moralitas dan agama merupakan dua wilayah di mana dampak relativitas modern tampak paling merusak. Bagi masyarakat, sebagai suatu keseluruhan, perelativan moralitas mungkin merupakan masalah yang serius, karena hal ini menggerogoti landasan kemana setiap kolektivitas manusia harus bersandar. Masalah ini dapat lebih diperjelas dengan melihat pada gejala pluralisme
Penilaian moral sosiolog dapat juga dianalisa secara sosiologis dan social sosiologis. Tetapi, sekali lagi analisa seperti ini tidak akan dengan sendirinya menghasilkan kriteria etis dari suatu penghakiman asasi atas berbagai kontradiksi moral yang dapat diperoleh secara empiris. ( suatu analisa fenomenologis yang lengkap mengenai masalah ini akan membedakan antara aspek-aspek “neotik” dan “neomatic” dari penilaian moral, tetapi ini harus berada di luar cakupan kita sekarang )
Moralitas sebagai bangunan ekstern dari norma-norma dan sebagai internalisasi unsur-unsur kesadaran pribadi, secara empiris dapat di temukan dan karena itu merupakan pokok masalah sebenarnya bagi sosiologi serta disiplin-disiplin empiris lainnya ( termasuk psikologi ). Etika di lain pihak, merupakan disiplin normatif yang ditemukan secara empiris. Sosiologi mempengaruhi etika karena ia menyadarkan etikus terhadap relativitas empiris dari keyakinan-keyakinan moral. Masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut : Dapatkah seseorang bertanya mengenai kebenaran agama setelah ia mengetahui bahwa system-sistem keagamaan juga merupakan konstruksi social.?. Bahwa system-sistem keagamaan adalah semacam konstruksi dan juga merupakan konstruksi dalam kerangka acuan analisa empiris.
Semua pengalaman keagamaan berlangsung dalam suatu konteks social, bahkan pada diri seorang pertama ( yang membawa serta dengannya suatu konteks social yang telah diinternalisasi ). Sosiologi dan teologi merupakan dua disiplin yang berbeda, dengan struktur relevansi yang berbeda secara tajam. Sosiologi tidak punya pilihan kecuali mengurung status ontologism pertanyaan-pertanyaan keagamaan, yang semuanya memang bersifat keagamaan, melampaui jangkauan pengalaman empiris.
Teologi ( Islam, Kristen atau apapun yang anda miliki ) tidak akan berarti apapun kecuali kurungan-kurungan dihilangkan. Tetapi seperti halnya hubungan antara sosiologi dan etika, sosiologi dan teologi satu sama lain saling mempengaruhi. Paling tidak seorang teolog yang peka secara sosiologis harus memperhitungkan “ketersusunan” sistem-sistem keagamaan dan setidaknya akan menyisihkan bentuk-bentuk tertentu fundamentalise teologis yang tidak dapat mengakui hal ini.
Sebaliknya teologi terhadap sosiologi secara tidak langsung dapat memainkan sosiologi tanpa kepekaan teologis sama sekali, akan tetapi sosiologi agama akan harus mengembangkan semacam “telinga teologis” . Para sosiolog klasik memahami, tidak saja Weber tetapi juga Durkheim, Simmel, Pareto dan lainnya; Bahwa agama merupakan suatu pusat gejala sosial, karena dalam sebagian besar sejarah manusia, agamalah yang telah memberikan makna-makna hakiki dan nilai-nilai kehidupan.
BAB IV
INTERPRETASI SOSIOLOGI DAN MASALAH KEBEBASAN
Perspektif sosiologi menyingkap “keterikatan” manusia dalam dua cara, pertama sejak dilahirkan manusia telah berada di dalam konteks sosial yang mengikatnya. Ini artinya bahwa ia menemukan dirinya di tengah lingkungan control sosial.. Oleh karena itu Durkheim menegaskan bahwa fakta sosial adalah “benda” yang menimbulkan daya pengikat. Seseorang tidak dapat merasakan solidaritas dari manusia-manusia lain, tanpa mengalami kontrol sosial atas kehidupan dirinya.. Kedua adalah sosialisasi. Sosialisasi dapat dipandang sebagai suatu proses yang luar biasa kuatnya di mana struktur masyarakat “obyektif” “di luar sana” diinternalisasikan dalam kesadaran. Menurut George Herbert Mead sebagai suatu hasil sosialisasi, setiap individu dapat dipandang sebagai suatu produk masyarakatnya.
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan empiris berurusan dengan pengaruh kausal dua dimensi masyarakat ini. Sehingga sosiologi tampil sebagai suatu perspektif “deterministis”. Sosiologi menjelaskan tindakan atau peristiwa ini atau itu dari segi hubungan kausal surut ke waktu lampau baik dalam konteks sosial maupun dalam kesadaran yang tersosialisasi. Akan tetapi sifat “deterministis” sosiologi ini kerapkali membangkitkan permusuhan orang menentang disiplin tersebut, bahkan sosiologi dipandang sebagai musuh dari kebebasan.
Sistem hukum yang mendasar dari masyarakat Barat dibangun atas dasar suatu konsep pertanggung jawaban individu. Jika perbuatan-perbuatan atau bahkan motif-motif terdalam seorang individu dapat dijelaskan dalam kaitannya dalam konteks sosialnya dan sosialisasinya, dalam pengertian apa orang masih bisa mengatakan bahwa ia bertanggung jawab atas suatu tindakan kriminal? Akibatnya, hukuman yang sah semakin dipahami dalam pengertian pragmatis, tidak dikaitkan dengan konsep tanggung jawab individu. Banyak orang yang merasa bahwa determinisme sosiologi ini menggerogoti landasan moral masyarakat Barat.
Ada ketegangan lain dalam tradisi sosiologi yang baik secara eksplisit maupun implisit bertentangan dengan determinisme. Terdapat suatu penolakan bahkan pemberontakan terhadap penindasan masyarakat atas individu. Dasar empirisnya terletak dalam fakta sederhana tetapi amat penting yaitu bahwa pribadi manusia sesungguhnya memberomtak terhadap masyarakat. Terdapat suatu kemungkinan bagi manusia untuk memberontak terhadap masyarakat; karena itu jaringan kontrol sosial tidak sempurna. Dan ada kemungkinan bagi manusia untuk mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang benar-benar baru; maka sosialisasi tidak pernah sempurna.
Mead menyinggung kenyataan yang sangat khas bahwa manusia merupakan subyek sekaligus obyek bagi dirinya sendiri. Hal itu berarti kemampuan manusia untuk menjadi bebas merupakan sifat pembawaan manusia yang inheren dan universal. Manusia hanya menjadi bebas dengan mengatakan tidak terhadap, dengan menafikan, berbagai sistem determinasi di mana ia menemukan dirinya sendiri atau ke dalam mana ia terlempar. Kebebasan manusia hanya berarti jika kebebasan itu mencakup pelampauan kausalitas ini.
Kebebasan manusia bukan merupakan semacam lobang dalam rentetan dari suatu kausalitas, atau dengan kata lain suatu perbuatan barangkali dinilai secara bebas, dapat juga sekaligus dinilai sebagai terikat secara kausal. Kebebasan tidak dapat diterangkan oleh metode-metode ilmu pengetahuan empiris manapun dan sudah pasti termasuk sosiologi. Proposisi apapun mengenai kebebasan manusia membawa ke pembelokan dari ilmu pengetahuan ke wilayah pembicaraan yang lain, baik melalui pengalaman subyektif, iman atau penalaran.
Terdapat dua cara dimana sosiologi sebagai sosiologi dapat membicarakan kebebasan. Pertama, dengan menafsirkan kepercayaan manusia akan kebebasan dan dengan menganalisa konteks sosial serta berbagai konsekuensi sposial dari kepercayaan tersebut. Kedua, berkisar pada latar eksternal dan berbagai hambatan obyektif terhadap tindakan yang didasari kepecayaan akan kebebasan. Pada pendekatan ini kebebasan dimaknai sebagai konsep pilih-pilihan. Sosiologi menganalisa serangkaian pilihan-pilihan dalam situasi sosial khusus.
Modernisasi memperluas pilihan sehingga masyarakat modern lebih bebas daripada masyarakat tradisional. Dalam doktrin mazhab Stoa, kebebasan individu terletak pada kemampuannya untuk membedakan antara apa yang dapat dan tidak dapat dia lakukan. Sebenarnya kesadaran akan potensi membebaskan diri ini sudah ada sejak lama, bahkan semenjak jaman Auguste Comte. Dalam sosiologi mutakhir, sang pembebas atau kesadaran diri “emansipator” dari sosiologi mengambil bentuk berbeda-beda. Pemahaman kita tentang metode sosiologi tidak memungkinkan adanya kaitan langsung disiplin ini dengan doktrin-doktrin pembebasan apapun. Ilmu pengetahuan harus universal atau jika tidak maka sama sekali bukan ilmu pengetahuan.
Terdapat suatu paradoks yang aneh dalam hubungan antara sosiologi dengan cita-cita pembebasan. Secara historis, ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu instrument kebebasan dan telah mebebaskan orang dari segala bentuk “keterikatan”yang dalam perspektif ilmiah dipahami sebagai “takhayul”. Ilmu pengetahuan merupakan suatu kekuatan bagi kebebasan yang lebih besar dari kekuatan raksasa yang menguasai yang menguasai lingkungan dan jasmani manusia sendiri sebagai akibatnya. Akan tetapi paradoksnya, ilmu pengetahuan itu sendiri menimbulkan pranata-pranata, sistem-sistem pemikiran dan akhirnya program-program sosial politik yang bahkan lebih mengikat manusia dibandingkan dengan “takhayul” yang telah digantikannya.
Cita-cita sosial politik dari pembebasan melalui ilmu pengetahuan mempunyai suatu akibat antidemokrasi yang menyatu di dalamnya. Terdapat kepentingan-kepentingan yang mapan dalam masyarakat modern dari golongan yang menginginkan kekuasaan, yang membuat kegunaan ilmu sosial politik dari ilmu pengetahuan dapat diterima umum. Masalah utamanya adalah bagaimana mempertahankan kebebasan rakyat dari ambisi kediktatoran penguasa.
Sebenarnya suatu pemahaman terhadap ilmu pengetahuan yang tidak totalitas dan “sederhana” akan menguntungkan demokrasi atau dengan kata lain dengan memahami ilmu pengetahuan sebagai suatu pendekatan parsial dan “aspektual’ terhadap realitas manusia, ilmuwan tidak akan menempati satus elit kognitif dan akibatnya baik hak-hak kognitif maupun politis orang-orang biasa tetap diargai dan itu merupakan inti demokrasi. Ada dua penekanan utama dari “libersionis” dalam sosiologi, pertama individual atau sosiologi dipahami sebagai alat pembebasan individu, terutama aksistensi pribadi; kedua, secara politis atau sosiologi dipahami sebagai alat perjuangan politis ini itu untuk kebebasan yang lebih besar bagi masayrakat secara keseluruhan.
Tugas yang dibebankan pada sosiologi adalah “pemahaman”. Menurut tradisi pembongkaran dan penelanjangannya sosiologi memerangi pemikiran menyimpang (kesadaran palsu) yang sebelumnya mengesahkan berbagai tekanan yang ada dalam kehidupan seseorang, yang menimbulkan pemahaman yang merupakan awal pembebasan pada tingkat kehidupan nyata(praksis). Dalam hal ini sosiologi mengungkapkan kelemahan atau kekurangan dari struktur masyarakat yang selama ini dipandang kaku dan keras oleh individu, sehingga memungkinkan individu untuk keluar dari struktur-struktur sosial tersebut (ekstasis). Konsep penting di sini adalah peranan. Sosiologi menganalisa peranan-peranan dan menyingkapkan sifatnya yang tersusun. Wawasan ini memiliki implikasi praktis yakni pembongkaran, dimana tujuan utamanya adalah untuk menciptakan eksistensi “bebas peranan” yang mengubah hubungan antara individu dengan dirinya, orang lain, dan sunia.
Sosiologi tidak memberikan penghayatan ke dalam semua bentuk determinasi sosial dan karena itu membuka pilihan-pilihan baru. Namun, terdapat batas-batas situasi sosial individu ;
1. tidak semua pilihan secara sosial tersedia dan tidak semuanya secara sosial dapat dilakukan.
2. Pilihan yang tergambar secara jelas dalam kesadaran barangkali memilliki kemungkinan sangat kecil untuk secara empiris diwujudkan dalam masyarakat.
3. Bahkan kesadaran yang paling bebaspun tetap merupakan kesadaran tersosialisasi dan kenyataan ini menimbulkan batas-batas.
Semua tindakan memilih jika bukan merupakan pengalaman yang mudah hilang harus diwujudkan dalam bentuk-bentuk sosial. Artinya bentuk-bentuk sosial akan melahirkan sebuah determinasi baru. Sebuah kebiasaan yang muncul lain dari biasanya dipandang sebagai sesuatu yang baru, akan tetapi saat itu kemudian terulang secara berkali-kali maka akan terjadi atau mengalami proses institusionalisasi yang pada akhirnya akan melahirkan awal dari sebuah keterikatan yang baru..
Alasannya adalah kehidupan sosial manusia tidak mungkin tanpa ukuran ketertiban dan itu berarti pada gilirannya aktivitas manusia harus diorganisir dalam pola-pola yang secara timbale\ balik dapat dikenali dan diramalkan (institusionalisasi). Deskripsi dari institusionalisasi dan pembentukan peran ini dapat digeneralisasi menjadi spektrum perubahan pribadi dari pembebasan hingga menjadi sebaliknya yakni awal keterikatan. Pengalaman pertama tidak dapat berulang. Itulah mengapa masa kanak-kanak adalah suatu periode yang menggairahkan, dan orang tak dapat kembali pada masa lampau.
Konsep totalitas dari manapun mengenai pembebasan menjadi tidak mungkin. Orang akan menyadari bahwa pilihan apapun, betapapun membebaskannya untuk pertama kali, akan membawa pada pola-pola baru yang menampik pilihan-pilihan lain. Tetapi ini juga tidak berarti bahwa tidak ada pembebasan sejati. Orang tetap mengharapkan suatu pilihan yang membebaskan tetapi orang tidak akan mengharapkan pembebasan total. Yang terpenting adalah pembebasan seseorang dapat mempersempit batas-batas orang lain.
Dengan demikian orang harus bertanggung jawab atas segala akibat dari pilihan pembebasan yang telah mereka ambil. Perspektif sosiologi menyarankan kerendahan hati, kesederhanaan dan rasa hormat terhadap orang lain dan pemahan yang tidak absolustik dan tidak dogmatis terhadap ekstasi pribadi seseorang.bentuk pemahaman liberasionis terhadap sosiologi mengikuti rumus umum “tekanan – pemahaman - pembebasan”. Peranan yang diemban oleh sosiologi dalam pembebasan ini adalah untuk memberikan pemahaman dari awal praksis pembebasan. Peran tersebut adalah:
1. Sebagai teori pembebasan sosiologi memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai struktur sosial beroperasi, termasuk struktur yang dianggap menindas.
2. Sebagai fungsi politis, sosiologi menjalankan fungsi propaganda yang dapat bermanfaat bagi bagi kawan maupun lawan dalam usaha pembebasan.
3. Fungsi logika, sosiologi dapat menyarankan proses dan bentuk organisasi yang kiranya akan membuahkan hasil tertentu yang diharapkan .
Akan tetapi di luar itu semua, sosiologi juga menyadari terdapat suatu kecenderungan anti utopia yang inheren dalam pemikiran sosiologi. Seorang sosiolog harus mengetahuiu akibat-akibat yang tidak diaharapkan dari tindakan sosiologis, fungsi-fungsi laten dan keterbatasan lembaga-lembaga, mengenai beban masa lampau dan kemenduaan kekuasaan. Sosiologi adalh suatu usaha untuk memahami realitas sosial—segala sesuatu keras yang mengelak sari keinginan-keinginan kita. Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan tidak boleh menganggap dirinya sebagai patokan tunggal atau utama bagi tindakan politis.
BAB 5
SOSIOLOGI DI ANTARA TEKNOKRASI DAN IDEOLOGI
Sosiologi sebagai keseluruhan menjadi baik pengetahuan teknis maupun doktrin ideologis. Dengan kegunaan teknokratis, sosiologi dipahami dan diterapkan sebagai suatu satuan pengetahuan teknis untuk melayani “rekayasa sosial”. Hal ini menunjuk pada “mentalitas rekayasa” yang merupakan unsure strategis dari kesadaran modern yang dibentuknoleh revolusi teknologi. Mentalitas ini lahir dari dan sepenuhnya sesuai bagi wilayah teknologi itu sendiri. Degi-segi pokok dari mentalitas rekayasa ini dapat digambarkan: suatu pendekatan “atomistis” atau “perbagian” terhadap realitas. Dunia dipahami sebagai sesuatu yang terdiri dari satuan-satuan yang dapat dilepas-lepaskan dan kemudian disatukan kembali. Cara dan tujuan dapat dengan mudah dipisahkan. Memiliki kecenderungan kuat ke arah berpikir abstrak terutama kuantitatif. Memiliki kecenderungan untuk memecahkan masalah. Selain itu terdapat semangat untuk menemukan hal-hal baru dan memberi penilaian positif terhadap inovasi. Memiliki keterlibatan afeksi atau emosi yang rendah.
Bila sosiologi ditempatkan untuk melayani teknokrasi, maka hampir secara otomatis diterjemahkan ke dalam kategori-kategori mentalitas teknokrasi yang khas. Pertama, terdapat keinginan agar sosiologi dapat diterapkan pada urusan-urusan praktis. Sosiologi dengan kecenderungan positivistic yang kuat dengan mudah dapat dibawa ke arah itu. Selain itu ada tekanan untuk segera membuahkan hasil yang dapat diterapkan. Dari segi dinamika sosial-psikologis, tekanan ini cenderung terinternalisasi oleh para sosiolog yang menemukan dirinyadalam posisi ini.dengan kata lain, para sosiolog sendiri sekarang menganggap diri mereka sebagai pemecah masalah praktis atau sebagai “perekayasa sosial”. Lebih jauh, sekarang telah ada ukuran yang disepakati bersama bagi “keberhasilan” penelitian sosiologis, dalam arti bagaimana hasil penelitian ini sesuai dengan kepentingan apapun dari “sumber dana”. Dengan demikian, sosiologi tidak hanya menjadi alat teknokrasi, tapi ia dipaksa untuk membawa dirinya agar seirama dengan kepentingan teknokrasi.
Penerapan teknokratis dari sosiologi telah sering dikritik atas dasar penilaian moral, sebab tujuan atau tindakan lembaga teknokratis tertentu telah dinilai secara moral dapat ditolak. Jika orang beranggapan bahwa sosiolog bertanggung jawab atas penerapan-penerapan dari hasil kerjanya, maka akan timbul kasus di mana kritik-kritik moral akan dibenarkan. Tapi penting untuk melihat bahwa penerapan teknokratis dari sosiologi cenderung mengarah kepada deformasi menjadi maskapai sosiologi, sekalipun tujuan eksternalnya di luar penilaian moral. Ini lebih merupakan alasan metodologis dari pada etis: integritas cara pemahaman sosiologis di sini digantungkan kepada maksud-maksud yang tidak ada hubungannya. Paling banter sosiologi dalam keadaan menghamba kepada teknokrasi ini menjadi suatu kegiatan yang sangat parochial, terikat pada keadaan dan pragmatis.
Deformasi yang paling biasaadalah bila sosiolog, yang sekarang kurang lebih menjadi bagian dari suatu organisasi teknokrat, dengan sengaja atau (lebih mungkin) tanpa sesadarnya menyesuaikan hasil-hasil kerjanya dengan keinginan-keinginan organisasi tersebut. Sosiologi yang telah tergabung ke dalam suatu organisasi teknokrat dipaksa untuk membuahkan informasi dan penafsiran yang tidak dapat dipercaya. Dengan demikian, paradoksnya, ia berkurang kegunaannya bagi “patronnya”. Sosiologi akan sangat berguna jika ia dibiarkan melakukan tugasnya di atas landasannya sendiri, yakni, dalam struktur relevansinya sendiri. Dengan demikian sosiolog tidak boleh terserap ke dalam mentalitas teknokrat. Karena mentalitas dan konteks sosial berkaitan erat (yang sesungguhnya merupakan akar pengertian dari sosiologi pengetahuan), barangkali perlu disarankan agar sosiolog berinduk kepada semacam lembaga yang tidak teknokratis.
Ada akibat lain dari penggunaan teknokratis dari sosiologi: tekanan untuk menghasilkan sosiologi yang sejauh mungkin kelihatan seperti ilmu-ilmu kealaman yang telah terbukti sangat sesuai dengan tujuan-tujuan teknokratis, yang berarti suatu kesetiaan kepada sosiologi positivistis. Hal ini menyangkut suatu kultus terhadap kuantifikasi. Pada kasus ekstrim, berupa suatu sikap di mana proposisi sosiologis apapun yang tidak dapat dinyatakan secara matematis dianggap “lemah”, tidak ilmiah dan tidak berguna.
Terdapat suatu kesalahan dalam sosiologi positivistis yaitu keyakinan bahwa penafsiran dapat dikesampingkan. Kesalahan ini, sudah tentu, tidak harus berkaitan dengan teknokrasi dan kepentingan praktisnya. Ia juga dapat tampil dalam bentuk suatu “ilmu murni”. Jadi kesalahan terletak pada kegagalan untuk memahami sifat khas realitas manusia dan dengan demikian, sifat khas dari setiap usaha untuk menggambarkan dan menjelaskan realitas ini. sosiologi positivistik yang dipelihara oleh teknokrasi itu cenderung mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak terlalu menyenangkan para teknokrat, yang pada gilirannya membantu menjatuhkan maskapai sosiologi sebagai organisasi yang sedang mencari kedudukan. Akibat semacam ini berkaitan dengan penyakit sosiologi dewasa ini serta kurang mengakar dalam masyarakat yang lebih luas.
“Rekayasa sosial” tidak hanya menjadi kegiatan profesional di kalangan ilmuwan tetapi juga praksis eksistensial dari sejumlah besar masyarakat umum. Kehidupan manusia merupakan suatu realitas yang kuat, dan tidak dapat diserap ke dalam “mentalitas rekayasa”. Hal tersebut meruntuhkan bangunan rapuh di mana para “perekayasa sosial” berusaha mengurung dan merasionalisasinya. Namun sejauh usaha-usaha rekayasa ini berhasil, kesadaran sehari-hari itu menjelma menjadi kesadaran “teknokratis”. “Imperialisme” teknokratis ini, baik dalam pikiran maupun dalam praksis sosial, merupakan salah satu dari kontradiksi serius dalam modernitas. Tak pelak lagi timbul perlawanan terhadapnya. Perlawanan-perlawanan ini yang pada hakekatnya bukan sekedar antiteknokratis namun menentang modernisasi, telah timbul sejak awal zaman modern.
Adanya penerapan ideology bagi sosiologi dimaksudkan segala usaha untuk menjadikan sosiologi sebagai alat pemberi makna bagi tujuan-tujuan politik. Pada prinsipnya penerapan ideologis dari sosiologi semacam itu dapat bersifat baik konservatif maupun revolusioner, ditujukan baik bagi pelestarian status quo maupun bagi perubahan yang lebih atau kurang radikal. Dewasa ini, karena berbagai alasan sejarah, sosiologi jarang digunakan sebagai suatu ideology politik untuk mempertahankan status quo (kecuali di Negara-negara sosialis di mana semacam “sosiologi” berfungsi sebagai suatu sub-bagian dari dogma Marxis untuk mengesahkan rezim).
Seringkali sosiologi ideologis menampilkan diri sebagai suatu pemberontakan terhadap penggunaan teknokratis. Dari kedudukannya sebagai pelayan teknokrasi (Negara, sistem korporasi, serta berbagai struktur birokrasi yang berkaitan) yang sedang berkuasa, sekarang sosiologi harus berbalik menyerang teknokrasi itu sendiri. Dalam menentang penggunaan teknokratis dari sosiologi, mereka yang memiliki orientasi tersebut umumnya akan menganggap mereka seperti antiteknokrat par excellence.
Antara penggunaan teknokratis serta ideologis dari sosiologi terdapat suatu struktur relevansi eksternal yang dipaksakan atas sosiologi. Relevansi eksternal tersebut bersifat pragmatis, bukan pemaksaan kerangka referensi teoritis yang berbeda terhadap sosiologi, namun mobilitas sosiologi bagi tujuan-tujuan praktis. Dalam dua kasus ini,”cara pandang” sosiologis digantungkan di bawah tuntutan pragmatis untuk memperoleh “hasil-hasil yang berguna”. Hal ini merupakan respon terhadap tekanan sosial dan demikian kognitif dari situasi. Kekhasan dari semangat sosial diserap ke dalam oleh “mentalitas rekayasa” dan “mentalitas revolusi” dari paham apapun. Baik teknokrasi maupun ideology membuahkan elitism kognitif yang serupa dank has, di satu pihak disebut “ahli”, di pihak lain dari kelompok apapun menyebut dirinya “pelopor” dari perubahan yang sedang diusahakan secara revolusioner.
Masalah umum baik dalam penggunaan teknokratis maupun ideologis dari sosiologi adalah hubungan antara teori dan praksis, suatu hubungan terputus. Sosiolog yang terlibat dalam proyek pragmatis apapun, baik bersifat teknis maupun politis, harus tetap mempertahankan “keterputusan” ini bila tidak ingin terseret ke dalam mentalitas pragmatis yang mengancam kelangsungan sikap ilmiah.
BAB 6
SOSIOLOGI DALAM KRISIS DUNIA MODERN
Jika kita berbicara mengenai modernitas, maka berhubungan langsung dengan bagaimana proses yang bertahap dari masa ke masa. Modernitas / modern merupakan perpaduan dari unsure teknologi, ekonomi, social dan kognitif yang diperoleh oleh ilmuwan secara empiris. Modernitas adalah perwujudan kemajuan, yang terjadi karena adanya perubahan kehidupan akibat inovasi teknologi yang terus berkembang. Hal ini mampu memeberikan perubahan pada seluruh pranata kehidupan bahkan sampai pada kehidupan individu.
Modernitas membawa manfaat dari segi material dan non material. Maksudnya, modernitas tidak hanya berhubungan dengan pembentukan standar hidup, tetapi juga pada gagasan. Namun demikian, tuntutan dari keduanya yang kian tinggi justru menyebabkan berbagai dislokasi salah satunya adalah anomi. Dislokasi ini timbul karena adanya ketidakpuasan yang akan berakibat pada berbagai perlawanan, anti kemapanan dan bersifat radikal. Hal ini menimbulkan indikasi timbulnya kondisi atau tindakan kontramodern. Kontramodernisasi ini lebih bersifat menghambat dan memodifiskasi daripada membalik proses modernisasi. Inilah yang dkatakan bahwa modernisasi mengalami krisis.
Dalam kaitannya dengan modernitas, sosisologi berperan dalam memberikan pencerahan, bentuk kesadaran rasional dan penting. Dala perselisihan antara modernitas dan kontra modernitas, maka sosiologi bertindak dalam ranah modernitas. Memilih kearah kemajuan serta berperilaku rasional dan mulai meninggalkan hal yang bersifat takhayul.Dalam pernyataan yang lebih luas, maka sosiologi melihat modern dan kontramodern sebagai sesuatu yang memiliki relativitas.
Krisis modernitas membawa dampak pada disintegrasi di tengah kajian integrasi yang selama ini mejadi pusat perhatian sosiologi. Seorang sosiolog klasik Vilfredo Paretoo mengatakan bahwa siklus integrasi dan integrasi mewarnai kualitas hukum sosiohitoris-suatu pemahaman positivistis. Oleh pareto hal ini dijelaskan bahwa kehidupan manusia saat ini berdasarkan pada perkembangan di masa lampau dan diproyeksikan untuk masa depan.
Masalah modern yang khas dari tatanan social berakar dalam berbagai perkembangan kelembagaan, namun itu semua juga telah terinternalisasi dalam struktur kesadaran yang khas. Seperti yang diungkapkan oleh Max Weber hal ini dipahami sebagai sifat inti modernitas yaitu rasionalitas. Rasionalitas dalam masyarakat tradisional dianggap sebagai kekuatan disintegratif. Namun pada masyarakat yang modern, rasionalitas pranata dan kesadaran tetap sejalan dengan integrasi social, kecuali system social terjebak dalam masalah ( tidak berjalan sesuai harapan ).
Untuk menjelaskan hubungan lebih mendalam tentang masalah tersebut, maka Anold Gehlen mengemukakan pendapatnya tentang kelembagaan serta penerapannya dalam masyarakat modern. Dijelaskan bahwa lembaga-lembaga berfungsi meyediakan program yang kukuh dan terpercaya yang dapat diikuti oleh individu dengan tingkat kesadaran yang rendah, tanpa dipikirkan dan bersifat spontan. Dalam hal ini Gehlen mengembangkan dua konsep strategisnya yaitu latar belakang dan latar depan. Latar depan berupa kegiatan yang terprogram secara kokoh serta latar depan berupa individu dengan segenap inovasinya.
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa setiap tindakan yang didahului pertimbangan pikiran bagi perilaku terlembaga berarti suatu awal deinstitusinalisasi. Konsep deinstitusionalisasi dan institusionalisasi direrapkan Gehlen secara umum bagi berbagai masyarakat yang berbeda. Tidak hanya terbatas pada masyarakat modern. Apa yang khas dari masyarakat modern adalah tingkat pemikiran, pertimbangan dan pemilihan yang sangat tinggi dalam semua segi dari kesadaran rasional.
Proses umum dari deinstitusionaisasi dapat digambarkan sebagai berikut bahwa suatu system institusi berjalan kemudian mulai timbul masalah ( segala sesuatu tidak berjalan seperti sedia kala ) masalah tersebut akan muncul dan mendesak kesadaran, sehingga memunculkan kesdaran baru . namun hal tersebut bukan berarti dimaknai sebagai munculnya disintegrasi, tetapi hany pola yang mulai tindak seimbang.
Hal tersebut memberikan gambaran pada masyarakat pra modern, yang mana ditandai dengan hanya sedikit memiliki dorongan internal kearah perubahan sosial, sosialisasi cenderung berhasil, terdapat sedikit penyimpanagn, kemungkinan pertentangan social terkendali dengan ketat oleh solidaritas kolektif. Dengan demikian masalah yang dihadapi kiranya bersifat eksternal,artinya berasal dari luar system itu sendiri.
Modernitas jika dibandingkan dengan system social tradisional, memiliki perbedaan. Hal ini dapat terihat bahwa kesadaran baru, perhatian baru terhadap masyarakat ditandai oleh semaca, rasionalitas kritis yang baru. Baik kewiraswataan yang memaksa masyarakat melalui kekuatan ekonomi pasar maupun pola birokrasi yang dipaksakan oleh campur tangan pemerintah, yaitu seperti rasionalitas weberian. Kesadaran rasional yang khas oleh para sosiolog dijelaskan tentang berbagai masalah kehidupan manusia yang hanya dapat dipahami dengan sangat tidak memadai oleh rasionalitas. Secar sederhana rasionalitas baru tidak dapat membuahkan nilai nilai kepuasan, kecuali nilai teknis murni. Hal ini lah yang menjadi dasar kita belajar krisis modernitas.
Sosiologi adalah struktur kesadaran modern yang menyediakan jawaban bagi masalah kehidupan social, jawaban modern yang khas, degan sifat-sifat dan keterbatasanb jenis rasionalitas ini. Sosilogi menyediaan berbagai konsep dan skema yang menjelaskan dengan apa proses perubahan dapat dianalisa dan dijelaskan. Perubahan dalam hal ini berkaitan dengan pengilmiahan dan ideologisasi kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini akan terdjadi kebebasnilaian ilmiah ( yang spenuhnya benar dalam struktur relevansi ilmiah ) menjadi kebebasnilaian kehidupan sehari-hari ( dimana ia menjadi salah tempat ). Akibatnya proporsi normative diterjemahkan melalui kognitif.
Berkenaan dengan sosiologi pop,maka dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya. Hal ini dikarenakan kegagalan sosiologi pop dalam melihat batas tegas antara ilmu dan kehidupan. Ini menyebabkan terjadinya perubahan dari metode analisa proses legitimasi dalam masyarakat kekuatan legitimasi atau deligitimasi itu sendiri. Karena keterbatasan inherennya sosiologi tidak dapat diterima untuk meligitimasi apapun. Apa yang dapat dilakukannya dengan dampak popular yang luas adalah mendelegitimasikanya. Dengan demikian sosiologi mendorong terjadinya kekecewaan, anomie, dan disintegrasi normative masyarakat modern.Jadi dalam hal ini sosiologi juga memiliki peranan untuk menciptakan perpecahan dalam masyarakat, terutama perpecahan antara mereka yang menggunankan nila lama ( rasionalitas yang tebatas ), dengan mereka yang hendak menciptakan nilai baru dengan rasionalitas ilmiah.
Penting untuk dipahami bahwa dampak yang luas dari sosiologi bukan sekedar masalah kegiatan sejumlah individu yang mepengaruhi masyarakat melelui pengajaran atau penulisan. Sosiologi sebagai suatu bentuk institusi kesadaran itulah yang menimbulkan dampak tersebut. Artinya bukan para sosiologi sebagai individu tetapi sosiolog seabagai suatu profesi itulah yang menjadi masalah terlepas dari luar proposisi etis yang sudah jelas bahwa individu, termasuk para sosiolog harus bertanggunga jawab terhadap perbuatnnya. Selanjutnya sosiologi secara etis dibedakan dalam dua situasi. Pertama situasi dimana nilai-nilai lebih kurang tetapi masih utuh dan yang kedua dalah terdapat disintegrasi yang nampak nyata.
Gejala modern yang makin nampak terlihat dalam berbagai wujud inovasi. Dua gejala kunci dari dunia modern adalah otonomi individu seta kebebasan politik, masing-masing sebagai cita-cita normative berupa rencana yang akan terwujud. Keduanya memberikan makna analisa sosiologis yang sangat luas. Oleh karena itu sosiologi merupakan bidang metode ilmiah yang tetap tegak pada tradisi yang kukuh sekalipun tradisi tersebut berasal dalam zaman yang khas dengan perubahan dan krisis/
SOSIOLOGI SEBAGAI CARA PANDANG
Dalam alam modern ini, berbagai institusi dan kelompok sosial, bahkan individu bergerak dengan cepat dari keadaan kekanak-kanakan ke keadaan pikun, dengan masa peralihan yang sangat singkat, demikian pula dalam disiplin ilmu sosiologi. Para sosiolog pada tahun 1950-1960 baru saja menyadari tentang profesi baru mereka, sekarang para sosiolog sepertinya banyak menghabiskan waktu untuk meyakinkan keadaan profesi mereka dan bekerja di lingkungan akademik dengan kesulitan ekonomi yang parah.Bahkan pada akhirnya para sosiolog banyak mempengaruhi kelompok intelektual di Eropa Barat dan Amerika Utara.
Fakta bahwa sosiolog kurang diperhitungkan oleh ahli lain lebih mudah diatasi daripada keraguan para sosiolog itu sendiri terhadap profesi mereka. Topik yang dibahas sekarang lebih menyangkut pada pemahaman diri yang tepat atas disiplin sosiologi itu sendiri. Sosiologi selama ini dan yang akan datang merupakan suatu pendekatan yang sah, bahkan penting terhadap realitas kehidupan kolektif. Salah satu ciri sosiologi yang inhern adalah pengakuan yang rendah hati terhadap realitas, menepis khayalan termasuk yang berasal dari sosiologi itu sendiri.
Sosiologi pada awalnya bukan saja merupakan suatu pendekatan baru yang mempelajari masyarakat, tetapi benar-benar merupakan bagian dari penemuan gejala-gejala masyarakat itu sendiri. Albert Solomon mengatakan “ lebih masuk akal untuk memahami disiplin sosiologi sebagai satu langkah dalam perkembangan perspektif yang dengan tepat dapat disebut bersifat sosiologis (sociological)”, berbeda dengan ilmu pengetahuan modern dan ilmu humaniora lainnya; fisika, biologi, ekonomi, hukum, politik, semua sudah diamati terlebih dahulu sebelum lahir ilmu-ilmu modern tersebut.
Persepsi sosiologi awalnya adalah persepsi dinamika otonom; masyarakat adalah suatu nama untuk sesuatu yang berlangsung menurut kaidah-kaidah yang masih harus ditemukan dibawah struktur-struktur kolektif sebagaimana didefinisikan “secara resmi oleh disiplin normatif seperti teologi, filsafat dan hukum”.Persepsi sosiologi berikutnya adalah bahwa sosiologi merupakan suatu cara pandang terhadap dunia segera setelah menemukan objek penyelidikannya. Seperti halnya R.Merton menciptakan dua istilah fungsi lembaga yaitu fungsi manifest ; fungsi yang ditentukan secara resmi dan fungsi latent yaitu fungsi yang terselubung (ipso facto). Bahwa dibawah bangunan yang nampak dalam dunia manusia ada struktur yang kepentingan dan kelembagaan yang tersembunyi. Yang nyata bukanlah merupakan keseluruhan cerita, tetapi yang tersembunyi haruslah dipelajari, atau dengan kata lain ” dunia bukanlah sebagaimana nampaknya”.
Secara intrinsik sosiologi memiliki karakter subversif terhadap “tatanan yang baik” yang disahkan dengan definisi-definisi resmi. Hal ini berlaku tanpa memperdulikan apakah seorang sosiolog “bermaksud” subversif atau tidak. Seperti pada masa sosiologi klasik, Emille Durkheim, Max Weber, Vilfredo Pareto walaupun dianggap sebagai tokoh konservatif tetapi mereka adalah tokoh reformis yang lunak dengan pemikiran-pemikiran mereka yang bersifat menggoyahkan dan mengganggu serta membuat marah kepada mereka yang memegang teguh “aturan yang ditentukan secara resmi”.
Kekhasan sosiologi adalah negatif dan secara paradoksal. Justru dalam negasilah sosiologi dapat menyumbangkan yang terbaik dalam pendirian positif. Para sosiolog selalu berselisih dengan disiplinnya sendiri jika ingin memainkan peran sebagai pembela (berbuat sebagai sosiolog). Perspektif sosiologi didasarkan pada rasionalitas, itulah sebabnya sosiologi pada tahap awal memahami dirinya sebagai suatu science/ilmu, tetapi pemahaman diri ini akan selalu berada dalam ketegangan tertentu karena ada dorongan “yang bersifat menelanjangi” atau negatif dari perspektif sosiologi. Para sosiolog selalu tergoda untuk menerapkan pandangan mereka demi “perbaikan” rasionalitas masyarakat. Motif ini menjadi lebih mendesak lagi dalam konteks sekulerisasi, dimana norma-norma agama mulai memudar pengaruhnya dan makin pentingnya penataan ulang masalah-masalah insani dengan cara rasional.
Pada abad XX modernitas, rasionalitas dan sekuler berada dalam kondisi krisis. Sosiologi merasa tidak dapat kembali kepada imam zaman pencerahan. Dikatakan oleh Max Weber bahwa ini adalah situasi sulit. Seseorang mencoba melihat dunia sejelas mungkin dan menderita “kekecewaan” radikal. Sekalipun demikian ia tetap bertekad melakukan intervensi agar lebih manusiawi”. Inilah alasan pertama relevansi Weber yang disebut “prise de conscience” sosiologi.
Fokus terhadap modernitas menyiratkan sesuatu usaha untuk melihat masyarakat masa kini sebagai suatu keseluruhan. Maknanya bahwa perspektif sosiologis adalah komprehensif dan komparatif. Sosiolog yang baik selalu memiliki rasa ingin tahu yang tidak pernah terpuaskan bahkan mengenai hal-hal yang remeh sekalipun dari perilaku manusia. Rasa ingin tahu tersebut mendorong untuk melaksanakan penelitian yang sulit terhadap beberapa sudut kecil dunia sosial yang dianggap remeh oleh orang lain.
Sosiologi harus kembali ke persoalan-persoalan besar mengenai susunan dunia modern. Sosiologi sebagai suatu disiplin harus memperoleh kembali suatu visi mengenai keseluruhan masyarakat kontemporer. Seperti yang oleh Marcel Mauss disebut Le Fait Sosial Total (pembentukan masyarakat seutuhnya). Artinya panggilan seorang sosiolog pada hakekatnya merupakan panggilan Kosmopolitan. Revitalisasi sosiologi akan berarti diatas segalanya jika merupakan suatu perspektif tertentu mengenai cara pandang terhadap dunia. Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan bukan seperangkat doktrin dan sumber-sumbernya tidak boleh kebal terhadap penelanjangan.
Weber memiliki suatu pemahaman yang khas tentang arti dari studi masalah-masalah insani dan gejala-gejala insani yang tidak dapat berbicara sendiri tetapi harus ditafsirkan. Penafsiran tersebut memiliki suatu moral, bahkan dimensi kemanusiaan yang meliputi (1)penghormatan terhadap orang lain (2)maksud-maksud mereka(3)harapan-harapan(4)cara hidup (5) tekad melihat dunia sosial seperti adanya (tanpa memandang harapan dan rasa takut seseorang melihat das sein dan das solen menurut kepercayaan mereka).
Emille Durkheim dan semua mashab sosiologi perancis memperlihatkan suatu semangat yang lebih dekat dengan semangat gerakan pencerahan. Metodenya masih Positivis, seperti ilmu pengetahuan alam. Meskipun masyarakat dengan jelas dipahami sebagai suatu realitas sui generis, metode sosiologi tidak ditentukan oleh kualitas masyarakat itu sendiri, tetapi oleh suatu konsep abstrak mengenai bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan. Durkheim tidak memisahkan antara das sein dengan das solen dalam realitas sosial
Tradisi Marxis berbeda dengan Durkheim, terdapat erosi yang sama dalam garis das sein dan das solen dalam masyarakat, alasannya bukanlah ideal positifis ilmu pengetahuan yang disebabkan karena masyarakat dilihat dari aspek filsafat sejarah, ke satu titik dimana pemahaman ilmiah dianggap tidak mungkin kecuali sebagai integral dar prosedur filosofis. Pada prosedur ini berdirilah suatu visi utopia masa depan, yang tanpa itu keseluruhan prosedur tersebut akan kehilangan sifatnya yang masuk akal.
Tidak ada metode ilmiah yang dapat menelaah semua realitas manusia secara komprehensif dan akhirnya tidak problematis. Sebaliknya, ilmu pengetahuan memandang objeknya dalam suatu cara yang selektif, parsial, ipo facto, problematis. Ilmu pengetahuan tidak akan pernah dapat memberikan suatu patokan moral untuk suatu tindakan, tetapi suatu pemahaman yang sama untuk menghindarkan utopianisme yang melihat masa kini sebagai menuju ke masa depan yang tak terelakkan dan menyelamatkan. Jika ilmu pengetahuan tidak dapat memberikan moralitas , maka lebih tak dapat lagi memberikan doktrin penyelamatan. Pemahaman ilmu pengetahuan dan sosiologi sebagai suatu ilmu pada akhirnya akan menjelaskan perbedaan antara analisis-analisis intelektual, perbedaan antara refleksi dan realitas kehidupan.
Positivisme dan utopianisme dewasa ini merupakan dua kubu yang dominan dalam sosiologi yang mewakili penyimpangan dalam keilmuan sosiologi dalam bidang kerja maupun metodenya, hal ini akan menimbulkan penyangkalan-penyangkalan pada struktur koqnitif disiplin sosiologi, tetapi juga memberikan jalan pintas dan jalan keluar yang mudah dari berbagai ketegangan antara das sein dan das solen.
Dunia dewasa ini jauh berbeda pada masa hidup Weber. Proses rasionalisasi yang oleh Weber dianggap sebagai suatu modernitas, masih berkembang saat ini dan menjadi suatu fenomenal global yang nyata. Sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya tidak dapat menghindar dari perkembangan tersebut. Positivisme dalam gerakan semangat pencerahan mencakup pula sikap modernisasi, dan individu-individu dengan pemahaman positivisme tentang sosiologilah yang sangat rawan terhadap modernisasi, karena nalar kritis mereka dapat roboh dengan tiba-tiba dan menyeluruh, manakala kesulitan-kesulitan eksistensial mencapai tingkat tertentu. Pada saat kritis tatanan sosial telah menjadi semakin dalam dan di berbagai tempat telah bersifat bencana. Oleh karena itu suatu reprise de conscience (pengambilan sikap kembali) sosiologi akan mencakup suatu pengakuan akan batas-batas.
Sosiologi seperti apapun bentuknya, merupakan suatu cara pandang yang amat khas tentang dunia insani. Satu fokus yang dibahas haruslah sebuah penjernihan yang cermat tentang apa yang sesungguhnya cara pandang tersebut. Kemudian langkah berikutnya haruslah berupa suatu penjernihan mengenai tindakan penafsiran sosiolog
BAB 2
TINDAKAN PENAFSIRAN
Semua orang mempunya makna dan berusaha hidup dalam suatu dunia yang bermakna. Tetapi, tentunya ada makna yang lebih dapat diterima dibandingkan makna-makna lainnya. Pembedaan berikut dibuat Alfred Schutz: dua jenis makna yang luas dapat dibedakan: ada makna dalam dunia kehidupan individu sendiri, yaitu makna yang secara aktual atau potensial “dalam jangkauan” (within reach) atau “ada di tangan” (at hand), yaitu makna-makna yang biasanya dimengerti sendiri secara alamiah dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian ada berbagai makna di luar dunia kehidupan individu itu sendiri, makna masyarakat-masyarakat lain atau sektor yang kurang akrab dari masyarakat individu itu sendiri, juga makna-makna dari masa silam; ini semua merupakan makna yang tidak secara langsung terdapat secara alamiah, tidak ‘dalam jangkauan’ atau tidak ‘ada di tangan’ tetapi harus lebih disesuaikan melalui proses inisiasi tertentu, apakah itu melalui pelibatan diri sendiri dalam suatu konteks sosial yang berbeda (khususnya untuk makna-makna yang berhubungan dengan masa silam) atau melalui disiplin intelektual tertentu.
Lebih lanjut orang harus membedakan antara menafsirkan makna-makna individu-individu dengan siapa dia dalam interaksi tatap muka yang aktual atau potensial (mereka yang oleh Schutz disebut dengan consociates), makna-makna individu-individu dengan siapa interaksi seperti itu tidak sedang berlangsung (disebut ‘sezaman’, atau dalam hal masa silam, disebut ‘pendahulu), dan akhirnya makna-makna yang terdapat dalam berbagai struktur anonim (makna suatu institusi dimana manusia-manusia konkritnya tidak pernah melakukan interaksi).
Penafsiran juga merupakan salah satu inkorporasi, memahami suatu hal yang baru dengan menghubungkannya dengan yang lama yang ada dalam pengalamannya sendiri. Penafsiran atas suatu komunikasi memerlukan usaha intelektual untuk memahaminya yang berlangsung secara tahap demi tahap. Sudah barang tentu, hal tersebut nampaknya terjadi secara spontan, dengan keseluruhan bagian informasi yang dengan cepat sedang diserap dan ‘bekerja ke dalam’ sistem kognitif. Aktivitas penafsiran yang sedang berlangsung ini mengambil tempat dalam benak saya sementara percakapan di luar berjalan, itu berarti bahwa penafsiran saya berlangsung dalam pembicaraan batin, yang merupakan suatu iringan sotto voce (sampingan) yang penting bagi pertukaran lisan itu.
Tindakan mendengarkan perlu dilakukan jika teman bicara sedang memberikan suatu informasi. Harus selalu memerhatikan apa yang sedang dibicarakan, dan tidak boleh membiarkan pikiran kita mengembara sehingga harus mencoba menangkap gelombang komunikasi. Tidak boleh menyela dengan penilaian atau pendapat-pendapat sendiri. Hal ini dapat menyebabkan si pembicara marah, atau akan mengalihkan perhatian dari apa yang sedang ia komunikasikan. Ini berarti kita harus mampu mengontrol dorongan-dorongan kekacauan pikiran atau pengaruh emosional (positif atau negatif).
Kenyataan yang terjadi bahwa minat untuk mengetahui perihal yang dibicarakan telah bangkit, mengandung pula suatu pengetahuan baru yang relevan buat kita, menempatkan istilah Schutztian yang lebih tepat, apa yang kita lakukan dalam tindakan penafsiran ini adalah menyesuaikan struktur relevansi kita sendiri dengan struktur relevansi orang lain dan kelompok di mana ia termasuk. Semakin lama percakapan itu berlangsung, semakin lengkaplah penyesuaian struktur-struktur relevansi ini.
Orang dapat mempergunakan dua istilah Jean Piaget, pertama, bahwa orang dapat mengasimilasikan pandangannya – itu berarti bahwa kita telah menyerapnya dalam pandangan kita sendiri; yang akibatnya tidak banyak berubah dan kedua, kita tealah mengakomodasikan pandangan kita terhadap pandangannya dan mengubah pandangan kita secara substansial. Dengan demikian kita dapat melihat dunia secara lain. Secara mudahnya, kita tidak dapat menafsirkan makna orang lain tanpa mengubah, walaupun paling sedikit, sistem makna kita sendiri.
Apa yang digambarkan tersebut merupakan penafsiran (menurut kehidupan sehari-hari ataupun sebagai seorang sosiolog) makna-makna yang timbul dalam setiap interaksi tatap muka. Tindakan penafsiran dalam percakapan tatap muka akan berbeda dengan tindakan penafsiran dari membaca surat kabar. Dalam surat kabar, pandangan dunia disajikan dalam cara yang amat terorganisir, berbeda dengan penyajian yang longgar dalam percakapan tatap muka.Selain itu, surat kabar menyajikan pandangannya terhadap kita dalam apa yang disebut proto ilmiah yakni suatu berita yang di dalam dirinya sendiri sudah ada suatu bentuk penafsiran – atau, lebih tepatnya cara berita itu disajikan sudah mengandung suatu penafsiran.
Masih ada lagi soal penafsiran atas struktur yang seluruhnya anonim, tanpa melihat bagaimana makna-maknanya disampaikan. Ini adalah masalah menafsirkan konstelasi kelembagaan besar, bukan makna individu-individu atau kelompok individu. dari bentuk-bentuk mereka yang nampaknya beku. Dalam suatu kasus yang dibicarakan, bahkan dalam hal percakapan biasa dalam kehidupan sehari-hari apa yang terkait di dalamnya adalah suatu penafsiran makna dari orang lain melalui suatu interaksi dan interpenetrasi yang kompleks dari struktur-struktur relevansi, sistem-sistem makna dan kumpulan-kumpulan pengetahuan.
Masalah Konseptualisasi
“Fakta mentah”tidak ada dalam ilmu pengetahuan tetapi terdapat fakta dalam kerangka konseptual yang juga berlaku dalam kehidupan biasa.Hal ini berarti kehidupan juga diorganisir dalam benak semua orang yang berpartisipasi didalamnya dan organisasi ini berlangsung dengan menggunakan sesuatu kerangka konseptual meskipun tidak canggih atau tidak logis dan batapa samar-samar kesadaran partisipan terhadapnya.
Adanya minat mengandaikan adanya kerangka konseptual dengan masa data merupakan penerapan langsung suatu konsep terhadap apa yang diamati.Konsep mengandaikan adanya sistem konsep yang lebih besar yang berkaitan dengan bidang aktivitas seksual. Konsep terebut tidak definisikan secara tajam dan betul-betul ilmiah karena hubungan antara yang satu dengan yang lain tidak diterangkan dan faliditas empirisnya tidak diuji secara ketat dengan bukti yang menjadi ciri konsep dalam suatu kerangka acuan ilmiah.
” Peta untuk hidup” merupakan konsep-konsep semu dari kehidupan biasa yang mempunyai maksud pragmatis yang menonjol yang secara pragmatis diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang disebut oleh Alfred Schutz sebagai tipifikasi yang ditunjukan secara panjang lebar ,kehidupan sosial bisa tidak akan mungkin tanpa itu : orng tidaka akan tahu “ bahwa sesuatu adalah sesuatu”.Sosiolog tidak begitu saja memungut tipifikasi seperti apa adanya dengan mengetahui benar semuanya. Jika pengetahuan ini hilang,tidak ada penafsiran yang muncul dari apa yang sesungguhnya sedang berlangsung.
Apa yang dihasilkan oleh penalaran ini memang sederhana tetapi sangat penting secara metodologis: konsep sosiologi tidak dapat berupa model pemikiran yang dipaksakan dari luar (biasa dilakukan oleh kaum positivis dari semua aliran),harus terkait dengan tipifikasi yang berlaku dalam situasi yang sedang dipelajari.Maksud penafsiran sosiologis adalah “mengeluarkan”makna itu dengan lebih jelas dan menghubungkannya(secara kausal dan cara lain) dengan berbagai makna dan berbagai sistem makna. Istilah Schutzian konsep sosiologis adalah konstruk tingkat kedua(konstruk pertama adalah tipifikasi yang sudah ditemukan sosiolog dalam situasi itu),atau dengan istilah Weberian konsep sosiologis bersifat menandai makna (sinnadaequat) yang berarti menjaga tujuan-tujuan bermakna dari pelaku dalam situasi itu.
Teori Weber tentang tipe-tipe ideal (ideal types) didalam sosiologi merupakan “tipe ideal” yang membawa konstruksi suatu terjemahan dari tipifikasi biasa ini. dalam kerangka acuan ilmiah maka konsep-konsep itu “nyata’-tidak benar-benar ada tetapi dikonstruksi “secara buatan” sebagai contoh konseptual Weber : birokrasi dan asketisisme duniawi (inner- worldy asceticism yang merupakan tipe ideal yang dikonstruksi oleh Max Weber untuk maksud-maksud penafsiran. Perbedaan dua konsep itu,dan dalam jarak masing-masing dari tipifikasi kehidupan bisa ditimbulkan oleh perbedaan dalam maksud kognitif Weber.
Pemindahan makna kehidupan sehari-hari kedalam dunia makna yang berbeda yaitu dunia ilmu sosial merupakan inti penafsiran sosiologi ,ini merupakan penjelasan awal mengenai situasi yang dipermasalahkan :penafsiran sosiologi tidak hanya memahami sesuatu tetapi memahaminya dalam suatu cara baru yang tidak mungkin terjadi sebelum perpindahan itu berlangsung.
Masalah Hasil Konseptualisasi
Sosiologi dari awal sangat dipengaruhi oleh positivis yang membuat dipancangkanya hukum-hukum universal. Deskripsi mengenai konseptualisasi menunjukan kelemahan cita-cita ini,gejala sosial akan rusak jika makna yang melakat padanya diabaikan tetapi pengertian ini mempunyai imlikasi lebih lanjut,hukum-hukum dianggap mempunyai keabsahan universal sementara sisitem makna insani tidak.
Konseptualisasi tentunya dapat membantu membangun hubungan kausal tetapi dapat membantu jika makna-makna yang berlaku dalam situasi itu diperhitungkan. Berbeda dari positivisme adalah cita-cita fungsionalisme,menuntut penemuan fungsi yang tidak tergantung pada maksud pelaku dalam suatu situasi sosial (laten function dari Robert Merton;untuk menemukan manifest function).
Masalah Bukti
Penafsiran sosiologis bukan suatu perenungan filosofis.Penafsiran selalu diuji dengan bukti empiris.Proposisi soiologis tidak pernah merupakan aksioma tetapi hipotesa yang secara empiris dapat digugurkan dan mirip dengan proposisi dalam semua ilmu tetapi bukti dalam sosiologi tidak sama dengan ilmu alam-justru karena selalu melibatkan makna-makna.
Pemaknaan ini tentu berkaitan dengan bagaimana penerapan metodologi. Dalam bahasa sosiologi Amerika masalah metode-metode (untuk dibedakan dengan masalah metode dalam suatu arti pendekatan intelektual yang umum ).Selama ini masalah ini dibicarakan dalam rangka mempertentangkan metode kuantitatif dan kualitatif. Sayangnya pemahaman penafsiran soiologis selalu disertai dengan antagonisme terhadap metode-metode kuantitatif,ini merupakan sutu kesalahpahaman.Apapun yang dikemukan disini sama sekali tidak mengandung arti lebih mengutamakan metode kualitatif diatas metode kuantitatif dalam penelitian empiris.
Masalah Objektivitas
Penafsiran yang diajukan oleh pengkritik aliran positivis dianggap mengandung”subjektivitas murni”,”intuisi”atau”emphati”yaitu usaha untuk memperoleh pengetahuan tanpa kontrol dan koreksi.Ini merupakan kesalahpahaman dan merupakan permainan tebak-tebakan dimana segala sesuatu diperbolehkan.Yang menjadi soal adalah masalah onjektivitas penafsiran sosiologis dan ciri objektivitas perlu ndiuraikan sedikit lebih jauh-tidak hanya terhadap para pengkritisi positivis yang memperkenalkan kriteria objektivitas yang diambil dari ilmu-ilu alam,tetapi juga terhadap para pengkritisi semua aliran yang menyangkal bahwa objektivitas jenis apapun adalah mungkin dalam penafsiran realitas sosial.
Objektivitas ilmiah merupakan suatu struktur relevansi tertentu yang dapat ditetapkan oleh seorang individu dalam kesadarannya kemungkinan ini dapat menyangkal kemungkinan umum penerapan relevansi dalam kesadaran tetapi penyangkalan jelas kontradiktif dengan pengalaman sehari-hari maupun bukti ilmiah jadi,sesungguhnya penerapan-penerapan berlangsung sepanjang waktu dalam kehidupan sehari-
Mengusahakan objektivitas dan kebebasnialian berarti membangun pertahanan kritis terhadap dogmatisme dari ilmu pengetahuan yang terbaik menurut Karl Popper,pencarian konstan dan sistematis untuk data yang mengugurkan akan berarti bila mengajukan hipotesa yang terdapat nilai-nilai yang relevan dengan proposisi tersebut.Kesimpulan masalah ini: kami setuju dengan kaum positivis bahwa memang terdapat sesuatu yang disebut objektivitas ilmiah sekalipun dalam praktek sulit untuk ditemukan namun kami setuju dengan kaum positivis karena objektivitas ilmu pengetahuan menafsirkan tidak ada kesamaan dengan objektivitas ilmu kealaman.Para kritisi ilmu sosiologis,kaum para antipositivis radikal menyangkal kemungkinan setiap niali-nilai dari penelitian ilmiah kami setuju dengan mereka bahwa kepentingan ekstra-ilmiah kerapkali mempengaruhi tindakan penafsiran dan pengaruh semacam itu harus diungkapkan dan kami tidak setuju bahwa fakta ini menolak baik prinsip maupun kemungkinan praktis suatu ilmu pengetahuan sosialyang objektif.
Masalah Penerapan
Tidak dapat dihindarkan bahwa semua pengetahuan mengenai masyarakat dapat diterapkan oleh orang yang mengerjakan proyek pragmatis tertentu tetapi yang terpenting adalah memahami penafsiran sosiologis yang merupakan proses kognitif yang bersifat amat khusus,dalam struktur relevansi diterapkan dalam tindakan masyarakat tetapi stuktur relevansi ini ditinggalkan yaitu oengurungan nilai-nilai seseorang itu sendiri dan semua penerapan perlu berdasarkan nilai.
BAB III
INTERPRETASI SOSIOLOGI DAN MASALAH RELATIVITAS
Relativitas dari permulaan, merupakan suatu objek kajian disipilin sosiologi. Sosiolog selalu tertarik untuk menyelidiki lebih lanjut sampai berapa jauh perbedaan ini dapat diterangkan dalam kaitannya dengan aneka karakteristik dua masyarakat itu. Sosiologi juga merupakan suatu produk relativitas yang sama, yang selalu menjadi salah satu dari objek-objek kajiannya. Jika sosiolog tidak mengalami sendiri kejutan relativitas, maka gejala relativitas itu tidak akan masuk kedalam kesadarannya.
Perhatian sosiologi terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai “kenyataan” dan “pengetahuan”, pada permulaannya dibenarkan oleh fakta relativitas sosialnya. Kumpulan-kumpulan spesifik dari “kenyataan” dan “pengetahuan” berkaitan dengan konteks-konteks sosial yang spesifik, dan bahwa hubungan-hubungan itu harus dimasukkan ke dalam suatu analisa sosiologis yang memadai mengenai konteks-konteks itu. Dengan demikian maka kebutuhan akan “sosiologi pengetahuan” sudah muncul bersama adanya perbedaan-perbedaan yang bisa diamati di antara berbagai masyarakat dari segi apa yang sudah diterima begitu saja sebagai “pengetahuan” dalam masyarakat-masyarakat itu.
Sosiologi pengetahuan menekuni analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Selain itu, sosiologi pengetahuan memahami dan mempelajari sifat tersusun (contructed) dari apa yang oleh manusia dimaksudkan sebagai realitas. Suatu konsep yang berguna dalam masalah ini adalah konsep mengenai struktur kemasukakalan. Lain orang lain pula definisinya mengenai realitas yang masuk akal.
Sosiologi pengetahuan memperoleh proposisi akarnya dari Marx—yakni bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialinya. Memang telah banyak perdebatan tentang macam determinasi yang bagaimana yang sebenarnya dimaksudkan oleh Marx. Bagaimana pun, sosiologi pengetahuan telah mewarisi dari Marx bukan hanya perumusan yang paling tajam dari masalah sentralnya, tetapi juga beberapa dari konsep-konsep kuncinya. Di antaranya perlu disebutkan secara khusus konsep-konsep tentang “ideologi” (ide-ide yang merupakan senjata bagi berbagai kepentingan sosial) dan tentang “kesadaran palsu” (alam pikiran yang teralienasi dari keberadaan sosial yang sebenarnya dari si pemikir).Yang merupakan pokok perhatian Marx adalah bahwa pemikiran manusia didasarkan atas kegiatan manusia (“kerja” dalam arti yang seluas-luasnya) dan atas hubungan-hubungan sosial yang ditimbulkan oleh kegiatan itu.
Skema “sub/superstruktur” yang mendasar itu telah diambil-alih dalam berbagai bentuknya oleh sosiologi pengetahuan, dimulai dengan Scheler yang pemikiran nya didasarkan pada kenyataan yang mendasarinya. Dalam sosiologi pengetahuan secara eksplisit telah dirumuskan dengan cara yang berlawanan dengan Marxisme, dan berbagai pendirian telah timbul di dalamnya mengenai sifat hubungan antara kedua komponen skema itu.
Gagasan-gagasan Nietzsche tidak begitu eksplisit kelanjutannya di dalam sosiologi pengetahuan, namun gagasannya itu sangat mewarnai latar belakang intelektual umumnya dan “suasana batin” di mana ia telah timbul. Nietzsche telah mengembangkan teorinya sendiri mengenai “kesadaran palsu” di dalam analisa-analisanya mengenai arti sosial dari penipuan dan penipuan diri (deception and self-deception) dan mengenai ilusi sebagai suatu syarat hidup yang perlu.
Historisisme, terutama sebagaimana yang diekspresikan dalam karya Wilhelm Dilthey, secara langsung mendahului sosiologi pengetahuan. Temanya yang dominan adalah kesadaran yang sangat kuat mengenai relativitas semua perspektif mengenai berbagai peristiwa manusia; artinya mengenai historisitas yang tak terelakkan dari pemikiran manusia. Konsep-konsep historisisme tertentu—seperti “determinasi situasional” (Standortsgebundenheit) dan “kedudukan dalam kehidupan” (Sitz im Leben)—dapat diterjemahkan secara langsung sebagai mengacu kepada “lokasi sosial” dari pemikiran.
Minat Scheler dalam sosiologi pengetahuan, dan dalam persoalan-persoalan sosiologis pada umumnya, pada pokoknya hanya merupakan satu episode yang sepintas saja dalam karir filosofisnya. Tujuan akhirnya adalah pembentukan suatu antropologi filosofis yang akan mengatasi relativitas sudut-sudut pandang yang berlokasi spesifik historis dan sosial. Sosiologi pengetahuan lalu akan menjadi alat untuk mencapai tujuan ini, dan tugas utamanya adalah untuk menembus kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh relativisme sehingga tugas filsafat yang sesungguhnya dapat dimulai.
Sejalan dengan orientasi ini, sosiologi pengetahuan Scheler pada pokoknya merupakan sebuah metode negatif. Scheler mengemukakan argumen bahwa hubungan antara “faktor-faktor ideal” (Idealfaktoren) dan “faktor-faktor nyata” (Realfaktoren),—istilah-istilah yang jelas mengingatkan orang pada skema “sub/superstruktur” menurut Marx—hanya merupakan hubungan yang regulatif saja. Artinya, “faktor-faktor nyata” mengatur kondisi-kondisi di mana “faktor-faktor ideal” tertentu dapat tampil dalam sejarah, tetapi tidak dapat mempengaruhi isi dari yang disebut belakangan itu. Dengan kata lain, masyarakat menentukan kehadiran (Dasein) tetapi tidak menentukan hakikat (Sosein) ide-ide.
Scheler menganalisa dengan sangat terinci cara pengetahuan manusia dibentuk oleh masyarakat. Ia menandaskan bahwa pengetahuan manusia diberikan dalam masyarakat sebagai suatu a priori bagi pengalaman individu dengan memberikan kepadanya tatanan maknanya. Tatanan ini, meskipun tergantung kepada suatu situasi sosio-historis tertentu, menampakkan diri kepada individu sebagai cara yang sudah sewajarnya untuk memandang dunia. Scheler menamakannya “pandangan dunia yang relatif-natural” (relativnaturliche Weltanschauung) dari suatu masyarakat—sebuah konsep yang mungkin masih dapat dianggap sebagai sentral bagi sosiologi pengetahuan.
Sesudah “penemuan” sosiologi pengetahuan oleh Scheler itu, berlangsung perdebatan yang luas di Jerman mengenai kesahihan, ruang lingkup dan penerapan disiplin baru itu. Dari perdebatan ini lahirlah sebuah rumusan yang menandai pengalihan letak sosiologi pengetahuan ke dalam suatu konteks sosiologi yang lebih sempit. Dengan rumusan itulah sosiologi pengetahuan sampai di dunia berbahasa Inggris. Rumusan itu adalah yang dibuat oleh Karl Mannheim.
Perhatian utama Mannheim tertuju kepada gejala ideologi. Ia membedakan antara konsep-konsep ideologi yang partikular, yang total dan yang umum—ideologi sebagai yang hanya merupakan satu bagian saja dari pemikiran seorang lawan (serupa dengan “kesadaran palsu” menurut Marx); dan (di sini Mannheim beranggapan bahwa ia melangkah lebih jauh dari Marx); ideologi sebagai karakteristik tidak hanya dari pemikiran lawan melainkan juga dari pemikiran sendiri.Mannheim berpendapat bahwa objek pemikiran secara berangsur-angsur menjadi lebih jelas dengan adanya akumulasi berbagai perspektif mengenainya. Ini merupakan tugas sosiologi pengetahuan, yang dengan demikian merupakan alat pembantu yang penting dalam upaya memperoleh pemahaman yang benar mengenai peristiwa-peristiwa manusia.
Merton telah menyusun sebuah paradigma bagi sosiologi pengetahuan, dengan merumuskan kembali tema-tema utamanya dalam bentuk yang padat dan koheren. Konstruksinya itu menarik, karena ia merupakan upaya untuk mengintegrasikan cara pendekatan sosiologi pengetahuan dengan cara pendekatan teori struktural-fungsional. Konsep-konsep Merton sendiri mengenai fungsi-fungsi yang “manifes” dan yang “laten” diterapkan pada bidang ideasi. Sedangkan Talcott Parsons juga telah mengomentari sosiologi pengetahuan. Namun komentarnya itu hanya terbatas kepada suatu kritik terhadap Mannheim dan tidak berusaha mengintegrasikan disiplin itu ke dalam sistem teorinya sendiri.
Di dalam kerangka acuan sosiologi, sekalipun batas-batasnya jelas, terdapat cara-cara dengan mana relativitas dunia sosial terlampaui, meskipun pelampauan ini bersifat sebagian atau sementara. Sosiologi tidak dapat memecahkan persoalan relativitas dalam arti menghakimi sistem-sistem makna yang saling berbanturan dari segi kebenaran asasi mereka. Jikapun penghakiman seperti itu memang mungkin dilakukan, tugas itu harus diserahkan ke filsafat, etika atau teologi.
Sosiologi tidak dapat menawarkan petunjuk moral. Meskipun begitu, sosiologi mempunyai suatu hubungan yang aneh dengan etika, atau paling kurang dengan suatu jenis etika tertentu. Oleh Marx Weber disebut dengan ‘ Etika Tanggung Jawab “ ( Verantwortungsethik ) yaitu etika yang mengambil kriteria tindakannya dari perhitungan atas akibat yang mungkin dan bukan dari prinsip-prinsip mutlak. Konsep lainnya terdapat suatu “ afinitas tunggal “ ( Wahlverwandschaft ) yang mendalam antara pilihan moral ini dan pemahamannya terhadap metode sosiologi.
Moralitas dan agama merupakan dua wilayah di mana dampak relativitas modern tampak paling merusak. Bagi masyarakat, sebagai suatu keseluruhan, perelativan moralitas mungkin merupakan masalah yang serius, karena hal ini menggerogoti landasan kemana setiap kolektivitas manusia harus bersandar. Masalah ini dapat lebih diperjelas dengan melihat pada gejala pluralisme
Penilaian moral sosiolog dapat juga dianalisa secara sosiologis dan social sosiologis. Tetapi, sekali lagi analisa seperti ini tidak akan dengan sendirinya menghasilkan kriteria etis dari suatu penghakiman asasi atas berbagai kontradiksi moral yang dapat diperoleh secara empiris. ( suatu analisa fenomenologis yang lengkap mengenai masalah ini akan membedakan antara aspek-aspek “neotik” dan “neomatic” dari penilaian moral, tetapi ini harus berada di luar cakupan kita sekarang )
Moralitas sebagai bangunan ekstern dari norma-norma dan sebagai internalisasi unsur-unsur kesadaran pribadi, secara empiris dapat di temukan dan karena itu merupakan pokok masalah sebenarnya bagi sosiologi serta disiplin-disiplin empiris lainnya ( termasuk psikologi ). Etika di lain pihak, merupakan disiplin normatif yang ditemukan secara empiris. Sosiologi mempengaruhi etika karena ia menyadarkan etikus terhadap relativitas empiris dari keyakinan-keyakinan moral. Masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut : Dapatkah seseorang bertanya mengenai kebenaran agama setelah ia mengetahui bahwa system-sistem keagamaan juga merupakan konstruksi social.?. Bahwa system-sistem keagamaan adalah semacam konstruksi dan juga merupakan konstruksi dalam kerangka acuan analisa empiris.
Semua pengalaman keagamaan berlangsung dalam suatu konteks social, bahkan pada diri seorang pertama ( yang membawa serta dengannya suatu konteks social yang telah diinternalisasi ). Sosiologi dan teologi merupakan dua disiplin yang berbeda, dengan struktur relevansi yang berbeda secara tajam. Sosiologi tidak punya pilihan kecuali mengurung status ontologism pertanyaan-pertanyaan keagamaan, yang semuanya memang bersifat keagamaan, melampaui jangkauan pengalaman empiris.
Teologi ( Islam, Kristen atau apapun yang anda miliki ) tidak akan berarti apapun kecuali kurungan-kurungan dihilangkan. Tetapi seperti halnya hubungan antara sosiologi dan etika, sosiologi dan teologi satu sama lain saling mempengaruhi. Paling tidak seorang teolog yang peka secara sosiologis harus memperhitungkan “ketersusunan” sistem-sistem keagamaan dan setidaknya akan menyisihkan bentuk-bentuk tertentu fundamentalise teologis yang tidak dapat mengakui hal ini.
Sebaliknya teologi terhadap sosiologi secara tidak langsung dapat memainkan sosiologi tanpa kepekaan teologis sama sekali, akan tetapi sosiologi agama akan harus mengembangkan semacam “telinga teologis” . Para sosiolog klasik memahami, tidak saja Weber tetapi juga Durkheim, Simmel, Pareto dan lainnya; Bahwa agama merupakan suatu pusat gejala sosial, karena dalam sebagian besar sejarah manusia, agamalah yang telah memberikan makna-makna hakiki dan nilai-nilai kehidupan.
BAB IV
INTERPRETASI SOSIOLOGI DAN MASALAH KEBEBASAN
Perspektif sosiologi menyingkap “keterikatan” manusia dalam dua cara, pertama sejak dilahirkan manusia telah berada di dalam konteks sosial yang mengikatnya. Ini artinya bahwa ia menemukan dirinya di tengah lingkungan control sosial.. Oleh karena itu Durkheim menegaskan bahwa fakta sosial adalah “benda” yang menimbulkan daya pengikat. Seseorang tidak dapat merasakan solidaritas dari manusia-manusia lain, tanpa mengalami kontrol sosial atas kehidupan dirinya.. Kedua adalah sosialisasi. Sosialisasi dapat dipandang sebagai suatu proses yang luar biasa kuatnya di mana struktur masyarakat “obyektif” “di luar sana” diinternalisasikan dalam kesadaran. Menurut George Herbert Mead sebagai suatu hasil sosialisasi, setiap individu dapat dipandang sebagai suatu produk masyarakatnya.
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan empiris berurusan dengan pengaruh kausal dua dimensi masyarakat ini. Sehingga sosiologi tampil sebagai suatu perspektif “deterministis”. Sosiologi menjelaskan tindakan atau peristiwa ini atau itu dari segi hubungan kausal surut ke waktu lampau baik dalam konteks sosial maupun dalam kesadaran yang tersosialisasi. Akan tetapi sifat “deterministis” sosiologi ini kerapkali membangkitkan permusuhan orang menentang disiplin tersebut, bahkan sosiologi dipandang sebagai musuh dari kebebasan.
Sistem hukum yang mendasar dari masyarakat Barat dibangun atas dasar suatu konsep pertanggung jawaban individu. Jika perbuatan-perbuatan atau bahkan motif-motif terdalam seorang individu dapat dijelaskan dalam kaitannya dalam konteks sosialnya dan sosialisasinya, dalam pengertian apa orang masih bisa mengatakan bahwa ia bertanggung jawab atas suatu tindakan kriminal? Akibatnya, hukuman yang sah semakin dipahami dalam pengertian pragmatis, tidak dikaitkan dengan konsep tanggung jawab individu. Banyak orang yang merasa bahwa determinisme sosiologi ini menggerogoti landasan moral masyarakat Barat.
Ada ketegangan lain dalam tradisi sosiologi yang baik secara eksplisit maupun implisit bertentangan dengan determinisme. Terdapat suatu penolakan bahkan pemberontakan terhadap penindasan masyarakat atas individu. Dasar empirisnya terletak dalam fakta sederhana tetapi amat penting yaitu bahwa pribadi manusia sesungguhnya memberomtak terhadap masyarakat. Terdapat suatu kemungkinan bagi manusia untuk memberontak terhadap masyarakat; karena itu jaringan kontrol sosial tidak sempurna. Dan ada kemungkinan bagi manusia untuk mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang benar-benar baru; maka sosialisasi tidak pernah sempurna.
Mead menyinggung kenyataan yang sangat khas bahwa manusia merupakan subyek sekaligus obyek bagi dirinya sendiri. Hal itu berarti kemampuan manusia untuk menjadi bebas merupakan sifat pembawaan manusia yang inheren dan universal. Manusia hanya menjadi bebas dengan mengatakan tidak terhadap, dengan menafikan, berbagai sistem determinasi di mana ia menemukan dirinya sendiri atau ke dalam mana ia terlempar. Kebebasan manusia hanya berarti jika kebebasan itu mencakup pelampauan kausalitas ini.
Kebebasan manusia bukan merupakan semacam lobang dalam rentetan dari suatu kausalitas, atau dengan kata lain suatu perbuatan barangkali dinilai secara bebas, dapat juga sekaligus dinilai sebagai terikat secara kausal. Kebebasan tidak dapat diterangkan oleh metode-metode ilmu pengetahuan empiris manapun dan sudah pasti termasuk sosiologi. Proposisi apapun mengenai kebebasan manusia membawa ke pembelokan dari ilmu pengetahuan ke wilayah pembicaraan yang lain, baik melalui pengalaman subyektif, iman atau penalaran.
Terdapat dua cara dimana sosiologi sebagai sosiologi dapat membicarakan kebebasan. Pertama, dengan menafsirkan kepercayaan manusia akan kebebasan dan dengan menganalisa konteks sosial serta berbagai konsekuensi sposial dari kepercayaan tersebut. Kedua, berkisar pada latar eksternal dan berbagai hambatan obyektif terhadap tindakan yang didasari kepecayaan akan kebebasan. Pada pendekatan ini kebebasan dimaknai sebagai konsep pilih-pilihan. Sosiologi menganalisa serangkaian pilihan-pilihan dalam situasi sosial khusus.
Modernisasi memperluas pilihan sehingga masyarakat modern lebih bebas daripada masyarakat tradisional. Dalam doktrin mazhab Stoa, kebebasan individu terletak pada kemampuannya untuk membedakan antara apa yang dapat dan tidak dapat dia lakukan. Sebenarnya kesadaran akan potensi membebaskan diri ini sudah ada sejak lama, bahkan semenjak jaman Auguste Comte. Dalam sosiologi mutakhir, sang pembebas atau kesadaran diri “emansipator” dari sosiologi mengambil bentuk berbeda-beda. Pemahaman kita tentang metode sosiologi tidak memungkinkan adanya kaitan langsung disiplin ini dengan doktrin-doktrin pembebasan apapun. Ilmu pengetahuan harus universal atau jika tidak maka sama sekali bukan ilmu pengetahuan.
Terdapat suatu paradoks yang aneh dalam hubungan antara sosiologi dengan cita-cita pembebasan. Secara historis, ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu instrument kebebasan dan telah mebebaskan orang dari segala bentuk “keterikatan”yang dalam perspektif ilmiah dipahami sebagai “takhayul”. Ilmu pengetahuan merupakan suatu kekuatan bagi kebebasan yang lebih besar dari kekuatan raksasa yang menguasai yang menguasai lingkungan dan jasmani manusia sendiri sebagai akibatnya. Akan tetapi paradoksnya, ilmu pengetahuan itu sendiri menimbulkan pranata-pranata, sistem-sistem pemikiran dan akhirnya program-program sosial politik yang bahkan lebih mengikat manusia dibandingkan dengan “takhayul” yang telah digantikannya.
Cita-cita sosial politik dari pembebasan melalui ilmu pengetahuan mempunyai suatu akibat antidemokrasi yang menyatu di dalamnya. Terdapat kepentingan-kepentingan yang mapan dalam masyarakat modern dari golongan yang menginginkan kekuasaan, yang membuat kegunaan ilmu sosial politik dari ilmu pengetahuan dapat diterima umum. Masalah utamanya adalah bagaimana mempertahankan kebebasan rakyat dari ambisi kediktatoran penguasa.
Sebenarnya suatu pemahaman terhadap ilmu pengetahuan yang tidak totalitas dan “sederhana” akan menguntungkan demokrasi atau dengan kata lain dengan memahami ilmu pengetahuan sebagai suatu pendekatan parsial dan “aspektual’ terhadap realitas manusia, ilmuwan tidak akan menempati satus elit kognitif dan akibatnya baik hak-hak kognitif maupun politis orang-orang biasa tetap diargai dan itu merupakan inti demokrasi. Ada dua penekanan utama dari “libersionis” dalam sosiologi, pertama individual atau sosiologi dipahami sebagai alat pembebasan individu, terutama aksistensi pribadi; kedua, secara politis atau sosiologi dipahami sebagai alat perjuangan politis ini itu untuk kebebasan yang lebih besar bagi masayrakat secara keseluruhan.
Tugas yang dibebankan pada sosiologi adalah “pemahaman”. Menurut tradisi pembongkaran dan penelanjangannya sosiologi memerangi pemikiran menyimpang (kesadaran palsu) yang sebelumnya mengesahkan berbagai tekanan yang ada dalam kehidupan seseorang, yang menimbulkan pemahaman yang merupakan awal pembebasan pada tingkat kehidupan nyata(praksis). Dalam hal ini sosiologi mengungkapkan kelemahan atau kekurangan dari struktur masyarakat yang selama ini dipandang kaku dan keras oleh individu, sehingga memungkinkan individu untuk keluar dari struktur-struktur sosial tersebut (ekstasis). Konsep penting di sini adalah peranan. Sosiologi menganalisa peranan-peranan dan menyingkapkan sifatnya yang tersusun. Wawasan ini memiliki implikasi praktis yakni pembongkaran, dimana tujuan utamanya adalah untuk menciptakan eksistensi “bebas peranan” yang mengubah hubungan antara individu dengan dirinya, orang lain, dan sunia.
Sosiologi tidak memberikan penghayatan ke dalam semua bentuk determinasi sosial dan karena itu membuka pilihan-pilihan baru. Namun, terdapat batas-batas situasi sosial individu ;
1. tidak semua pilihan secara sosial tersedia dan tidak semuanya secara sosial dapat dilakukan.
2. Pilihan yang tergambar secara jelas dalam kesadaran barangkali memilliki kemungkinan sangat kecil untuk secara empiris diwujudkan dalam masyarakat.
3. Bahkan kesadaran yang paling bebaspun tetap merupakan kesadaran tersosialisasi dan kenyataan ini menimbulkan batas-batas.
Semua tindakan memilih jika bukan merupakan pengalaman yang mudah hilang harus diwujudkan dalam bentuk-bentuk sosial. Artinya bentuk-bentuk sosial akan melahirkan sebuah determinasi baru. Sebuah kebiasaan yang muncul lain dari biasanya dipandang sebagai sesuatu yang baru, akan tetapi saat itu kemudian terulang secara berkali-kali maka akan terjadi atau mengalami proses institusionalisasi yang pada akhirnya akan melahirkan awal dari sebuah keterikatan yang baru..
Alasannya adalah kehidupan sosial manusia tidak mungkin tanpa ukuran ketertiban dan itu berarti pada gilirannya aktivitas manusia harus diorganisir dalam pola-pola yang secara timbale\ balik dapat dikenali dan diramalkan (institusionalisasi). Deskripsi dari institusionalisasi dan pembentukan peran ini dapat digeneralisasi menjadi spektrum perubahan pribadi dari pembebasan hingga menjadi sebaliknya yakni awal keterikatan. Pengalaman pertama tidak dapat berulang. Itulah mengapa masa kanak-kanak adalah suatu periode yang menggairahkan, dan orang tak dapat kembali pada masa lampau.
Konsep totalitas dari manapun mengenai pembebasan menjadi tidak mungkin. Orang akan menyadari bahwa pilihan apapun, betapapun membebaskannya untuk pertama kali, akan membawa pada pola-pola baru yang menampik pilihan-pilihan lain. Tetapi ini juga tidak berarti bahwa tidak ada pembebasan sejati. Orang tetap mengharapkan suatu pilihan yang membebaskan tetapi orang tidak akan mengharapkan pembebasan total. Yang terpenting adalah pembebasan seseorang dapat mempersempit batas-batas orang lain.
Dengan demikian orang harus bertanggung jawab atas segala akibat dari pilihan pembebasan yang telah mereka ambil. Perspektif sosiologi menyarankan kerendahan hati, kesederhanaan dan rasa hormat terhadap orang lain dan pemahan yang tidak absolustik dan tidak dogmatis terhadap ekstasi pribadi seseorang.bentuk pemahaman liberasionis terhadap sosiologi mengikuti rumus umum “tekanan – pemahaman - pembebasan”. Peranan yang diemban oleh sosiologi dalam pembebasan ini adalah untuk memberikan pemahaman dari awal praksis pembebasan. Peran tersebut adalah:
1. Sebagai teori pembebasan sosiologi memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai struktur sosial beroperasi, termasuk struktur yang dianggap menindas.
2. Sebagai fungsi politis, sosiologi menjalankan fungsi propaganda yang dapat bermanfaat bagi bagi kawan maupun lawan dalam usaha pembebasan.
3. Fungsi logika, sosiologi dapat menyarankan proses dan bentuk organisasi yang kiranya akan membuahkan hasil tertentu yang diharapkan .
Akan tetapi di luar itu semua, sosiologi juga menyadari terdapat suatu kecenderungan anti utopia yang inheren dalam pemikiran sosiologi. Seorang sosiolog harus mengetahuiu akibat-akibat yang tidak diaharapkan dari tindakan sosiologis, fungsi-fungsi laten dan keterbatasan lembaga-lembaga, mengenai beban masa lampau dan kemenduaan kekuasaan. Sosiologi adalh suatu usaha untuk memahami realitas sosial—segala sesuatu keras yang mengelak sari keinginan-keinginan kita. Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan tidak boleh menganggap dirinya sebagai patokan tunggal atau utama bagi tindakan politis.
BAB 5
SOSIOLOGI DI ANTARA TEKNOKRASI DAN IDEOLOGI
Sosiologi sebagai keseluruhan menjadi baik pengetahuan teknis maupun doktrin ideologis. Dengan kegunaan teknokratis, sosiologi dipahami dan diterapkan sebagai suatu satuan pengetahuan teknis untuk melayani “rekayasa sosial”. Hal ini menunjuk pada “mentalitas rekayasa” yang merupakan unsure strategis dari kesadaran modern yang dibentuknoleh revolusi teknologi. Mentalitas ini lahir dari dan sepenuhnya sesuai bagi wilayah teknologi itu sendiri. Degi-segi pokok dari mentalitas rekayasa ini dapat digambarkan: suatu pendekatan “atomistis” atau “perbagian” terhadap realitas. Dunia dipahami sebagai sesuatu yang terdiri dari satuan-satuan yang dapat dilepas-lepaskan dan kemudian disatukan kembali. Cara dan tujuan dapat dengan mudah dipisahkan. Memiliki kecenderungan kuat ke arah berpikir abstrak terutama kuantitatif. Memiliki kecenderungan untuk memecahkan masalah. Selain itu terdapat semangat untuk menemukan hal-hal baru dan memberi penilaian positif terhadap inovasi. Memiliki keterlibatan afeksi atau emosi yang rendah.
Bila sosiologi ditempatkan untuk melayani teknokrasi, maka hampir secara otomatis diterjemahkan ke dalam kategori-kategori mentalitas teknokrasi yang khas. Pertama, terdapat keinginan agar sosiologi dapat diterapkan pada urusan-urusan praktis. Sosiologi dengan kecenderungan positivistic yang kuat dengan mudah dapat dibawa ke arah itu. Selain itu ada tekanan untuk segera membuahkan hasil yang dapat diterapkan. Dari segi dinamika sosial-psikologis, tekanan ini cenderung terinternalisasi oleh para sosiolog yang menemukan dirinyadalam posisi ini.dengan kata lain, para sosiolog sendiri sekarang menganggap diri mereka sebagai pemecah masalah praktis atau sebagai “perekayasa sosial”. Lebih jauh, sekarang telah ada ukuran yang disepakati bersama bagi “keberhasilan” penelitian sosiologis, dalam arti bagaimana hasil penelitian ini sesuai dengan kepentingan apapun dari “sumber dana”. Dengan demikian, sosiologi tidak hanya menjadi alat teknokrasi, tapi ia dipaksa untuk membawa dirinya agar seirama dengan kepentingan teknokrasi.
Penerapan teknokratis dari sosiologi telah sering dikritik atas dasar penilaian moral, sebab tujuan atau tindakan lembaga teknokratis tertentu telah dinilai secara moral dapat ditolak. Jika orang beranggapan bahwa sosiolog bertanggung jawab atas penerapan-penerapan dari hasil kerjanya, maka akan timbul kasus di mana kritik-kritik moral akan dibenarkan. Tapi penting untuk melihat bahwa penerapan teknokratis dari sosiologi cenderung mengarah kepada deformasi menjadi maskapai sosiologi, sekalipun tujuan eksternalnya di luar penilaian moral. Ini lebih merupakan alasan metodologis dari pada etis: integritas cara pemahaman sosiologis di sini digantungkan kepada maksud-maksud yang tidak ada hubungannya. Paling banter sosiologi dalam keadaan menghamba kepada teknokrasi ini menjadi suatu kegiatan yang sangat parochial, terikat pada keadaan dan pragmatis.
Deformasi yang paling biasaadalah bila sosiolog, yang sekarang kurang lebih menjadi bagian dari suatu organisasi teknokrat, dengan sengaja atau (lebih mungkin) tanpa sesadarnya menyesuaikan hasil-hasil kerjanya dengan keinginan-keinginan organisasi tersebut. Sosiologi yang telah tergabung ke dalam suatu organisasi teknokrat dipaksa untuk membuahkan informasi dan penafsiran yang tidak dapat dipercaya. Dengan demikian, paradoksnya, ia berkurang kegunaannya bagi “patronnya”. Sosiologi akan sangat berguna jika ia dibiarkan melakukan tugasnya di atas landasannya sendiri, yakni, dalam struktur relevansinya sendiri. Dengan demikian sosiolog tidak boleh terserap ke dalam mentalitas teknokrat. Karena mentalitas dan konteks sosial berkaitan erat (yang sesungguhnya merupakan akar pengertian dari sosiologi pengetahuan), barangkali perlu disarankan agar sosiolog berinduk kepada semacam lembaga yang tidak teknokratis.
Ada akibat lain dari penggunaan teknokratis dari sosiologi: tekanan untuk menghasilkan sosiologi yang sejauh mungkin kelihatan seperti ilmu-ilmu kealaman yang telah terbukti sangat sesuai dengan tujuan-tujuan teknokratis, yang berarti suatu kesetiaan kepada sosiologi positivistis. Hal ini menyangkut suatu kultus terhadap kuantifikasi. Pada kasus ekstrim, berupa suatu sikap di mana proposisi sosiologis apapun yang tidak dapat dinyatakan secara matematis dianggap “lemah”, tidak ilmiah dan tidak berguna.
Terdapat suatu kesalahan dalam sosiologi positivistis yaitu keyakinan bahwa penafsiran dapat dikesampingkan. Kesalahan ini, sudah tentu, tidak harus berkaitan dengan teknokrasi dan kepentingan praktisnya. Ia juga dapat tampil dalam bentuk suatu “ilmu murni”. Jadi kesalahan terletak pada kegagalan untuk memahami sifat khas realitas manusia dan dengan demikian, sifat khas dari setiap usaha untuk menggambarkan dan menjelaskan realitas ini. sosiologi positivistik yang dipelihara oleh teknokrasi itu cenderung mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak terlalu menyenangkan para teknokrat, yang pada gilirannya membantu menjatuhkan maskapai sosiologi sebagai organisasi yang sedang mencari kedudukan. Akibat semacam ini berkaitan dengan penyakit sosiologi dewasa ini serta kurang mengakar dalam masyarakat yang lebih luas.
“Rekayasa sosial” tidak hanya menjadi kegiatan profesional di kalangan ilmuwan tetapi juga praksis eksistensial dari sejumlah besar masyarakat umum. Kehidupan manusia merupakan suatu realitas yang kuat, dan tidak dapat diserap ke dalam “mentalitas rekayasa”. Hal tersebut meruntuhkan bangunan rapuh di mana para “perekayasa sosial” berusaha mengurung dan merasionalisasinya. Namun sejauh usaha-usaha rekayasa ini berhasil, kesadaran sehari-hari itu menjelma menjadi kesadaran “teknokratis”. “Imperialisme” teknokratis ini, baik dalam pikiran maupun dalam praksis sosial, merupakan salah satu dari kontradiksi serius dalam modernitas. Tak pelak lagi timbul perlawanan terhadapnya. Perlawanan-perlawanan ini yang pada hakekatnya bukan sekedar antiteknokratis namun menentang modernisasi, telah timbul sejak awal zaman modern.
Adanya penerapan ideology bagi sosiologi dimaksudkan segala usaha untuk menjadikan sosiologi sebagai alat pemberi makna bagi tujuan-tujuan politik. Pada prinsipnya penerapan ideologis dari sosiologi semacam itu dapat bersifat baik konservatif maupun revolusioner, ditujukan baik bagi pelestarian status quo maupun bagi perubahan yang lebih atau kurang radikal. Dewasa ini, karena berbagai alasan sejarah, sosiologi jarang digunakan sebagai suatu ideology politik untuk mempertahankan status quo (kecuali di Negara-negara sosialis di mana semacam “sosiologi” berfungsi sebagai suatu sub-bagian dari dogma Marxis untuk mengesahkan rezim).
Seringkali sosiologi ideologis menampilkan diri sebagai suatu pemberontakan terhadap penggunaan teknokratis. Dari kedudukannya sebagai pelayan teknokrasi (Negara, sistem korporasi, serta berbagai struktur birokrasi yang berkaitan) yang sedang berkuasa, sekarang sosiologi harus berbalik menyerang teknokrasi itu sendiri. Dalam menentang penggunaan teknokratis dari sosiologi, mereka yang memiliki orientasi tersebut umumnya akan menganggap mereka seperti antiteknokrat par excellence.
Antara penggunaan teknokratis serta ideologis dari sosiologi terdapat suatu struktur relevansi eksternal yang dipaksakan atas sosiologi. Relevansi eksternal tersebut bersifat pragmatis, bukan pemaksaan kerangka referensi teoritis yang berbeda terhadap sosiologi, namun mobilitas sosiologi bagi tujuan-tujuan praktis. Dalam dua kasus ini,”cara pandang” sosiologis digantungkan di bawah tuntutan pragmatis untuk memperoleh “hasil-hasil yang berguna”. Hal ini merupakan respon terhadap tekanan sosial dan demikian kognitif dari situasi. Kekhasan dari semangat sosial diserap ke dalam oleh “mentalitas rekayasa” dan “mentalitas revolusi” dari paham apapun. Baik teknokrasi maupun ideology membuahkan elitism kognitif yang serupa dank has, di satu pihak disebut “ahli”, di pihak lain dari kelompok apapun menyebut dirinya “pelopor” dari perubahan yang sedang diusahakan secara revolusioner.
Masalah umum baik dalam penggunaan teknokratis maupun ideologis dari sosiologi adalah hubungan antara teori dan praksis, suatu hubungan terputus. Sosiolog yang terlibat dalam proyek pragmatis apapun, baik bersifat teknis maupun politis, harus tetap mempertahankan “keterputusan” ini bila tidak ingin terseret ke dalam mentalitas pragmatis yang mengancam kelangsungan sikap ilmiah.
BAB 6
SOSIOLOGI DALAM KRISIS DUNIA MODERN
Jika kita berbicara mengenai modernitas, maka berhubungan langsung dengan bagaimana proses yang bertahap dari masa ke masa. Modernitas / modern merupakan perpaduan dari unsure teknologi, ekonomi, social dan kognitif yang diperoleh oleh ilmuwan secara empiris. Modernitas adalah perwujudan kemajuan, yang terjadi karena adanya perubahan kehidupan akibat inovasi teknologi yang terus berkembang. Hal ini mampu memeberikan perubahan pada seluruh pranata kehidupan bahkan sampai pada kehidupan individu.
Modernitas membawa manfaat dari segi material dan non material. Maksudnya, modernitas tidak hanya berhubungan dengan pembentukan standar hidup, tetapi juga pada gagasan. Namun demikian, tuntutan dari keduanya yang kian tinggi justru menyebabkan berbagai dislokasi salah satunya adalah anomi. Dislokasi ini timbul karena adanya ketidakpuasan yang akan berakibat pada berbagai perlawanan, anti kemapanan dan bersifat radikal. Hal ini menimbulkan indikasi timbulnya kondisi atau tindakan kontramodern. Kontramodernisasi ini lebih bersifat menghambat dan memodifiskasi daripada membalik proses modernisasi. Inilah yang dkatakan bahwa modernisasi mengalami krisis.
Dalam kaitannya dengan modernitas, sosisologi berperan dalam memberikan pencerahan, bentuk kesadaran rasional dan penting. Dala perselisihan antara modernitas dan kontra modernitas, maka sosiologi bertindak dalam ranah modernitas. Memilih kearah kemajuan serta berperilaku rasional dan mulai meninggalkan hal yang bersifat takhayul.Dalam pernyataan yang lebih luas, maka sosiologi melihat modern dan kontramodern sebagai sesuatu yang memiliki relativitas.
Krisis modernitas membawa dampak pada disintegrasi di tengah kajian integrasi yang selama ini mejadi pusat perhatian sosiologi. Seorang sosiolog klasik Vilfredo Paretoo mengatakan bahwa siklus integrasi dan integrasi mewarnai kualitas hukum sosiohitoris-suatu pemahaman positivistis. Oleh pareto hal ini dijelaskan bahwa kehidupan manusia saat ini berdasarkan pada perkembangan di masa lampau dan diproyeksikan untuk masa depan.
Masalah modern yang khas dari tatanan social berakar dalam berbagai perkembangan kelembagaan, namun itu semua juga telah terinternalisasi dalam struktur kesadaran yang khas. Seperti yang diungkapkan oleh Max Weber hal ini dipahami sebagai sifat inti modernitas yaitu rasionalitas. Rasionalitas dalam masyarakat tradisional dianggap sebagai kekuatan disintegratif. Namun pada masyarakat yang modern, rasionalitas pranata dan kesadaran tetap sejalan dengan integrasi social, kecuali system social terjebak dalam masalah ( tidak berjalan sesuai harapan ).
Untuk menjelaskan hubungan lebih mendalam tentang masalah tersebut, maka Anold Gehlen mengemukakan pendapatnya tentang kelembagaan serta penerapannya dalam masyarakat modern. Dijelaskan bahwa lembaga-lembaga berfungsi meyediakan program yang kukuh dan terpercaya yang dapat diikuti oleh individu dengan tingkat kesadaran yang rendah, tanpa dipikirkan dan bersifat spontan. Dalam hal ini Gehlen mengembangkan dua konsep strategisnya yaitu latar belakang dan latar depan. Latar depan berupa kegiatan yang terprogram secara kokoh serta latar depan berupa individu dengan segenap inovasinya.
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa setiap tindakan yang didahului pertimbangan pikiran bagi perilaku terlembaga berarti suatu awal deinstitusinalisasi. Konsep deinstitusionalisasi dan institusionalisasi direrapkan Gehlen secara umum bagi berbagai masyarakat yang berbeda. Tidak hanya terbatas pada masyarakat modern. Apa yang khas dari masyarakat modern adalah tingkat pemikiran, pertimbangan dan pemilihan yang sangat tinggi dalam semua segi dari kesadaran rasional.
Proses umum dari deinstitusionaisasi dapat digambarkan sebagai berikut bahwa suatu system institusi berjalan kemudian mulai timbul masalah ( segala sesuatu tidak berjalan seperti sedia kala ) masalah tersebut akan muncul dan mendesak kesadaran, sehingga memunculkan kesdaran baru . namun hal tersebut bukan berarti dimaknai sebagai munculnya disintegrasi, tetapi hany pola yang mulai tindak seimbang.
Hal tersebut memberikan gambaran pada masyarakat pra modern, yang mana ditandai dengan hanya sedikit memiliki dorongan internal kearah perubahan sosial, sosialisasi cenderung berhasil, terdapat sedikit penyimpanagn, kemungkinan pertentangan social terkendali dengan ketat oleh solidaritas kolektif. Dengan demikian masalah yang dihadapi kiranya bersifat eksternal,artinya berasal dari luar system itu sendiri.
Modernitas jika dibandingkan dengan system social tradisional, memiliki perbedaan. Hal ini dapat terihat bahwa kesadaran baru, perhatian baru terhadap masyarakat ditandai oleh semaca, rasionalitas kritis yang baru. Baik kewiraswataan yang memaksa masyarakat melalui kekuatan ekonomi pasar maupun pola birokrasi yang dipaksakan oleh campur tangan pemerintah, yaitu seperti rasionalitas weberian. Kesadaran rasional yang khas oleh para sosiolog dijelaskan tentang berbagai masalah kehidupan manusia yang hanya dapat dipahami dengan sangat tidak memadai oleh rasionalitas. Secar sederhana rasionalitas baru tidak dapat membuahkan nilai nilai kepuasan, kecuali nilai teknis murni. Hal ini lah yang menjadi dasar kita belajar krisis modernitas.
Sosiologi adalah struktur kesadaran modern yang menyediakan jawaban bagi masalah kehidupan social, jawaban modern yang khas, degan sifat-sifat dan keterbatasanb jenis rasionalitas ini. Sosilogi menyediaan berbagai konsep dan skema yang menjelaskan dengan apa proses perubahan dapat dianalisa dan dijelaskan. Perubahan dalam hal ini berkaitan dengan pengilmiahan dan ideologisasi kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini akan terdjadi kebebasnilaian ilmiah ( yang spenuhnya benar dalam struktur relevansi ilmiah ) menjadi kebebasnilaian kehidupan sehari-hari ( dimana ia menjadi salah tempat ). Akibatnya proporsi normative diterjemahkan melalui kognitif.
Berkenaan dengan sosiologi pop,maka dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya. Hal ini dikarenakan kegagalan sosiologi pop dalam melihat batas tegas antara ilmu dan kehidupan. Ini menyebabkan terjadinya perubahan dari metode analisa proses legitimasi dalam masyarakat kekuatan legitimasi atau deligitimasi itu sendiri. Karena keterbatasan inherennya sosiologi tidak dapat diterima untuk meligitimasi apapun. Apa yang dapat dilakukannya dengan dampak popular yang luas adalah mendelegitimasikanya. Dengan demikian sosiologi mendorong terjadinya kekecewaan, anomie, dan disintegrasi normative masyarakat modern.Jadi dalam hal ini sosiologi juga memiliki peranan untuk menciptakan perpecahan dalam masyarakat, terutama perpecahan antara mereka yang menggunankan nila lama ( rasionalitas yang tebatas ), dengan mereka yang hendak menciptakan nilai baru dengan rasionalitas ilmiah.
Penting untuk dipahami bahwa dampak yang luas dari sosiologi bukan sekedar masalah kegiatan sejumlah individu yang mepengaruhi masyarakat melelui pengajaran atau penulisan. Sosiologi sebagai suatu bentuk institusi kesadaran itulah yang menimbulkan dampak tersebut. Artinya bukan para sosiologi sebagai individu tetapi sosiolog seabagai suatu profesi itulah yang menjadi masalah terlepas dari luar proposisi etis yang sudah jelas bahwa individu, termasuk para sosiolog harus bertanggunga jawab terhadap perbuatnnya. Selanjutnya sosiologi secara etis dibedakan dalam dua situasi. Pertama situasi dimana nilai-nilai lebih kurang tetapi masih utuh dan yang kedua dalah terdapat disintegrasi yang nampak nyata.
Gejala modern yang makin nampak terlihat dalam berbagai wujud inovasi. Dua gejala kunci dari dunia modern adalah otonomi individu seta kebebasan politik, masing-masing sebagai cita-cita normative berupa rencana yang akan terwujud. Keduanya memberikan makna analisa sosiologis yang sangat luas. Oleh karena itu sosiologi merupakan bidang metode ilmiah yang tetap tegak pada tradisi yang kukuh sekalipun tradisi tersebut berasal dalam zaman yang khas dengan perubahan dan krisis/
review buku media dan budaya populer
Cultural studies (kajian budaya) menfokuskan diri pada hubungan antara relasi-relasi sosial dengan makna-makna. Berbeda dengan “kritik kebudayaan” yang memandang kebudayaan sebagai bidang seni, estetika, dan nilai-nilai moral / kreatif, kajian budaya berusaha mencari penjelasan perbedaan kebudayaan dan praktek kebudayaan tidak dengan menunjuk nilai-nilai intrinsik dan abadi(how good), tetapi dengan menunjuk seluruh peta relasi sosial (in whose interst).
Dengan demikian setiap pemilahan antara masyarakat atau praktek yang “berkebudayaan” dan yang “tidak berkebudayaan” yang diwarisi dari tradisi elit kritisisme kebudayaan, sekarang dipandang terminologi klas.
Bentuk kajian budaya dipengaruhi secara langsung oleh perlawanan untuk mendekolonialisasikan konsep tersebut dan untuk mengkritisi tendensi yang berusaha mempertahankan aturan-aturan yang mereproduksi kelas dan ketidaksamaan lainnya. Maka kajian budaya membangun sebuah kerangka kerja yang berusaha menempatkan dan menemukan kembali kebudayaan dari kelompok-kelompok yang sampai sekarang dilupakan. Inilah awal diperhatikannya bentuk-bentuk dan sejarah perkembangan kebudayaan kelas pekerja, serta analisis bentuk-bentuk kontemporer kebudayaan populer dan media.
Tidak seperti disiplin akademis tradisional, kajian budaya tidak mempunyai ranah intelektual atau disiplin yang terdefinisi dengan jelas. Ia tumbuh subur pada batas-batas dan pertemuan bermacam wacana yang sudah dilembagakan terutama dalam sastra, sosiologi dan sejarah.Bagian dari hasilnya, dan bagian dari pergolakan politik dan intelektual tahun 1960 an(yang ditandai dengan perkembangan dengan cepat dan meluasnya struktualisme, semiotik,marxisme dan feminisme) kajian budaya memasuki periode perkembangan terotis yang intensif. Tujuannya adalah untuk mengetahuibagaimana kebudayaan(produksi sosialmakna dan kesadaran) dapat dijelaskan dalam dirinya sendiri dan dalam hubungannya dengan ekonomi (produksi) dan politik(relasi sosial).
APA YANG KITA MAKSUD DENGAN “MEDIA”?
Pengertian media massa komunikasi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk komunikas. Alat bantu untuk memindahkan pesan dari satu sumber kepada penerima. Media komunikasi ini menjadi alat bantu atau seperangkat sarana yang digunakan untuk kelancaran proses komunikasi. Istilah ‘media’ mencakup sarana komunikasi seperti pers, media penyiaran (broadcasting) dan sinema.
APA ITU SEJARAH “MEDIA”?
Pada dasarnya sejarah adalah tentang informasi dan interpretasi
• Informasi adalah tentang bukti dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer dapat berupa wawancara dengan seorang produsen film, atau satu eksemplar Undang-Undang Penyiaran 1991. Hal ini adalah informasi tangan pertama. Sumber sekunder dapat berupa contoh materi media apa pun – suatu majalah atau acara televisi. Hal ini adalah informasi tangan kedua karena berasal dari para produser, institusi. Kita dapat mendeduksi pelbagai hal dari membaca suatu artikel koran, tetapi hal ini tidak sama dengan berbicara kepada reporter dan editor yang mula-mula memproduksinya.
• Interpretasi adalah tentang pemahaman seseorang akan bukti tersebut, teori-teori yang dibentuk tentang signifikasi informasi tersebut.
Pelbagai pendekatan dominan terhadap sejarah media yang juga berhubungan dengan teori-teori dominan tentang media berfokus pada poin-poin berikut ini :
• Hakikat dan pertumbuhan kekuasaan media (dalam institusi media), termasuk manajemen dan kontrol terhadap media.
• Perubahan dalam hubungan antara institusi dan pemerintah;
• Sifat dasar perkembangan teknologi dalam media ketika mereka mempengaruhi item-tem lain dalam daftar ini, termasuk produk-produk media;
• Perubahan dalam pelbagai produk dan bentuk media, terutama dalam hubungannya dengan pelbagai jenis realisme
• Perubahan dalam sensor terhadap media, berkaitan dengan perubahan sikap sosial dan dengan ide tentang pengaruh media
• Perubahan dalam representasi kelompok sosial dalam produk-produk media
• Hubungan antara perubahan sosial dan produk-produk media, termasuk kebangkitan pemasaran dan penciptaan audiens generasi muda
• Pertumbuhan operasi media; juga berkaitan dengan genre media
KONSEP-KONSEP KAJIAN MEDIA DAN CULTURAL STUDIES
Fokus studi kajian budaya (CS) ini adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang dapat dilihat dalam budaya pop. Di dalam tradisi Kajian Budaya di Inggris yang diwarisi oleh Raymonds Williams, Hoggarts, dan Stuart Hall, menilai konsep budaya atau “culture” (dalam bahasa Inggris) merupakan hal yang paling rumit diartikan sehingga bagi mereka konsep tersebut disebut sebuah alat bantu yang kurang lebih memiliki nilai guna.
Williams mendefinisikan konsep budaya menggunakan pendekatan universal, yaitu konsep budaya mengacu pada makna-makna bersama. Makna ini terpusat pada makna sehari-hari: nilai, benda-benda material/simbolis, norma. Kebudayaan adalah pengalaman dalam hidup sehari-hari: berbagai teks, praktik, dan makna semua orang dalam menjalani hidup mereka (Barker, 2005: 50-55). Kebudayaan yang didefinisikan oleh Williams lebih dekat ‘budaya’ sebagai keseluruhan cara hidup.
IDEOLOGI
• Istilah ini merujuk pada ide-ide tentang hakikat dan operasi hubungan kekuasaan dalam budaya dan masyarakat
• Istilah ini juga merujuk pada pelbagai kepercayaan dan nilai-nilai dominan yang diterima begitu saja (taken for granted)
Intinya adalah tentang cara-cara pelbagai aspek media berkontribusi terhadap kelangsungan pelbagai kepercayaan dan nilai tersebut tanpa dipertanyakan. Sebagai contoh, banyak materi media menyiratkan pentingnya romansa, pernikahan, dan upacar pernikahan; hal tersebut secara tersirat menyetujui ketiga elemen ini. Upacara pernikahan Pangeran Charles dan Putri Diana pada 1981 adalah peristiwa budaya besar yang secara komersial disindikasikan di seluruh dunia. Secara ironis hal tersebut tampaknya juga merupakan dukungan yang kuat terhadap nilai dari ketiga unsur ini.
BENTUK
• Konsep ini merujuk pada cara media membentuk produk-produk seperti film atau suratkabar
• Konsep ini merujuk pada cara mengkonstruksi pelbagai kualitas seperti realisme
Artinya adalah seberapa jauh konstruksi ini membentuk dan mendistorsi makna-makna sosial yang dimunculkan oleh produk. Sebagai contoh : pengenalan terhadap banyak acara baru memengaruhi persepsi kita tentang kebenaran informasi mereka melalui simbolisme logi dan melalui sorotan pada wajah serta porsi berita yang besar berkaitan dengan kekuasaan (big desk of power)
NARASI
• Konsep ini merujuk pada aspek bentuk yang berkaitan dengan konstruksi cerita dan drama
• Dapat diperdebatkan bahwa artikel berita mengisahkan cerita sebanyak yang dilakukan novel
Artinya adalah bagaimana narasi membentuk makna. Sebagai contoh, banyak narasi (baik narasi berita maupun narasi fiksi) memasukkan konflik antara orang-orang, tetapi sebenarnya lebih merupakan konflik antara ide-ide yang berbeda.
TEKS
• Konsep ini merujuk kepada semua produk media seolah-olah semua produk tersbut adalah “buku” menaruh perhatian kepda fakta bahwa semua produk tersebut dapat “dibaca” untuk mengetahui makna-maknanya.
Artinya adalah bagaimana teks dapat atau tidak dapat dibaca dengan cara yang berbeda oleh para audiens yang berbeda dan mengapa. Dikaitkan dengan cultural studies, peristiwa upacara pernikahan tersebut (dilihat ‘ideologi’ di atas) juga menjadi teks untuk dibaca seperti halnya foto upacara pernikahan di majalah.
GENRE
• Konsep ini merujuk pada fakta bahwa sebagian besar produk media terbagi ke dalam pelbagai kategori atau tipe.
Artinya adalah bagaimana pelbagai kategori repetitif ini juga dapat mengulangi pelbagai makna sosial dan praktik sosial. Sebagai contoh, banyak drama kriminalitas televisi mengulang pandangan bahwa aktivitas kriminal itu menggairahkan (meskipun salah) dan bahwa deteksi kejahatan didominasi oleh penggunaan teknologi. Kedua pandangan ini secara umum tidak benar dalam pengalaman sehari-hari para petugas kepolisian.
REPRESENTASI
• Konsep ini merujuk pada presentasi media terhadap pelbagai kelompok sosial, yang dikategorikan dengan banyak cara – antara lain melalui gender, etnisitas, umur, dan kelas sosial.
• Konsep tersebut tidak hanya mencakup tipe-tipe spesifik (wanita-wanita tua) tetapi juga tipe-tipe kolektif (kaum berusia lanjut) dan mungkin institusi/kondisi (usia lanjut, rumah orang-orang berusia lanjut)
• Semua hal ini dapat direpresentasikan, sering secara berulang dan mengkomunikasikan makna-makna yang dominan (lihat ideologi)
Artinya adalah seberapa jauh representasi tersebut positif atau negatif.
AUDIENS
• Konsep ini merujuk pada pelbagai kelompok orang yang dapat didefinisikan yang mengonsumsi produk-produk media
• Suatu audiens dapat didefinisikan dikaitkan dengan pelbagai pengelompokan sosial – para wanita untuk fiksi romantis, atau pria muda untuk permainan komputer
Artinya adalah seberapa jauh persepsi audiens sendiri terhadap kelompok sosialnya (dan pengalaman budaya yang lain) memengaruhi preferensinya terhadap serta pembacaan akan, materi yang ditargetkan kepadanya.
EFEK
• Konsep ini merujuk pada proposisis tentang bagaiana dan mengapa produk media memengaruhi para audiens
Artinya adalah seberapa jauh para audiens pasif atau aktif dalam hal memahami media. Sebagai contoh, apakah para penonton film dilihat sebagai tas-tas yang ke dalamnya makna budaya dimasukkan? Atau apakah mereka dilihat sebagai pemangsa, yang merampas hal-hal yang memikat dan menarik mereka, dan membuang semua pengalaman lain dalam menonton film?
INSTITUSI
• Konsep ini merujuk pada organisasi-organisasi yang menjalankan dan mengontrol media.
Artinya adalah tentang pelbagai konsekuensi dari cara organisasi ini beroperasi untuk memelihara kepentingan kapitalisme tetapi mengabaikan kepentingan bagian-bagian tertentu dari komunitas (seperti kaum penganggur)
PELBAGAI PENDEKATAN KRITIS DALAM PERKEMBANGAN KAJIAN MEDIA DAN CULTURAL STUDIES
Para peneliti dari Mahzab Birmingham berusaha melakukan praksis dengan pendekatan yang mereka gunakan, dengan kata lain mereka memandang keilmuan mereka sebagai suatu instrumen bagi perjuangan budaya. Mereka meyakini bahwa perubahan semacam itu akan terjadi dalam dua cara, yaitu: pertama dengan mengidentifikasi kontradiksi dalam masyarakat, di mana resolusinya akan mengarah pada hal yang positif, yang berlawanan dengan resolusi yang apresif dan juga perubahan ; dan kedua, dengan memberikan interpretasi yang akan membantu masyarakat memahami dominasi dan jenis perubahan yang diinginkan. Samud Beeker mendiskripsikan tujuan yang hendak mereka capai adalah memberikan pukulan keras balik pada khalayak melalui media agar tidak menjadi terlalu mudah menerima dengan ilusi atau praktik-praktik media yang ada karena isi media dianggap hanya membawa kesadaran palsu (false consciousness).
David Barrat (1986) memuji karya tulis Dennis McQuail serta karya tulis Curran dan Seaton dalam mendeskripsikan tiga tahap dalam perkembangan cultural studies, semua dengan penekanan terhadap ide tentang pengaruh-pengaruh :
1. Sampai 1949 : dalam periode tersebut dipercayai bahwa, terutama berdasarkan kritik Marxis yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt, bahwa media memengaruhi audiens sebagai massa; bahwa media dapat menghasilkan perilaku konformis; dan bahwa media merusak budaya (yang diasumsikan sebagai usaha pencapaian budaya tinggi kaum elit).
2. Dari 1940 sampai 1965 : selama periode ini disepakati bahwa media mungkin tidak memiliki efek jangka pendek terhadap audiens (meskipun pers populer tetap berpegang pada gagasan tersebut!)
3. Dari 1965 sampai 1985 : selama periode ini penekanan bergeser dari efek-efek dan konteks sosial audiens ke mengamati isi dan bentuk-bentuk produk-produk media
Raymond Williams (1974) mengamati cara di mana televisi dan teknologinya telah menjadi medium dominan dari budaya populer. Ia menghubungkan medium tersebut dengan konsep-konsep budaya tinggi dan budaya ‘rendah’. Pandangan-pandangannya didorong oleh gagasan tentang pelbagai determinan ekonomi yang membentuk cara institusi-institusi memproduksi budaya populer televisi, yang menjadi institusi sosial itu sendiri.
McQuail (1983) berargumen bahwa terdapat tiga unsur kunci bagi semua teori media, setidaknya jika kitaberharap untuk menyelididiki hubungan antara komunikasi massa dan perubahan sosial selama satu periode waktu
1. Teknologi komunikasi
2. Bentuk dan isi materi media
3. Perubahan sosial itu sendiri – merujuk kepada struktur sosial, perkembangan institusi-institusi dan pelbagai pergeseran dalam kepercayaan dan sikap publik
Hubungan antara buaya media dan masyarakat
empat istilah kunci
MEDIA Arah efek MASYARAKAT
Istilah
Idealisme
Materialisme
Interdependensi
Otonomi tidak ada
Secara khusus, McQuail memulai kembali argumen apakah budaya media memengaruhi masyarakat (struktur sosial) atau sebaliknya.
Dia menawarkan empat istilah kunci (lihat diagram di atas)
1. Interdependensi : istilah ini menunjukkan hubungan dinamis antara dua unsur di mana satu unsur secara tidak terelakkan memengaruhi unsur yang lainnya;
2. Idealisme : istilah ini merujuk pada keyakinan bahwa media memang memengaruhi masyarakat, setidaknya melalui efek-efek teknologinya
3. Materialisme : istilah ini berargumen bahwa masyarakat dibentuk oleh kekuatan politik dan ekonomi, dan bahwa media mungkin memiliki bagian dalam hal ini, tetapi bahwa media lebih merupakan refleksi dari perubahan dan pembentukan
4. Otonomi : istilah ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang harus ada antara media dan masyarakat.
Satu contoh ‘kepercayaan idealistis’ bahwa media memang memengaruhi masyarakat adalah rasa takut terhadap anjing pit bull terrier (sejenis anjing yang sangat kuat dan terlatih untuk bertarung-peneri) pada 1993. Televisi dan pers menampilkan cerita-cerita tentang anak-anak yang dianiaya atau bahkan dibunuh oleh anjing-anjing ini. Tuntutan untuk bertindak menyusul kemudian, termasuk dari beberapa anggota parlemen dan badan legislasi yang berpandangan negatif segera memerintahkan anjing peranakan ini dibunuh atau dinonaktifkan.
Dominic Strinati dan Stephen Wagg (1992) menyajikan pendekatan lain terhadap teori media dan sejarah.
Dia juga menulis tentang postmodernisme dalam satu bab dalam Morleh, dkk (ed) 1996. Menurut pandangan postmodernis tidak mungkin ada realitas atau kebenaran objektif tentang cara oran menginterpretasi dunia sosial. Yang ada hanyalah pelbagai interpretasi relatif terhadap realitas, yang didefinisikan melalui iklan dabn bentuk-bentuk lain budaya populer. Dengan adanya perluasan saluran-saluran media yang cepat, dunia yang dihuni oleh orang-orang makin artifisial. Dikemukakan bahwa kajian media dan cultural studies hendaknya menaruh perhatian pada gaya (yaitu bentuk) dan pada makna-makna yang ditarik dari gaya.
Morley beragumen bahwa kita telah bergerak dari periode teori modernis tentang audiens massa ke suatu situasi ketika kita harus berbicara tentang media penyiaran dengan cakupan yang kecil (narrowcasting, sebagai lawan dari broadcasting-penerj) dan audiens spesifik. Hal ini dikaitkan dengan semacam gaya (yaitu bentuk) yang ironik dan referensial. Sebagai contoh, iklan yang ada sekarang ini untuk produk coklat menggunakan karakter-karakter yang merupakan pahlawan pada serial Western 1950-an (Lone Ranger dan Tonto). Hal tersebut memunculkan pertanyaan yang menarik tentang kepada siapa iklan tersebut ditujukan dan bagaimana hal tersebut akan dipahami.
Dalam perkembangan studi media, kritik telah beranjak dari memercayai bahwa media melakukan pelbagai hal kepada orang-orang, ke mengamati apa yang dilakukan orang-orang dengan media, dan pada materi media yang sesungguhnya. Minat terhadap efk-efek media telah menjadi faktor yang konstan ketika studi tentang media mengalami kemajuan. Hal ini penting dalam kritik-kritik sosiolois terhadap media. Namun, orang-orang yang mengambil pendekatan cultural studies akan berargumen bahwa efek-efek tersebut untuk sebagian besar tidak dapat dibuktikan, dan bahwa adalah lebih bermanfaat untuk berkonsentrasi kepada teks, konteks sosial, dan kelompok-kelompok sosial.
PELBAGAI PERDEBATAN BUDAYA POPULER BUDAYA MASSA SEBAGAI BUDAYA POPULER
KAUM STRUKTURALIS – KAUM KULTURALIS
Perdebatan ini dapat dilihat sebagai perbedaan opini antara kaum Marxis dan kaum postmodernis. Dikaitkan dengan maksud dan hasil analisis terhadap budaya populer, argumen tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
• Produksi dan konsumsi budaya populer disokong oleh struktur-struktur dominasi. Struktur-struktur ini dapat dan hendaknya dicari dalam hubungan antara institusi-institusi dan dalam lokasi kekuasaan. Konsumen memiliki kekuasaan yang terbatas.
Atau
• Budaya populer adalah tentang bentuk-bentuk perilaku sosial dan tentang bagaimana item-item produksi massa digunakan. Karena itu, jika kita ingin brebicara tentang kekuasaan, maka konsumen memang mmiliki kontrol yang brtahap terhadap budaya mereka sendiri.
• Asumsi tentang dan pencarian trehadap struktur-struktur secara umum berifat ilusi karena hubungan antara institusi-institusi begitu rumit dan bergeser sehingga pelbagai penjelasan determinis tentang siapa yang melakukan apa bagi siapa dan bagaimana hanyalah buang-buang waktu saja.
• Hal yang penting adalah memerhatikan makna dan hubungan sosial yang diproduksi oleh artifak-artifak tersebut dan perilaku-perilaku budaya populer.
BUDAYA TINGGI (ELITISME) – BUDAYA RENDAH
Perdebatan ini secara esensial berkaitan erat dengan status budaya dalam masyarakat dan kepemilikannya oleh satu kelompok sosial atau kelompok yang lain. Secara kasar, perdebatan ini menaruh balet melawan klab dansa, teater melawan televisi, dan seterusnya.
KONSUMSI SEBAGAI KESENANGAN
Perdebatan ini berpusat pada audiens dan bersifat positif dalam pandangannya tentang budaya populer :
• Konsumsi itu bukan tentang audiens massa sebagai korban pasif produksi massa.
• Individu dan audiens dari pelbagai ukuran mencapai kesenangan (yaitu kenikmatan) dalam mengonsumsi media massa. Kesenangan ini adalah hal positif yang terhadapnya audiens memiliki kontrol bertahap karena hal tersebut secara aktif berkaitan dengan teks.
PARA TEORITISI DALAM BIDANG BUDAYA POPULER
Secara umum, terdapat beberapa perbedaan antara pandangan Marxis (klasik) tentang budaya, yang melihatnya dikendalikan oleh determinan-determinan ekonomi dan sebagai model konsep kelas sosial dari atas ke bawah (top-down), dan pandangan neo-Marxis yang tetap berminat pada struktur kekuasaan, tetapi melihat isu kekuasaan sebagai hal yang rumit, dengan konsumen budaya tidak sekedar menjadi korban.
MARXISME
Pandangan Marxis klasik adalah bahwa institusi-institusi budaya (yaitu pendidikan) digunakan oleh kaum elit untuk melegitimasi kekuasaannya. Bagian dari legitimasi tersebut adalah menjadikan kelas pekerja menerima ketidaksetaraan sosial. Kekuasaan diterapkan melalui kontrol terhadap ekonomi dan terhadap sarana produksi. Karena itu determinan-determinan ekonomi mengatur hubungan sosial dan hakikat budaya.
Ralph Milliband (1973) meringkas pandangan tentang media (dan budaya) dari sudut pandang Marxis klasik ketika dia menggunakan kembali frasa Marx yang terkenal, yang menyebut media sebagai ‘opium masyarakat’. Di balik kiasan terhadap kepasifan massal yang dibentuk melalui budaya massa ini, terdapat keberlanjutan ide dominasi ideologis oleh kaum elit.
Antoni Gramsci mengembangkan ide-ide tentang budaya dan masyarakat ketika dipenjara oleh kaum Fasis Italia antara 1926 dan 1937 (ketika dia mati). Dengan banyak cara, dia hendaknya dideskripsikan sebagai penganut neo- atau pos-Marxis, karena ide-idenya hanya dipublikasikan pada 195-an dan sesudahnya, dalam buku-buku seperti Selevtions from Prison Notebooks (1971). Dia menjauhi pandangan deterministik Marxis, tetapi sangat menaruh perhatian kepada kelas sosial dan konflik. Dia mengembangkan ide hegemoni untuk mendeskripsikan makna yang melaluinya satu kelas sosial dapat mempertahankan kontrol terhadap kelas-kelas yang lain, dengan menggunakan kontrol koersif (bersifat memaksa) dan konsesual untuk menerapkan kekuasaan.
NEO – MARXISME
Kaum Marxis pasca Perang Dunia II (1950-an dan sesudahnya) menggarap ulang sesuatu yang menurut sebagian orang dianggap sebagai pandangan simplitis yang sudah ada sebelumnya tentang kelas sosial, kekuasaan, dn budaya. Secara khusus, gagasan tentang ideologi dan lokasi kekuasaan dikembangkan, sebagai contoh, melalui buku karya Gramsci dan konsep hegemoni. Hubungan antara institusi sosial dan interaksi konsep diakui rumit. Tidak lagi dipercayai bahwa massa adalah penerima atau resipien pasif dari budaya yang diproduksi secara massal.
Raymond Williams sangat penting sebagai penganut Marxisme dan bapak pendidi cultural studies Inggris. The Long Revolution (1961) mengamati perubahan budaya dan sosial di Inggris. Buku tersebut melontarkan asumsi tentang superioritas satu jenis ekspresi budaya yang (seni tinggi) yang diperlawankan dengan jenis ekspresi budaya yang lain. Buku ini melihat media dan objek-objek produksi massa sebagai bagian dari revolusi. Buku tersebut tertarik pada ‘makna’ dan ‘nilai’ dalam budaya, dan bgaimana keduanya berubah.
Louis Althusser adalah pengkritik Marxisme sekaligus penganut Marxisme yang berkomitmen. Dia juga dianggap sebagai seorang strukturalis. Pandangannya adalah bahwa ideologi merembes ke semua bidang kehidupan (all-pervasive), yaitu bahwa ideologi mendefinisikan identitas yang kita percayai kita miliki sebagai anggota budaya tertentu (lihat Alkthusser, 1969). Identitas ini diungkapkan melalui praktik-praktik materi – sesuatu yang mungkin disebut sebagai perilaku budaya. Jadi, seseorang yang pergi ke suatu acara kumpul-kumpul (clubbing) sebenarnya menanggapi kekuatan-kekuatan ideologi. Kekuatan ini bekerja untuk menciptakan realitas sosial kita dan untuk mempertahankan hubungan budaya. Namun, dia juga mengatakan bahwa menjadi seorang “clubber” berarti mengadopsi identitas palsu yang menyembunyikan realitas tentang apa yang sebenarnya berlangsung, terutama delam hal pengaruh-pengaruh (termasuk media) yang membujuk kita bahwa clubbing itu baik-baik saja dan bermakna.
MODERNISME
Pemikiran modernis menaruh perhatian kepada rasionalitas dan struktur. Pemikiran tersebut sering dikaitkan dengan pelbagai seni dan dengan ‘seni tinggi’ pada, bukan dengan, sesuatu yang tanpa bentuk dan kacau-balau yang disebut budaya populer. Pemikiran modernis tentang masyarakat dan budaya didorong oleh renungan tentang pelbagai konsekuensi urbanisasi, industrialisasi, dan mekanisasi. Pemikiran ini berusaha (memang seperti halnya Marx) untuk mengemukakan pelbagai kepastian tentang struktur dan hubungan sosial, untuk melihat gambaran besarnya, dan untuk mencapai model ideal tentang bagaimana keadaan seharusnya.
Walter Benjamin (1936) merujuk kepada signifikasi reproduksi mekanis. Dia berbicara tentang kamera dan produksi citra ssecara kultural. Kekuasaan teknologi untuk menduplikasi suara dan gambar melalui pelbagai media secara tak terbatalkan telah mengubah hakikat budaya. Citra telah menjadi murah dan tersedia secara luas.
Richard Hoggart (1958) menghasilkan kritik yang penting terhadap budaya massa. Adalah menarik bahwa dia menghadap ke dua arah seklaigus. Dia menulis secara sensitif tentang nilai budaya kelas pekerja tempat dia dibesarkan, dan jelas dia merupakan seorang “kulturalis” awal, suatu inspirasi bagi cultural studies. Tetapi dia juga mengajarkan nilai budaya tinggi dan berbicara secara merendahkan tentang budaya generasi muda 1950-an. Apa yang memang telah dia lakukan adalah menggunakan bentuk-bentuk literer analisis tekstual dalam memberi komentar tentang budaya yang memang dia kagumi, termasuk lagu-lagu populer.
INTERAKSIONISME
Max Weber merujuk kepada intensionalitas, kontrol, dan makna ketika dia menjelaskan tindakan-tindakan oleh dan di antara orang-orang. Tindakan-tindakan ini adalah bagian dari perilaku kebudayaan kita dan kita harus menggunakan pengetahuan kebudayaan kita untuk memahami tindakan-tindakan tersebut, untuk memahami praktik-praktik sosial kita sendiri. Dia berbicara tentang tindakan yang relevan dengan makna. Weber memberikan ruang kepada pengaruh individu-individu terhadap masyarakat, tidak seperti Marx. Dia tidak begitu yakin terhadap pentingnya kelas sosial, meskipun dia tertarik kepada sumber-sumber dan penerapan kekuasaan.
Stan Cohen dikenal baik sebagai pemikir yang menyelidiki interaksionisme dan perilaku budaya dalam studinya tentang Mods dan Rockers pada awal 1960-an. Studi ini diselidiki secara lebih rinci pada bagian lain buku ini. Dia mengamati interaksi antara kelompok-kelompok generasi muda, antara masyarakat lokal dan kelompok-kelompok tersebut, dan antara media dan kelompok-kelompok tersebut. Dia menyimpulkan bahwa laporan-laporan media tentang perilaku yang diduga bersifat anti-sosial dan dilakukan oleh para pemuda tersebut sangat dilebih-lebihkan dan bahwa media bersalah dalam menciptakan tanda peringatan yang keliru di antara publik – kepanikan moral.
FUNGSIONALISME
Dikaitkan dengan budaya populer, penganut pandangan ini tertarik pada institusi-institusi yang menganut budaya tersebut. Hal ini dapat merujuk pada hubungan antara media dan keluarga. Para fungsionalis berargumen bahwa keluarga mungkin telah harus berubah dalam menanggapi media, yang telah menjadi bagian dari hiburan dan pengalaman domestik (rumah tangga) mereka.
Emile Durkheim memahami institusi-institusi ini dikaitkan dengan keseimbangan di antara masyarkaat. Proses-proses sosial akna bergerak untuk memperbaiki setiap ketidakseimbangan dan memulihkan tatanan, meskipun hal tersebut dilakukan melalui adaptasi dna perubahan. Masyarakat itu sendiri menciptakan representasi kolektif – yang secara umum memiliki pelbagai pandangan tentang isu dan perilaku yang menginformasikan hakikat keseimbangan dan perubahan.
STRUKTURALISME
Strukturalisme bersekutu dengan semiotika, dan dengan demikian tanda-tanda dalam suatu teks diambil untuk diorganisasikan dengan cara yang bermakna, menurut beberapa prinsip. Strukturalisme telah mengarah ke analisis terhadap cita-cita secara khusus, dan terhadap bagaimana makna dikidekan dalam citra-citra tersebut dan dikemudian didekodekan oleh pengamat. Makna-makna itu sendiri dapat dilihat berkaitan dengan pelbagai kondisi ketidaksetaraan sosial dan dengan peneraan konsep (Marxisme).
POSTMODERNISME
Pandangan ini telah bereaksi terhadap gagasan tentang pelbagai kepastian dan struktur. Postmodernisme adalah tentang studi mengenai bentuk-bentuk budaya populer. Pandangan ini adalah tentang studi mengenai bentuk serta isi. Postmodernisme adalah tentang kaitan antara teks (intertekstualitas). Pandangan ini memercayai bahwa media telah mendefinisikan dan mendominasi hubungan-hubungan sosial, bahkan mendefinisikan apa yang kita pahami sebagai realitas. Teks-teks posmodern bermain dengan gaya dan bentuk, tidak tertarik kepada struktur-struktur naratif logis atau kesimpulan-kesimpulan moral. Mereka menjadikan pembedaan antara seni tinggi dan seni rendah tanpa makna dengan menjarah humor dan referensi dari budaya tinggi. Mereka menyukai penggunaan ironi dalam hal humor hitam dan penggunaan teks-teks referensi silang.
David Morley (1996) menghasilkan laporan yang rapi tentang postmodernisme yang didefinisikan dengan mempertentangkannya dengan modernisme :
• Suatu penolakan terhadap solusi-solusi tital : tiada kebenaran atau ‘jawaban’ mutlak dalam masyarakat dan budaya modern;
• Suatu penolakan terhadap teologi, atau kepastian-kepastian tentang bagaimana masyarakat bekerja : tiada model yang sempurna tentang bagaimana pelbagai hal bekerja ‘dibawah permukaan’ : hal yang dapat kita yakini hanyalah permukaan itu sendiri – yaitu gaya dan penampilan.
• Suatu penolakan terhadap idealisme, terhadap utopia : tidak ada masyarakat ideal atau budaya yang sempurna.
Pierre Bourdieu (1984) sering menjadi rujukan oleh John Fiske dalam buku yang bermanfaat, Memahami Budaya Populer (Fiske, 1989). Salah satu dari ide-ide paling menarik milik Bourdieu secara luas membedakan antara budaya kelas pekerja (populer) dan budaya kelas menengah (intelektual) dalam hal keterlibatan dan keterpisahan, perbedaan antara partisipasi dan apresiasi.
Jean Baudrillard berargumen menentang pandangan bahwa terdapat suatu realitas budaya dan sosial mutlak yang ada selain dari apa yang kita lihat dan kita baca melalui media. Pandangannya adalah bahwa realitas media telah berkesinambungan dengan realitas sosial. Apa yang terdapat di layar adalah bagian yang besar dari realitas, seperti halnya apa yang kita lakukan dlma kehidupan sehari-hari kita. Dia tertarik dengan intertekstualitas, dengan pandangan bahwa setiap tanda memiliki semacam hubungan dengan setiap tanda yang lain. Dalam dunia Baudrillard, ujar Kenneth Thompson (1997), ‘realitas berdisintegrasi menjadi citra dan tontonan.’
FEMINISME
Feminisme berkaitan dengan studi tentang representasi, dengan makna dalam teks, dengan hakikat konsumsi audiens, dan dengan hubungan sosial, tetapi selalu dengan merujuk pada bagaimana dan mengapa gender itu penting. Pandangan ini memiliki kaitan yang penting dengan Marxisme karena menaruh perhatian pada pengungkapan kekuasaan dalam gender, karena gender beroperasi dalam budaya populer. Kaum feminis menaruh perhatian pada apakah teks-teks budaya populer mereplikasi ketidaksetaraan konsep dalam hubungan antara pria dan wanita. Dapat dikatakan bahwa feminisme itu tentang menggunakan perangkat-perangkat kritis yang ada dalam wilayah khusus gender.
MEDIA MASSA : INSTITUSI DAN KEKUASAAN
TINJAUAN : BEBERAPA ISU UTAMA
• Kekuasaan global. Isu kunci di sini adalah bagaimana kekuasaan ini dapat (atau bahkan perlu) dimoderasi ketika sebagian berada di luar kontrol pemerintah-pemerintah nasional.
• Pemerintah dan interdependensi media. Ekspansi saluran-saluran komunikasi media telah menambah sarana bagi pemerintah untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial. Media telah menjadi esensial dalam proses pemilihan umum dan publisitas pemerintah.
• Kebangkitan pemasaran : operasi-operasi media telah menjadi didominisai oleh pasar : produk-produk media dan audiens dipasarkan sebagai komoditas dan media tergantung kepada iklan sebagai pendapatan mereka.
Isu kunci di sini adalah seberapa jauh media telah menjadi instrumen kekuatan pasar dan seharusnya atau tidak seharusnya dibolehkan melanjutkan untuk beroperasi seperti demikian.
• Manufaktur pelbagai gaya hidup. Isu kunci di sini adalah isu tentang pengaruh media terhadap perilaku sosial dan preferensi pelbagai kelompok dalam masyarakat, terutama kelompok generasi muda.
• Portofolio produk. Isu kunci di sini adalah sekedar isu kekuasaan yang diberikan oleh portofolio produk ini kepada mereka untuk memiliki suara yang berbicara melalui pelbagai suratkabar, radio, dan televisi (seperti dalam kasus Daily Mail & General Trust Group yang memiliki Daily Mail, separo Teletext, dan seperempat radio GWR) yang memiliki ‘bahasa-bahasa’ yang berbeda. Dominasi genre. Produk-produk organisasi media dibentuk oleh.
UNGKAPAN-UNGKAPAN KEKUASAAN
Mendeskripsikan aspek-aspek ungkapan kekuasaan berarti membantu mengidentifikasi bagaimana pengaruh dapat terjadi, meskipun hal ini tetap meninggalkan pertanyaan besar tentang hakikat kuantitatif dan kualitatif efek-efek media.
Max Horkheimer dan Theodor Adorno (1972) menggunakan frasa industri kebudayaan untuk mendeskripsikan penciptaan dan distribusi benda-benda kebudayaan. Mereka melihat hal tersebut menggantikan aktivitas live (langsung, pemain dan penonton hadir secara fisik) lokal, atau subkultur. Tetapi bukti tidak mendukung pandangan negatif ini. Produksi budaya media ada di keseluruhan aktivitas budaya “live”.
• Imperialisme kebudayaan. Frasa ini mengemukakan bahwa institusi-institusi media Barat, terutama yang berasal dari Amerika, menciptakan kekaisaran ide yang baru di seluruh dunia (Tunstall, 1978).
KEKUASAAN TERSEMBUNYI
Frasa kesadaran palsu telah keluar dari Aliran Marxisme Frankfurt. Idenya adalah bahwa media mengungkapkan kekuasaannya dengan menciptakan ide yang palsu tentang pelbagai nilai dan hubungan sosial, sehingga apa yang kita kira kita tahu sebagai benar adalah angan-angan – pandangan tentang dunia banyak dibentuk melalui media.
Terdapat tiga istilah kunci yang membantu menjelaskan kekuasaan tersembunyi dalam media, masyarakat, dan budaya. Ketiganya telah dikembangkan melalui analisis marxis tentang kekuasaan dan tentang hubungan-hubungan sosial :
1. Ideologi
Istilah ini mendeskripsikan suatu erangkat koheren ide dan nilai yang mengungkapkan pandangan tentang dunia (sosial, ekonomi, dan politik), bagaimana keadaan dunia itu sekarang, dan bagaimana dunia itu seharusnya. Istilah ini juga merepresentasikan ide tentang hubungan kekuasaan dalam masyarakat, siapa yang memiliki kekuasaan macam apa, siapa yang tidak, siapa yang seharusnya memiliki kekuasaan, siapa yang seharusnya tidak. Makna-makna yang mungkin kita dapat dari analisis tentang teks-teks media cenderung ideologis. Apa persisnya makna-makna tersebut – apa artinya menjadi seorang anak – misalnya – merupakan suatu persoalan untuk diargumenkan.
2. Hegemoni
Hegemoni adalah tentang cara menerapkan kekuasaan ideologi yang tidak terlihat. Hegemoni adalah tentang proses-proses yang melaluinya seperangkat ide miliki satu kelompok sosial menjadi dominan dalam suatu masyarakat. Istilah tersebut berasal dari karya tulis Gramsci yang secara luas, melihat perjuangan ini sebagai perjuangan kelas, dan yang banyak berkaitan dengan budaya. Ketika membahas konsep tersebut, kita dapat berbicara tentang kolonisasi kelas menengah terhadap sepakbola (football), yang disimbolkan oleh novel Nick Hornby yang berjudul Fever Pitch. Satu kelas sosial mencoba untuk mencapai hegemoni terhadap kelas sosial yang lain berkaitan dengan sepakbola, yang hanya terdapat dalam arena publik karena presentasinya di media.
3. Wacana
Wacana (discourses) adalah perangkat-perangkat makna tentang rentang ‘topik’ yang luas. Makna ini diproduksi oleh cara-cara menggunakan dan memahami bahasa. ‘Bahasa’ dapat berarti sebentuk komunikasi, termasuk bahasa visual foto, televisi dan bioskop. Idenya adalah bahwa cara kita ‘berbicara’ tentang sesuatu mengatakan segala sesuatu ihwal cara kita berpikir tentang hal tersebut.
TEORI-TEORI TENTANG MEDIA MASSA DAN MASYARAKAT
TEORI FUNGSIONALIS
Dalam fungsionalis kita dapat mempelajari struktur masyarakat tanpa memperhatiak fungsinya terhadap struktur lain, begitu pula kita dapat meneliti fungsi berbagai proses sosial yang mungkin tidak memiliki struktur.
Teori tentang media ini memandang media menampilkan suatu pekerjaan, melakukan suatu fungsi bagi masyarakat atau negara atau bahkan ideologi yang dominan. Masalahnya adalah bahwa kita memiliki pelbagai pandangan yang berbeda tentang apa yang seharusnya atau tampaknya merupakan fungsi-fungsi media, sesuai dengan asal mula kita. Jadi, audiens mungkin melihat media itu melayani maksud-maksud yang berbeda dengan maksud-maksud yang – menurut para pemilik media – mereka layani.
Strinati (1995) berargumen bahwa ‘masalah mendasar tentang pelbagai penjelasan fungsionalis adalah bahwa penjelasan tersebut merupakan sebab-sebab fenomen sosial dalam hal konsekuensi-konsekuensinya.’ Dengan kata lain, apa yang tampaknya dilakukan oleh media sekarang untuk masyarakat pertama-tama menjelaskan mengapa mereka muncul.
Karenanya, Strinati melihat pelbagai interpretasi fungsionalis itu terlalu simplistis dan cacat. ‘Argumen-argumen fungsionalis sering menyiratkan ... kontinuitas yang dijamin selamnya dari sistem yang seharusnya dilayani oleh institusi tersebut.’ Karena media memobilisasikan opini, mereka melayani suatu tujuan yang menjamin bahwa mereka harus selalu ada untuk tujuan tersebut.
TEORI PLURALIS
Pandangan-pandangan tentang media dan masyarakat tersebut secara umum berargumen bahwa banyak media menawarkan beraneka ragam materi untuk pelbagai audiens. Pandangan-pandangan ini tidak menganggap ide tnetang kekuasaan media sebagai masalah yang nyata. Mereka berargumen :
• Bahwa masyarakat tidak dihadapkan dengan pandangan yang sifatnya koheren dan mengontrol dari institusi-institusi;
• Bahwa para audiens benar-benar menghadapi pelbagai pilihan nyata tentang apa yang mereka baca dan tonton;
• Bahwa terdapat begitu banyak pengaruh sosial terhadap para audiens sedemikian rupa sehingga mustahil berbicara tentang pengaruh dominan media.
Pandangan-pandangan pluralis tentang kekuasaan berasal dari karya Max Weber. Dia mengajukan argumen tentang representasi demokratis melalui pelbagai partai politik. Partai-partai ini, beserta kelompok-kelompok tertekan yang berbeda, mewakili pelbagai kepentingan dari bagian-bagian yang berbeda dalam masyarakat.
TEORI LIBERTARIAN (PLURALIS LIBERAL)
Libertarianisme dalam suatu pengertian adalah anak kapitalisme – kpercayaan bahwa kebebasan-bagi-semua akan berlaku pada semua orang pada akhirnya. Pasar bebas dalam ide-ide yang dipublikasikan secara bebas memberikan pilihan yang bebas terhadap masyarakat. Secara khusus, diargumenkan bahwa kebebasan ini memberikan media cakupan untuk bertindak sebagai pengawas (watchdog) terhadap pemerintah, memeriksa seberapa jauh pemerintah melayani masyarakat secara umum.
Pluralisme liberal adalah pandangan (atau ideologi) yang diambil tentang media oleh sebagian besar orang yang bekerja di media. Pandangan tersebut berargumen bahwa pasar yang bebas membawa pers yang bebas dan media yang bebas.
Berkaitan dengan efek terhadap masyarakat, para pluralis berargumen bahwa media tidak memiliki banyak pengaruh.
Boyd-Barret (1995) meringkas perbedaan antara pluralisme (liberal) dan neo-marxisme berkaitan dengan penggambaran tentang kekerasan dalam media. Dia mengemukakan bahwa :
1. Kaum pluralis tertarik pada apakah individu dapat dibuat untuk menjadi lebih agresif
2. Kaum marxis tertarik pada apakah individu dibuat untuk menjadi lebih tunduk pada kekuatan-kekuatan hukum dan tatanan
3. Dari sudut pandang libertarian, adalah benar bahwa media memaikan bagian dalam memperlihatkan perselisihan tentang ‘cash for question’, ketika beberapa anggota parlemen dipaparkan menjadi perkakas bagi para pelobi. Tetapi tatkala mereka secara mencolok gagal menantang pemerintah Inggris pada awal 1980-an ketika pemeintah tersebut membawa negara ke dalam kancah perang dengan Argentina dan tanpa (berdasarkan pemungutan opini awal) dukungan jelas dari mayoritas penduduk di negara tersebut.
TEORI MARXIS
Pandangan marxis tentang hubungan media dengan masyarakat bertentangan dengan pandangan pluralis. Pandangan marxis dapat dianggap sebagai teori-teori kontrol. Namun, pelbagai pernyataan dogmatis marxis tentang keburukan yang tidak terbantahkan yang mengontrol pengaruh penganut kelas media terhadap masyarakat tidak lagi lebih memuaskan daripada pelbagai pernyataan pluralis yang samar-samar dan tidak berdasar tentang dunia kebebasan dan pilihan yang menakjubkan.
Yang jelas adalah pandangan marxis berargumen bahwa media secra umum merepresentasikan pandangan konservatif tentang isu-isu sosial, dan merepresentasikan pelbagai nilai dan kepentingan orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam masyarakat, yang biasanya menolak pandangan orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan.
Graham Murdock dan Peter Golding mengambil pandangan ini yang disebut Strinati sebagai perspektif ekonomi politik.
• Mereka menyatakan bahwa hakikat kepemilikan memang penting karena hal itu memberikan kekuasaan pada media, dan bahwa hal ini diterapkan bertentangan dengan pelbagai kepentingan bagian-bagian tertentu dalam masyarakat
• Mereka mengadopsi determinisme ekonomi ketika mengemukakan bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi telah menyebabkan konsentrasi kepemilikan yang telah menekankan jenis-jenis kontrol yang dimiliki oleh media terhadap masyarakat dalam produksi ide-ide tentang hubungan sosial.
Teori konflik, sebagai pengembangan dari marxisme, berkaitan dengan konsep hegemoni.
1. Dalam hal ini, teori tersebut berfokus pada konflik kelas sebagai perjuangan-perjuangan sosial mendasar untuk mendapatkan kekuasaan.
2. Dapat diargumenkan bahwa media terlibat dalam perjuangan tersebut jika mereka memberikan privilese (hak-hak istimewa) terhadap pandangan-pandangan satu kelas sosial dan menolak kepentingan kelas-kelas lain.
3. Strinati (1995) juga mengkritik teori konflik untuk ‘suatu bentuk reduksionisme kelas yang melaluinya semua budaya dijelaskan melalui hubungannya dengan perjuangan kelas.’ Dia berargumen bahwa ‘penekanan marxis yang khas terhadap determinisme ekonomi bersifat terbatas secara sosiologi.’ Dengan kata lain, marxisme tidak hanya merupakan satu-satunya perkakas untuk memahami budaya media dan bagaimana hal ini memengaruhi audiens.
TEORI FEMINIS
Liesbet Van Zoonen (1994) membedakan antara feminisme radikal dan feminisme sosialis. Feminisme radikal mengambil semacam pandangan marxis tentang apa yang dilakukan oleh pelbagai institusi media terhadap perempuan dan terhadap ide-ide tentang perempuan.
1. Pendekatan-pendekatan kebudayaan terhadap studi feminis dipersiapkan untuk mengambil pandangan yang lebih luas tentang masalah kekuasaan bagi perempuan dan di mana masalah itu diletakkan.
2. Pendekatan-pendekatan ini tidak hanya menyalahkan institusi-institusi yang didominasi oleh pria, tetapi melihat kekuasaan dalam konteks sosial dan kekuasaan dalam institusi-institusi sosial yang lain.
TEORI POSTMODERNIS
Pelbagai kepentingan dan karakteristik postmodernisme lebih mudah dideskripsikan :
• Ide bahwa materi media sekadar merupakan bagian dari realitas kita dan bukan ‘sesuatu yang lain’;
• Intertekstualitas dalam film-film seperti Natural Born Killers, di mana pelbagai referensi terhadap film-film yang lain adalah bagian dari pemahaman terhadapnya;
• Penggunaan ironi dalam menceritakan pelbagai kisah, khususnya humor hitam;
• Pemisahan narasi/pengeditan, seperti dalam film Pulp Fiction, yang bertentangan dengan pelbagai konvensi tentang teks realis pada umumnya;
• Bermain-main dengan realisme dan surelisme;
• Ide bahwa tidak terdapat perbedaan antara seni dan budaya populer; definisi tentang budaya tinggi/budaya rendah tidak lagi bermakna.
1. postmodernisme mengatakan bahwa budaya media adalah realitas bagi audiens
2. audiens menganut budaya ini dan tidak harus menjadi korbannya
3. postmodernisme lebih tertarik kepada pelbagai kesenangan dalam teks daripada efek-efeknya yang mungkin terhadap masyarakat.
Teori-teori Media : fokus kepentingan
PRODUKSI MEDIA DAN BERITA
Produk media secara umum dapat dilihat sebagai proses dimana makna-makna diproduksi melalui teks media. Makna tersebut bagi produsen dan bagi audiens dapat berbeda. Proses produksi tersebut juga merupakan proses pemilihan. Media dapat dideskripsikan sebagai memproduksi komoditas, memproduksi budaya, dan memproduksi makna-makna tentang masyarakat.
Produksi dikendalikan oleh pelbagai imperatif yang merupakan bagian dari sistem kapitalis, dibentuk oleh pelbagai praktik yang merutinkan (routinise) dan menjual produk, serta dipengaruhi oleh konteks komersial.
Berita secara khusus merupakan bentuk produk yang khusus karena hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kita suatu pandangan yang bermanfaat tentang dunia. Kritik-kritik terhadap berita memunculkan perhatian terhadap pelbagai interpretasi yang saling berkonflik yang ditawarkan oleh pandangan pluralis dan pandangan determinis; terhadap bahasa khusus ang digunakan dalam berita; terhadap komodifikasi berita, dan terhadap pengoperasian ideologi melalui berita.
Proses pembuatan berita dipengaruhi oleh ide-ide di ruang berita tentang profesionalisme, nilai-nilai berita dan agenda yang memberikan prioritas terhadap beberapa cerita dibandingkan cerita-cerita yang lain. Presentasi berita merujuk kepadabentuk atau perlakuan terhadap berita. Hal tersebut mencakup penyaji berita itu sendiri, pembingkaian cerita-cerita berkaitan dengan keadaan ideal dalam solusi-solusi konsensual terhadap konflik sosial, dan pembentukan beberapa cerita berkaitan dengan kepanikan moral. Perlakuan terhadap berita ini memunculkan penciptaan ide-ide tentang norma sosial dan tentang penyimpangan. Semua proses pemilihan dan perangkat-perangkat bentuk cerita mengarah ke tindakan mempertanyakan gagasan imparsialitas berita.
REPRESENTASI, RAS, DAN BUDAYA GENERASI MUDA
Representasi merujuk pada pengkategorian orang-orang dan penmgkategorian ide-ide tentang mereka. Dikaitkan dengan media, hal tersebut dipahami secara dominan melalui gambar, tetapi dapat berlangsung melalui sarana komunikasi apa pun. Ide-ide yang direpresentasikan dikaitkan dengan ideologi dan secara khusus menyangkut tempat subjek dalam masyarakat vis a vis kekuasaan. Representasi dikonstruksi melalui cara bagaimana media digunakan, dan melalui cara kita melihat subjek tersebut.
Representasi terhadap ras dapat mendukung rasisme dan mengonstruksi suatu identitas yang didominasi oleh ide tentang menjadi berbeda, yaitu liyan (the other). Representasi tersebut berubah sesuai dengan sikap-sikap sosial pada suatu periode waktu, tetapi tidak menghilang.
Media sering merepresentasikan generasi muda sebagai melakukan pelanggaran terhadap hukum atau norma (delinquent) atau menyimpang (deviant). Tetapi representasi ini mengabaikan fakta bahwa banyak orang muda tidak tampak sebagai subkultur di jalanan atau di klab. Bahkan ketika mereka terlihat, kini mereka mungkin menjadi kelas menengah sebagai kelas pekerja.
Terdapat perdebatan tentang apakah media membentuk budaya generasi muda melalui komoditas pemasaran, atau apakah budaya generasi muda yang memunculkan gayanya sendiri, bahkan menggunakan komoditas, yang kemudian ditiru oleh industri musik dan mode utama.
Juga diperdebatkan bahwa penampilan dan perilaku subkultur generasi muda adalah tanda perlawanan terhadap budaya yang dominan, suatu tanda perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan di antara wacana-wacana.
AUDIENS, EFEK, DAN PERDEBATAN TENTANG KEKERASAN
Definisi audiens tidak sesederhana tampaknya. Terdapat banyak cara yang berbeda untuk memprofilkan audiens, berdasarkan jumlah atau berdasarkan karakteristik psikologis, sebagai contoh. Beberapa orang berargumen bahwa audiens tidak ada sampai mereka berinteraksi dengan media.
Definisi efek-efek juga problematik karena efek-efek psikologis tidak dapat ‘dilihat’, dan efek-efek perilaku dapat muncul dari begitu banyak pengaruh yang lain yang bertindak terhadap masyarakat pada saat yang sama seperti media. Tidak lagi dipercayai bahwa media sekedar melakukan pelbagai hal bagi masyarakat. Jika media memang memiliki efek, efek tersebut berkombinasi dengan faktor kebudayaan dan dengan aktivitas audiens itu sendiri.
Audiens disapa melalui teks-teks dengan pelbagai gaya dan dengan efek memosisikan audiens pada suatu tingkat yang berkaitan dengan bagaimana audiens akan memajami teks tersebut.
Audiens membaca teks-teks dengan banyak cara, sebagian dari cara tersebut cocok dengan maksud-maksud yang diduga dimiliki oleh media. Tampaknya bahwa audiens dapat berinteraksi dengan media untuk memuaskan pelbagai kebutuhan dan mendapatkan kesenangan, tetapi selalu dengan cara-cara yang diperumit oleh faktor-faktir seperti konteks dan gender. Hal ini merupakan kesenjangan tentang kekuasaan ideologi dalam teks, yang bertolak belakang dengan – kekuasaan audiens – pembaca. Terdapat pelbagai pendekatan riset audiens yang berkaitan dengan teori-teori makro tentang pengaruh media secara umum, dan dengan minat-minat mikro terhadap perilaku audiens tertentu.
Bukti riset tentang kekerasan dalam media, dan kritik terhadap riset ini,mengungkapkan bahwa model efek-efek sederhana tidaklah memadai. Bahkan model efek-efel yang rumit menjadi dipertanyakan karena banyaknya jumlah variabel yang memengaruhi ‘pembacaan’ materi yang mengandung kekerasan.
Riset tentang kekerasan terbagi ke dalam area-area dominan seperti efek, sikap kebudayaan, profil/tanggaoan audiens, institusi, dan faktor-faktor ideologis.
Masalah kunci dalam mengevaluasi kekerasan dan efek-efeknya adalah metodologi riset yang digunakan, kadang-kadang dikombinasikan dengan penegasan-penegasan yang memiliki kekurangan (flawed) bukti – yaitu kepercayaan, bukan keyakinan, yang mengarah ke hasil-hasilnya. Namun, pelbagai kecemasan sosial tentang kekerasan tetap harus ditangani, dan metodologi yang diperbaiki dapat memberikan hasil dalam hal membuat suatu kaitan antara kekerasan dalam media serta perilaku sosial, yang tidak harus selalu bersifat sebab akibat.
Langganan:
Postingan (Atom)