tag:blogger.com,1999:blog-1351749758496665152024-03-13T06:20:56.064-07:00Retno SosiologiRetno Sosiologihttp://www.blogger.com/profile/05064436971676102162noreply@blogger.comBlogger6125tag:blogger.com,1999:blog-135174975849666515.post-46585164928305014092012-05-23T19:02:00.001-07:002012-05-23T19:02:42.522-07:00gender dalam masyarakat desaGENDER DAN PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN MASYARAKAT DESA<br /><br /> Gender adalah peranan atau tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang diciptakan atau dibentuk dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun budaya. Pengertian lain mengenai gender yaitu perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.<br />Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Deangan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.<br /> Belakangan ini ramai dibicarakan tentang kesetaraan gender yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun yang perlu digaris bawahi adalah kesetaraan gender bukan berarti jumlah laki-laki dan perempuan harus sama dalam setiap kegiatan dan tidak pula memperlakukan laki-laki dan perempuan sama persis. Kesetaraan gender adalah memerhatikan dan menghargai perbedaan sifat, sikap, aspirasi, dan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan. Ini berarti hak, kesempatan, dan tanggung jawab tidak tergantung pada apakah mereka lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Laki-laki dan perempuan bisa hidup dalam kesetaraan guna memenuhi tuntutan hidup.<br /> Kesetaraan gender juga terkait dengan bidang pendidikan yang memungkinkan memberi kesempatan kepada laki-laki dan perempuan untuk mencapai potensi mereka. Kesetaraan gender dalam pendidikan meningkatkan akses terhadap pendidikan yang bermutu, relevan dan berdaya saing. <br /> Kesetaraan gender dalam pendidikan mungkin sudah mulai terjalin kuat di lingkungan perkotaan, namun lain halnya jika kesetaraan gender dilihat melalui kaca mata masyarakat desa. Dalam lingkungan pedesaan masih banyak sekali dijumpai anak-anak gadis usia sekolah yang harus berhenti mengenyam bangku sekolah setelah menempuh pendidikan setara SMP. <br /> Menurut beberapa pandangan masyarakat desa menyebutkan bahwa seorang anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi. Mereka sudah merasa puas menyekolahkan anak-anak perempuannya setelah bisa membaca dan menulis. Mereka berpendapat bahwa perempuan hanyalah “konco wingking” yang berarti perempuan nantinya hanyalah sekedar sebagai pendamping dan pengabdi bagi laki-laki.<br /> Namun jika dipahami lebih dalam lagi ternyata ketimpangan kesetaraan gender dalam pendidikan masyarakat desa tidak sepenuhnya karena faktor pandangan sempit tentang peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Kendala ekonomi masyarakat desa yang kebanyakan bekerja sebagai petani juga menjadi penyebab utama ketimpangan kesetaraan gender itu. Logikanya adalah jika sebuah keluarga dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan bahkan cenderung kurang tentu akan berpikir seribu kali jika ingin menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang tinggi. <br /> Dengan demikian pemecahan masalah kesetaraan gender dalam pendidikan masyarakat desa tidak hanya melalui penekanan tentang arti penting sebuah pendidikan bagi anak-anak baik laki-laki dan perempuan, namun juga diperlukan sebuah solusi lanjut tentang faktor ekonomi masyarakat desa yang sebagian besar sebagai petani miskin. <br /> Pada tahun 2001, nilai Indeks Pembangunan Gender (Gender-related evelopment Index, GDI) Indonesia menempati urutan ke-91 dari 144<br />negara. Dengan hal ini berarti ketidaksetaraan gender di berbagai bidang<br />pembangunan masih merupakan masalah yang dihadapi Indonesia pada<br />masa mendatang. Dalam biang pendidikan, walaupun kebijakan<br />pendidikan di Indonesia tidak membedakan akses menurut jenis kelamin,<br />dalam kenyataannya perempuan masih tertinggal dalam menikmati<br />kesempatan belajar. Sebagai contoh, pada tahun 1980, hanya 63%<br />penduduk perempuan yang melek huruf, sementara laki-laki 80%.<br />Sepuluh tahun kemudian persentase melek huruf untuk perempuan<br />meningkat menjadi 79% dan laki-laki 90%. Pada tahun 1998, kesenjangan<br />melek huruf antara laki-laki dan perempuan semakin mengecil, yaitu laki-<br />laki 93,40% dan perempuan 85,50%. Namun jika dilhat dari jumlahnya,<br />masih terdapat 11,7 juta perempuan yang buta huruf dibandingkan<br />dengan 5,2 juta laki-laki.<br /><br /><br />Perbedaan partisipasi antara perempuan dan laki-laki juga dapat dilihat<br />menurut jenjang pendidkan. Sensus Penduduk 1990 menunjukkan bahwa<br />ada 32% laki-laki lulusan Sekolah Dasar(SD), sementara perempuan<br />lulusan SD hanya 28%. Pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama<br />(SLTP), terdapat sekitar 12% laki-laki lulusan SLTP dan hanya 9%<br />perempuan lulusan SLTP. Pada tingkat Sekolah Menengah (SM), terdapat<br />12% laki-laki lulusan SM, sementara perempuan lulusan SM hanya 8%.<br />Pada jenjang perguruan tinggi (PT), ada 2% laki-laki lulusan PT dan hanya<br />1% perempuan lulusan PT (Biro Pusat Statistik, 1992). Pada tahun 1999 terjadi perubahan. Penduduk perempuan yang berhasil menamatkan SD<br />sudah mencapai 33,40%, sementara penduduk laki-laki yang lulus SD<br />hanya 32,50%. Perempuan yang berpendidkan SLTP 13,00%, sedikit<br />lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama, yaitu 15,00%.<br />Penduduk perempuan yang berpendidikan SM sebesar 11,40%, lebih<br />rendah dari penduduk laki-laki yang berpendidikan sama yaitu 15,70%.<br />Sementara itu, penduduk penduduk perempuan berpendidikan sarjana<br />sudah mencapai 2,19%, tapi masih lebih rendang dibanding laki-laki yang<br />berpendidikan sama yaitu 3,20%.<br /><br /><br />Ketidaksetaraan gender juga terlihat dari angka partisipasi berdasarkan<br />kelompok usia maupun jenjang penddikan. Pada tahun 1991, Angka<br />Partisipasi Murni (APM) laki-laki adalah 84%, sedikit lebih tinggi dari APM<br />perempuan yang 83 %. Pada tahun 1997, APM perempuan di tingkat SD<br />adalah 92%, lebih rendah dari APM laki-laki yang 97,10% (Pusat<br />Informasi Depdiknas,!998). pada tahun 1997, APM laki-laki di SLTP adalah<br />57,11%, sedangkan APM perempuan 54,70%. Di tingkat SM, APM laki-laki<br />30,20%, sedangkan APM perempuan 29,80%.<br /><br /><br />Fenomena ketimpangan gender dalam bidang pendidikan dalam<br />masyarakat Indonesia memang masih sangat kuat. Dalam banyak<br />keluarga, anak perempuan tidak menjadi prioritas untuk melanjutkan<br />pendidikan. Pada sekolah kejuruan, ada stereotip bahwa siswa perempuan<br />tidak cocok dengan sekolah kejuruan teknologi. Pada perguruan tinggi,<br />mahasiswa perempuan dipandang lebih cocok dengan ilmu-ilmu lembut,<br />seperti ilmu-ilmu sosial, ekonomi, sastra; dan kurang cocok dengan<br />teknologi. Demikian pula jumlah tenaga pendidik perempuan lebih banyak<br />pada sekolah dasar dan semakin berkurang pada sekolah<br />atau perguruan tinggi.<br />. Gender Dalam Kurikulum dan Proses Pendidikan<br />Data dan informasi yang dikumpulkan melalui profil gender seperti ini<br />sangatlah tidak memadai untuk dapat mengungkapkan kesenjangan<br />gender secara menyeluruh yang terjadi dalam kurikulum dan proses<br />pengelolaan pendidikan. Namun, dalam berbagai literatur telah banyak<br />dibahas bagaimana peran-peran gender yang terjadi dalam proses<br />pendidikan yang cenderung lebih bias laki-laki, dalam proses<br />pembelajaran. Dalam studi ini kesenjangan gender yang terjadi dalam<br />proses pengelolaan pendidikan dan pembelajaran di sekolah dapat dilihat<br />dari berbagai indikator, namun karena berbagai keterbatasan yang ada,<br />studi ini hanya mengungkapkan beberapa gejala yang menarik dalam (1)<br />gender dalam proses pengelolaan pendidikan, dan (2) isi kurikulum<br />sekolah dan buku pelajaran.<br /><br /><br />1). Gender Dalam Proses Pengelolaan Pendidikan<br />Yang dimaksud dengan proses pengelolaan pendidikan adalah<br />keseluruhan proses dan mekanisme pendayagunaan sumber daya<br />pendidikan untuk mengatur jalannya sistem pendidikan nasional pada<br />setiap bentuk kegiatan pengelolaan pendidikan dari mulai proses<br />pengambilan keputusan, perencanaan, pengelolaan sampai dengan<br />pelaksanaan operasional pendidikan. Setiap keputusan yang diambil oleh<br />pimpinan, sejak tingkatan strategis sampai dengan tingkatan operasional,<br />harus dijabarkan secara konsisten ke dalam langkah-langkah operasional<br />pengelolaan, sehingga pelaksanaan pendidikan benar-benar<br />mencerminkan tujuan kebijaksanaan. Oleh karena itu, kesenjangan<br />gender yang terjadi dalam keseluruhan proses pengelolaan dan<br />pelaksanaan setiap satuan pendidikan, akan sangat dipengaruhi oleh<br />keputusan yang diambil oleh pimpinan. Jika bias gender terjadi pada suatu<br />keputusan strategis yang dijadikan sebagai landasan operasional<br /><br />2) Kurikulum Sekolah dan Buku Pelajaran<br />Yang dimaksud dengan kurikulum sekolah adalah keseluruhan proses<br />pembelajaran yang berlangsung di setiap satuan pendidikan, yang secara<br />langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap intensitas siswa<br />belajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang sudah<br />ditetapkan, atau dapat disingkat dengan istilah "proses pembelajaran".<br />Kualitas dan kuantitas proses pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai<br />faktor, baik faktor anak, faktor fasilitas sekolah, guru, lingkungan belajar,<br />dan muatan kurikulum yang termuat dalam buku pedoman kurikulum<br />yang didistribusikan ke setiap satuan pendidikan. Namun di antara<br />berbagai faktor tersebut, salah satu faktor panting artinya adalah isi<br />kurikulum yang tertulis dalam bentuk tujuan-tujuan kurikuler, pokok-<br />pokok bahasan serta isi atau materi dan contoh-contoh dalam buku<br />pelajaran pada setiap mata pelajaran yang diberikan di sekolah.<br />Pengaruh isi kurikulum terhadap terjadinya kesenjangan gender dalam<br />proses pendidikan di sekolah perlu diamati secara seksama karena apa<br />yang berlangsung dalam proses pembelajaran sangat sulit digambarkan<br />dan dibuktikan dengan angka-angka. Namun demikian, terdapat beberapa<br />indikator panting yang dapat dijadikan sebagai proksi dari permasalahan<br />gender dalam proses tersebut. Di antara indikator yang sangat panting<br />adalah proporsi perempuan yang berpartisipasi dalam pengembangan<br />kurikulum dan buku pelajaran.<br />Salah satu faktor yang menyebabkan bias laki-laki dalam pendidikan<br />adalah disebabkan karena laki-laki sangat dominan dalam mempengaruhi<br />isi kurikulum. Isi kurikulum yang umumnya telah dituangkan dan<br />dijabarkan ke dalam materi pelajaran yang ditulis pada buku-buku<br />pelajaran itu merupakan faktor yang sangat kuat pengaruhnya terhadap<br />terjadinya proses pembelajaran yang kurang tanggap gender. Para<br />pengembang kurikulum. dalam berbagai bidang studi umumnya<br />didominasi oleh laki-laki, walaupun bukan kesengajaan, karena peran<br />perempuan sebagai pengembang kurikulum sangat kecil, maka isi<br />kurikulum cenderung disusun dari sudut pandang laki-laki. Komposisi<br />perempuan yang berprofesi sebagai pengembang kurikulum sangat<br />rendah, sehingga dimungkinkan bahwa segala kepentingan yang<br />menyangkut perempuan kurang disuarakan.<br /><br />KONDISI RIIL MASYARAKAT DESA<br /><br />Kajian tentang matapencaharian masyarakat desa di Bali, terutama yang bertalian dengan sistem pertanian lahan kering maupun lahan basah, telah banyak dilakukan oleh pakar dari dalam maupun mancanegara. Hal ini dapat dilihat misalnya dari apa yang dilakukan oleh Geertz (1959, 1977), Geertz dan Geertz (1975), Geertz (1981), Pitana ed., (1993), Grader (1969), Duff-Cooper (1990), Atmadja (1998), Teken et al. (1988), Covarrubias (1972), Eiseman (1988, 1990), Korn (1933), dll. Aneka kajian tersebut amat berharga, karena mampu memberikan pemahaman yang luas dan mendalam tentang agroekosistem yang berkembang pada masyarakat pedesaan di Bali. Berkat kajian tersebut, Bali dengan sistem subaknya, amat terkenal. Bahkan, keterkenalan itu menimbulkan generalisasi, yakni Bali diidentifikasikan dengan subak. Padahal dalam masyarakat Bali ada sekelompok anggota masyarakat yang menekuni aktivitas kerajinan. <br />Kajian yang dilakukannya cendrung terfokus pada kaum laki-laki sebagai subjek penelitiannya. Sehingga informasi yang diperoleh terbatas hanya mengungkapkan visi, persepsi laki-laki, sehingga sangat sarat dengan dominasi budaya patriarki. Padahal dalam kehidupan masyarakat tidak saja laki-laki yang memberikan sumbangan bagi dinamika dan keberlangsungan system sosiokultural di Bali, tetapi juga kaum wanita. Kondisi semacam itu dapat dikatakan merupakan suatu proses pemarjinalan kaum perempuan. <br /> Kemarginalan kaum perempuan pada masyarakat di Bali, baik secara akademik , sosiokultural, maupun ekonomik – pembangunan, tentu saja memerlukan penanggulangan agar pemahaman terhadap berbagai aspek tentang kehidupan mereka menjadi lebih luas, mendalam dan konprehensif. Berdasarkan pemahaman itu bisa pula dipakai sebagai acuan untuk memberdayakan mereka ke arah suatu kemajuan yang berbasiskan pada kebutuhan nyata pada masyarakat pengerajin . Untuk itulah, maka kajian terhadap etos kerja wanita dalam kehidupan masyarakat pengerajin di Bali tidak saja penting, tetapi juga amat diperlukan, baik dilihat dari segi akademik maupun kebutuhan pembangunan.<br /> Bertitik tolak dari kenyataan itulah akan dikaji etos kerja wanita pada masyarakat petani di Desa Tojan Klungkung, Bali. Di desa ini terdapat sebanyak 100 kepala keluarga pengerajin yang menekuni bidang usaha kerajinan tenun, kramik, lukis dan perak. <br />Para istri melakukan aktivitas di luar pertanian, yaitu sebagai pengerajin. Hasil kerajinannya selanjutnya mereka jual ke pasar Klungkung atau kepada para tengkulak. <br />Artadi (1993) menunjukkan bahwa secara umum wanita Bali termasuk pekerja keras. Gejala ini berkaitan dengan keberlakuan ideologi patriarki sebagaimana tercermin dari adanya sistem kekerabatan patrilinial pada masyarakat Bali. Sistem ini mengakibatkan wanita yang telah menikah harus masuk dan tinggal di lingkungan kerabat suaminya. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, ideologi patriarhi mengakibatkan pula wanita tersubordinasi oleh laki-laki ataupun suaminya. Kondisi ini mendorong wanita bekerja keras agar eksistensinya dihargai oleh suami maupun lingkungan keluarganya (Atmadja, 1998). Sehingga kehidupan mereka tidak mutlak tergantung pada sang suami. Bahkan, berkat kemandirian itu status mereka bisa pula terangkat di mata suami maupun lingkungan keluarganya. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa ada kesepakatan bahwa wanita Bali tergolong wanita yang ulet berkerja guna mensejahteraan kehidupan rumah tangganya.<br /> Dalam perspektif sistem ekonomi kapitalis pekerjaan yang dianggap bernilai tinggi dalam masyarakat adalah pekerjaan yang mampu menghasilkan uang tunai. Apalagi di era sekarang ini, manusia terjerat pada budaya konsumen, bahkan telah mengarah pada pembentukkan masyarakat yang menganut sistem ekonomi libodo, maka kepimilikan akan uang agar bisa memenuhi nafsu mereka untuk mengkonsumsi aneka jasa dan barang yang persediaan melimpah di pasar, menjadi amat penting (Lury, 1998; Piliang, 1998, 1999). Kondisi masyarakat seperti ini dapat mendorong laki-laki maupun wanita untuk bekerja lebih keras lagi, agar nafsu mereka mengkonsumsi barang dan atau jasa terpenuhi secara berkelanjutan, bahkan dalam kondisi yang semakin meningkat, baik dilihat dari kualitas maupun kuantitasnya.<br />Bila gagasan ini dibandingkan dengan perilaku istri pada masyarakat pengerajin di desa Tojan, tampaknya tidak jauh berbeda. Hal ini mengingat bahwa keterlibatan mereka dalam kehidupan ekonomi tidak saja di sector domestic, tetapi juga disektor publik/ nafkah. Wijaya (1995) menunjukkan di beberapa daerah umumnya wanita amat bergairah sebagai pekerja rumahan, karena kegiatan tersebut bisa dipadukan secara elastis dengan kegiatan domestik. Karena itu, idiom wanita Bali yang menyatakan bahwa mereka harus bekerja keras agar bisa memiliki pendapatan secara mandiri sepertinya tidak terabaikan oleh para istri petani/pengerajin di desa Tojan. <br />Gejala ini menarik untuk ditelaah, terutama bertalian dengan latar belakang yang menyebabkan mereka begitu antusias menggunakan peluang kerja yang tersedia. Dengan mengacu kepada Weber (1979), Bellah (1992) dan Mubyarto et al. (1991) gejala ini tidak terlepas dari superstruktur ideologi yang mereka miliki, terutama bertalian dengan etos kerja. Karena, etos kerja yang menentukan sikap dan perilaku manusia dalam hal menangani suatu pekerjaan. Namun dalam kenyataannya, faktor lain yang bersumber dari struktur sosial dan infrastruktur material, tentu tidak bisa diabaikan, karena bisa pula memberikan penguatan atau kendala terhadap etos kerja (Alatas, 1988; cf. Sanders, 1993; Burn, Baumgartner dan Devilie, 1987). Karena itu, usaha untuk menjelaskan antusiasme para istri petani terjun ke sektor nafkah, dengan sendirinya tidak hanya dicari pada etos kerja, melainkan perlu pula ditelusuri pada aspek-aspek lain yang tercakup di dalam struktur sosial dan infrastruktur material yang mereka miliki. <br /> Antusiasme mereka terjun ke sektor nafkah dapat mengakibatkan sumbangan wanita terhadap aset ekonomi rumah tangga mereka menjadi amat berarti. Hal ini tentu memperngaruhi pula posisi mereka di lingkungan keluarga, bahkan bisa mengindarkan keberadaanya tersubordinasi oleh laki-laki atas wanita, sebagaimana yang diamanatkan dalam ideologi patriarki. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Sanderson (1993) atau Marx (dalam Elster 2000; Magnis-Suseno, 1999) bahwa ketimpangan penguasaan aset antara laki-laki dengan wanita bisa memperkuat subordonasi laki-laki terhadap wanita. Sejalan dengan gagasan ini menarik pula untuk dikaji tentang posisi politis wanita pada masyarakat pengerajin di desa Tojan sebagai implikasi dari keterlibatan mereka dalam memberikan sumbangan kepada aset keluarga mereka. <br />pendidikan, maka akan mengakibatkan terjadinya bias gender yang<br />semakin melebar, pada tingkatan operasional.<br />Dalam tingkatan yang paling strategis, kesenjangan dalam mekanisme<br />pengelolaan pendidikan terletak pada partisipasi perempuan di dalam<br />proses pengambilan keputusan, sejak tingkatan nasional, provinsi,<br />kabupaten, sampai dengan satuan pendidikan di lapangan. Peran<br />tradisional perempuan dalam keluarga yang terlanjur sudah<br />dikonstruksikan dengan fungsi reproduktifnya, secara konsisten tercermin<br />pula pada struktur jabatan struktural di lingkungan Departemen<br />Pendidikan Nasional menurut gender. Jumlah perempuan, secara<br />keseluruhan, sampai saat ini baru dapat mengambil posisi yang sangat<br />kecil dalam melaksanakan peran-peran mereka di dalam pengelolaan<br />pendidikan nasional. Tabel 2.10 menunjukkan bahwa jumlah perempuan<br />yang menduduki jabatan struktural pada tahun 2003 masih sangat<br />rendah, mulai dari Eselon I s/d Eselon V. Hal yang sama juga terjadi pada<br />jabatan Fungsional Umum, dimana laki-laki sangat dominan dengan angka<br />70,5%. Dari kenyataan ini menunjukkan bahwa partisipasi perempuan<br />dalam proses pengambilan keputusan di lingkungan lembaga-lembaga<br />resmi pendidikan nasional masih sang at rendah, bahkan boleh dikatakan<br />kurang berarti. Padahal jabatan struktural dalam lingkungan birokrasi<br />pendidikan memegang kunci utama khususnya dalam melahirkan<br />kebijaksanaan strategis yang dapat dijadikan landasan untuk<br />mengarahkan berbagai kebijakan operasional pada tingkatan-tingkatan<br />jabatan yang lebih rendah termasuk mereka yang beroperasi di lapangan.<br />Tabel 2.10 juga menunjukkan, di samping kecil proporsinya, gejala lain<br />menunjukkan bahwa semakin tinggi jabatan struktural, semakin kecil<br />partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Proporsi<br />perempuan yang hanya sebesar 21,50% yang menduduki jabatan eselon<br />V, secara konsisten semakin mengecil proporsinya untuk posisi jabatan- <br />jabatan yang lebih tinggi hingga jabatan eselon I, yang hanya mencapai<br />8,50% saja. Gejala ini menunjukkan bahwa kesenjangan gender yang<br />terjadi dalam sistem pengelolaan pendidikan di Indonesia sangatlah<br />mendasar karena perempuan hanya menempati posisi sebagai penerima<br />keputusan yang harus tunduk terhadap kebijaksanaan apapun yang<br />ditentukan oleh para pejabat birokrasi, yang umumnya dikuasai oleh laki-<br />laki. Keadaan ini akan semakin lebih diperparah lagi, jika perempuan yang<br />proporsinya sangat kecil itu, juga belum memiliki wawasan gender seperti<br />yang diharapkan.<br />Dalam birokrasi tingkatan menengah, para pejabat Eselon III dan IV<br />perempuan yang berperan sebagai pemimpin pengelolaan pendidikan<br />sehari-hari sejak tingkat pusat sampai dengan daerah menduduki posisi<br />yang sangat kecil dan kurang menentukan. Proporsi perempuan yang<br />menduduki jabatan struktural tingkatan ini masin-masin hanya 13,2% dan<br />21,6%, suatu jumlah yang sangat tidak rasional dalam kaitan dengan<br />perimbangan kekuatan menurut gender dalam menggerakan operasional<br />pendidikan sehari-hari. Dapatlah disimpulkan bahwa mulai dari proses<br />pengambilan keputusan tertinggi di lingkungan lembaga-lembaga<br />pemerintah hingga para penentu kebijakan operasionalnya, kaum laki-laki<br />masih memegang peran yang sangat dominant dibandingkan kaum<br />perempuan, Kondisi ini akan mempertegas berbagai dugaan yang<br />berkembang saat ini bahwa sangatlah wajar jika kesenjangan gender akan<br />tetap bertahan sebagai permasalahan yang bersifat struktural<br />Retno Sosiologihttp://www.blogger.com/profile/05064436971676102162noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-135174975849666515.post-59211710109478599052012-05-02T20:48:00.000-07:002012-05-02T20:48:14.654-07:00Sosiologi ditafsirkan kembaliBAB I<br />SOSIOLOGI SEBAGAI CARA PANDANG<br /><br /><br />Dalam alam modern ini, berbagai institusi dan kelompok sosial, bahkan individu bergerak dengan cepat dari keadaan kekanak-kanakan ke keadaan pikun, dengan masa peralihan yang sangat singkat, demikian pula dalam disiplin ilmu sosiologi. Para sosiolog pada tahun 1950-1960 baru saja menyadari tentang profesi baru mereka, sekarang para sosiolog sepertinya banyak menghabiskan waktu untuk meyakinkan keadaan profesi mereka dan bekerja di lingkungan akademik dengan kesulitan ekonomi yang parah.Bahkan pada akhirnya para sosiolog banyak mempengaruhi kelompok intelektual di Eropa Barat dan Amerika Utara.<br />Fakta bahwa sosiolog kurang diperhitungkan oleh ahli lain lebih mudah diatasi daripada keraguan para sosiolog itu sendiri terhadap profesi mereka. Topik yang dibahas sekarang lebih menyangkut pada pemahaman diri yang tepat atas disiplin sosiologi itu sendiri. Sosiologi selama ini dan yang akan datang merupakan suatu pendekatan yang sah, bahkan penting terhadap realitas kehidupan kolektif. Salah satu ciri sosiologi yang inhern adalah pengakuan yang rendah hati terhadap realitas, menepis khayalan termasuk yang berasal dari sosiologi itu sendiri.<br />Sosiologi pada awalnya bukan saja merupakan suatu pendekatan baru yang mempelajari masyarakat, tetapi benar-benar merupakan bagian dari penemuan gejala-gejala masyarakat itu sendiri. Albert Solomon mengatakan “ lebih masuk akal untuk memahami disiplin sosiologi sebagai satu langkah dalam perkembangan perspektif yang dengan tepat dapat disebut bersifat sosiologis (sociological)”, berbeda dengan ilmu pengetahuan modern dan ilmu humaniora lainnya; fisika, biologi, ekonomi, hukum, politik, semua sudah diamati terlebih dahulu sebelum lahir ilmu-ilmu modern tersebut. <br />Persepsi sosiologi awalnya adalah persepsi dinamika otonom; masyarakat adalah suatu nama untuk sesuatu yang berlangsung menurut kaidah-kaidah yang masih harus ditemukan dibawah struktur-struktur kolektif sebagaimana didefinisikan “secara resmi oleh disiplin normatif seperti teologi, filsafat dan hukum”.Persepsi sosiologi berikutnya adalah bahwa sosiologi merupakan suatu cara pandang terhadap dunia segera setelah menemukan objek penyelidikannya. Seperti halnya R.Merton menciptakan dua istilah fungsi lembaga yaitu fungsi manifest ; fungsi yang ditentukan secara resmi dan fungsi latent yaitu fungsi yang terselubung (ipso facto). Bahwa dibawah bangunan yang nampak dalam dunia manusia ada struktur yang kepentingan dan kelembagaan yang tersembunyi. Yang nyata bukanlah merupakan keseluruhan cerita, tetapi yang tersembunyi haruslah dipelajari, atau dengan kata lain ” dunia bukanlah sebagaimana nampaknya”.<br />Secara intrinsik sosiologi memiliki karakter subversif terhadap “tatanan yang baik” yang disahkan dengan definisi-definisi resmi. Hal ini berlaku tanpa memperdulikan apakah seorang sosiolog “bermaksud” subversif atau tidak. Seperti pada masa sosiologi klasik, Emille Durkheim, Max Weber, Vilfredo Pareto walaupun dianggap sebagai tokoh konservatif tetapi mereka adalah tokoh reformis yang lunak dengan pemikiran-pemikiran mereka yang bersifat menggoyahkan dan mengganggu serta membuat marah kepada mereka yang memegang teguh “aturan yang ditentukan secara resmi”.<br />Kekhasan sosiologi adalah negatif dan secara paradoksal. Justru dalam negasilah sosiologi dapat menyumbangkan yang terbaik dalam pendirian positif. Para sosiolog selalu berselisih dengan disiplinnya sendiri jika ingin memainkan peran sebagai pembela (berbuat sebagai sosiolog). Perspektif sosiologi didasarkan pada rasionalitas, itulah sebabnya sosiologi pada tahap awal memahami dirinya sebagai suatu science/ilmu, tetapi pemahaman diri ini akan selalu berada dalam ketegangan tertentu karena ada dorongan “yang bersifat menelanjangi” atau negatif dari perspektif sosiologi. Para sosiolog selalu tergoda untuk menerapkan pandangan mereka demi “perbaikan” rasionalitas masyarakat. Motif ini menjadi lebih mendesak lagi dalam konteks sekulerisasi, dimana norma-norma agama mulai memudar pengaruhnya dan makin pentingnya penataan ulang masalah-masalah insani dengan cara rasional.<br /> Pada abad XX modernitas, rasionalitas dan sekuler berada dalam kondisi krisis. Sosiologi merasa tidak dapat kembali kepada imam zaman pencerahan. Dikatakan oleh Max Weber bahwa ini adalah situasi sulit. Seseorang mencoba melihat dunia sejelas mungkin dan menderita “kekecewaan” radikal. Sekalipun demikian ia tetap bertekad melakukan intervensi agar lebih manusiawi”. Inilah alasan pertama relevansi Weber yang disebut “prise de conscience” sosiologi. <br /> Fokus terhadap modernitas menyiratkan sesuatu usaha untuk melihat masyarakat masa kini sebagai suatu keseluruhan. Maknanya bahwa perspektif sosiologis adalah komprehensif dan komparatif. Sosiolog yang baik selalu memiliki rasa ingin tahu yang tidak pernah terpuaskan bahkan mengenai hal-hal yang remeh sekalipun dari perilaku manusia. Rasa ingin tahu tersebut mendorong untuk melaksanakan penelitian yang sulit terhadap beberapa sudut kecil dunia sosial yang dianggap remeh oleh orang lain. <br />Sosiologi harus kembali ke persoalan-persoalan besar mengenai susunan dunia modern. Sosiologi sebagai suatu disiplin harus memperoleh kembali suatu visi mengenai keseluruhan masyarakat kontemporer. Seperti yang oleh Marcel Mauss disebut Le Fait Sosial Total (pembentukan masyarakat seutuhnya). Artinya panggilan seorang sosiolog pada hakekatnya merupakan panggilan Kosmopolitan. Revitalisasi sosiologi akan berarti diatas segalanya jika merupakan suatu perspektif tertentu mengenai cara pandang terhadap dunia. Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan bukan seperangkat doktrin dan sumber-sumbernya tidak boleh kebal terhadap penelanjangan.<br />Weber memiliki suatu pemahaman yang khas tentang arti dari studi masalah-masalah insani dan gejala-gejala insani yang tidak dapat berbicara sendiri tetapi harus ditafsirkan. Penafsiran tersebut memiliki suatu moral, bahkan dimensi kemanusiaan yang meliputi (1)penghormatan terhadap orang lain (2)maksud-maksud mereka(3)harapan-harapan(4)cara hidup (5) tekad melihat dunia sosial seperti adanya (tanpa memandang harapan dan rasa takut seseorang melihat das sein dan das solen menurut kepercayaan mereka).<br /> Emille Durkheim dan semua mashab sosiologi perancis memperlihatkan suatu semangat yang lebih dekat dengan semangat gerakan pencerahan. Metodenya masih Positivis, seperti ilmu pengetahuan alam. Meskipun masyarakat dengan jelas dipahami sebagai suatu realitas sui generis, metode sosiologi tidak ditentukan oleh kualitas masyarakat itu sendiri, tetapi oleh suatu konsep abstrak mengenai bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan. Durkheim tidak memisahkan antara das sein dengan das solen dalam realitas sosial <br />Tradisi Marxis berbeda dengan Durkheim, terdapat erosi yang sama dalam garis das sein dan das solen dalam masyarakat, alasannya bukanlah ideal positifis ilmu pengetahuan yang disebabkan karena masyarakat dilihat dari aspek filsafat sejarah, ke satu titik dimana pemahaman ilmiah dianggap tidak mungkin kecuali sebagai integral dar prosedur filosofis. Pada prosedur ini berdirilah suatu visi utopia masa depan, yang tanpa itu keseluruhan prosedur tersebut akan kehilangan sifatnya yang masuk akal.<br />Tidak ada metode ilmiah yang dapat menelaah semua realitas manusia secara komprehensif dan akhirnya tidak problematis. Sebaliknya, ilmu pengetahuan memandang objeknya dalam suatu cara yang selektif, parsial, ipo facto, problematis. Ilmu pengetahuan tidak akan pernah dapat memberikan suatu patokan moral untuk suatu tindakan, tetapi suatu pemahaman yang sama untuk menghindarkan utopianisme yang melihat masa kini sebagai menuju ke masa depan yang tak terelakkan dan menyelamatkan. Jika ilmu pengetahuan tidak dapat memberikan moralitas , maka lebih tak dapat lagi memberikan doktrin penyelamatan. Pemahaman ilmu pengetahuan dan sosiologi sebagai suatu ilmu pada akhirnya akan menjelaskan perbedaan antara analisis-analisis intelektual, perbedaan antara refleksi dan realitas kehidupan. <br />Positivisme dan utopianisme dewasa ini merupakan dua kubu yang dominan dalam sosiologi yang mewakili penyimpangan dalam keilmuan sosiologi dalam bidang kerja maupun metodenya, hal ini akan menimbulkan penyangkalan-penyangkalan pada struktur koqnitif disiplin sosiologi, tetapi juga memberikan jalan pintas dan jalan keluar yang mudah dari berbagai ketegangan antara das sein dan das solen. <br />Dunia dewasa ini jauh berbeda pada masa hidup Weber. Proses rasionalisasi yang oleh Weber dianggap sebagai suatu modernitas, masih berkembang saat ini dan menjadi suatu fenomenal global yang nyata. Sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya tidak dapat menghindar dari perkembangan tersebut. Positivisme dalam gerakan semangat pencerahan mencakup pula sikap modernisasi, dan individu-individu dengan pemahaman positivisme tentang sosiologilah yang sangat rawan terhadap modernisasi, karena nalar kritis mereka dapat roboh dengan tiba-tiba dan menyeluruh, manakala kesulitan-kesulitan eksistensial mencapai tingkat tertentu. Pada saat kritis tatanan sosial telah menjadi semakin dalam dan di berbagai tempat telah bersifat bencana. Oleh karena itu suatu reprise de conscience (pengambilan sikap kembali) sosiologi akan mencakup suatu pengakuan akan batas-batas.<br /> Sosiologi seperti apapun bentuknya, merupakan suatu cara pandang yang amat khas tentang dunia insani. Satu fokus yang dibahas haruslah sebuah penjernihan yang cermat tentang apa yang sesungguhnya cara pandang tersebut. Kemudian langkah berikutnya haruslah berupa suatu penjernihan mengenai tindakan penafsiran sosiolog<br />BAB 2<br />TINDAKAN PENAFSIRAN<br /><br /><br />Semua orang mempunya makna dan berusaha hidup dalam suatu dunia yang bermakna. Tetapi, tentunya ada makna yang lebih dapat diterima dibandingkan makna-makna lainnya. Pembedaan berikut dibuat Alfred Schutz: dua jenis makna yang luas dapat dibedakan: ada makna dalam dunia kehidupan individu sendiri, yaitu makna yang secara aktual atau potensial “dalam jangkauan” (within reach) atau “ada di tangan” (at hand), yaitu makna-makna yang biasanya dimengerti sendiri secara alamiah dalam kehidupan sehari-hari. <br />Kemudian ada berbagai makna di luar dunia kehidupan individu itu sendiri, makna masyarakat-masyarakat lain atau sektor yang kurang akrab dari masyarakat individu itu sendiri, juga makna-makna dari masa silam; ini semua merupakan makna yang tidak secara langsung terdapat secara alamiah, tidak ‘dalam jangkauan’ atau tidak ‘ada di tangan’ tetapi harus lebih disesuaikan melalui proses inisiasi tertentu, apakah itu melalui pelibatan diri sendiri dalam suatu konteks sosial yang berbeda (khususnya untuk makna-makna yang berhubungan dengan masa silam) atau melalui disiplin intelektual tertentu.<br /> Lebih lanjut orang harus membedakan antara menafsirkan makna-makna individu-individu dengan siapa dia dalam interaksi tatap muka yang aktual atau potensial (mereka yang oleh Schutz disebut dengan consociates), makna-makna individu-individu dengan siapa interaksi seperti itu tidak sedang berlangsung (disebut ‘sezaman’, atau dalam hal masa silam, disebut ‘pendahulu), dan akhirnya makna-makna yang terdapat dalam berbagai struktur anonim (makna suatu institusi dimana manusia-manusia konkritnya tidak pernah melakukan interaksi). <br />Penafsiran juga merupakan salah satu inkorporasi, memahami suatu hal yang baru dengan menghubungkannya dengan yang lama yang ada dalam pengalamannya sendiri. Penafsiran atas suatu komunikasi memerlukan usaha intelektual untuk memahaminya yang berlangsung secara tahap demi tahap. Sudah barang tentu, hal tersebut nampaknya terjadi secara spontan, dengan keseluruhan bagian informasi yang dengan cepat sedang diserap dan ‘bekerja ke dalam’ sistem kognitif. Aktivitas penafsiran yang sedang berlangsung ini mengambil tempat dalam benak saya sementara percakapan di luar berjalan, itu berarti bahwa penafsiran saya berlangsung dalam pembicaraan batin, yang merupakan suatu iringan sotto voce (sampingan) yang penting bagi pertukaran lisan itu.<br />Tindakan mendengarkan perlu dilakukan jika teman bicara sedang memberikan suatu informasi. Harus selalu memerhatikan apa yang sedang dibicarakan, dan tidak boleh membiarkan pikiran kita mengembara sehingga harus mencoba menangkap gelombang komunikasi. Tidak boleh menyela dengan penilaian atau pendapat-pendapat sendiri. Hal ini dapat menyebabkan si pembicara marah, atau akan mengalihkan perhatian dari apa yang sedang ia komunikasikan. Ini berarti kita harus mampu mengontrol dorongan-dorongan kekacauan pikiran atau pengaruh emosional (positif atau negatif). <br />Kenyataan yang terjadi bahwa minat untuk mengetahui perihal yang dibicarakan telah bangkit, mengandung pula suatu pengetahuan baru yang relevan buat kita, menempatkan istilah Schutztian yang lebih tepat, apa yang kita lakukan dalam tindakan penafsiran ini adalah menyesuaikan struktur relevansi kita sendiri dengan struktur relevansi orang lain dan kelompok di mana ia termasuk. Semakin lama percakapan itu berlangsung, semakin lengkaplah penyesuaian struktur-struktur relevansi ini. <br />Orang dapat mempergunakan dua istilah Jean Piaget, pertama, bahwa orang dapat mengasimilasikan pandangannya – itu berarti bahwa kita telah menyerapnya dalam pandangan kita sendiri; yang akibatnya tidak banyak berubah dan kedua, kita tealah mengakomodasikan pandangan kita terhadap pandangannya dan mengubah pandangan kita secara substansial. Dengan demikian kita dapat melihat dunia secara lain. Secara mudahnya, kita tidak dapat menafsirkan makna orang lain tanpa mengubah, walaupun paling sedikit, sistem makna kita sendiri.<br />Apa yang digambarkan tersebut merupakan penafsiran (menurut kehidupan sehari-hari ataupun sebagai seorang sosiolog) makna-makna yang timbul dalam setiap interaksi tatap muka. Tindakan penafsiran dalam percakapan tatap muka akan berbeda dengan tindakan penafsiran dari membaca surat kabar. Dalam surat kabar, pandangan dunia disajikan dalam cara yang amat terorganisir, berbeda dengan penyajian yang longgar dalam percakapan tatap muka.Selain itu, surat kabar menyajikan pandangannya terhadap kita dalam apa yang disebut proto ilmiah yakni suatu berita yang di dalam dirinya sendiri sudah ada suatu bentuk penafsiran – atau, lebih tepatnya cara berita itu disajikan sudah mengandung suatu penafsiran.<br />Masih ada lagi soal penafsiran atas struktur yang seluruhnya anonim, tanpa melihat bagaimana makna-maknanya disampaikan. Ini adalah masalah menafsirkan konstelasi kelembagaan besar, bukan makna individu-individu atau kelompok individu. dari bentuk-bentuk mereka yang nampaknya beku. Dalam suatu kasus yang dibicarakan, bahkan dalam hal percakapan biasa dalam kehidupan sehari-hari apa yang terkait di dalamnya adalah suatu penafsiran makna dari orang lain melalui suatu interaksi dan interpenetrasi yang kompleks dari struktur-struktur relevansi, sistem-sistem makna dan kumpulan-kumpulan pengetahuan.<br />Masalah Konseptualisasi<br />“Fakta mentah”tidak ada dalam ilmu pengetahuan tetapi terdapat fakta dalam kerangka konseptual yang juga berlaku dalam kehidupan biasa.Hal ini berarti kehidupan juga diorganisir dalam benak semua orang yang berpartisipasi didalamnya dan organisasi ini berlangsung dengan menggunakan sesuatu kerangka konseptual meskipun tidak canggih atau tidak logis dan batapa samar-samar kesadaran partisipan terhadapnya. <br />Adanya minat mengandaikan adanya kerangka konseptual dengan masa data merupakan penerapan langsung suatu konsep terhadap apa yang diamati.Konsep mengandaikan adanya sistem konsep yang lebih besar yang berkaitan dengan bidang aktivitas seksual. Konsep terebut tidak definisikan secara tajam dan betul-betul ilmiah karena hubungan antara yang satu dengan yang lain tidak diterangkan dan faliditas empirisnya tidak diuji secara ketat dengan bukti yang menjadi ciri konsep dalam suatu kerangka acuan ilmiah.<br />” Peta untuk hidup” merupakan konsep-konsep semu dari kehidupan biasa yang mempunyai maksud pragmatis yang menonjol yang secara pragmatis diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang disebut oleh Alfred Schutz sebagai tipifikasi yang ditunjukan secara panjang lebar ,kehidupan sosial bisa tidak akan mungkin tanpa itu : orng tidaka akan tahu “ bahwa sesuatu adalah sesuatu”.Sosiolog tidak begitu saja memungut tipifikasi seperti apa adanya dengan mengetahui benar semuanya. Jika pengetahuan ini hilang,tidak ada penafsiran yang muncul dari apa yang sesungguhnya sedang berlangsung. <br /> Apa yang dihasilkan oleh penalaran ini memang sederhana tetapi sangat penting secara metodologis: konsep sosiologi tidak dapat berupa model pemikiran yang dipaksakan dari luar (biasa dilakukan oleh kaum positivis dari semua aliran),harus terkait dengan tipifikasi yang berlaku dalam situasi yang sedang dipelajari.Maksud penafsiran sosiologis adalah “mengeluarkan”makna itu dengan lebih jelas dan menghubungkannya(secara kausal dan cara lain) dengan berbagai makna dan berbagai sistem makna. Istilah Schutzian konsep sosiologis adalah konstruk tingkat kedua(konstruk pertama adalah tipifikasi yang sudah ditemukan sosiolog dalam situasi itu),atau dengan istilah Weberian konsep sosiologis bersifat menandai makna (sinnadaequat) yang berarti menjaga tujuan-tujuan bermakna dari pelaku dalam situasi itu.<br /> Teori Weber tentang tipe-tipe ideal (ideal types) didalam sosiologi merupakan “tipe ideal” yang membawa konstruksi suatu terjemahan dari tipifikasi biasa ini. dalam kerangka acuan ilmiah maka konsep-konsep itu “nyata’-tidak benar-benar ada tetapi dikonstruksi “secara buatan” sebagai contoh konseptual Weber : birokrasi dan asketisisme duniawi (inner- worldy asceticism yang merupakan tipe ideal yang dikonstruksi oleh Max Weber untuk maksud-maksud penafsiran. Perbedaan dua konsep itu,dan dalam jarak masing-masing dari tipifikasi kehidupan bisa ditimbulkan oleh perbedaan dalam maksud kognitif Weber.<br /> Pemindahan makna kehidupan sehari-hari kedalam dunia makna yang berbeda yaitu dunia ilmu sosial merupakan inti penafsiran sosiologi ,ini merupakan penjelasan awal mengenai situasi yang dipermasalahkan :penafsiran sosiologi tidak hanya memahami sesuatu tetapi memahaminya dalam suatu cara baru yang tidak mungkin terjadi sebelum perpindahan itu berlangsung. <br />Masalah Hasil Konseptualisasi<br />Sosiologi dari awal sangat dipengaruhi oleh positivis yang membuat dipancangkanya hukum-hukum universal. Deskripsi mengenai konseptualisasi menunjukan kelemahan cita-cita ini,gejala sosial akan rusak jika makna yang melakat padanya diabaikan tetapi pengertian ini mempunyai imlikasi lebih lanjut,hukum-hukum dianggap mempunyai keabsahan universal sementara sisitem makna insani tidak.<br />Konseptualisasi tentunya dapat membantu membangun hubungan kausal tetapi dapat membantu jika makna-makna yang berlaku dalam situasi itu diperhitungkan. Berbeda dari positivisme adalah cita-cita fungsionalisme,menuntut penemuan fungsi yang tidak tergantung pada maksud pelaku dalam suatu situasi sosial (laten function dari Robert Merton;untuk menemukan manifest function).<br />Masalah Bukti<br />Penafsiran sosiologis bukan suatu perenungan filosofis.Penafsiran selalu diuji dengan bukti empiris.Proposisi soiologis tidak pernah merupakan aksioma tetapi hipotesa yang secara empiris dapat digugurkan dan mirip dengan proposisi dalam semua ilmu tetapi bukti dalam sosiologi tidak sama dengan ilmu alam-justru karena selalu melibatkan makna-makna.<br />Pemaknaan ini tentu berkaitan dengan bagaimana penerapan metodologi. Dalam bahasa sosiologi Amerika masalah metode-metode (untuk dibedakan dengan masalah metode dalam suatu arti pendekatan intelektual yang umum ).Selama ini masalah ini dibicarakan dalam rangka mempertentangkan metode kuantitatif dan kualitatif. Sayangnya pemahaman penafsiran soiologis selalu disertai dengan antagonisme terhadap metode-metode kuantitatif,ini merupakan sutu kesalahpahaman.Apapun yang dikemukan disini sama sekali tidak mengandung arti lebih mengutamakan metode kualitatif diatas metode kuantitatif dalam penelitian empiris.<br />Masalah Objektivitas<br /> Penafsiran yang diajukan oleh pengkritik aliran positivis dianggap mengandung”subjektivitas murni”,”intuisi”atau”emphati”yaitu usaha untuk memperoleh pengetahuan tanpa kontrol dan koreksi.Ini merupakan kesalahpahaman dan merupakan permainan tebak-tebakan dimana segala sesuatu diperbolehkan.Yang menjadi soal adalah masalah onjektivitas penafsiran sosiologis dan ciri objektivitas perlu ndiuraikan sedikit lebih jauh-tidak hanya terhadap para pengkritisi positivis yang memperkenalkan kriteria objektivitas yang diambil dari ilmu-ilu alam,tetapi juga terhadap para pengkritisi semua aliran yang menyangkal bahwa objektivitas jenis apapun adalah mungkin dalam penafsiran realitas sosial.<br /> Objektivitas ilmiah merupakan suatu struktur relevansi tertentu yang dapat ditetapkan oleh seorang individu dalam kesadarannya kemungkinan ini dapat menyangkal kemungkinan umum penerapan relevansi dalam kesadaran tetapi penyangkalan jelas kontradiktif dengan pengalaman sehari-hari maupun bukti ilmiah jadi,sesungguhnya penerapan-penerapan berlangsung sepanjang waktu dalam kehidupan sehari- <br /> Mengusahakan objektivitas dan kebebasnialian berarti membangun pertahanan kritis terhadap dogmatisme dari ilmu pengetahuan yang terbaik menurut Karl Popper,pencarian konstan dan sistematis untuk data yang mengugurkan akan berarti bila mengajukan hipotesa yang terdapat nilai-nilai yang relevan dengan proposisi tersebut.Kesimpulan masalah ini: kami setuju dengan kaum positivis bahwa memang terdapat sesuatu yang disebut objektivitas ilmiah sekalipun dalam praktek sulit untuk ditemukan namun kami setuju dengan kaum positivis karena objektivitas ilmu pengetahuan menafsirkan tidak ada kesamaan dengan objektivitas ilmu kealaman.Para kritisi ilmu sosiologis,kaum para antipositivis radikal menyangkal kemungkinan setiap niali-nilai dari penelitian ilmiah kami setuju dengan mereka bahwa kepentingan ekstra-ilmiah kerapkali mempengaruhi tindakan penafsiran dan pengaruh semacam itu harus diungkapkan dan kami tidak setuju bahwa fakta ini menolak baik prinsip maupun kemungkinan praktis suatu ilmu pengetahuan sosialyang objektif.<br />Masalah Penerapan <br /> Tidak dapat dihindarkan bahwa semua pengetahuan mengenai masyarakat dapat diterapkan oleh orang yang mengerjakan proyek pragmatis tertentu tetapi yang terpenting adalah memahami penafsiran sosiologis yang merupakan proses kognitif yang bersifat amat khusus,dalam struktur relevansi diterapkan dalam tindakan masyarakat tetapi stuktur relevansi ini ditinggalkan yaitu oengurungan nilai-nilai seseorang itu sendiri dan semua penerapan perlu berdasarkan nilai. <br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />INTERPRETASI SOSIOLOGI DAN MASALAH RELATIVITAS<br /><br /><br />Relativitas dari permulaan, merupakan suatu objek kajian disipilin sosiologi. Sosiolog selalu tertarik untuk menyelidiki lebih lanjut sampai berapa jauh perbedaan ini dapat diterangkan dalam kaitannya dengan aneka karakteristik dua masyarakat itu. Sosiologi juga merupakan suatu produk relativitas yang sama, yang selalu menjadi salah satu dari objek-objek kajiannya. Jika sosiolog tidak mengalami sendiri kejutan relativitas, maka gejala relativitas itu tidak akan masuk kedalam kesadarannya. <br />Perhatian sosiologi terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai “kenyataan” dan “pengetahuan”, pada permulaannya dibenarkan oleh fakta relativitas sosialnya. Kumpulan-kumpulan spesifik dari “kenyataan” dan “pengetahuan” berkaitan dengan konteks-konteks sosial yang spesifik, dan bahwa hubungan-hubungan itu harus dimasukkan ke dalam suatu analisa sosiologis yang memadai mengenai konteks-konteks itu. Dengan demikian maka kebutuhan akan “sosiologi pengetahuan” sudah muncul bersama adanya perbedaan-perbedaan yang bisa diamati di antara berbagai masyarakat dari segi apa yang sudah diterima begitu saja sebagai “pengetahuan” dalam masyarakat-masyarakat itu.<br />Sosiologi pengetahuan menekuni analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Selain itu, sosiologi pengetahuan memahami dan mempelajari sifat tersusun (contructed) dari apa yang oleh manusia dimaksudkan sebagai realitas. Suatu konsep yang berguna dalam masalah ini adalah konsep mengenai struktur kemasukakalan. Lain orang lain pula definisinya mengenai realitas yang masuk akal. <br />Sosiologi pengetahuan memperoleh proposisi akarnya dari Marx—yakni bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialinya. Memang telah banyak perdebatan tentang macam determinasi yang bagaimana yang sebenarnya dimaksudkan oleh Marx. Bagaimana pun, sosiologi pengetahuan telah mewarisi dari Marx bukan hanya perumusan yang paling tajam dari masalah sentralnya, tetapi juga beberapa dari konsep-konsep kuncinya. Di antaranya perlu disebutkan secara khusus konsep-konsep tentang “ideologi” (ide-ide yang merupakan senjata bagi berbagai kepentingan sosial) dan tentang “kesadaran palsu” (alam pikiran yang teralienasi dari keberadaan sosial yang sebenarnya dari si pemikir).Yang merupakan pokok perhatian Marx adalah bahwa pemikiran manusia didasarkan atas kegiatan manusia (“kerja” dalam arti yang seluas-luasnya) dan atas hubungan-hubungan sosial yang ditimbulkan oleh kegiatan itu.<br /> Skema “sub/superstruktur” yang mendasar itu telah diambil-alih dalam berbagai bentuknya oleh sosiologi pengetahuan, dimulai dengan Scheler yang pemikiran nya didasarkan pada kenyataan yang mendasarinya. Dalam sosiologi pengetahuan secara eksplisit telah dirumuskan dengan cara yang berlawanan dengan Marxisme, dan berbagai pendirian telah timbul di dalamnya mengenai sifat hubungan antara kedua komponen skema itu.<br />Gagasan-gagasan Nietzsche tidak begitu eksplisit kelanjutannya di dalam sosiologi pengetahuan, namun gagasannya itu sangat mewarnai latar belakang intelektual umumnya dan “suasana batin” di mana ia telah timbul. Nietzsche telah mengembangkan teorinya sendiri mengenai “kesadaran palsu” di dalam analisa-analisanya mengenai arti sosial dari penipuan dan penipuan diri (deception and self-deception) dan mengenai ilusi sebagai suatu syarat hidup yang perlu.<br />Historisisme, terutama sebagaimana yang diekspresikan dalam karya Wilhelm Dilthey, secara langsung mendahului sosiologi pengetahuan. Temanya yang dominan adalah kesadaran yang sangat kuat mengenai relativitas semua perspektif mengenai berbagai peristiwa manusia; artinya mengenai historisitas yang tak terelakkan dari pemikiran manusia. Konsep-konsep historisisme tertentu—seperti “determinasi situasional” (Standortsgebundenheit) dan “kedudukan dalam kehidupan” (Sitz im Leben)—dapat diterjemahkan secara langsung sebagai mengacu kepada “lokasi sosial” dari pemikiran. <br />Minat Scheler dalam sosiologi pengetahuan, dan dalam persoalan-persoalan sosiologis pada umumnya, pada pokoknya hanya merupakan satu episode yang sepintas saja dalam karir filosofisnya. Tujuan akhirnya adalah pembentukan suatu antropologi filosofis yang akan mengatasi relativitas sudut-sudut pandang yang berlokasi spesifik historis dan sosial. Sosiologi pengetahuan lalu akan menjadi alat untuk mencapai tujuan ini, dan tugas utamanya adalah untuk menembus kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh relativisme sehingga tugas filsafat yang sesungguhnya dapat dimulai. <br />Sejalan dengan orientasi ini, sosiologi pengetahuan Scheler pada pokoknya merupakan sebuah metode negatif. Scheler mengemukakan argumen bahwa hubungan antara “faktor-faktor ideal” (Idealfaktoren) dan “faktor-faktor nyata” (Realfaktoren),—istilah-istilah yang jelas mengingatkan orang pada skema “sub/superstruktur” menurut Marx—hanya merupakan hubungan yang regulatif saja. Artinya, “faktor-faktor nyata” mengatur kondisi-kondisi di mana “faktor-faktor ideal” tertentu dapat tampil dalam sejarah, tetapi tidak dapat mempengaruhi isi dari yang disebut belakangan itu. Dengan kata lain, masyarakat menentukan kehadiran (Dasein) tetapi tidak menentukan hakikat (Sosein) ide-ide. <br />Scheler menganalisa dengan sangat terinci cara pengetahuan manusia dibentuk oleh masyarakat. Ia menandaskan bahwa pengetahuan manusia diberikan dalam masyarakat sebagai suatu a priori bagi pengalaman individu dengan memberikan kepadanya tatanan maknanya. Tatanan ini, meskipun tergantung kepada suatu situasi sosio-historis tertentu, menampakkan diri kepada individu sebagai cara yang sudah sewajarnya untuk memandang dunia. Scheler menamakannya “pandangan dunia yang relatif-natural” (relativnaturliche Weltanschauung) dari suatu masyarakat—sebuah konsep yang mungkin masih dapat dianggap sebagai sentral bagi sosiologi pengetahuan.<br />Sesudah “penemuan” sosiologi pengetahuan oleh Scheler itu, berlangsung perdebatan yang luas di Jerman mengenai kesahihan, ruang lingkup dan penerapan disiplin baru itu. Dari perdebatan ini lahirlah sebuah rumusan yang menandai pengalihan letak sosiologi pengetahuan ke dalam suatu konteks sosiologi yang lebih sempit. Dengan rumusan itulah sosiologi pengetahuan sampai di dunia berbahasa Inggris. Rumusan itu adalah yang dibuat oleh Karl Mannheim.<br />Perhatian utama Mannheim tertuju kepada gejala ideologi. Ia membedakan antara konsep-konsep ideologi yang partikular, yang total dan yang umum—ideologi sebagai yang hanya merupakan satu bagian saja dari pemikiran seorang lawan (serupa dengan “kesadaran palsu” menurut Marx); dan (di sini Mannheim beranggapan bahwa ia melangkah lebih jauh dari Marx); ideologi sebagai karakteristik tidak hanya dari pemikiran lawan melainkan juga dari pemikiran sendiri.Mannheim berpendapat bahwa objek pemikiran secara berangsur-angsur menjadi lebih jelas dengan adanya akumulasi berbagai perspektif mengenainya. Ini merupakan tugas sosiologi pengetahuan, yang dengan demikian merupakan alat pembantu yang penting dalam upaya memperoleh pemahaman yang benar mengenai peristiwa-peristiwa manusia.<br />Merton telah menyusun sebuah paradigma bagi sosiologi pengetahuan, dengan merumuskan kembali tema-tema utamanya dalam bentuk yang padat dan koheren. Konstruksinya itu menarik, karena ia merupakan upaya untuk mengintegrasikan cara pendekatan sosiologi pengetahuan dengan cara pendekatan teori struktural-fungsional. Konsep-konsep Merton sendiri mengenai fungsi-fungsi yang “manifes” dan yang “laten” diterapkan pada bidang ideasi. Sedangkan Talcott Parsons juga telah mengomentari sosiologi pengetahuan. Namun komentarnya itu hanya terbatas kepada suatu kritik terhadap Mannheim dan tidak berusaha mengintegrasikan disiplin itu ke dalam sistem teorinya sendiri. <br />Di dalam kerangka acuan sosiologi, sekalipun batas-batasnya jelas, terdapat cara-cara dengan mana relativitas dunia sosial terlampaui, meskipun pelampauan ini bersifat sebagian atau sementara. Sosiologi tidak dapat memecahkan persoalan relativitas dalam arti menghakimi sistem-sistem makna yang saling berbanturan dari segi kebenaran asasi mereka. Jikapun penghakiman seperti itu memang mungkin dilakukan, tugas itu harus diserahkan ke filsafat, etika atau teologi.<br />Sosiologi tidak dapat menawarkan petunjuk moral. Meskipun begitu, sosiologi mempunyai suatu hubungan yang aneh dengan etika, atau paling kurang dengan suatu jenis etika tertentu. Oleh Marx Weber disebut dengan ‘ Etika Tanggung Jawab “ ( Verantwortungsethik ) yaitu etika yang mengambil kriteria tindakannya dari perhitungan atas akibat yang mungkin dan bukan dari prinsip-prinsip mutlak. Konsep lainnya terdapat suatu “ afinitas tunggal “ ( Wahlverwandschaft ) yang mendalam antara pilihan moral ini dan pemahamannya terhadap metode sosiologi. <br />Moralitas dan agama merupakan dua wilayah di mana dampak relativitas modern tampak paling merusak. Bagi masyarakat, sebagai suatu keseluruhan, perelativan moralitas mungkin merupakan masalah yang serius, karena hal ini menggerogoti landasan kemana setiap kolektivitas manusia harus bersandar. Masalah ini dapat lebih diperjelas dengan melihat pada gejala pluralisme<br />Penilaian moral sosiolog dapat juga dianalisa secara sosiologis dan social sosiologis. Tetapi, sekali lagi analisa seperti ini tidak akan dengan sendirinya menghasilkan kriteria etis dari suatu penghakiman asasi atas berbagai kontradiksi moral yang dapat diperoleh secara empiris. ( suatu analisa fenomenologis yang lengkap mengenai masalah ini akan membedakan antara aspek-aspek “neotik” dan “neomatic” dari penilaian moral, tetapi ini harus berada di luar cakupan kita sekarang )<br />Moralitas sebagai bangunan ekstern dari norma-norma dan sebagai internalisasi unsur-unsur kesadaran pribadi, secara empiris dapat di temukan dan karena itu merupakan pokok masalah sebenarnya bagi sosiologi serta disiplin-disiplin empiris lainnya ( termasuk psikologi ). Etika di lain pihak, merupakan disiplin normatif yang ditemukan secara empiris. Sosiologi mempengaruhi etika karena ia menyadarkan etikus terhadap relativitas empiris dari keyakinan-keyakinan moral. Masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut : Dapatkah seseorang bertanya mengenai kebenaran agama setelah ia mengetahui bahwa system-sistem keagamaan juga merupakan konstruksi social.?. Bahwa system-sistem keagamaan adalah semacam konstruksi dan juga merupakan konstruksi dalam kerangka acuan analisa empiris.<br />Semua pengalaman keagamaan berlangsung dalam suatu konteks social, bahkan pada diri seorang pertama ( yang membawa serta dengannya suatu konteks social yang telah diinternalisasi ). Sosiologi dan teologi merupakan dua disiplin yang berbeda, dengan struktur relevansi yang berbeda secara tajam. Sosiologi tidak punya pilihan kecuali mengurung status ontologism pertanyaan-pertanyaan keagamaan, yang semuanya memang bersifat keagamaan, melampaui jangkauan pengalaman empiris.<br />Teologi ( Islam, Kristen atau apapun yang anda miliki ) tidak akan berarti apapun kecuali kurungan-kurungan dihilangkan. Tetapi seperti halnya hubungan antara sosiologi dan etika, sosiologi dan teologi satu sama lain saling mempengaruhi. Paling tidak seorang teolog yang peka secara sosiologis harus memperhitungkan “ketersusunan” sistem-sistem keagamaan dan setidaknya akan menyisihkan bentuk-bentuk tertentu fundamentalise teologis yang tidak dapat mengakui hal ini.<br />Sebaliknya teologi terhadap sosiologi secara tidak langsung dapat memainkan sosiologi tanpa kepekaan teologis sama sekali, akan tetapi sosiologi agama akan harus mengembangkan semacam “telinga teologis” . Para sosiolog klasik memahami, tidak saja Weber tetapi juga Durkheim, Simmel, Pareto dan lainnya; Bahwa agama merupakan suatu pusat gejala sosial, karena dalam sebagian besar sejarah manusia, agamalah yang telah memberikan makna-makna hakiki dan nilai-nilai kehidupan. <br /><br />BAB IV<br />INTERPRETASI SOSIOLOGI DAN MASALAH KEBEBASAN<br /><br /><br />Perspektif sosiologi menyingkap “keterikatan” manusia dalam dua cara, pertama sejak dilahirkan manusia telah berada di dalam konteks sosial yang mengikatnya. Ini artinya bahwa ia menemukan dirinya di tengah lingkungan control sosial.. Oleh karena itu Durkheim menegaskan bahwa fakta sosial adalah “benda” yang menimbulkan daya pengikat. Seseorang tidak dapat merasakan solidaritas dari manusia-manusia lain, tanpa mengalami kontrol sosial atas kehidupan dirinya.. Kedua adalah sosialisasi. Sosialisasi dapat dipandang sebagai suatu proses yang luar biasa kuatnya di mana struktur masyarakat “obyektif” “di luar sana” diinternalisasikan dalam kesadaran. Menurut George Herbert Mead sebagai suatu hasil sosialisasi, setiap individu dapat dipandang sebagai suatu produk masyarakatnya. <br />Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan empiris berurusan dengan pengaruh kausal dua dimensi masyarakat ini. Sehingga sosiologi tampil sebagai suatu perspektif “deterministis”. Sosiologi menjelaskan tindakan atau peristiwa ini atau itu dari segi hubungan kausal surut ke waktu lampau baik dalam konteks sosial maupun dalam kesadaran yang tersosialisasi. Akan tetapi sifat “deterministis” sosiologi ini kerapkali membangkitkan permusuhan orang menentang disiplin tersebut, bahkan sosiologi dipandang sebagai musuh dari kebebasan. <br />Sistem hukum yang mendasar dari masyarakat Barat dibangun atas dasar suatu konsep pertanggung jawaban individu. Jika perbuatan-perbuatan atau bahkan motif-motif terdalam seorang individu dapat dijelaskan dalam kaitannya dalam konteks sosialnya dan sosialisasinya, dalam pengertian apa orang masih bisa mengatakan bahwa ia bertanggung jawab atas suatu tindakan kriminal? Akibatnya, hukuman yang sah semakin dipahami dalam pengertian pragmatis, tidak dikaitkan dengan konsep tanggung jawab individu. Banyak orang yang merasa bahwa determinisme sosiologi ini menggerogoti landasan moral masyarakat Barat. <br />Ada ketegangan lain dalam tradisi sosiologi yang baik secara eksplisit maupun implisit bertentangan dengan determinisme. Terdapat suatu penolakan bahkan pemberontakan terhadap penindasan masyarakat atas individu. Dasar empirisnya terletak dalam fakta sederhana tetapi amat penting yaitu bahwa pribadi manusia sesungguhnya memberomtak terhadap masyarakat. Terdapat suatu kemungkinan bagi manusia untuk memberontak terhadap masyarakat; karena itu jaringan kontrol sosial tidak sempurna. Dan ada kemungkinan bagi manusia untuk mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang benar-benar baru; maka sosialisasi tidak pernah sempurna. <br />Mead menyinggung kenyataan yang sangat khas bahwa manusia merupakan subyek sekaligus obyek bagi dirinya sendiri. Hal itu berarti kemampuan manusia untuk menjadi bebas merupakan sifat pembawaan manusia yang inheren dan universal. Manusia hanya menjadi bebas dengan mengatakan tidak terhadap, dengan menafikan, berbagai sistem determinasi di mana ia menemukan dirinya sendiri atau ke dalam mana ia terlempar. Kebebasan manusia hanya berarti jika kebebasan itu mencakup pelampauan kausalitas ini.<br />Kebebasan manusia bukan merupakan semacam lobang dalam rentetan dari suatu kausalitas, atau dengan kata lain suatu perbuatan barangkali dinilai secara bebas, dapat juga sekaligus dinilai sebagai terikat secara kausal. Kebebasan tidak dapat diterangkan oleh metode-metode ilmu pengetahuan empiris manapun dan sudah pasti termasuk sosiologi. Proposisi apapun mengenai kebebasan manusia membawa ke pembelokan dari ilmu pengetahuan ke wilayah pembicaraan yang lain, baik melalui pengalaman subyektif, iman atau penalaran. <br />Terdapat dua cara dimana sosiologi sebagai sosiologi dapat membicarakan kebebasan. Pertama, dengan menafsirkan kepercayaan manusia akan kebebasan dan dengan menganalisa konteks sosial serta berbagai konsekuensi sposial dari kepercayaan tersebut. Kedua, berkisar pada latar eksternal dan berbagai hambatan obyektif terhadap tindakan yang didasari kepecayaan akan kebebasan. Pada pendekatan ini kebebasan dimaknai sebagai konsep pilih-pilihan. Sosiologi menganalisa serangkaian pilihan-pilihan dalam situasi sosial khusus. <br />Modernisasi memperluas pilihan sehingga masyarakat modern lebih bebas daripada masyarakat tradisional. Dalam doktrin mazhab Stoa, kebebasan individu terletak pada kemampuannya untuk membedakan antara apa yang dapat dan tidak dapat dia lakukan. Sebenarnya kesadaran akan potensi membebaskan diri ini sudah ada sejak lama, bahkan semenjak jaman Auguste Comte. Dalam sosiologi mutakhir, sang pembebas atau kesadaran diri “emansipator” dari sosiologi mengambil bentuk berbeda-beda. Pemahaman kita tentang metode sosiologi tidak memungkinkan adanya kaitan langsung disiplin ini dengan doktrin-doktrin pembebasan apapun. Ilmu pengetahuan harus universal atau jika tidak maka sama sekali bukan ilmu pengetahuan. <br />Terdapat suatu paradoks yang aneh dalam hubungan antara sosiologi dengan cita-cita pembebasan. Secara historis, ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu instrument kebebasan dan telah mebebaskan orang dari segala bentuk “keterikatan”yang dalam perspektif ilmiah dipahami sebagai “takhayul”. Ilmu pengetahuan merupakan suatu kekuatan bagi kebebasan yang lebih besar dari kekuatan raksasa yang menguasai yang menguasai lingkungan dan jasmani manusia sendiri sebagai akibatnya. Akan tetapi paradoksnya, ilmu pengetahuan itu sendiri menimbulkan pranata-pranata, sistem-sistem pemikiran dan akhirnya program-program sosial politik yang bahkan lebih mengikat manusia dibandingkan dengan “takhayul” yang telah digantikannya. <br />Cita-cita sosial politik dari pembebasan melalui ilmu pengetahuan mempunyai suatu akibat antidemokrasi yang menyatu di dalamnya. Terdapat kepentingan-kepentingan yang mapan dalam masyarakat modern dari golongan yang menginginkan kekuasaan, yang membuat kegunaan ilmu sosial politik dari ilmu pengetahuan dapat diterima umum. Masalah utamanya adalah bagaimana mempertahankan kebebasan rakyat dari ambisi kediktatoran penguasa. <br />Sebenarnya suatu pemahaman terhadap ilmu pengetahuan yang tidak totalitas dan “sederhana” akan menguntungkan demokrasi atau dengan kata lain dengan memahami ilmu pengetahuan sebagai suatu pendekatan parsial dan “aspektual’ terhadap realitas manusia, ilmuwan tidak akan menempati satus elit kognitif dan akibatnya baik hak-hak kognitif maupun politis orang-orang biasa tetap diargai dan itu merupakan inti demokrasi. Ada dua penekanan utama dari “libersionis” dalam sosiologi, pertama individual atau sosiologi dipahami sebagai alat pembebasan individu, terutama aksistensi pribadi; kedua, secara politis atau sosiologi dipahami sebagai alat perjuangan politis ini itu untuk kebebasan yang lebih besar bagi masayrakat secara keseluruhan. <br />Tugas yang dibebankan pada sosiologi adalah “pemahaman”. Menurut tradisi pembongkaran dan penelanjangannya sosiologi memerangi pemikiran menyimpang (kesadaran palsu) yang sebelumnya mengesahkan berbagai tekanan yang ada dalam kehidupan seseorang, yang menimbulkan pemahaman yang merupakan awal pembebasan pada tingkat kehidupan nyata(praksis). Dalam hal ini sosiologi mengungkapkan kelemahan atau kekurangan dari struktur masyarakat yang selama ini dipandang kaku dan keras oleh individu, sehingga memungkinkan individu untuk keluar dari struktur-struktur sosial tersebut (ekstasis). Konsep penting di sini adalah peranan. Sosiologi menganalisa peranan-peranan dan menyingkapkan sifatnya yang tersusun. Wawasan ini memiliki implikasi praktis yakni pembongkaran, dimana tujuan utamanya adalah untuk menciptakan eksistensi “bebas peranan” yang mengubah hubungan antara individu dengan dirinya, orang lain, dan sunia. <br />Sosiologi tidak memberikan penghayatan ke dalam semua bentuk determinasi sosial dan karena itu membuka pilihan-pilihan baru. Namun, terdapat batas-batas situasi sosial individu ; <br />1. tidak semua pilihan secara sosial tersedia dan tidak semuanya secara sosial dapat dilakukan. <br />2. Pilihan yang tergambar secara jelas dalam kesadaran barangkali memilliki kemungkinan sangat kecil untuk secara empiris diwujudkan dalam masyarakat. <br />3. Bahkan kesadaran yang paling bebaspun tetap merupakan kesadaran tersosialisasi dan kenyataan ini menimbulkan batas-batas. <br />Semua tindakan memilih jika bukan merupakan pengalaman yang mudah hilang harus diwujudkan dalam bentuk-bentuk sosial. Artinya bentuk-bentuk sosial akan melahirkan sebuah determinasi baru. Sebuah kebiasaan yang muncul lain dari biasanya dipandang sebagai sesuatu yang baru, akan tetapi saat itu kemudian terulang secara berkali-kali maka akan terjadi atau mengalami proses institusionalisasi yang pada akhirnya akan melahirkan awal dari sebuah keterikatan yang baru.. <br />Alasannya adalah kehidupan sosial manusia tidak mungkin tanpa ukuran ketertiban dan itu berarti pada gilirannya aktivitas manusia harus diorganisir dalam pola-pola yang secara timbale\ balik dapat dikenali dan diramalkan (institusionalisasi). Deskripsi dari institusionalisasi dan pembentukan peran ini dapat digeneralisasi menjadi spektrum perubahan pribadi dari pembebasan hingga menjadi sebaliknya yakni awal keterikatan. Pengalaman pertama tidak dapat berulang. Itulah mengapa masa kanak-kanak adalah suatu periode yang menggairahkan, dan orang tak dapat kembali pada masa lampau. <br /><br />Konsep totalitas dari manapun mengenai pembebasan menjadi tidak mungkin. Orang akan menyadari bahwa pilihan apapun, betapapun membebaskannya untuk pertama kali, akan membawa pada pola-pola baru yang menampik pilihan-pilihan lain. Tetapi ini juga tidak berarti bahwa tidak ada pembebasan sejati. Orang tetap mengharapkan suatu pilihan yang membebaskan tetapi orang tidak akan mengharapkan pembebasan total. Yang terpenting adalah pembebasan seseorang dapat mempersempit batas-batas orang lain. <br />Dengan demikian orang harus bertanggung jawab atas segala akibat dari pilihan pembebasan yang telah mereka ambil. Perspektif sosiologi menyarankan kerendahan hati, kesederhanaan dan rasa hormat terhadap orang lain dan pemahan yang tidak absolustik dan tidak dogmatis terhadap ekstasi pribadi seseorang.bentuk pemahaman liberasionis terhadap sosiologi mengikuti rumus umum “tekanan – pemahaman - pembebasan”. Peranan yang diemban oleh sosiologi dalam pembebasan ini adalah untuk memberikan pemahaman dari awal praksis pembebasan. Peran tersebut adalah: <br />1. Sebagai teori pembebasan sosiologi memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai struktur sosial beroperasi, termasuk struktur yang dianggap menindas.<br />2. Sebagai fungsi politis, sosiologi menjalankan fungsi propaganda yang dapat bermanfaat bagi bagi kawan maupun lawan dalam usaha pembebasan. <br />3. Fungsi logika, sosiologi dapat menyarankan proses dan bentuk organisasi yang kiranya akan membuahkan hasil tertentu yang diharapkan . <br />Akan tetapi di luar itu semua, sosiologi juga menyadari terdapat suatu kecenderungan anti utopia yang inheren dalam pemikiran sosiologi. Seorang sosiolog harus mengetahuiu akibat-akibat yang tidak diaharapkan dari tindakan sosiologis, fungsi-fungsi laten dan keterbatasan lembaga-lembaga, mengenai beban masa lampau dan kemenduaan kekuasaan. Sosiologi adalh suatu usaha untuk memahami realitas sosial—segala sesuatu keras yang mengelak sari keinginan-keinginan kita. Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan tidak boleh menganggap dirinya sebagai patokan tunggal atau utama bagi tindakan politis.<br /><br /><br /><br />BAB 5<br />SOSIOLOGI DI ANTARA TEKNOKRASI DAN IDEOLOGI<br /><br /><br />Sosiologi sebagai keseluruhan menjadi baik pengetahuan teknis maupun doktrin ideologis. Dengan kegunaan teknokratis, sosiologi dipahami dan diterapkan sebagai suatu satuan pengetahuan teknis untuk melayani “rekayasa sosial”. Hal ini menunjuk pada “mentalitas rekayasa” yang merupakan unsure strategis dari kesadaran modern yang dibentuknoleh revolusi teknologi. Mentalitas ini lahir dari dan sepenuhnya sesuai bagi wilayah teknologi itu sendiri. Degi-segi pokok dari mentalitas rekayasa ini dapat digambarkan: suatu pendekatan “atomistis” atau “perbagian” terhadap realitas. Dunia dipahami sebagai sesuatu yang terdiri dari satuan-satuan yang dapat dilepas-lepaskan dan kemudian disatukan kembali. Cara dan tujuan dapat dengan mudah dipisahkan. Memiliki kecenderungan kuat ke arah berpikir abstrak terutama kuantitatif. Memiliki kecenderungan untuk memecahkan masalah. Selain itu terdapat semangat untuk menemukan hal-hal baru dan memberi penilaian positif terhadap inovasi. Memiliki keterlibatan afeksi atau emosi yang rendah.<br />Bila sosiologi ditempatkan untuk melayani teknokrasi, maka hampir secara otomatis diterjemahkan ke dalam kategori-kategori mentalitas teknokrasi yang khas. Pertama, terdapat keinginan agar sosiologi dapat diterapkan pada urusan-urusan praktis. Sosiologi dengan kecenderungan positivistic yang kuat dengan mudah dapat dibawa ke arah itu. Selain itu ada tekanan untuk segera membuahkan hasil yang dapat diterapkan. Dari segi dinamika sosial-psikologis, tekanan ini cenderung terinternalisasi oleh para sosiolog yang menemukan dirinyadalam posisi ini.dengan kata lain, para sosiolog sendiri sekarang menganggap diri mereka sebagai pemecah masalah praktis atau sebagai “perekayasa sosial”. Lebih jauh, sekarang telah ada ukuran yang disepakati bersama bagi “keberhasilan” penelitian sosiologis, dalam arti bagaimana hasil penelitian ini sesuai dengan kepentingan apapun dari “sumber dana”. Dengan demikian, sosiologi tidak hanya menjadi alat teknokrasi, tapi ia dipaksa untuk membawa dirinya agar seirama dengan kepentingan teknokrasi.<br /><br />Penerapan teknokratis dari sosiologi telah sering dikritik atas dasar penilaian moral, sebab tujuan atau tindakan lembaga teknokratis tertentu telah dinilai secara moral dapat ditolak. Jika orang beranggapan bahwa sosiolog bertanggung jawab atas penerapan-penerapan dari hasil kerjanya, maka akan timbul kasus di mana kritik-kritik moral akan dibenarkan. Tapi penting untuk melihat bahwa penerapan teknokratis dari sosiologi cenderung mengarah kepada deformasi menjadi maskapai sosiologi, sekalipun tujuan eksternalnya di luar penilaian moral. Ini lebih merupakan alasan metodologis dari pada etis: integritas cara pemahaman sosiologis di sini digantungkan kepada maksud-maksud yang tidak ada hubungannya. Paling banter sosiologi dalam keadaan menghamba kepada teknokrasi ini menjadi suatu kegiatan yang sangat parochial, terikat pada keadaan dan pragmatis. <br />Deformasi yang paling biasaadalah bila sosiolog, yang sekarang kurang lebih menjadi bagian dari suatu organisasi teknokrat, dengan sengaja atau (lebih mungkin) tanpa sesadarnya menyesuaikan hasil-hasil kerjanya dengan keinginan-keinginan organisasi tersebut. Sosiologi yang telah tergabung ke dalam suatu organisasi teknokrat dipaksa untuk membuahkan informasi dan penafsiran yang tidak dapat dipercaya. Dengan demikian, paradoksnya, ia berkurang kegunaannya bagi “patronnya”. Sosiologi akan sangat berguna jika ia dibiarkan melakukan tugasnya di atas landasannya sendiri, yakni, dalam struktur relevansinya sendiri. Dengan demikian sosiolog tidak boleh terserap ke dalam mentalitas teknokrat. Karena mentalitas dan konteks sosial berkaitan erat (yang sesungguhnya merupakan akar pengertian dari sosiologi pengetahuan), barangkali perlu disarankan agar sosiolog berinduk kepada semacam lembaga yang tidak teknokratis.<br />Ada akibat lain dari penggunaan teknokratis dari sosiologi: tekanan untuk menghasilkan sosiologi yang sejauh mungkin kelihatan seperti ilmu-ilmu kealaman yang telah terbukti sangat sesuai dengan tujuan-tujuan teknokratis, yang berarti suatu kesetiaan kepada sosiologi positivistis. Hal ini menyangkut suatu kultus terhadap kuantifikasi. Pada kasus ekstrim, berupa suatu sikap di mana proposisi sosiologis apapun yang tidak dapat dinyatakan secara matematis dianggap “lemah”, tidak ilmiah dan tidak berguna. <br /><br />Terdapat suatu kesalahan dalam sosiologi positivistis yaitu keyakinan bahwa penafsiran dapat dikesampingkan. Kesalahan ini, sudah tentu, tidak harus berkaitan dengan teknokrasi dan kepentingan praktisnya. Ia juga dapat tampil dalam bentuk suatu “ilmu murni”. Jadi kesalahan terletak pada kegagalan untuk memahami sifat khas realitas manusia dan dengan demikian, sifat khas dari setiap usaha untuk menggambarkan dan menjelaskan realitas ini. sosiologi positivistik yang dipelihara oleh teknokrasi itu cenderung mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak terlalu menyenangkan para teknokrat, yang pada gilirannya membantu menjatuhkan maskapai sosiologi sebagai organisasi yang sedang mencari kedudukan. Akibat semacam ini berkaitan dengan penyakit sosiologi dewasa ini serta kurang mengakar dalam masyarakat yang lebih luas.<br />“Rekayasa sosial” tidak hanya menjadi kegiatan profesional di kalangan ilmuwan tetapi juga praksis eksistensial dari sejumlah besar masyarakat umum. Kehidupan manusia merupakan suatu realitas yang kuat, dan tidak dapat diserap ke dalam “mentalitas rekayasa”. Hal tersebut meruntuhkan bangunan rapuh di mana para “perekayasa sosial” berusaha mengurung dan merasionalisasinya. Namun sejauh usaha-usaha rekayasa ini berhasil, kesadaran sehari-hari itu menjelma menjadi kesadaran “teknokratis”. “Imperialisme” teknokratis ini, baik dalam pikiran maupun dalam praksis sosial, merupakan salah satu dari kontradiksi serius dalam modernitas. Tak pelak lagi timbul perlawanan terhadapnya. Perlawanan-perlawanan ini yang pada hakekatnya bukan sekedar antiteknokratis namun menentang modernisasi, telah timbul sejak awal zaman modern.<br />Adanya penerapan ideology bagi sosiologi dimaksudkan segala usaha untuk menjadikan sosiologi sebagai alat pemberi makna bagi tujuan-tujuan politik. Pada prinsipnya penerapan ideologis dari sosiologi semacam itu dapat bersifat baik konservatif maupun revolusioner, ditujukan baik bagi pelestarian status quo maupun bagi perubahan yang lebih atau kurang radikal. Dewasa ini, karena berbagai alasan sejarah, sosiologi jarang digunakan sebagai suatu ideology politik untuk mempertahankan status quo (kecuali di Negara-negara sosialis di mana semacam “sosiologi” berfungsi sebagai suatu sub-bagian dari dogma Marxis untuk mengesahkan rezim).<br />Seringkali sosiologi ideologis menampilkan diri sebagai suatu pemberontakan terhadap penggunaan teknokratis. Dari kedudukannya sebagai pelayan teknokrasi (Negara, sistem korporasi, serta berbagai struktur birokrasi yang berkaitan) yang sedang berkuasa, sekarang sosiologi harus berbalik menyerang teknokrasi itu sendiri. Dalam menentang penggunaan teknokratis dari sosiologi, mereka yang memiliki orientasi tersebut umumnya akan menganggap mereka seperti antiteknokrat par excellence. <br />Antara penggunaan teknokratis serta ideologis dari sosiologi terdapat suatu struktur relevansi eksternal yang dipaksakan atas sosiologi. Relevansi eksternal tersebut bersifat pragmatis, bukan pemaksaan kerangka referensi teoritis yang berbeda terhadap sosiologi, namun mobilitas sosiologi bagi tujuan-tujuan praktis. Dalam dua kasus ini,”cara pandang” sosiologis digantungkan di bawah tuntutan pragmatis untuk memperoleh “hasil-hasil yang berguna”. Hal ini merupakan respon terhadap tekanan sosial dan demikian kognitif dari situasi. Kekhasan dari semangat sosial diserap ke dalam oleh “mentalitas rekayasa” dan “mentalitas revolusi” dari paham apapun. Baik teknokrasi maupun ideology membuahkan elitism kognitif yang serupa dank has, di satu pihak disebut “ahli”, di pihak lain dari kelompok apapun menyebut dirinya “pelopor” dari perubahan yang sedang diusahakan secara revolusioner.<br />Masalah umum baik dalam penggunaan teknokratis maupun ideologis dari sosiologi adalah hubungan antara teori dan praksis, suatu hubungan terputus. Sosiolog yang terlibat dalam proyek pragmatis apapun, baik bersifat teknis maupun politis, harus tetap mempertahankan “keterputusan” ini bila tidak ingin terseret ke dalam mentalitas pragmatis yang mengancam kelangsungan sikap ilmiah.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB 6<br />SOSIOLOGI DALAM KRISIS DUNIA MODERN<br /><br /><br />Jika kita berbicara mengenai modernitas, maka berhubungan langsung dengan bagaimana proses yang bertahap dari masa ke masa. Modernitas / modern merupakan perpaduan dari unsure teknologi, ekonomi, social dan kognitif yang diperoleh oleh ilmuwan secara empiris. Modernitas adalah perwujudan kemajuan, yang terjadi karena adanya perubahan kehidupan akibat inovasi teknologi yang terus berkembang. Hal ini mampu memeberikan perubahan pada seluruh pranata kehidupan bahkan sampai pada kehidupan individu. <br />Modernitas membawa manfaat dari segi material dan non material. Maksudnya, modernitas tidak hanya berhubungan dengan pembentukan standar hidup, tetapi juga pada gagasan. Namun demikian, tuntutan dari keduanya yang kian tinggi justru menyebabkan berbagai dislokasi salah satunya adalah anomi. Dislokasi ini timbul karena adanya ketidakpuasan yang akan berakibat pada berbagai perlawanan, anti kemapanan dan bersifat radikal. Hal ini menimbulkan indikasi timbulnya kondisi atau tindakan kontramodern. Kontramodernisasi ini lebih bersifat menghambat dan memodifiskasi daripada membalik proses modernisasi. Inilah yang dkatakan bahwa modernisasi mengalami krisis.<br />Dalam kaitannya dengan modernitas, sosisologi berperan dalam memberikan pencerahan, bentuk kesadaran rasional dan penting. Dala perselisihan antara modernitas dan kontra modernitas, maka sosiologi bertindak dalam ranah modernitas. Memilih kearah kemajuan serta berperilaku rasional dan mulai meninggalkan hal yang bersifat takhayul.Dalam pernyataan yang lebih luas, maka sosiologi melihat modern dan kontramodern sebagai sesuatu yang memiliki relativitas. <br />Krisis modernitas membawa dampak pada disintegrasi di tengah kajian integrasi yang selama ini mejadi pusat perhatian sosiologi. Seorang sosiolog klasik Vilfredo Paretoo mengatakan bahwa siklus integrasi dan integrasi mewarnai kualitas hukum sosiohitoris-suatu pemahaman positivistis. Oleh pareto hal ini dijelaskan bahwa kehidupan manusia saat ini berdasarkan pada perkembangan di masa lampau dan diproyeksikan untuk masa depan.<br />Masalah modern yang khas dari tatanan social berakar dalam berbagai perkembangan kelembagaan, namun itu semua juga telah terinternalisasi dalam struktur kesadaran yang khas. Seperti yang diungkapkan oleh Max Weber hal ini dipahami sebagai sifat inti modernitas yaitu rasionalitas. Rasionalitas dalam masyarakat tradisional dianggap sebagai kekuatan disintegratif. Namun pada masyarakat yang modern, rasionalitas pranata dan kesadaran tetap sejalan dengan integrasi social, kecuali system social terjebak dalam masalah ( tidak berjalan sesuai harapan ). <br />Untuk menjelaskan hubungan lebih mendalam tentang masalah tersebut, maka Anold Gehlen mengemukakan pendapatnya tentang kelembagaan serta penerapannya dalam masyarakat modern. Dijelaskan bahwa lembaga-lembaga berfungsi meyediakan program yang kukuh dan terpercaya yang dapat diikuti oleh individu dengan tingkat kesadaran yang rendah, tanpa dipikirkan dan bersifat spontan. Dalam hal ini Gehlen mengembangkan dua konsep strategisnya yaitu latar belakang dan latar depan. Latar depan berupa kegiatan yang terprogram secara kokoh serta latar depan berupa individu dengan segenap inovasinya. <br />Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa setiap tindakan yang didahului pertimbangan pikiran bagi perilaku terlembaga berarti suatu awal deinstitusinalisasi. Konsep deinstitusionalisasi dan institusionalisasi direrapkan Gehlen secara umum bagi berbagai masyarakat yang berbeda. Tidak hanya terbatas pada masyarakat modern. Apa yang khas dari masyarakat modern adalah tingkat pemikiran, pertimbangan dan pemilihan yang sangat tinggi dalam semua segi dari kesadaran rasional. <br />Proses umum dari deinstitusionaisasi dapat digambarkan sebagai berikut bahwa suatu system institusi berjalan kemudian mulai timbul masalah ( segala sesuatu tidak berjalan seperti sedia kala ) masalah tersebut akan muncul dan mendesak kesadaran, sehingga memunculkan kesdaran baru . namun hal tersebut bukan berarti dimaknai sebagai munculnya disintegrasi, tetapi hany pola yang mulai tindak seimbang.<br />Hal tersebut memberikan gambaran pada masyarakat pra modern, yang mana ditandai dengan hanya sedikit memiliki dorongan internal kearah perubahan sosial, sosialisasi cenderung berhasil, terdapat sedikit penyimpanagn, kemungkinan pertentangan social terkendali dengan ketat oleh solidaritas kolektif. Dengan demikian masalah yang dihadapi kiranya bersifat eksternal,artinya berasal dari luar system itu sendiri. <br />Modernitas jika dibandingkan dengan system social tradisional, memiliki perbedaan. Hal ini dapat terihat bahwa kesadaran baru, perhatian baru terhadap masyarakat ditandai oleh semaca, rasionalitas kritis yang baru. Baik kewiraswataan yang memaksa masyarakat melalui kekuatan ekonomi pasar maupun pola birokrasi yang dipaksakan oleh campur tangan pemerintah, yaitu seperti rasionalitas weberian. Kesadaran rasional yang khas oleh para sosiolog dijelaskan tentang berbagai masalah kehidupan manusia yang hanya dapat dipahami dengan sangat tidak memadai oleh rasionalitas. Secar sederhana rasionalitas baru tidak dapat membuahkan nilai nilai kepuasan, kecuali nilai teknis murni. Hal ini lah yang menjadi dasar kita belajar krisis modernitas. <br />Sosiologi adalah struktur kesadaran modern yang menyediakan jawaban bagi masalah kehidupan social, jawaban modern yang khas, degan sifat-sifat dan keterbatasanb jenis rasionalitas ini. Sosilogi menyediaan berbagai konsep dan skema yang menjelaskan dengan apa proses perubahan dapat dianalisa dan dijelaskan. Perubahan dalam hal ini berkaitan dengan pengilmiahan dan ideologisasi kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini akan terdjadi kebebasnilaian ilmiah ( yang spenuhnya benar dalam struktur relevansi ilmiah ) menjadi kebebasnilaian kehidupan sehari-hari ( dimana ia menjadi salah tempat ). Akibatnya proporsi normative diterjemahkan melalui kognitif. <br />Berkenaan dengan sosiologi pop,maka dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya. Hal ini dikarenakan kegagalan sosiologi pop dalam melihat batas tegas antara ilmu dan kehidupan. Ini menyebabkan terjadinya perubahan dari metode analisa proses legitimasi dalam masyarakat kekuatan legitimasi atau deligitimasi itu sendiri. Karena keterbatasan inherennya sosiologi tidak dapat diterima untuk meligitimasi apapun. Apa yang dapat dilakukannya dengan dampak popular yang luas adalah mendelegitimasikanya. Dengan demikian sosiologi mendorong terjadinya kekecewaan, anomie, dan disintegrasi normative masyarakat modern.Jadi dalam hal ini sosiologi juga memiliki peranan untuk menciptakan perpecahan dalam masyarakat, terutama perpecahan antara mereka yang menggunankan nila lama ( rasionalitas yang tebatas ), dengan mereka yang hendak menciptakan nilai baru dengan rasionalitas ilmiah. <br /><br />Penting untuk dipahami bahwa dampak yang luas dari sosiologi bukan sekedar masalah kegiatan sejumlah individu yang mepengaruhi masyarakat melelui pengajaran atau penulisan. Sosiologi sebagai suatu bentuk institusi kesadaran itulah yang menimbulkan dampak tersebut. Artinya bukan para sosiologi sebagai individu tetapi sosiolog seabagai suatu profesi itulah yang menjadi masalah terlepas dari luar proposisi etis yang sudah jelas bahwa individu, termasuk para sosiolog harus bertanggunga jawab terhadap perbuatnnya. Selanjutnya sosiologi secara etis dibedakan dalam dua situasi. Pertama situasi dimana nilai-nilai lebih kurang tetapi masih utuh dan yang kedua dalah terdapat disintegrasi yang nampak nyata. <br />Gejala modern yang makin nampak terlihat dalam berbagai wujud inovasi. Dua gejala kunci dari dunia modern adalah otonomi individu seta kebebasan politik, masing-masing sebagai cita-cita normative berupa rencana yang akan terwujud. Keduanya memberikan makna analisa sosiologis yang sangat luas. Oleh karena itu sosiologi merupakan bidang metode ilmiah yang tetap tegak pada tradisi yang kukuh sekalipun tradisi tersebut berasal dalam zaman yang khas dengan perubahan dan krisis/ <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Retno Sosiologihttp://www.blogger.com/profile/05064436971676102162noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-135174975849666515.post-14544602373049798482012-05-02T20:43:00.000-07:002012-05-02T20:43:47.300-07:00review buku media dan budaya populer<br />Cultural studies (kajian budaya) menfokuskan diri pada hubungan antara relasi-relasi sosial dengan makna-makna. Berbeda dengan “kritik kebudayaan” yang memandang kebudayaan sebagai bidang seni, estetika, dan nilai-nilai moral / kreatif, kajian budaya berusaha mencari penjelasan perbedaan kebudayaan dan praktek kebudayaan tidak dengan menunjuk nilai-nilai intrinsik dan abadi(how good), tetapi dengan menunjuk seluruh peta relasi sosial (in whose interst).<br />Dengan demikian setiap pemilahan antara masyarakat atau praktek yang “berkebudayaan” dan yang “tidak berkebudayaan” yang diwarisi dari tradisi elit kritisisme kebudayaan, sekarang dipandang terminologi klas.<br />Bentuk kajian budaya dipengaruhi secara langsung oleh perlawanan untuk mendekolonialisasikan konsep tersebut dan untuk mengkritisi tendensi yang berusaha mempertahankan aturan-aturan yang mereproduksi kelas dan ketidaksamaan lainnya. Maka kajian budaya membangun sebuah kerangka kerja yang berusaha menempatkan dan menemukan kembali kebudayaan dari kelompok-kelompok yang sampai sekarang dilupakan. Inilah awal diperhatikannya bentuk-bentuk dan sejarah perkembangan kebudayaan kelas pekerja, serta analisis bentuk-bentuk kontemporer kebudayaan populer dan media.<br />Tidak seperti disiplin akademis tradisional, kajian budaya tidak mempunyai ranah intelektual atau disiplin yang terdefinisi dengan jelas. Ia tumbuh subur pada batas-batas dan pertemuan bermacam wacana yang sudah dilembagakan terutama dalam sastra, sosiologi dan sejarah.Bagian dari hasilnya, dan bagian dari pergolakan politik dan intelektual tahun 1960 an(yang ditandai dengan perkembangan dengan cepat dan meluasnya struktualisme, semiotik,marxisme dan feminisme) kajian budaya memasuki periode perkembangan terotis yang intensif. Tujuannya adalah untuk mengetahuibagaimana kebudayaan(produksi sosialmakna dan kesadaran) dapat dijelaskan dalam dirinya sendiri dan dalam hubungannya dengan ekonomi (produksi) dan politik(relasi sosial).<br />APA YANG KITA MAKSUD DENGAN “MEDIA”?<br />Pengertian media massa komunikasi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk komunikas. Alat bantu untuk memindahkan pesan dari satu sumber kepada penerima. Media komunikasi ini menjadi alat bantu atau seperangkat sarana yang digunakan untuk kelancaran proses komunikasi. Istilah ‘media’ mencakup sarana komunikasi seperti pers, media penyiaran (broadcasting) dan sinema.<br />APA ITU SEJARAH “MEDIA”?<br />Pada dasarnya sejarah adalah tentang informasi dan interpretasi<br />• Informasi adalah tentang bukti dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer dapat berupa wawancara dengan seorang produsen film, atau satu eksemplar Undang-Undang Penyiaran 1991. Hal ini adalah informasi tangan pertama. Sumber sekunder dapat berupa contoh materi media apa pun – suatu majalah atau acara televisi. Hal ini adalah informasi tangan kedua karena berasal dari para produser, institusi. Kita dapat mendeduksi pelbagai hal dari membaca suatu artikel koran, tetapi hal ini tidak sama dengan berbicara kepada reporter dan editor yang mula-mula memproduksinya.<br />• Interpretasi adalah tentang pemahaman seseorang akan bukti tersebut, teori-teori yang dibentuk tentang signifikasi informasi tersebut.<br />Pelbagai pendekatan dominan terhadap sejarah media yang juga berhubungan dengan teori-teori dominan tentang media berfokus pada poin-poin berikut ini :<br />• Hakikat dan pertumbuhan kekuasaan media (dalam institusi media), termasuk manajemen dan kontrol terhadap media.<br />• Perubahan dalam hubungan antara institusi dan pemerintah;<br />• Sifat dasar perkembangan teknologi dalam media ketika mereka mempengaruhi item-tem lain dalam daftar ini, termasuk produk-produk media;<br />• Perubahan dalam pelbagai produk dan bentuk media, terutama dalam hubungannya dengan pelbagai jenis realisme<br />• Perubahan dalam sensor terhadap media, berkaitan dengan perubahan sikap sosial dan dengan ide tentang pengaruh media<br />• Perubahan dalam representasi kelompok sosial dalam produk-produk media<br />• Hubungan antara perubahan sosial dan produk-produk media, termasuk kebangkitan pemasaran dan penciptaan audiens generasi muda<br />• Pertumbuhan operasi media; juga berkaitan dengan genre media<br /><br /><br /><br /><br /><br />KONSEP-KONSEP KAJIAN MEDIA DAN CULTURAL STUDIES<br /> Fokus studi kajian budaya (CS) ini adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang dapat dilihat dalam budaya pop. Di dalam tradisi Kajian Budaya di Inggris yang diwarisi oleh Raymonds Williams, Hoggarts, dan Stuart Hall, menilai konsep budaya atau “culture” (dalam bahasa Inggris) merupakan hal yang paling rumit diartikan sehingga bagi mereka konsep tersebut disebut sebuah alat bantu yang kurang lebih memiliki nilai guna.<br /> Williams mendefinisikan konsep budaya menggunakan pendekatan universal, yaitu konsep budaya mengacu pada makna-makna bersama. Makna ini terpusat pada makna sehari-hari: nilai, benda-benda material/simbolis, norma. Kebudayaan adalah pengalaman dalam hidup sehari-hari: berbagai teks, praktik, dan makna semua orang dalam menjalani hidup mereka (Barker, 2005: 50-55). Kebudayaan yang didefinisikan oleh Williams lebih dekat ‘budaya’ sebagai keseluruhan cara hidup.<br /><br />IDEOLOGI<br />• Istilah ini merujuk pada ide-ide tentang hakikat dan operasi hubungan kekuasaan dalam budaya dan masyarakat<br />• Istilah ini juga merujuk pada pelbagai kepercayaan dan nilai-nilai dominan yang diterima begitu saja (taken for granted)<br />Intinya adalah tentang cara-cara pelbagai aspek media berkontribusi terhadap kelangsungan pelbagai kepercayaan dan nilai tersebut tanpa dipertanyakan. Sebagai contoh, banyak materi media menyiratkan pentingnya romansa, pernikahan, dan upacar pernikahan; hal tersebut secara tersirat menyetujui ketiga elemen ini. Upacara pernikahan Pangeran Charles dan Putri Diana pada 1981 adalah peristiwa budaya besar yang secara komersial disindikasikan di seluruh dunia. Secara ironis hal tersebut tampaknya juga merupakan dukungan yang kuat terhadap nilai dari ketiga unsur ini.<br />BENTUK<br />• Konsep ini merujuk pada cara media membentuk produk-produk seperti film atau suratkabar<br />• Konsep ini merujuk pada cara mengkonstruksi pelbagai kualitas seperti realisme<br />Artinya adalah seberapa jauh konstruksi ini membentuk dan mendistorsi makna-makna sosial yang dimunculkan oleh produk. Sebagai contoh : pengenalan terhadap banyak acara baru memengaruhi persepsi kita tentang kebenaran informasi mereka melalui simbolisme logi dan melalui sorotan pada wajah serta porsi berita yang besar berkaitan dengan kekuasaan (big desk of power)<br />NARASI<br />• Konsep ini merujuk pada aspek bentuk yang berkaitan dengan konstruksi cerita dan drama<br />• Dapat diperdebatkan bahwa artikel berita mengisahkan cerita sebanyak yang dilakukan novel<br />Artinya adalah bagaimana narasi membentuk makna. Sebagai contoh, banyak narasi (baik narasi berita maupun narasi fiksi) memasukkan konflik antara orang-orang, tetapi sebenarnya lebih merupakan konflik antara ide-ide yang berbeda.<br />TEKS<br />• Konsep ini merujuk kepada semua produk media seolah-olah semua produk tersbut adalah “buku” menaruh perhatian kepda fakta bahwa semua produk tersebut dapat “dibaca” untuk mengetahui makna-maknanya.<br />Artinya adalah bagaimana teks dapat atau tidak dapat dibaca dengan cara yang berbeda oleh para audiens yang berbeda dan mengapa. Dikaitkan dengan cultural studies, peristiwa upacara pernikahan tersebut (dilihat ‘ideologi’ di atas) juga menjadi teks untuk dibaca seperti halnya foto upacara pernikahan di majalah.<br />GENRE<br />• Konsep ini merujuk pada fakta bahwa sebagian besar produk media terbagi ke dalam pelbagai kategori atau tipe.<br />Artinya adalah bagaimana pelbagai kategori repetitif ini juga dapat mengulangi pelbagai makna sosial dan praktik sosial. Sebagai contoh, banyak drama kriminalitas televisi mengulang pandangan bahwa aktivitas kriminal itu menggairahkan (meskipun salah) dan bahwa deteksi kejahatan didominasi oleh penggunaan teknologi. Kedua pandangan ini secara umum tidak benar dalam pengalaman sehari-hari para petugas kepolisian.<br />REPRESENTASI<br />• Konsep ini merujuk pada presentasi media terhadap pelbagai kelompok sosial, yang dikategorikan dengan banyak cara – antara lain melalui gender, etnisitas, umur, dan kelas sosial.<br />• Konsep tersebut tidak hanya mencakup tipe-tipe spesifik (wanita-wanita tua) tetapi juga tipe-tipe kolektif (kaum berusia lanjut) dan mungkin institusi/kondisi (usia lanjut, rumah orang-orang berusia lanjut)<br />• Semua hal ini dapat direpresentasikan, sering secara berulang dan mengkomunikasikan makna-makna yang dominan (lihat ideologi)<br />Artinya adalah seberapa jauh representasi tersebut positif atau negatif.<br />AUDIENS<br />• Konsep ini merujuk pada pelbagai kelompok orang yang dapat didefinisikan yang mengonsumsi produk-produk media<br />• Suatu audiens dapat didefinisikan dikaitkan dengan pelbagai pengelompokan sosial – para wanita untuk fiksi romantis, atau pria muda untuk permainan komputer<br />Artinya adalah seberapa jauh persepsi audiens sendiri terhadap kelompok sosialnya (dan pengalaman budaya yang lain) memengaruhi preferensinya terhadap serta pembacaan akan, materi yang ditargetkan kepadanya.<br />EFEK<br />• Konsep ini merujuk pada proposisis tentang bagaiana dan mengapa produk media memengaruhi para audiens<br />Artinya adalah seberapa jauh para audiens pasif atau aktif dalam hal memahami media. Sebagai contoh, apakah para penonton film dilihat sebagai tas-tas yang ke dalamnya makna budaya dimasukkan? Atau apakah mereka dilihat sebagai pemangsa, yang merampas hal-hal yang memikat dan menarik mereka, dan membuang semua pengalaman lain dalam menonton film?<br /><br /><br />INSTITUSI<br />• Konsep ini merujuk pada organisasi-organisasi yang menjalankan dan mengontrol media.<br />Artinya adalah tentang pelbagai konsekuensi dari cara organisasi ini beroperasi untuk memelihara kepentingan kapitalisme tetapi mengabaikan kepentingan bagian-bagian tertentu dari komunitas (seperti kaum penganggur)<br />PELBAGAI PENDEKATAN KRITIS DALAM PERKEMBANGAN KAJIAN MEDIA DAN CULTURAL STUDIES<br />Para peneliti dari Mahzab Birmingham berusaha melakukan praksis dengan pendekatan yang mereka gunakan, dengan kata lain mereka memandang keilmuan mereka sebagai suatu instrumen bagi perjuangan budaya. Mereka meyakini bahwa perubahan semacam itu akan terjadi dalam dua cara, yaitu: pertama dengan mengidentifikasi kontradiksi dalam masyarakat, di mana resolusinya akan mengarah pada hal yang positif, yang berlawanan dengan resolusi yang apresif dan juga perubahan ; dan kedua, dengan memberikan interpretasi yang akan membantu masyarakat memahami dominasi dan jenis perubahan yang diinginkan. Samud Beeker mendiskripsikan tujuan yang hendak mereka capai adalah memberikan pukulan keras balik pada khalayak melalui media agar tidak menjadi terlalu mudah menerima dengan ilusi atau praktik-praktik media yang ada karena isi media dianggap hanya membawa kesadaran palsu (false consciousness).<br />David Barrat (1986) memuji karya tulis Dennis McQuail serta karya tulis Curran dan Seaton dalam mendeskripsikan tiga tahap dalam perkembangan cultural studies, semua dengan penekanan terhadap ide tentang pengaruh-pengaruh :<br />1. Sampai 1949 : dalam periode tersebut dipercayai bahwa, terutama berdasarkan kritik Marxis yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt, bahwa media memengaruhi audiens sebagai massa; bahwa media dapat menghasilkan perilaku konformis; dan bahwa media merusak budaya (yang diasumsikan sebagai usaha pencapaian budaya tinggi kaum elit).<br />2. Dari 1940 sampai 1965 : selama periode ini disepakati bahwa media mungkin tidak memiliki efek jangka pendek terhadap audiens (meskipun pers populer tetap berpegang pada gagasan tersebut!)<br />3. Dari 1965 sampai 1985 : selama periode ini penekanan bergeser dari efek-efek dan konteks sosial audiens ke mengamati isi dan bentuk-bentuk produk-produk media<br />Raymond Williams (1974) mengamati cara di mana televisi dan teknologinya telah menjadi medium dominan dari budaya populer. Ia menghubungkan medium tersebut dengan konsep-konsep budaya tinggi dan budaya ‘rendah’. Pandangan-pandangannya didorong oleh gagasan tentang pelbagai determinan ekonomi yang membentuk cara institusi-institusi memproduksi budaya populer televisi, yang menjadi institusi sosial itu sendiri.<br />McQuail (1983) berargumen bahwa terdapat tiga unsur kunci bagi semua teori media, setidaknya jika kitaberharap untuk menyelididiki hubungan antara komunikasi massa dan perubahan sosial selama satu periode waktu<br />1. Teknologi komunikasi<br />2. Bentuk dan isi materi media<br />3. Perubahan sosial itu sendiri – merujuk kepada struktur sosial, perkembangan institusi-institusi dan pelbagai pergeseran dalam kepercayaan dan sikap publik<br />Hubungan antara buaya media dan masyarakat<br />empat istilah kunci<br /> MEDIA Arah efek MASYARAKAT<br />Istilah<br />Idealisme<br />Materialisme<br />Interdependensi<br />Otonomi tidak ada<br />Secara khusus, McQuail memulai kembali argumen apakah budaya media memengaruhi masyarakat (struktur sosial) atau sebaliknya.<br />Dia menawarkan empat istilah kunci (lihat diagram di atas)<br />1. Interdependensi : istilah ini menunjukkan hubungan dinamis antara dua unsur di mana satu unsur secara tidak terelakkan memengaruhi unsur yang lainnya;<br />2. Idealisme : istilah ini merujuk pada keyakinan bahwa media memang memengaruhi masyarakat, setidaknya melalui efek-efek teknologinya<br />3. Materialisme : istilah ini berargumen bahwa masyarakat dibentuk oleh kekuatan politik dan ekonomi, dan bahwa media mungkin memiliki bagian dalam hal ini, tetapi bahwa media lebih merupakan refleksi dari perubahan dan pembentukan<br />4. Otonomi : istilah ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang harus ada antara media dan masyarakat.<br />Satu contoh ‘kepercayaan idealistis’ bahwa media memang memengaruhi masyarakat adalah rasa takut terhadap anjing pit bull terrier (sejenis anjing yang sangat kuat dan terlatih untuk bertarung-peneri) pada 1993. Televisi dan pers menampilkan cerita-cerita tentang anak-anak yang dianiaya atau bahkan dibunuh oleh anjing-anjing ini. Tuntutan untuk bertindak menyusul kemudian, termasuk dari beberapa anggota parlemen dan badan legislasi yang berpandangan negatif segera memerintahkan anjing peranakan ini dibunuh atau dinonaktifkan.<br />Dominic Strinati dan Stephen Wagg (1992) menyajikan pendekatan lain terhadap teori media dan sejarah.<br />Dia juga menulis tentang postmodernisme dalam satu bab dalam Morleh, dkk (ed) 1996. Menurut pandangan postmodernis tidak mungkin ada realitas atau kebenaran objektif tentang cara oran menginterpretasi dunia sosial. Yang ada hanyalah pelbagai interpretasi relatif terhadap realitas, yang didefinisikan melalui iklan dabn bentuk-bentuk lain budaya populer. Dengan adanya perluasan saluran-saluran media yang cepat, dunia yang dihuni oleh orang-orang makin artifisial. Dikemukakan bahwa kajian media dan cultural studies hendaknya menaruh perhatian pada gaya (yaitu bentuk) dan pada makna-makna yang ditarik dari gaya.<br />Morley beragumen bahwa kita telah bergerak dari periode teori modernis tentang audiens massa ke suatu situasi ketika kita harus berbicara tentang media penyiaran dengan cakupan yang kecil (narrowcasting, sebagai lawan dari broadcasting-penerj) dan audiens spesifik. Hal ini dikaitkan dengan semacam gaya (yaitu bentuk) yang ironik dan referensial. Sebagai contoh, iklan yang ada sekarang ini untuk produk coklat menggunakan karakter-karakter yang merupakan pahlawan pada serial Western 1950-an (Lone Ranger dan Tonto). Hal tersebut memunculkan pertanyaan yang menarik tentang kepada siapa iklan tersebut ditujukan dan bagaimana hal tersebut akan dipahami.<br /> Dalam perkembangan studi media, kritik telah beranjak dari memercayai bahwa media melakukan pelbagai hal kepada orang-orang, ke mengamati apa yang dilakukan orang-orang dengan media, dan pada materi media yang sesungguhnya. Minat terhadap efk-efek media telah menjadi faktor yang konstan ketika studi tentang media mengalami kemajuan. Hal ini penting dalam kritik-kritik sosiolois terhadap media. Namun, orang-orang yang mengambil pendekatan cultural studies akan berargumen bahwa efek-efek tersebut untuk sebagian besar tidak dapat dibuktikan, dan bahwa adalah lebih bermanfaat untuk berkonsentrasi kepada teks, konteks sosial, dan kelompok-kelompok sosial.<br /><br />PELBAGAI PERDEBATAN BUDAYA POPULER BUDAYA MASSA SEBAGAI BUDAYA POPULER<br />KAUM STRUKTURALIS – KAUM KULTURALIS<br />Perdebatan ini dapat dilihat sebagai perbedaan opini antara kaum Marxis dan kaum postmodernis. Dikaitkan dengan maksud dan hasil analisis terhadap budaya populer, argumen tersebut dapat dilihat sebagai berikut :<br />• Produksi dan konsumsi budaya populer disokong oleh struktur-struktur dominasi. Struktur-struktur ini dapat dan hendaknya dicari dalam hubungan antara institusi-institusi dan dalam lokasi kekuasaan. Konsumen memiliki kekuasaan yang terbatas.<br />Atau<br />• Budaya populer adalah tentang bentuk-bentuk perilaku sosial dan tentang bagaimana item-item produksi massa digunakan. Karena itu, jika kita ingin brebicara tentang kekuasaan, maka konsumen memang mmiliki kontrol yang brtahap terhadap budaya mereka sendiri.<br />• Asumsi tentang dan pencarian trehadap struktur-struktur secara umum berifat ilusi karena hubungan antara institusi-institusi begitu rumit dan bergeser sehingga pelbagai penjelasan determinis tentang siapa yang melakukan apa bagi siapa dan bagaimana hanyalah buang-buang waktu saja.<br />• Hal yang penting adalah memerhatikan makna dan hubungan sosial yang diproduksi oleh artifak-artifak tersebut dan perilaku-perilaku budaya populer.<br />BUDAYA TINGGI (ELITISME) – BUDAYA RENDAH<br />Perdebatan ini secara esensial berkaitan erat dengan status budaya dalam masyarakat dan kepemilikannya oleh satu kelompok sosial atau kelompok yang lain. Secara kasar, perdebatan ini menaruh balet melawan klab dansa, teater melawan televisi, dan seterusnya.<br />KONSUMSI SEBAGAI KESENANGAN<br />Perdebatan ini berpusat pada audiens dan bersifat positif dalam pandangannya tentang budaya populer :<br />• Konsumsi itu bukan tentang audiens massa sebagai korban pasif produksi massa.<br />• Individu dan audiens dari pelbagai ukuran mencapai kesenangan (yaitu kenikmatan) dalam mengonsumsi media massa. Kesenangan ini adalah hal positif yang terhadapnya audiens memiliki kontrol bertahap karena hal tersebut secara aktif berkaitan dengan teks.<br />PARA TEORITISI DALAM BIDANG BUDAYA POPULER<br />Secara umum, terdapat beberapa perbedaan antara pandangan Marxis (klasik) tentang budaya, yang melihatnya dikendalikan oleh determinan-determinan ekonomi dan sebagai model konsep kelas sosial dari atas ke bawah (top-down), dan pandangan neo-Marxis yang tetap berminat pada struktur kekuasaan, tetapi melihat isu kekuasaan sebagai hal yang rumit, dengan konsumen budaya tidak sekedar menjadi korban.<br /><br />MARXISME<br />Pandangan Marxis klasik adalah bahwa institusi-institusi budaya (yaitu pendidikan) digunakan oleh kaum elit untuk melegitimasi kekuasaannya. Bagian dari legitimasi tersebut adalah menjadikan kelas pekerja menerima ketidaksetaraan sosial. Kekuasaan diterapkan melalui kontrol terhadap ekonomi dan terhadap sarana produksi. Karena itu determinan-determinan ekonomi mengatur hubungan sosial dan hakikat budaya.<br />Ralph Milliband (1973) meringkas pandangan tentang media (dan budaya) dari sudut pandang Marxis klasik ketika dia menggunakan kembali frasa Marx yang terkenal, yang menyebut media sebagai ‘opium masyarakat’. Di balik kiasan terhadap kepasifan massal yang dibentuk melalui budaya massa ini, terdapat keberlanjutan ide dominasi ideologis oleh kaum elit.<br />Antoni Gramsci mengembangkan ide-ide tentang budaya dan masyarakat ketika dipenjara oleh kaum Fasis Italia antara 1926 dan 1937 (ketika dia mati). Dengan banyak cara, dia hendaknya dideskripsikan sebagai penganut neo- atau pos-Marxis, karena ide-idenya hanya dipublikasikan pada 195-an dan sesudahnya, dalam buku-buku seperti Selevtions from Prison Notebooks (1971). Dia menjauhi pandangan deterministik Marxis, tetapi sangat menaruh perhatian kepada kelas sosial dan konflik. Dia mengembangkan ide hegemoni untuk mendeskripsikan makna yang melaluinya satu kelas sosial dapat mempertahankan kontrol terhadap kelas-kelas yang lain, dengan menggunakan kontrol koersif (bersifat memaksa) dan konsesual untuk menerapkan kekuasaan.<br />NEO – MARXISME<br />Kaum Marxis pasca Perang Dunia II (1950-an dan sesudahnya) menggarap ulang sesuatu yang menurut sebagian orang dianggap sebagai pandangan simplitis yang sudah ada sebelumnya tentang kelas sosial, kekuasaan, dn budaya. Secara khusus, gagasan tentang ideologi dan lokasi kekuasaan dikembangkan, sebagai contoh, melalui buku karya Gramsci dan konsep hegemoni. Hubungan antara institusi sosial dan interaksi konsep diakui rumit. Tidak lagi dipercayai bahwa massa adalah penerima atau resipien pasif dari budaya yang diproduksi secara massal.<br />Raymond Williams sangat penting sebagai penganut Marxisme dan bapak pendidi cultural studies Inggris. The Long Revolution (1961) mengamati perubahan budaya dan sosial di Inggris. Buku tersebut melontarkan asumsi tentang superioritas satu jenis ekspresi budaya yang (seni tinggi) yang diperlawankan dengan jenis ekspresi budaya yang lain. Buku ini melihat media dan objek-objek produksi massa sebagai bagian dari revolusi. Buku tersebut tertarik pada ‘makna’ dan ‘nilai’ dalam budaya, dan bgaimana keduanya berubah.<br />Louis Althusser adalah pengkritik Marxisme sekaligus penganut Marxisme yang berkomitmen. Dia juga dianggap sebagai seorang strukturalis. Pandangannya adalah bahwa ideologi merembes ke semua bidang kehidupan (all-pervasive), yaitu bahwa ideologi mendefinisikan identitas yang kita percayai kita miliki sebagai anggota budaya tertentu (lihat Alkthusser, 1969). Identitas ini diungkapkan melalui praktik-praktik materi – sesuatu yang mungkin disebut sebagai perilaku budaya. Jadi, seseorang yang pergi ke suatu acara kumpul-kumpul (clubbing) sebenarnya menanggapi kekuatan-kekuatan ideologi. Kekuatan ini bekerja untuk menciptakan realitas sosial kita dan untuk mempertahankan hubungan budaya. Namun, dia juga mengatakan bahwa menjadi seorang “clubber” berarti mengadopsi identitas palsu yang menyembunyikan realitas tentang apa yang sebenarnya berlangsung, terutama delam hal pengaruh-pengaruh (termasuk media) yang membujuk kita bahwa clubbing itu baik-baik saja dan bermakna.<br />MODERNISME<br />Pemikiran modernis menaruh perhatian kepada rasionalitas dan struktur. Pemikiran tersebut sering dikaitkan dengan pelbagai seni dan dengan ‘seni tinggi’ pada, bukan dengan, sesuatu yang tanpa bentuk dan kacau-balau yang disebut budaya populer. Pemikiran modernis tentang masyarakat dan budaya didorong oleh renungan tentang pelbagai konsekuensi urbanisasi, industrialisasi, dan mekanisasi. Pemikiran ini berusaha (memang seperti halnya Marx) untuk mengemukakan pelbagai kepastian tentang struktur dan hubungan sosial, untuk melihat gambaran besarnya, dan untuk mencapai model ideal tentang bagaimana keadaan seharusnya.<br />Walter Benjamin (1936) merujuk kepada signifikasi reproduksi mekanis. Dia berbicara tentang kamera dan produksi citra ssecara kultural. Kekuasaan teknologi untuk menduplikasi suara dan gambar melalui pelbagai media secara tak terbatalkan telah mengubah hakikat budaya. Citra telah menjadi murah dan tersedia secara luas.<br />Richard Hoggart (1958) menghasilkan kritik yang penting terhadap budaya massa. Adalah menarik bahwa dia menghadap ke dua arah seklaigus. Dia menulis secara sensitif tentang nilai budaya kelas pekerja tempat dia dibesarkan, dan jelas dia merupakan seorang “kulturalis” awal, suatu inspirasi bagi cultural studies. Tetapi dia juga mengajarkan nilai budaya tinggi dan berbicara secara merendahkan tentang budaya generasi muda 1950-an. Apa yang memang telah dia lakukan adalah menggunakan bentuk-bentuk literer analisis tekstual dalam memberi komentar tentang budaya yang memang dia kagumi, termasuk lagu-lagu populer.<br />INTERAKSIONISME<br />Max Weber merujuk kepada intensionalitas, kontrol, dan makna ketika dia menjelaskan tindakan-tindakan oleh dan di antara orang-orang. Tindakan-tindakan ini adalah bagian dari perilaku kebudayaan kita dan kita harus menggunakan pengetahuan kebudayaan kita untuk memahami tindakan-tindakan tersebut, untuk memahami praktik-praktik sosial kita sendiri. Dia berbicara tentang tindakan yang relevan dengan makna. Weber memberikan ruang kepada pengaruh individu-individu terhadap masyarakat, tidak seperti Marx. Dia tidak begitu yakin terhadap pentingnya kelas sosial, meskipun dia tertarik kepada sumber-sumber dan penerapan kekuasaan.<br />Stan Cohen dikenal baik sebagai pemikir yang menyelidiki interaksionisme dan perilaku budaya dalam studinya tentang Mods dan Rockers pada awal 1960-an. Studi ini diselidiki secara lebih rinci pada bagian lain buku ini. Dia mengamati interaksi antara kelompok-kelompok generasi muda, antara masyarakat lokal dan kelompok-kelompok tersebut, dan antara media dan kelompok-kelompok tersebut. Dia menyimpulkan bahwa laporan-laporan media tentang perilaku yang diduga bersifat anti-sosial dan dilakukan oleh para pemuda tersebut sangat dilebih-lebihkan dan bahwa media bersalah dalam menciptakan tanda peringatan yang keliru di antara publik – kepanikan moral.<br />FUNGSIONALISME<br />Dikaitkan dengan budaya populer, penganut pandangan ini tertarik pada institusi-institusi yang menganut budaya tersebut. Hal ini dapat merujuk pada hubungan antara media dan keluarga. Para fungsionalis berargumen bahwa keluarga mungkin telah harus berubah dalam menanggapi media, yang telah menjadi bagian dari hiburan dan pengalaman domestik (rumah tangga) mereka.<br />Emile Durkheim memahami institusi-institusi ini dikaitkan dengan keseimbangan di antara masyarkaat. Proses-proses sosial akna bergerak untuk memperbaiki setiap ketidakseimbangan dan memulihkan tatanan, meskipun hal tersebut dilakukan melalui adaptasi dna perubahan. Masyarakat itu sendiri menciptakan representasi kolektif – yang secara umum memiliki pelbagai pandangan tentang isu dan perilaku yang menginformasikan hakikat keseimbangan dan perubahan.<br />STRUKTURALISME<br />Strukturalisme bersekutu dengan semiotika, dan dengan demikian tanda-tanda dalam suatu teks diambil untuk diorganisasikan dengan cara yang bermakna, menurut beberapa prinsip. Strukturalisme telah mengarah ke analisis terhadap cita-cita secara khusus, dan terhadap bagaimana makna dikidekan dalam citra-citra tersebut dan dikemudian didekodekan oleh pengamat. Makna-makna itu sendiri dapat dilihat berkaitan dengan pelbagai kondisi ketidaksetaraan sosial dan dengan peneraan konsep (Marxisme).<br />POSTMODERNISME<br />Pandangan ini telah bereaksi terhadap gagasan tentang pelbagai kepastian dan struktur. Postmodernisme adalah tentang studi mengenai bentuk-bentuk budaya populer. Pandangan ini adalah tentang studi mengenai bentuk serta isi. Postmodernisme adalah tentang kaitan antara teks (intertekstualitas). Pandangan ini memercayai bahwa media telah mendefinisikan dan mendominasi hubungan-hubungan sosial, bahkan mendefinisikan apa yang kita pahami sebagai realitas. Teks-teks posmodern bermain dengan gaya dan bentuk, tidak tertarik kepada struktur-struktur naratif logis atau kesimpulan-kesimpulan moral. Mereka menjadikan pembedaan antara seni tinggi dan seni rendah tanpa makna dengan menjarah humor dan referensi dari budaya tinggi. Mereka menyukai penggunaan ironi dalam hal humor hitam dan penggunaan teks-teks referensi silang.<br />David Morley (1996) menghasilkan laporan yang rapi tentang postmodernisme yang didefinisikan dengan mempertentangkannya dengan modernisme :<br />• Suatu penolakan terhadap solusi-solusi tital : tiada kebenaran atau ‘jawaban’ mutlak dalam masyarakat dan budaya modern;<br />• Suatu penolakan terhadap teologi, atau kepastian-kepastian tentang bagaimana masyarakat bekerja : tiada model yang sempurna tentang bagaimana pelbagai hal bekerja ‘dibawah permukaan’ : hal yang dapat kita yakini hanyalah permukaan itu sendiri – yaitu gaya dan penampilan.<br />• Suatu penolakan terhadap idealisme, terhadap utopia : tidak ada masyarakat ideal atau budaya yang sempurna.<br />Pierre Bourdieu (1984) sering menjadi rujukan oleh John Fiske dalam buku yang bermanfaat, Memahami Budaya Populer (Fiske, 1989). Salah satu dari ide-ide paling menarik milik Bourdieu secara luas membedakan antara budaya kelas pekerja (populer) dan budaya kelas menengah (intelektual) dalam hal keterlibatan dan keterpisahan, perbedaan antara partisipasi dan apresiasi.<br />Jean Baudrillard berargumen menentang pandangan bahwa terdapat suatu realitas budaya dan sosial mutlak yang ada selain dari apa yang kita lihat dan kita baca melalui media. Pandangannya adalah bahwa realitas media telah berkesinambungan dengan realitas sosial. Apa yang terdapat di layar adalah bagian yang besar dari realitas, seperti halnya apa yang kita lakukan dlma kehidupan sehari-hari kita. Dia tertarik dengan intertekstualitas, dengan pandangan bahwa setiap tanda memiliki semacam hubungan dengan setiap tanda yang lain. Dalam dunia Baudrillard, ujar Kenneth Thompson (1997), ‘realitas berdisintegrasi menjadi citra dan tontonan.’<br />FEMINISME<br />Feminisme berkaitan dengan studi tentang representasi, dengan makna dalam teks, dengan hakikat konsumsi audiens, dan dengan hubungan sosial, tetapi selalu dengan merujuk pada bagaimana dan mengapa gender itu penting. Pandangan ini memiliki kaitan yang penting dengan Marxisme karena menaruh perhatian pada pengungkapan kekuasaan dalam gender, karena gender beroperasi dalam budaya populer. Kaum feminis menaruh perhatian pada apakah teks-teks budaya populer mereplikasi ketidaksetaraan konsep dalam hubungan antara pria dan wanita. Dapat dikatakan bahwa feminisme itu tentang menggunakan perangkat-perangkat kritis yang ada dalam wilayah khusus gender.<br />MEDIA MASSA : INSTITUSI DAN KEKUASAAN<br />TINJAUAN : BEBERAPA ISU UTAMA<br />• Kekuasaan global. Isu kunci di sini adalah bagaimana kekuasaan ini dapat (atau bahkan perlu) dimoderasi ketika sebagian berada di luar kontrol pemerintah-pemerintah nasional.<br />• Pemerintah dan interdependensi media. Ekspansi saluran-saluran komunikasi media telah menambah sarana bagi pemerintah untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial. Media telah menjadi esensial dalam proses pemilihan umum dan publisitas pemerintah.<br />• Kebangkitan pemasaran : operasi-operasi media telah menjadi didominisai oleh pasar : produk-produk media dan audiens dipasarkan sebagai komoditas dan media tergantung kepada iklan sebagai pendapatan mereka.<br />Isu kunci di sini adalah seberapa jauh media telah menjadi instrumen kekuatan pasar dan seharusnya atau tidak seharusnya dibolehkan melanjutkan untuk beroperasi seperti demikian.<br />• Manufaktur pelbagai gaya hidup. Isu kunci di sini adalah isu tentang pengaruh media terhadap perilaku sosial dan preferensi pelbagai kelompok dalam masyarakat, terutama kelompok generasi muda.<br />• Portofolio produk. Isu kunci di sini adalah sekedar isu kekuasaan yang diberikan oleh portofolio produk ini kepada mereka untuk memiliki suara yang berbicara melalui pelbagai suratkabar, radio, dan televisi (seperti dalam kasus Daily Mail & General Trust Group yang memiliki Daily Mail, separo Teletext, dan seperempat radio GWR) yang memiliki ‘bahasa-bahasa’ yang berbeda. Dominasi genre. Produk-produk organisasi media dibentuk oleh.<br /><br />UNGKAPAN-UNGKAPAN KEKUASAAN<br />Mendeskripsikan aspek-aspek ungkapan kekuasaan berarti membantu mengidentifikasi bagaimana pengaruh dapat terjadi, meskipun hal ini tetap meninggalkan pertanyaan besar tentang hakikat kuantitatif dan kualitatif efek-efek media.<br />Max Horkheimer dan Theodor Adorno (1972) menggunakan frasa industri kebudayaan untuk mendeskripsikan penciptaan dan distribusi benda-benda kebudayaan. Mereka melihat hal tersebut menggantikan aktivitas live (langsung, pemain dan penonton hadir secara fisik) lokal, atau subkultur. Tetapi bukti tidak mendukung pandangan negatif ini. Produksi budaya media ada di keseluruhan aktivitas budaya “live”.<br />• Imperialisme kebudayaan. Frasa ini mengemukakan bahwa institusi-institusi media Barat, terutama yang berasal dari Amerika, menciptakan kekaisaran ide yang baru di seluruh dunia (Tunstall, 1978).<br />KEKUASAAN TERSEMBUNYI<br />Frasa kesadaran palsu telah keluar dari Aliran Marxisme Frankfurt. Idenya adalah bahwa media mengungkapkan kekuasaannya dengan menciptakan ide yang palsu tentang pelbagai nilai dan hubungan sosial, sehingga apa yang kita kira kita tahu sebagai benar adalah angan-angan – pandangan tentang dunia banyak dibentuk melalui media.<br />Terdapat tiga istilah kunci yang membantu menjelaskan kekuasaan tersembunyi dalam media, masyarakat, dan budaya. Ketiganya telah dikembangkan melalui analisis marxis tentang kekuasaan dan tentang hubungan-hubungan sosial :<br />1. Ideologi<br />Istilah ini mendeskripsikan suatu erangkat koheren ide dan nilai yang mengungkapkan pandangan tentang dunia (sosial, ekonomi, dan politik), bagaimana keadaan dunia itu sekarang, dan bagaimana dunia itu seharusnya. Istilah ini juga merepresentasikan ide tentang hubungan kekuasaan dalam masyarakat, siapa yang memiliki kekuasaan macam apa, siapa yang tidak, siapa yang seharusnya memiliki kekuasaan, siapa yang seharusnya tidak. Makna-makna yang mungkin kita dapat dari analisis tentang teks-teks media cenderung ideologis. Apa persisnya makna-makna tersebut – apa artinya menjadi seorang anak – misalnya – merupakan suatu persoalan untuk diargumenkan.<br />2. Hegemoni<br />Hegemoni adalah tentang cara menerapkan kekuasaan ideologi yang tidak terlihat. Hegemoni adalah tentang proses-proses yang melaluinya seperangkat ide miliki satu kelompok sosial menjadi dominan dalam suatu masyarakat. Istilah tersebut berasal dari karya tulis Gramsci yang secara luas, melihat perjuangan ini sebagai perjuangan kelas, dan yang banyak berkaitan dengan budaya. Ketika membahas konsep tersebut, kita dapat berbicara tentang kolonisasi kelas menengah terhadap sepakbola (football), yang disimbolkan oleh novel Nick Hornby yang berjudul Fever Pitch. Satu kelas sosial mencoba untuk mencapai hegemoni terhadap kelas sosial yang lain berkaitan dengan sepakbola, yang hanya terdapat dalam arena publik karena presentasinya di media.<br />3. Wacana<br />Wacana (discourses) adalah perangkat-perangkat makna tentang rentang ‘topik’ yang luas. Makna ini diproduksi oleh cara-cara menggunakan dan memahami bahasa. ‘Bahasa’ dapat berarti sebentuk komunikasi, termasuk bahasa visual foto, televisi dan bioskop. Idenya adalah bahwa cara kita ‘berbicara’ tentang sesuatu mengatakan segala sesuatu ihwal cara kita berpikir tentang hal tersebut.<br />TEORI-TEORI TENTANG MEDIA MASSA DAN MASYARAKAT<br />TEORI FUNGSIONALIS<br />Dalam fungsionalis kita dapat mempelajari struktur masyarakat tanpa memperhatiak fungsinya terhadap struktur lain, begitu pula kita dapat meneliti fungsi berbagai proses sosial yang mungkin tidak memiliki struktur.<br />Teori tentang media ini memandang media menampilkan suatu pekerjaan, melakukan suatu fungsi bagi masyarakat atau negara atau bahkan ideologi yang dominan. Masalahnya adalah bahwa kita memiliki pelbagai pandangan yang berbeda tentang apa yang seharusnya atau tampaknya merupakan fungsi-fungsi media, sesuai dengan asal mula kita. Jadi, audiens mungkin melihat media itu melayani maksud-maksud yang berbeda dengan maksud-maksud yang – menurut para pemilik media – mereka layani.<br />Strinati (1995) berargumen bahwa ‘masalah mendasar tentang pelbagai penjelasan fungsionalis adalah bahwa penjelasan tersebut merupakan sebab-sebab fenomen sosial dalam hal konsekuensi-konsekuensinya.’ Dengan kata lain, apa yang tampaknya dilakukan oleh media sekarang untuk masyarakat pertama-tama menjelaskan mengapa mereka muncul.<br />Karenanya, Strinati melihat pelbagai interpretasi fungsionalis itu terlalu simplistis dan cacat. ‘Argumen-argumen fungsionalis sering menyiratkan ... kontinuitas yang dijamin selamnya dari sistem yang seharusnya dilayani oleh institusi tersebut.’ Karena media memobilisasikan opini, mereka melayani suatu tujuan yang menjamin bahwa mereka harus selalu ada untuk tujuan tersebut.<br />TEORI PLURALIS<br />Pandangan-pandangan tentang media dan masyarakat tersebut secara umum berargumen bahwa banyak media menawarkan beraneka ragam materi untuk pelbagai audiens. Pandangan-pandangan ini tidak menganggap ide tnetang kekuasaan media sebagai masalah yang nyata. Mereka berargumen :<br />• Bahwa masyarakat tidak dihadapkan dengan pandangan yang sifatnya koheren dan mengontrol dari institusi-institusi;<br />• Bahwa para audiens benar-benar menghadapi pelbagai pilihan nyata tentang apa yang mereka baca dan tonton;<br />• Bahwa terdapat begitu banyak pengaruh sosial terhadap para audiens sedemikian rupa sehingga mustahil berbicara tentang pengaruh dominan media.<br />Pandangan-pandangan pluralis tentang kekuasaan berasal dari karya Max Weber. Dia mengajukan argumen tentang representasi demokratis melalui pelbagai partai politik. Partai-partai ini, beserta kelompok-kelompok tertekan yang berbeda, mewakili pelbagai kepentingan dari bagian-bagian yang berbeda dalam masyarakat.<br /><br /><br />TEORI LIBERTARIAN (PLURALIS LIBERAL)<br />Libertarianisme dalam suatu pengertian adalah anak kapitalisme – kpercayaan bahwa kebebasan-bagi-semua akan berlaku pada semua orang pada akhirnya. Pasar bebas dalam ide-ide yang dipublikasikan secara bebas memberikan pilihan yang bebas terhadap masyarakat. Secara khusus, diargumenkan bahwa kebebasan ini memberikan media cakupan untuk bertindak sebagai pengawas (watchdog) terhadap pemerintah, memeriksa seberapa jauh pemerintah melayani masyarakat secara umum.<br />Pluralisme liberal adalah pandangan (atau ideologi) yang diambil tentang media oleh sebagian besar orang yang bekerja di media. Pandangan tersebut berargumen bahwa pasar yang bebas membawa pers yang bebas dan media yang bebas.<br />Berkaitan dengan efek terhadap masyarakat, para pluralis berargumen bahwa media tidak memiliki banyak pengaruh.<br /> Boyd-Barret (1995) meringkas perbedaan antara pluralisme (liberal) dan neo-marxisme berkaitan dengan penggambaran tentang kekerasan dalam media. Dia mengemukakan bahwa :<br />1. Kaum pluralis tertarik pada apakah individu dapat dibuat untuk menjadi lebih agresif<br />2. Kaum marxis tertarik pada apakah individu dibuat untuk menjadi lebih tunduk pada kekuatan-kekuatan hukum dan tatanan<br />3. Dari sudut pandang libertarian, adalah benar bahwa media memaikan bagian dalam memperlihatkan perselisihan tentang ‘cash for question’, ketika beberapa anggota parlemen dipaparkan menjadi perkakas bagi para pelobi. Tetapi tatkala mereka secara mencolok gagal menantang pemerintah Inggris pada awal 1980-an ketika pemeintah tersebut membawa negara ke dalam kancah perang dengan Argentina dan tanpa (berdasarkan pemungutan opini awal) dukungan jelas dari mayoritas penduduk di negara tersebut.<br />TEORI MARXIS<br />Pandangan marxis tentang hubungan media dengan masyarakat bertentangan dengan pandangan pluralis. Pandangan marxis dapat dianggap sebagai teori-teori kontrol. Namun, pelbagai pernyataan dogmatis marxis tentang keburukan yang tidak terbantahkan yang mengontrol pengaruh penganut kelas media terhadap masyarakat tidak lagi lebih memuaskan daripada pelbagai pernyataan pluralis yang samar-samar dan tidak berdasar tentang dunia kebebasan dan pilihan yang menakjubkan.<br />Yang jelas adalah pandangan marxis berargumen bahwa media secra umum merepresentasikan pandangan konservatif tentang isu-isu sosial, dan merepresentasikan pelbagai nilai dan kepentingan orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam masyarakat, yang biasanya menolak pandangan orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan.<br />Graham Murdock dan Peter Golding mengambil pandangan ini yang disebut Strinati sebagai perspektif ekonomi politik.<br />• Mereka menyatakan bahwa hakikat kepemilikan memang penting karena hal itu memberikan kekuasaan pada media, dan bahwa hal ini diterapkan bertentangan dengan pelbagai kepentingan bagian-bagian tertentu dalam masyarakat<br />• Mereka mengadopsi determinisme ekonomi ketika mengemukakan bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi telah menyebabkan konsentrasi kepemilikan yang telah menekankan jenis-jenis kontrol yang dimiliki oleh media terhadap masyarakat dalam produksi ide-ide tentang hubungan sosial.<br /> Teori konflik, sebagai pengembangan dari marxisme, berkaitan dengan konsep hegemoni.<br />1. Dalam hal ini, teori tersebut berfokus pada konflik kelas sebagai perjuangan-perjuangan sosial mendasar untuk mendapatkan kekuasaan.<br />2. Dapat diargumenkan bahwa media terlibat dalam perjuangan tersebut jika mereka memberikan privilese (hak-hak istimewa) terhadap pandangan-pandangan satu kelas sosial dan menolak kepentingan kelas-kelas lain.<br />3. Strinati (1995) juga mengkritik teori konflik untuk ‘suatu bentuk reduksionisme kelas yang melaluinya semua budaya dijelaskan melalui hubungannya dengan perjuangan kelas.’ Dia berargumen bahwa ‘penekanan marxis yang khas terhadap determinisme ekonomi bersifat terbatas secara sosiologi.’ Dengan kata lain, marxisme tidak hanya merupakan satu-satunya perkakas untuk memahami budaya media dan bagaimana hal ini memengaruhi audiens.<br /><br />TEORI FEMINIS<br />Liesbet Van Zoonen (1994) membedakan antara feminisme radikal dan feminisme sosialis. Feminisme radikal mengambil semacam pandangan marxis tentang apa yang dilakukan oleh pelbagai institusi media terhadap perempuan dan terhadap ide-ide tentang perempuan.<br />1. Pendekatan-pendekatan kebudayaan terhadap studi feminis dipersiapkan untuk mengambil pandangan yang lebih luas tentang masalah kekuasaan bagi perempuan dan di mana masalah itu diletakkan.<br />2. Pendekatan-pendekatan ini tidak hanya menyalahkan institusi-institusi yang didominasi oleh pria, tetapi melihat kekuasaan dalam konteks sosial dan kekuasaan dalam institusi-institusi sosial yang lain.<br />TEORI POSTMODERNIS<br />Pelbagai kepentingan dan karakteristik postmodernisme lebih mudah dideskripsikan :<br />• Ide bahwa materi media sekadar merupakan bagian dari realitas kita dan bukan ‘sesuatu yang lain’;<br />• Intertekstualitas dalam film-film seperti Natural Born Killers, di mana pelbagai referensi terhadap film-film yang lain adalah bagian dari pemahaman terhadapnya;<br />• Penggunaan ironi dalam menceritakan pelbagai kisah, khususnya humor hitam;<br />• Pemisahan narasi/pengeditan, seperti dalam film Pulp Fiction, yang bertentangan dengan pelbagai konvensi tentang teks realis pada umumnya;<br />• Bermain-main dengan realisme dan surelisme;<br />• Ide bahwa tidak terdapat perbedaan antara seni dan budaya populer; definisi tentang budaya tinggi/budaya rendah tidak lagi bermakna.<br />1. postmodernisme mengatakan bahwa budaya media adalah realitas bagi audiens<br />2. audiens menganut budaya ini dan tidak harus menjadi korbannya<br />3. postmodernisme lebih tertarik kepada pelbagai kesenangan dalam teks daripada efek-efeknya yang mungkin terhadap masyarakat.<br />Teori-teori Media : fokus kepentingan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />PRODUKSI MEDIA DAN BERITA<br />Produk media secara umum dapat dilihat sebagai proses dimana makna-makna diproduksi melalui teks media. Makna tersebut bagi produsen dan bagi audiens dapat berbeda. Proses produksi tersebut juga merupakan proses pemilihan. Media dapat dideskripsikan sebagai memproduksi komoditas, memproduksi budaya, dan memproduksi makna-makna tentang masyarakat.<br />Produksi dikendalikan oleh pelbagai imperatif yang merupakan bagian dari sistem kapitalis, dibentuk oleh pelbagai praktik yang merutinkan (routinise) dan menjual produk, serta dipengaruhi oleh konteks komersial.<br />Berita secara khusus merupakan bentuk produk yang khusus karena hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kita suatu pandangan yang bermanfaat tentang dunia. Kritik-kritik terhadap berita memunculkan perhatian terhadap pelbagai interpretasi yang saling berkonflik yang ditawarkan oleh pandangan pluralis dan pandangan determinis; terhadap bahasa khusus ang digunakan dalam berita; terhadap komodifikasi berita, dan terhadap pengoperasian ideologi melalui berita.<br />Proses pembuatan berita dipengaruhi oleh ide-ide di ruang berita tentang profesionalisme, nilai-nilai berita dan agenda yang memberikan prioritas terhadap beberapa cerita dibandingkan cerita-cerita yang lain. Presentasi berita merujuk kepadabentuk atau perlakuan terhadap berita. Hal tersebut mencakup penyaji berita itu sendiri, pembingkaian cerita-cerita berkaitan dengan keadaan ideal dalam solusi-solusi konsensual terhadap konflik sosial, dan pembentukan beberapa cerita berkaitan dengan kepanikan moral. Perlakuan terhadap berita ini memunculkan penciptaan ide-ide tentang norma sosial dan tentang penyimpangan. Semua proses pemilihan dan perangkat-perangkat bentuk cerita mengarah ke tindakan mempertanyakan gagasan imparsialitas berita.<br />REPRESENTASI, RAS, DAN BUDAYA GENERASI MUDA<br /> Representasi merujuk pada pengkategorian orang-orang dan penmgkategorian ide-ide tentang mereka. Dikaitkan dengan media, hal tersebut dipahami secara dominan melalui gambar, tetapi dapat berlangsung melalui sarana komunikasi apa pun. Ide-ide yang direpresentasikan dikaitkan dengan ideologi dan secara khusus menyangkut tempat subjek dalam masyarakat vis a vis kekuasaan. Representasi dikonstruksi melalui cara bagaimana media digunakan, dan melalui cara kita melihat subjek tersebut.<br />Representasi terhadap ras dapat mendukung rasisme dan mengonstruksi suatu identitas yang didominasi oleh ide tentang menjadi berbeda, yaitu liyan (the other). Representasi tersebut berubah sesuai dengan sikap-sikap sosial pada suatu periode waktu, tetapi tidak menghilang.<br /> Media sering merepresentasikan generasi muda sebagai melakukan pelanggaran terhadap hukum atau norma (delinquent) atau menyimpang (deviant). Tetapi representasi ini mengabaikan fakta bahwa banyak orang muda tidak tampak sebagai subkultur di jalanan atau di klab. Bahkan ketika mereka terlihat, kini mereka mungkin menjadi kelas menengah sebagai kelas pekerja.<br />Terdapat perdebatan tentang apakah media membentuk budaya generasi muda melalui komoditas pemasaran, atau apakah budaya generasi muda yang memunculkan gayanya sendiri, bahkan menggunakan komoditas, yang kemudian ditiru oleh industri musik dan mode utama.<br /> Juga diperdebatkan bahwa penampilan dan perilaku subkultur generasi muda adalah tanda perlawanan terhadap budaya yang dominan, suatu tanda perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan di antara wacana-wacana.<br /><br />AUDIENS, EFEK, DAN PERDEBATAN TENTANG KEKERASAN<br /> Definisi audiens tidak sesederhana tampaknya. Terdapat banyak cara yang berbeda untuk memprofilkan audiens, berdasarkan jumlah atau berdasarkan karakteristik psikologis, sebagai contoh. Beberapa orang berargumen bahwa audiens tidak ada sampai mereka berinteraksi dengan media.<br />Definisi efek-efek juga problematik karena efek-efek psikologis tidak dapat ‘dilihat’, dan efek-efek perilaku dapat muncul dari begitu banyak pengaruh yang lain yang bertindak terhadap masyarakat pada saat yang sama seperti media. Tidak lagi dipercayai bahwa media sekedar melakukan pelbagai hal bagi masyarakat. Jika media memang memiliki efek, efek tersebut berkombinasi dengan faktor kebudayaan dan dengan aktivitas audiens itu sendiri.<br /> Audiens disapa melalui teks-teks dengan pelbagai gaya dan dengan efek memosisikan audiens pada suatu tingkat yang berkaitan dengan bagaimana audiens akan memajami teks tersebut.<br /> Audiens membaca teks-teks dengan banyak cara, sebagian dari cara tersebut cocok dengan maksud-maksud yang diduga dimiliki oleh media. Tampaknya bahwa audiens dapat berinteraksi dengan media untuk memuaskan pelbagai kebutuhan dan mendapatkan kesenangan, tetapi selalu dengan cara-cara yang diperumit oleh faktor-faktir seperti konteks dan gender. Hal ini merupakan kesenjangan tentang kekuasaan ideologi dalam teks, yang bertolak belakang dengan – kekuasaan audiens – pembaca. Terdapat pelbagai pendekatan riset audiens yang berkaitan dengan teori-teori makro tentang pengaruh media secara umum, dan dengan minat-minat mikro terhadap perilaku audiens tertentu.<br /> Bukti riset tentang kekerasan dalam media, dan kritik terhadap riset ini,mengungkapkan bahwa model efek-efek sederhana tidaklah memadai. Bahkan model efek-efel yang rumit menjadi dipertanyakan karena banyaknya jumlah variabel yang memengaruhi ‘pembacaan’ materi yang mengandung kekerasan.<br />Riset tentang kekerasan terbagi ke dalam area-area dominan seperti efek, sikap kebudayaan, profil/tanggaoan audiens, institusi, dan faktor-faktor ideologis.<br />Masalah kunci dalam mengevaluasi kekerasan dan efek-efeknya adalah metodologi riset yang digunakan, kadang-kadang dikombinasikan dengan penegasan-penegasan yang memiliki kekurangan (flawed) bukti – yaitu kepercayaan, bukan keyakinan, yang mengarah ke hasil-hasilnya. Namun, pelbagai kecemasan sosial tentang kekerasan tetap harus ditangani, dan metodologi yang diperbaiki dapat memberikan hasil dalam hal membuat suatu kaitan antara kekerasan dalam media serta perilaku sosial, yang tidak harus selalu bersifat sebab akibat.<br />Retno Sosiologihttp://www.blogger.com/profile/05064436971676102162noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-135174975849666515.post-35678479113373593062012-03-29T05:53:00.001-07:002012-03-29T06:06:46.829-07:00kelas sebagai sistemKELAS SEBAGAI SISTEM<br />
<br />
<br />
<br />
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Sosiologi Pendidikan Program Study Sosiologi <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Oleh :<br />
RETNO WAHYU WULANDARI<br />
NIM : S25 1108010<br />
<br />
PROGRAM PASCA SARJANA <br />
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK <br />
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA<br />
2012<br />
<br />
KELAS SEBAGAI SISTEM SOSIAL<br />
<br />
Ruang kelas bukan sekedar ruang fisik semata, namun ia melampaui ini yaitu mencakup juga ruang sosial dan budaya.<br />
A. Kelas sebagai Sistem Sosial<br />
Kata system merupakan kata yang berasal dari bahasa yunani, systematos, systema. Tatang Amirin(2003) menyimpulkan systema memiliki pengertian berikut: (1) suatu hubungan yang tersusun ats sekian banyak bagian, dan (2) hubungan yang berlangsung diantara satuan atau komponen secara teratur.<br />
Bagaimana batasan yang diberikan oleh para ahli tentang definisi system? Berikut beberapa pandangan berbagai ahli tentang konsep system, antara lain : (1) menurut Winardi system dikemukakan dalam bukunya Pengantar tentang teori system dan Analisis system, bahwa system merupakan suatu kelompok elemen yang interdependen yang antar berhubungan atau saling mempengaruhi satu sama lain. Sistem merupakan suatu konglomerat hal-hal tertentu yang secara keseluruhan membentuk suatu keseluuhan yang menyatu. (2) , batasan menurut Gabriel A.Almond, bahwa system diartikan sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya suatu organisasi yang berinteraksi dengan suatu lingkungan, yamg mempengaruhinya maupun dipengaruhinya. (3) menurut Robert M.Z.Lawang, adapun inti gagasan Lawang sebagai berikut: system adalah suatu saling ketergantunagn antara satu komponen dan komponen lainnya dalam hubungan timbal balik yang konstan, konstan artinya apa yang terjadi kemarin merupakan perulangan dari yang sebelumnya, dan besuk akan diulang kembali dengan cara yang sama. Dan karena sifatnya kontan inilah, maka pola hubungan interaksi ini memiliki system tertentu. Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa system merupakan suatu kelompok elemen-elemen yang saling berhubungansecara interdependen (saling ketergantungan dan konstan).<br />
Seperti telah didiskusikan terdahulu, sosiolog utama yang dirujuk jika membahas system social adalah Talcott Parsons. Parsons merupakan salah seorang tokoh utama yang mempopulerkan pendekatan system dalam sosiologi kontemporer. Suatu system hanya bisa fungsional apabila semua persyaratan terpenuhi. Ada empat persyaratan fungsional yang dibutuhkan oleh suatu system yaitu: Adaptation/adaptasi (A), Goal attainment/pencapaian tujuan (G), Integration/integrasi (I), dan Latent pattern maintenance/pola pemeliharaan laten.<br />
Dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di sana terdapat gabungan dari r dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan. Ruang kelas memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt, 1984). Hakikat keberadaan kelompok sosial bukan tergantung dari dekatnya jarak fisik, melainkan pada kesadaran untuk berinteraksi, sehingga kelas bersifat permanen dan tidak hanya suatu agregasi atau kolektivitas semata. Pada akhirnya, peran dan fungsi yang diembannya dalam struktur pendidikan lebih terjamin.<br />
1. Struktur Sosial Kelas<br />
Ruang kelas merupakan miniatur dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul person-person dari latar belakang status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda, meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama. Beberapa ciri khas struktur kelas yang memiliki kesamaan dengan masyarakat adalah sebagai berikut:<br />
a. Komposisi Anggota<br />
Heterogenitas adalah aspek umum yang hampir selalu ada di kelas manapun. Di sana, selain latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, juga terdapat perbedaan jenis kelamin (seksualitas) kecuali di sekolah khusus, keberagaman agama, sampai pada karakteristik individu yang saling berlainan secara fisik maupun psikis yang ditandai dengan perbedaan antarpersonalnya. Keberagaman komposisi kelas merupakan warna yang biasa, seperti halnya dalam masyarakat karena institusi pendidikan berlaku universal yang memberi kebebasan bagi siapa saja yang memenuhi syarat untuk bergabung.<br />
b. Struktur Birokratis Berupa Peran dan Status<br />
Di dalam kelas yang majemuk itu, terdapat suatu tata aturan kelas yang diikat oleh sekolah dan diperankan oleh wakil-wakil siswa yang disebut pengurus kelas. Lahirlah berbagai “jabatan” yang terbentuk secara hierarkis sesuai dengan tugas dan kewenangan mereka di dalam kelas, baik itu oleh guru yang berperan sebagai wali kelas maupun siswa-siswanya yang terakumulasi dalam jabatan ketua kelas, sekretaris, bendahara, dan seterusnya. Pola imitatif yang dibawa dari lingkup luar masyarakat ini tersusun karena diperlukannya sistem penegakan tata aturan institusi serta pola pengendalian sosial yang ketat mengingat fungsi dunia pendidikan yang sedemikian nyata sehingga memerlukan tindakan konkret untuk pelestarian fungsi institusi dan segenap norma-norma kelas dan sekolah tersebut. Salah satu bentuknya adalah penetapan status birokratis dari unsur-unsur kelas yang merepresentasikan anggota-anggotanya sebagai wujud dari masyarakat kecil.<br />
2. Pola Komunikasi dalam Kelas<br />
Mari kita pahami lebih dalam dengan contoh hubungan guru-murid. Melalui cara pandang ruang kelas sebagai system pertukaran. Kita bisa melihat bahwa hubungan guru-murid sebagai suatu system pertukaran. Hubungan guru-murid sebagai suatu system pertukaran terbentuk apabila unsur atau item, dalam hal ini guru dan para murid,memiliki ketergantungan terhadap suatu pertukaran yang terus menerus atau ajek. Dalam system pertukaran, guru dan murid dipandang mempunyai ketergantungan satu sama lain dalam rangka memperoleh keuntungan, baik bersfat ekstrinsik berupa materi dan benda maupun intrinsic berupa nilai(peringkat), penghargaan, pengakuan,perhatian, cinta, dan kasih saying. Apa yang dilakukan guru berujung pada pendapatan finansial yang layak,penghargaan,pengakuan,kecintaan terhadap murid, orang tua/wali murid, dan kepala sekolah. Adapun para murid dalam proses pertukaran berusaha memeperoleh nilai, penghargaan, kasih saying, perhatian, cinta dari guru.<br />
Komunikasi menjadi elemen penting dalam segala kegiatan di kelas karena memungkinkan adanya pertukaran interaksi timbal balik antara warga kelas (murid-murid ataupun murid-guru). Selain itu, arti penting komunikasi dalam pencapaian tujuan belajar di kelas adalah untuk mengkomunikasikan dan menyalurkan informasi dan keterampilan. Konsekuensi logisnya, setiap kelas memerlukan adanya pola alur komunikasi yang berjalan secara lancar dan efektif dari masing-masing pihak. Aktivitas penyampaian informasi dari guru dijelaskan dalam berbagai paparan tentang materi pelajaran beserta penjelasannya yang kadang disertai dengan berbagai tugas dan pertanyaan yang disampaikan kepada murid sebagai bentuk komunikasi dari guru. Sebaliknya siswa bisa merespon dengan bertanya, menjawab, berdiskusi dengan teman sekelas dan sebagainya, manapun dengan aktivitas di luar pelajaran. Namun, aspek ini tidak sesederhana itu, melainkan dititikberatkan pada peran komunikasidalam keberlangsungan kelas, sesuai dengan beberapa eksperimententang komunikasi kelas oleh beberapa ahli, antara lain oleh Bavelas dan Leavit (dalam Horton dan Hunt, 1999), yang menghasilkan beberapa pola komunikasi yang telah diuji dalam eksperimennya tahun 1958. Hasil kesimpulan dari eksperimen tersebut adalah bahwasanya pola komunikasi mempengaruhi kegiatan, kepuasan, kecepatan dan kecermatan dalam menemukan permasalahan baik pada tingkat individu maupun kelompok. Dua pola keempat (terpusat/setir) di mana dalam pola melingkar terjadi pemerataan peran dan status serta kepemimpinan masing-masing anggotanya, terdapat keaktifan anggota dan seluruh anggotanya puas terhadap kinerja meskipun kelompok masih sedikit melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah. Sebaliknya pada tipe yang terpusat, mereka cenderung terorganisasi secara cepat dalam memecahkan masalah dengan kesalahan yang relatif sedikit, kelompok tersebut sangat kuat dan stabil walaupun seluruh kegiatan kelompok itu belum tentu memuaskan semua anggotanya. Leavit mengatakan bahwasanya pemusatan ini dianggap karena posisi pemimpinnya yang fungsi utamanya menerima, mengorganisasi dan mengirim berita. Dalam hal ini, secara faktor kesemuanya terwujud dalam bentuk kegiatan belajar kelas yang selama ini diterapkan yaitu sentralisasi peran guru yang sangat besar. Selama ini, guru memang menjadi pusat komunikasi kelas dan mendominasi setiap kegiatan penyaluran informasi ini melalui penyampaian materi pelajaran, memberikan pertanyaan, mendeskripsikan penjelasan dan lain sebagainya.<br />
Model komunikasi secara terpusat ini mengandung beberapa implikasi yaitu, pertama, struktur komunikasi kelas dimaksud paling tidak memuaskan seluruh anggota kelompok, kecuali anggota yang paling sentral (dalam hal ini adalah guru). Kedua, tipe kelompok ini dianggap paling produktif dalam menyelesaikan secara tepat tugas-tugas yang jelas strukturnya, akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan hasil tindakan orang yang memegang peranan sentral. Pola komunikasi kelompok ini sangat terpusat (highly centralized group) tampak sangat teratur dan efisien dikarenakan tindakan anggotanya yang pasif. Dengan kata lain, komunikasi yang terbentuk hanyalah komunikasi dengan pemimpinnya saja. Dalam sistem ini, pemegang peranan sentral akan banyak bisa belajar dan merasa puas dengan posisi dan kelompoknya akan tetapi efeknya, individu lain tidak banyak memperoleh kesempatan untuk belajar.<br />
3. Iklim Sosial di Kelas<br />
Bagaimana guru mengontrol kelas? Kenapa ada situasi yang berbeda dalam kelas yang sama? Jika seorang guru sedabg menerangkan suatu pelajaran kepda muridnya pada suatu kelas, suasana kelas tampak terkendali. Kelas merupakan perwujudan masyarakat heterogen kecil di mana di dalamnya terdapat variasi komposisi dan hubungan antarpersonal yang melahirkan mekanisme interaksi sosial yang kontinu. Mekanisme ini terus berlanjut dala lingkup sosialnya (di kelas) dan secara faktual terakumulasi ke dalam bentuk-bentuk hubungan antara individu-individu di dalam suatu kelas ataupun hubungan kelompok. Hal terpenting adalah interelasi yang terjadi antara guru dengan murid yang melambangkan bentuk konkret dari suasana kelas dan membentuk suatu iklim sosial. <br />
Pembentukan iklim sosial kelas sangat bergantung pada variasi hubungan guru-murid serta alur penerimaan informasi dan komunikasi yang kesemuanya dinaungi dalam sebuah koridor gaya kepemimpinan dariseorang guru, baik yang mengikuti kepemimpinan terpusat (sentralistik), demokratis maupun gaya kepemimpinan yang memberi kebebasan penuh (laissez faire) kepada para muridnya. Dariperpaduan itulah terbentuk berbagai macam iklim sosial di kelasyang merefleksikan bentuk hubungan vertikal kelas antara gurumuriddalam kegiatan belajar di dalam kelas yang sangat mempengaruhikeberhasilan siswa dalam kegiatan belajar ataupunbersosialisasi didalamnya.Menurut Faisal dan Yasik (1985) terdapat enam iklim sosialyang timbul di kelas yaitu sebagai berikut.<br />
a. Iklim Terbuka<br />
Dalam iklim terbuka ini, tingkah laku guru menggambarkan integrasi antara kepribadian seorang guru sebagai individu dan peranannya sebagai pimpinan di dalam kelas. Dia selain memberikan kritik, juga mau menerima kritikan dari para siswa. Hubungan guru dengan siswa bersifat fleksibel sehingga suasana ini dapat mempertinggi kreativitas siswa karena mereka dapat bekerja sama dan berkreasi tanpa adanya beban mental. Kebijaksanaan yang diambil seorang guru biasanya memberikan kemudahan bagi setiap siswa untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Efeknya, setiap murid biasanya dapat memperoleh kepuasan dalam melaksanakan tugas hubungan ini serta dapat memperlancar jalannya organisasi di kelas maupun organisasi di sekolah yang lebih luas.<br />
<br />
<br />
b. Iklim Mandiri<br />
Dalam bentuk ini, masing-masing mendasarkan pada kemampuan dan tanggung jawab yang mereka miliki. Para siswa mendapatkan kebebasan dari guru untuk mendapatkan kebebasan kebutuhan belajar dan kebutuhan sosial mereka. Mereka tidak terlalu dibebani dengan tugas-tugas yang berat dan menyulitkan mereka. Untuk memperlancar tugas siswa, seorang guru membuat prosedur dan peraturan yang jelas, yang dikomunikasikan di dalam kelas. Yang lebih esensial dalam iklim mandiri ini, antara guru dan siswa bekerja sama dengan baik, penuh tenggang rasa, dan penuh kesungguhan hati. Kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing membuat guru memberikan kelongggaran-kelonggaran sehingga kontrol yang ketat tidak diperlukan karena para murid dipercaya memiliki moral yang cukup tinggi.<br />
c. Iklim Terkontrol<br />
Dalam iklim terkontrol ini, titik sentral kebijakan seorang guru adalah menekankan pada pencapaian prestasi siswa di kelas, tetapi di sisi lain justru mengorbankan kepuasan kebutuhan sosial siswa. Oleh karena tuntutan ini, para guru menjalankan komando mengajar secara kaku dan keras serta siswa diharuskan menjalankan kegiatan belajar dengan keras. Mereka akhirnya sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri sehingga tidak bisa mendapat kesempatan untuk membentuk hubungan kerja yang lebih akrab dan sosialitas tinggi. Hubungan pribadi sesama siswa jarang dilaksanakan karena mereka sibuk dengan pekerjaan atau tugas mereka sendiri-sendiri yang dituntut prestasi dan keberhasilan nyata. Fungsi pimpinan sangat dominan karena tidak adanya fleksibilitas dalam organisasi kelas tersebut. Setiap pembelajaran yang telah terjadwal dijalankan secara ketat dan full dan untuk menjaga keberlangsungan belajarnya guru menerangkan aturan yang keras dan disertai sanksi fisik atau nonfisik yang berlaku mulai saat itu juga.<br />
d. Iklim Persaudaraan<br />
Pada jenis ini, hubungan yang terjadi antara guru dan siswa sangat erat, baik dalam kegiatan belajar maupun kegiatan di luar itu. Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan sosial sangat menonjol, tetapi umumnya guru kurang mempunyai kegiatan yang berorientasi pada fase oriented. Para siswa tidak dibebani dengan tugas-tugas yang menyulitkan, sebab guru berusaha agar para siswa dapat bekerja semudah mungkin dan merasa bahagia. Kelas merupakan satu ikatan keluarga sehingga di antara mereka banyak terjalin komunikasi dan saling menasihati. Pendekatan guru terhadap anak didiknya sangat personal walaupun masih memerankan diri mereka sebagai pimpinan. Dalam kelas seperti ini tidak banyak aturan yang digunakan sebagai pedoman sehingga akibatnya tugas belajar<br />
kurang diperhatikan. Pengaruh lainnya, prestasi belajar kurang optimal karena tidak pernah mendapatkan kritik.<br />
e. Iklim Tertutup<br />
Dalam model ini, seorang guru tidak memberikan kepemimpinan yang memadai kepada para siswa. Ia mengharapkan agar setiap siswa mengembangkan inisiatif masing-masing. Namun ia tidak memberi kebebasan kepada para siswa untuk merealisasikan inisiatif tersebut secara nyata karena tidak adanya keterbukaan dan komunikasi yang efektif. Antara siswa yang satu dengan yang lain kurang dapat bekerja sama dengan baik. Akibatnya, prestasi yang dicapai pun rendah karena seringkali timbul perbedaan persepsi dan pandangan tentang prestasi yang harus ditargetkan. Para guru menerapkan aturan-aturan yang semuanya bersifat sepihak dan kurang memperhatikan kepentingan siswa.<br />
<br />
B. TEORI RUANG KELAS<br />
1. Pendekatan Interaktif<br />
Pendekatan interaksi memberikan perhatian yang khusus terhadap pengamatan pada metode pengajaran dalam mengelola ruang kelas yang efisien. <br />
a. Perilaku Dominatif versus integratif<br />
Pendekatan interaksi memerhatikan bagaimana pengaruh perilaku dominatif yang diperbandingkan dengan perilaku integratif terhadap anak.Guru, dalam perspektif ini, dipandang memiliki perilaku yang berbeda dalam memperlakukan murid atau peserta didik di ruang kelas. Perilaku dominatif memosisikan guru sebagai sebagai sumber kebenaran. Guru juga dipandang sebagai makhluk maha tahu terhadap segala sesuatu. Gurulah sebagai tokoh penentu tentang benar salah terhadap suatu hal, misalnya sikap, perilaku, aktivitas atau kerja.Sebaliknya, anak dianggap sebagai makhluk bodoh, yang senantiasa perlu bimbingan dan arahan dari guru.<br />
Studi perilaku guru telah dilakukan oleh H.H.Anderson, namun studi tersebut, seperti yang dikutif oleh Robinson (1986:128), tidak sampai menjelaskan tentang perilaku seperti apa yang paling efisien dan efektif dalam mengajar di ruang kelas.<br />
<br />
<br />
b. Gaya kepemimpinan guru<br />
Gaya kepemimpinan guru dapat mempengarui produktivitas anak-anak di ruang kelas. Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat dibagi sedikitnya dalam tiga jenis, yaitu autokratik, demokratik, dan laisser faire. Gaya kepemimpinan guru yang autukratik dicirikan dengan kepemimpinan yang otoriter, tidak memberikan ruang bertukar pandangan/pendapat terhadap sesuatu antara guru dan murid, dan tidak memberikan ruang ruang bagi suatu perbedaan terhadap sesuatu. Selanjutnya, gaya kepemimpinan guru yang demokratik ditandai dengan keemimpinan yang demokratis, adanya ruang untuk bertukar pikiran/pendapat/pandangan, dan kebaikan bersama dikontruksikan secara bersama melalui musyawarah. Adapun gaya kepemimpinan laisser-faire dikarakteristikan dengan kepemimpinan yang cuek dan ruang bertukar pandangan atau pendapat tidak diperlukan sebab peserta didik dibolehkan melakukan apa saja apabila dia memandang sesuatu ini penting untuk dilakukan.<br />
Gaya kepemimpinan demokratik diajukan sebagai suatu bentuk gaya yang perlu dikembangkan disekolah. Walaupun produktifitas anak paling tinggi dibawah gaya kepemimpinan autokratik apabila ia hadir dirang kelas. Namun bila ia tidak ada, produktifitasnya rendah, seperti halnya anak-anak dibawah pengasuhan guru yang berpola kepemimpinan laisser-faire.<br />
Gaya kepemimpinan guru disekolah dapat mempengaruhi cara berpikir, merasa dan bertindak siswa dikemudian hari. Bagi siswa yang mengganggap apa-apa yang diterima, diperoleh, dan dipelajari di sekolah merupakan suatu yang baik untuk dijadikan pedoman, referensi atau ujukan dimasa akan datang, maka sikap dan perilaku sosial budaya dan politik siswa ini, secara teoritis hipotesis akan juga bias cermin gaya kepemimpinan gurunya ketika di masa sekolah dahulu. Seberapa jauh bias ini, tergantung pula konteks sosialisasi lainnya , baik primer maupun sekunder.<br />
2. Pendekatn interpretatif<br />
Realitas sosial termasuk ruang kelas, dipahami sebagai kenyataan interaksional yang dipenuhi berbagai simbol. Salah satu proses interpretiatif dipahami oleh W.I.Thomas(1966) sebagai definisi situasi. Bagi Thomas suatu stimulus(rangsangan) tidak langsung dilanjuti dengan tanggapan(respons), tetapi melewati suatu proses penilaian dan pertimbangan melalui pemberian makna terhadap suatu stimulus yang diterima.<br />
Jadi, ketika suatu definisi situasi terbentuk, maka ia digunakan terus meneus digunakan, sehingga sukar untuk mengubahnya. Dengan cara pandang demikian, maka sekali guru mendefinisikan situasi hubungannya dengan seorang murid sebagai seorang bodoh,maka definisi ini akan terus digunakan, sehingga sukar mengubahnya , meskipun murid ini tidak lagi bodoh, misalnya.<br />
Dengan cara pandang definisi sosial, maka pendidikan , menurut Waller, merupakan seni menanamkan definisi situasi yang berlaku pada kaum muda, dan yang sudah diterima oleh golongan penyelanggara sekolah. Dengan demikian , sekolah merupakan suatu alat yang ampuh untuk melakukan kontrol sosial.<br />
3. Pendekatan Radikal<br />
Salah satu teori yang terpentingdalam pendekatan radikal adalah teori pelabelan(teori labelling). Teori ini dikatakan radikal karena ia mempertanyakan sesuatu yang dipandang”memang seharusnya demikian” dan memberiakan alternatif cara pandang dalam melihat sesuatu. Teori pelabelan memiliki akar pemikiran yang sama dengan teori definisi situasi dari W.I.Thomas yaitu perspektif interaksionisme simbolik.<br />
Teori pelabelan memberikan penekanan pada signifikan label(nama,reputasi) yang diberikan pada diri seseorang. Oleh sebab itu ,label dipandang menjadi bagian dari konsep diri seseorang yang membawa seseorang ke arah suatu persepsi , prasangka atau pentimpangan tertentu yang dikenakan pada dirinya.<br />
Dalam teori ini, korban pemberian label dilihat sebagi korban, yaitu korban penggunaan kekuasaan yang semena-mena deri pemegang kekuasaan, suatu bentuk dari abuse of power(penyalahgunaan kekuasaan). <br />
Selanjutnya , apa konsekuensi pemberian label terhadap murid? Dampak pemberian suatu label terhadap murid dalah persepsi, prasangka atau penyimpangan tertentu yang dikenakan pada dirinya.Persepsi dan prasangka ini menciptakan self fulfilling prophecy(pembenaran ramalan pribadi), yaitu suatu ramalan yang mengawali serangkaian peristiwa, yang akhirnya membuat ramalan ini benar-benar menjadi kenyataan, sehingga meraka dikelompokkan sama seperti apa yang mereka persepsikan dan prasangka seperti awalnya. Sementara itu, kurangnya pilihan menyebabkan orang yang dilabel lama kelamaan memandang dirinya sendiri sebagaimana orang lain memandangnya.<br />
<br />
<br />
<br />
KELAS SEBAGAI SISTEM<br />
<br />
<br />
<br />
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Sosiologi Pendidikan Program Study Sosiologi <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Oleh :<br />
RETNO WAHYU WULANDARI<br />
NIM : S25 1108010<br />
<br />
PROGRAM PASCA SARJANA <br />
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK <br />
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA<br />
2012<br />
<br />
KELAS SEBAGAI SISTEM SOSIAL<br />
<br />
Ruang kelas bukan sekedar ruang fisik semata, namun ia melampaui ini yaitu mencakup juga ruang sosial dan budaya.<br />
A. Kelas sebagai Sistem Sosial<br />
Kata system merupakan kata yang berasal dari bahasa yunani, systematos, systema. Tatang Amirin(2003) menyimpulkan systema memiliki pengertian berikut: (1) suatu hubungan yang tersusun ats sekian banyak bagian, dan (2) hubungan yang berlangsung diantara satuan atau komponen secara teratur.<br />
Bagaimana batasan yang diberikan oleh para ahli tentang definisi system? Berikut beberapa pandangan berbagai ahli tentang konsep system, antara lain : (1) menurut Winardi system dikemukakan dalam bukunya Pengantar tentang teori system dan Analisis system, bahwa system merupakan suatu kelompok elemen yang interdependen yang antar berhubungan atau saling mempengaruhi satu sama lain. Sistem merupakan suatu konglomerat hal-hal tertentu yang secara keseluruhan membentuk suatu keseluuhan yang menyatu. (2) , batasan menurut Gabriel A.Almond, bahwa system diartikan sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya suatu organisasi yang berinteraksi dengan suatu lingkungan, yamg mempengaruhinya maupun dipengaruhinya. (3) menurut Robert M.Z.Lawang, adapun inti gagasan Lawang sebagai berikut: system adalah suatu saling ketergantunagn antara satu komponen dan komponen lainnya dalam hubungan timbal balik yang konstan, konstan artinya apa yang terjadi kemarin merupakan perulangan dari yang sebelumnya, dan besuk akan diulang kembali dengan cara yang sama. Dan karena sifatnya kontan inilah, maka pola hubungan interaksi ini memiliki system tertentu. Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa system merupakan suatu kelompok elemen-elemen yang saling berhubungansecara interdependen (saling ketergantungan dan konstan).<br />
Seperti telah didiskusikan terdahulu, sosiolog utama yang dirujuk jika membahas system social adalah Talcott Parsons. Parsons merupakan salah seorang tokoh utama yang mempopulerkan pendekatan system dalam sosiologi kontemporer. Suatu system hanya bisa fungsional apabila semua persyaratan terpenuhi. Ada empat persyaratan fungsional yang dibutuhkan oleh suatu system yaitu: Adaptation/adaptasi (A), Goal attainment/pencapaian tujuan (G), Integration/integrasi (I), dan Latent pattern maintenance/pola pemeliharaan laten.<br />
Dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di sana terdapat gabungan dari r dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan. Ruang kelas memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt, 1984). Hakikat keberadaan kelompok sosial bukan tergantung dari dekatnya jarak fisik, melainkan pada kesadaran untuk berinteraksi, sehingga kelas bersifat permanen dan tidak hanya suatu agregasi atau kolektivitas semata. Pada akhirnya, peran dan fungsi yang diembannya dalam struktur pendidikan lebih terjamin.<br />
1. Struktur Sosial Kelas<br />
Ruang kelas merupakan miniatur dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul person-person dari latar belakang status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda, meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama. Beberapa ciri khas struktur kelas yang memiliki kesamaan dengan masyarakat adalah sebagai berikut:<br />
a. Komposisi Anggota<br />
Heterogenitas adalah aspek umum yang hampir selalu ada di kelas manapun. Di sana, selain latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, juga terdapat perbedaan jenis kelamin (seksualitas) kecuali di sekolah khusus, keberagaman agama, sampai pada karakteristik individu yang saling berlainan secara fisik maupun psikis yang ditandai dengan perbedaan antarpersonalnya. Keberagaman komposisi kelas merupakan warna yang biasa, seperti halnya dalam masyarakat karena institusi pendidikan berlaku universal yang memberi kebebasan bagi siapa saja yang memenuhi syarat untuk bergabung.<br />
b. Struktur Birokratis Berupa Peran dan Status<br />
Di dalam kelas yang majemuk itu, terdapat suatu tata aturan kelas yang diikat oleh sekolah dan diperankan oleh wakil-wakil siswa yang disebut pengurus kelas. Lahirlah berbagai “jabatan” yang terbentuk secara hierarkis sesuai dengan tugas dan kewenangan mereka di dalam kelas, baik itu oleh guru yang berperan sebagai wali kelas maupun siswa-siswanya yang terakumulasi dalam jabatan ketua kelas, sekretaris, bendahara, dan seterusnya. Pola imitatif yang dibawa dari lingkup luar masyarakat ini tersusun karena diperlukannya sistem penegakan tata aturan institusi serta pola pengendalian sosial yang ketat mengingat fungsi dunia pendidikan yang sedemikian nyata sehingga memerlukan tindakan konkret untuk pelestarian fungsi institusi dan segenap norma-norma kelas dan sekolah tersebut. Salah satu bentuknya adalah penetapan status birokratis dari unsur-unsur kelas yang merepresentasikan anggota-anggotanya sebagai wujud dari masyarakat kecil.<br />
2. Pola Komunikasi dalam Kelas<br />
Mari kita pahami lebih dalam dengan contoh hubungan guru-murid. Melalui cara pandang ruang kelas sebagai system pertukaran. Kita bisa melihat bahwa hubungan guru-murid sebagai suatu system pertukaran. Hubungan guru-murid sebagai suatu system pertukaran terbentuk apabila unsur atau item, dalam hal ini guru dan para murid,memiliki ketergantungan terhadap suatu pertukaran yang terus menerus atau ajek. Dalam system pertukaran, guru dan murid dipandang mempunyai ketergantungan satu sama lain dalam rangka memperoleh keuntungan, baik bersfat ekstrinsik berupa materi dan benda maupun intrinsic berupa nilai(peringkat), penghargaan, pengakuan,perhatian, cinta, dan kasih saying. Apa yang dilakukan guru berujung pada pendapatan finansial yang layak,penghargaan,pengakuan,kecintaan terhadap murid, orang tua/wali murid, dan kepala sekolah. Adapun para murid dalam proses pertukaran berusaha memeperoleh nilai, penghargaan, kasih saying, perhatian, cinta dari guru.<br />
Komunikasi menjadi elemen penting dalam segala kegiatan di kelas karena memungkinkan adanya pertukaran interaksi timbal balik antara warga kelas (murid-murid ataupun murid-guru). Selain itu, arti penting komunikasi dalam pencapaian tujuan belajar di kelas adalah untuk mengkomunikasikan dan menyalurkan informasi dan keterampilan. Konsekuensi logisnya, setiap kelas memerlukan adanya pola alur komunikasi yang berjalan secara lancar dan efektif dari masing-masing pihak. Aktivitas penyampaian informasi dari guru dijelaskan dalam berbagai paparan tentang materi pelajaran beserta penjelasannya yang kadang disertai dengan berbagai tugas dan pertanyaan yang disampaikan kepada murid sebagai bentuk komunikasi dari guru. Sebaliknya siswa bisa merespon dengan bertanya, menjawab, berdiskusi dengan teman sekelas dan sebagainya, manapun dengan aktivitas di luar pelajaran. Namun, aspek ini tidak sesederhana itu, melainkan dititikberatkan pada peran komunikasidalam keberlangsungan kelas, sesuai dengan beberapa eksperimententang komunikasi kelas oleh beberapa ahli, antara lain oleh Bavelas dan Leavit (dalam Horton dan Hunt, 1999), yang menghasilkan beberapa pola komunikasi yang telah diuji dalam eksperimennya tahun 1958. Hasil kesimpulan dari eksperimen tersebut adalah bahwasanya pola komunikasi mempengaruhi kegiatan, kepuasan, kecepatan dan kecermatan dalam menemukan permasalahan baik pada tingkat individu maupun kelompok. Dua pola keempat (terpusat/setir) di mana dalam pola melingkar terjadi pemerataan peran dan status serta kepemimpinan masing-masing anggotanya, terdapat keaktifan anggota dan seluruh anggotanya puas terhadap kinerja meskipun kelompok masih sedikit melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah. Sebaliknya pada tipe yang terpusat, mereka cenderung terorganisasi secara cepat dalam memecahkan masalah dengan kesalahan yang relatif sedikit, kelompok tersebut sangat kuat dan stabil walaupun seluruh kegiatan kelompok itu belum tentu memuaskan semua anggotanya. Leavit mengatakan bahwasanya pemusatan ini dianggap karena posisi pemimpinnya yang fungsi utamanya menerima, mengorganisasi dan mengirim berita. Dalam hal ini, secara faktor kesemuanya terwujud dalam bentuk kegiatan belajar kelas yang selama ini diterapkan yaitu sentralisasi peran guru yang sangat besar. Selama ini, guru memang menjadi pusat komunikasi kelas dan mendominasi setiap kegiatan penyaluran informasi ini melalui penyampaian materi pelajaran, memberikan pertanyaan, mendeskripsikan penjelasan dan lain sebagainya.<br />
Model komunikasi secara terpusat ini mengandung beberapa implikasi yaitu, pertama, struktur komunikasi kelas dimaksud paling tidak memuaskan seluruh anggota kelompok, kecuali anggota yang paling sentral (dalam hal ini adalah guru). Kedua, tipe kelompok ini dianggap paling produktif dalam menyelesaikan secara tepat tugas-tugas yang jelas strukturnya, akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan hasil tindakan orang yang memegang peranan sentral. Pola komunikasi kelompok ini sangat terpusat (highly centralized group) tampak sangat teratur dan efisien dikarenakan tindakan anggotanya yang pasif. Dengan kata lain, komunikasi yang terbentuk hanyalah komunikasi dengan pemimpinnya saja. Dalam sistem ini, pemegang peranan sentral akan banyak bisa belajar dan merasa puas dengan posisi dan kelompoknya akan tetapi efeknya, individu lain tidak banyak memperoleh kesempatan untuk belajar.<br />
3. Iklim Sosial di Kelas<br />
Bagaimana guru mengontrol kelas? Kenapa ada situasi yang berbeda dalam kelas yang sama? Jika seorang guru sedabg menerangkan suatu pelajaran kepda muridnya pada suatu kelas, suasana kelas tampak terkendali. Kelas merupakan perwujudan masyarakat heterogen kecil di mana di dalamnya terdapat variasi komposisi dan hubungan antarpersonal yang melahirkan mekanisme interaksi sosial yang kontinu. Mekanisme ini terus berlanjut dala lingkup sosialnya (di kelas) dan secara faktual terakumulasi ke dalam bentuk-bentuk hubungan antara individu-individu di dalam suatu kelas ataupun hubungan kelompok. Hal terpenting adalah interelasi yang terjadi antara guru dengan murid yang melambangkan bentuk konkret dari suasana kelas dan membentuk suatu iklim sosial. <br />
Pembentukan iklim sosial kelas sangat bergantung pada variasi hubungan guru-murid serta alur penerimaan informasi dan komunikasi yang kesemuanya dinaungi dalam sebuah koridor gaya kepemimpinan dariseorang guru, baik yang mengikuti kepemimpinan terpusat (sentralistik), demokratis maupun gaya kepemimpinan yang memberi kebebasan penuh (laissez faire) kepada para muridnya. Dariperpaduan itulah terbentuk berbagai macam iklim sosial di kelasyang merefleksikan bentuk hubungan vertikal kelas antara gurumuriddalam kegiatan belajar di dalam kelas yang sangat mempengaruhikeberhasilan siswa dalam kegiatan belajar ataupunbersosialisasi didalamnya.Menurut Faisal dan Yasik (1985) terdapat enam iklim sosialyang timbul di kelas yaitu sebagai berikut.<br />
a. Iklim Terbuka<br />
Dalam iklim terbuka ini, tingkah laku guru menggambarkan integrasi antara kepribadian seorang guru sebagai individu dan peranannya sebagai pimpinan di dalam kelas. Dia selain memberikan kritik, juga mau menerima kritikan dari para siswa. Hubungan guru dengan siswa bersifat fleksibel sehingga suasana ini dapat mempertinggi kreativitas siswa karena mereka dapat bekerja sama dan berkreasi tanpa adanya beban mental. Kebijaksanaan yang diambil seorang guru biasanya memberikan kemudahan bagi setiap siswa untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Efeknya, setiap murid biasanya dapat memperoleh kepuasan dalam melaksanakan tugas hubungan ini serta dapat memperlancar jalannya organisasi di kelas maupun organisasi di sekolah yang lebih luas.<br />
<br />
<br />
b. Iklim Mandiri<br />
Dalam bentuk ini, masing-masing mendasarkan pada kemampuan dan tanggung jawab yang mereka miliki. Para siswa mendapatkan kebebasan dari guru untuk mendapatkan kebebasan kebutuhan belajar dan kebutuhan sosial mereka. Mereka tidak terlalu dibebani dengan tugas-tugas yang berat dan menyulitkan mereka. Untuk memperlancar tugas siswa, seorang guru membuat prosedur dan peraturan yang jelas, yang dikomunikasikan di dalam kelas. Yang lebih esensial dalam iklim mandiri ini, antara guru dan siswa bekerja sama dengan baik, penuh tenggang rasa, dan penuh kesungguhan hati. Kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing membuat guru memberikan kelongggaran-kelonggaran sehingga kontrol yang ketat tidak diperlukan karena para murid dipercaya memiliki moral yang cukup tinggi.<br />
c. Iklim Terkontrol<br />
Dalam iklim terkontrol ini, titik sentral kebijakan seorang guru adalah menekankan pada pencapaian prestasi siswa di kelas, tetapi di sisi lain justru mengorbankan kepuasan kebutuhan sosial siswa. Oleh karena tuntutan ini, para guru menjalankan komando mengajar secara kaku dan keras serta siswa diharuskan menjalankan kegiatan belajar dengan keras. Mereka akhirnya sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri sehingga tidak bisa mendapat kesempatan untuk membentuk hubungan kerja yang lebih akrab dan sosialitas tinggi. Hubungan pribadi sesama siswa jarang dilaksanakan karena mereka sibuk dengan pekerjaan atau tugas mereka sendiri-sendiri yang dituntut prestasi dan keberhasilan nyata. Fungsi pimpinan sangat dominan karena tidak adanya fleksibilitas dalam organisasi kelas tersebut. Setiap pembelajaran yang telah terjadwal dijalankan secara ketat dan full dan untuk menjaga keberlangsungan belajarnya guru menerangkan aturan yang keras dan disertai sanksi fisik atau nonfisik yang berlaku mulai saat itu juga.<br />
d. Iklim Persaudaraan<br />
Pada jenis ini, hubungan yang terjadi antara guru dan siswa sangat erat, baik dalam kegiatan belajar maupun kegiatan di luar itu. Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan sosial sangat menonjol, tetapi umumnya guru kurang mempunyai kegiatan yang berorientasi pada fase oriented. Para siswa tidak dibebani dengan tugas-tugas yang menyulitkan, sebab guru berusaha agar para siswa dapat bekerja semudah mungkin dan merasa bahagia. Kelas merupakan satu ikatan keluarga sehingga di antara mereka banyak terjalin komunikasi dan saling menasihati. Pendekatan guru terhadap anak didiknya sangat personal walaupun masih memerankan diri mereka sebagai pimpinan. Dalam kelas seperti ini tidak banyak aturan yang digunakan sebagai pedoman sehingga akibatnya tugas belajar<br />
kurang diperhatikan. Pengaruh lainnya, prestasi belajar kurang optimal karena tidak pernah mendapatkan kritik.<br />
e. Iklim Tertutup<br />
Dalam model ini, seorang guru tidak memberikan kepemimpinan yang memadai kepada para siswa. Ia mengharapkan agar setiap siswa mengembangkan inisiatif masing-masing. Namun ia tidak memberi kebebasan kepada para siswa untuk merealisasikan inisiatif tersebut secara nyata karena tidak adanya keterbukaan dan komunikasi yang efektif. Antara siswa yang satu dengan yang lain kurang dapat bekerja sama dengan baik. Akibatnya, prestasi yang dicapai pun rendah karena seringkali timbul perbedaan persepsi dan pandangan tentang prestasi yang harus ditargetkan. Para guru menerapkan aturan-aturan yang semuanya bersifat sepihak dan kurang memperhatikan kepentingan siswa.<br />
<br />
B. TEORI RUANG KELAS<br />
1. Pendekatan Interaktif<br />
Pendekatan interaksi memberikan perhatian yang khusus terhadap pengamatan pada metode pengajaran dalam mengelola ruang kelas yang efisien. <br />
a. Perilaku Dominatif versus integratif<br />
Pendekatan interaksi memerhatikan bagaimana pengaruh perilaku dominatif yang diperbandingkan dengan perilaku integratif terhadap anak.Guru, dalam perspektif ini, dipandang memiliki perilaku yang berbeda dalam memperlakukan murid atau peserta didik di ruang kelas. Perilaku dominatif memosisikan guru sebagai sebagai sumber kebenaran. Guru juga dipandang sebagai makhluk maha tahu terhadap segala sesuatu. Gurulah sebagai tokoh penentu tentang benar salah terhadap suatu hal, misalnya sikap, perilaku, aktivitas atau kerja.Sebaliknya, anak dianggap sebagai makhluk bodoh, yang senantiasa perlu bimbingan dan arahan dari guru.<br />
Studi perilaku guru telah dilakukan oleh H.H.Anderson, namun studi tersebut, seperti yang dikutif oleh Robinson (1986:128), tidak sampai menjelaskan tentang perilaku seperti apa yang paling efisien dan efektif dalam mengajar di ruang kelas.<br />
<br />
<br />
b. Gaya kepemimpinan guru<br />
Gaya kepemimpinan guru dapat mempengarui produktivitas anak-anak di ruang kelas. Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat dibagi sedikitnya dalam tiga jenis, yaitu autokratik, demokratik, dan laisser faire. Gaya kepemimpinan guru yang autukratik dicirikan dengan kepemimpinan yang otoriter, tidak memberikan ruang bertukar pandangan/pendapat terhadap sesuatu antara guru dan murid, dan tidak memberikan ruang ruang bagi suatu perbedaan terhadap sesuatu. Selanjutnya, gaya kepemimpinan guru yang demokratik ditandai dengan keemimpinan yang demokratis, adanya ruang untuk bertukar pikiran/pendapat/pandangan, dan kebaikan bersama dikontruksikan secara bersama melalui musyawarah. Adapun gaya kepemimpinan laisser-faire dikarakteristikan dengan kepemimpinan yang cuek dan ruang bertukar pandangan atau pendapat tidak diperlukan sebab peserta didik dibolehkan melakukan apa saja apabila dia memandang sesuatu ini penting untuk dilakukan.<br />
Gaya kepemimpinan demokratik diajukan sebagai suatu bentuk gaya yang perlu dikembangkan disekolah. Walaupun produktifitas anak paling tinggi dibawah gaya kepemimpinan autokratik apabila ia hadir dirang kelas. Namun bila ia tidak ada, produktifitasnya rendah, seperti halnya anak-anak dibawah pengasuhan guru yang berpola kepemimpinan laisser-faire.<br />
Gaya kepemimpinan guru disekolah dapat mempengaruhi cara berpikir, merasa dan bertindak siswa dikemudian hari. Bagi siswa yang mengganggap apa-apa yang diterima, diperoleh, dan dipelajari di sekolah merupakan suatu yang baik untuk dijadikan pedoman, referensi atau ujukan dimasa akan datang, maka sikap dan perilaku sosial budaya dan politik siswa ini, secara teoritis hipotesis akan juga bias cermin gaya kepemimpinan gurunya ketika di masa sekolah dahulu. Seberapa jauh bias ini, tergantung pula konteks sosialisasi lainnya , baik primer maupun sekunder.<br />
2. Pendekatn interpretatif<br />
Realitas sosial termasuk ruang kelas, dipahami sebagai kenyataan interaksional yang dipenuhi berbagai simbol. Salah satu proses interpretiatif dipahami oleh W.I.Thomas(1966) sebagai definisi situasi. Bagi Thomas suatu stimulus(rangsangan) tidak langsung dilanjuti dengan tanggapan(respons), tetapi melewati suatu proses penilaian dan pertimbangan melalui pemberian makna terhadap suatu stimulus yang diterima.<br />
Jadi, ketika suatu definisi situasi terbentuk, maka ia digunakan terus meneus digunakan, sehingga sukar untuk mengubahnya. Dengan cara pandang demikian, maka sekali guru mendefinisikan situasi hubungannya dengan seorang murid sebagai seorang bodoh,maka definisi ini akan terus digunakan, sehingga sukar mengubahnya , meskipun murid ini tidak lagi bodoh, misalnya.<br />
Dengan cara pandang definisi sosial, maka pendidikan , menurut Waller, merupakan seni menanamkan definisi situasi yang berlaku pada kaum muda, dan yang sudah diterima oleh golongan penyelanggara sekolah. Dengan demikian , sekolah merupakan suatu alat yang ampuh untuk melakukan kontrol sosial.<br />
3. Pendekatan Radikal<br />
Salah satu teori yang terpentingdalam pendekatan radikal adalah teori pelabelan(teori labelling). Teori ini dikatakan radikal karena ia mempertanyakan sesuatu yang dipandang”memang seharusnya demikian” dan memberiakan alternatif cara pandang dalam melihat sesuatu. Teori pelabelan memiliki akar pemikiran yang sama dengan teori definisi situasi dari W.I.Thomas yaitu perspektif interaksionisme simbolik.<br />
Teori pelabelan memberikan penekanan pada signifikan label(nama,reputasi) yang diberikan pada diri seseorang. Oleh sebab itu ,label dipandang menjadi bagian dari konsep diri seseorang yang membawa seseorang ke arah suatu persepsi , prasangka atau pentimpangan tertentu yang dikenakan pada dirinya.<br />
Dalam teori ini, korban pemberian label dilihat sebagi korban, yaitu korban penggunaan kekuasaan yang semena-mena deri pemegang kekuasaan, suatu bentuk dari abuse of power(penyalahgunaan kekuasaan). <br />
Selanjutnya , apa konsekuensi pemberian label terhadap murid? Dampak pemberian suatu label terhadap murid dalah persepsi, prasangka atau penyimpangan tertentu yang dikenakan pada dirinya.Persepsi dan prasangka ini menciptakan self fulfilling prophecy(pembenaran ramalan pribadi), yaitu suatu ramalan yang mengawali serangkaian peristiwa, yang akhirnya membuat ramalan ini benar-benar menjadi kenyataan, sehingga meraka dikelompokkan sama seperti apa yang mereka persepsikan dan prasangka seperti awalnya. Sementara itu, kurangnya pilihan menyebabkan orang yang dilabel lama kelamaan memandang dirinya sendiri sebagaimana orang lain memandangnya.<br />
<br />
<br />
<br />Retno Sosiologihttp://www.blogger.com/profile/05064436971676102162noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-135174975849666515.post-13905709530950080892012-03-19T20:50:00.000-07:002012-03-19T20:50:46.021-07:00Materi Sosiologi Bab perubahan sosialBAB I<br />PERUBAHAN SOSIAL<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />RINGKASAN MATERI<br />A. Batasan tentang Perubahan Sosial <br />1. Pengertian Perubahan Sosial <br />Yang dimaksud dengan perubahan sosial adalah perubahan situasi dalam masyarakat baik perubahan progresif maupun regresif sebagai akibat adanya ketidaksesuaian diantara unsur-unsur sosial yang ada sehingga membentuk suatu pola kehidupan dan aktivitas yang baru. Pada masyarakat tradisional perubahan-perubahan sosial yang terjadi semata-mata didasarkan pada unsur-unsur alam. Tetapi pada masyarakat modern perubahan-perubahan ini mutlak ditentukan oleh tangan dan pikiran manusia dalam bentuk suatu perencanaan pembangunan yang matang.<br />Ciri-ciri perubahan sosial pada masyarakat tradisional:<br />a. Proses perubahannya berlangsung secara lambat<br />b. Tanpa adanya suatu perencanaan yang matang <br />c. Proses perubahannya berlangsung relatif lebih kondusif artinya tidak mengundang banyak pertentangan dan permusuhan di antara unsur sosial yang ada.<br />d. Proses perubahannya didasarkan pada tradisi-tradisi yang ada<br />Ciri-ciri perubahan pada masyarakat modern:<br />a. Proses perubahannya berlangsung secara cepat<br />b. Adanya perencanaan yang matang serta diadministrasikan secara sistematis<br />c. Seringkali proses perubahannya berlangsung secara tidak kondusif artinya sering mengundang banyak pertentangan dan permusuhan di antara unsur sosial yang ada.<br />d. Proses perubahannya bersifat rasional yang dilandasi oleh akal pikir manusia dan ilmu pengetahuan.<br /><br />2. Teori-teori tentang Perubahan Sosial <br />Ada beberapa teori tentang bagaimana proses perubahan sosial budaya terjadi dalam masyarakat. Teori-teori itu antara lain: <br />a. Menurut Pitiran A. Sorokin <br />Pitirin Sorokin berpendapat bahwa perubahan sosial dalam masyarakat bsia bersifat periodik maupun bersifat non periodik. Lebih jauh Pitirin Sorokin mengatakan bahwa kalau perubahan-perubahan dalam masyarakat itu terjadi secara periodik, yang bersifat tetap, maka justru perubahan yang terjadi merupakan perubahan-perubahan yang kurang baik. Perubahan yang baik justru perubahan yang bersifat fleksibel sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat sesuai dengan perkembangan yang diperlukan.<br /><br />b. Menurut F. Ogburn <br />Menurut Ogburn bahwa perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat disebabkan karena adanya kondisi-kondisi tertentu, misalnya kondisi ekonomis, kondisi teknologis, kondisi geografis, kondisi biologis, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada aspek kehidupan sosial lainnya.<br /><br /><br />c. Menurut Mac Iver dan Charles H. Page <br />Menurut Mac Iver dan Charles H. Page perubahan sosial dalam masyarakat terjadi karena masyarakat ingin mempertahankan keseimbangan sementara waktu terus berjalan, keadaan yang ada dalam masyarakat tidak lagi sesuai dengan keinginan. Oleh sebab itu masyarakat dituntut untuk melakukan penyesusian agar keseimbangan dalam masyarakat tetap terwujud. <br /><br />d. Menurut Samuel Koening <br />Menurut Samuel Koening dalam bukunya yang berjudul Man and Society dijelaskan bahwa perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat merupakan sesuatu yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia itu sendiri.<br /><br />3. Karakteristik Manusia Modern sebagai Acuan Sumber Daya Manusia dalam Perubahan <br />Menurut Prof. Alex Inkeles (Amerika Serikat), ada 9 unsur, yaitu:<br />a. Menghargai waktu dan berorientasi masa depan.<br />b. Memiliki perencanaan dan pengorganisasian.<br />c. Percaya diri, manusia modern percaya bahwa seseorang dapat belajar untuk menguasai lingkungan.<br />d. Memiliki sikap untuk menerima hal-hal yang baru dan terbuka untuk perubahan.<br />e. Menyatakan pendapat (opini) mengenal lingkungan sendiri di luar lingkungannya serta bersikap demokratis.<br />f. Perhitungan, segala persoalan dapat dipecahkan oleh lembaga-lembaga yang ada.<br />g. Menghargai harkat manusia lain.<br />h. Lebih percaya pada ilmu dan teknologi.<br />i. Menjunjung tinggi suatu sikap dimana imbalan yang diterima seseorang harus seimbang dengan prestasinya dalam masyarakat.<br /><br /><br /><br />ASAH OTAK<br />Wacana <br />PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA<br />Indonesia yang merupakan negara demokrasi terus mengalami proses perubahan menuju peningkatan demokratisasi yang bergulir sejak bulan Mei tahun 1998 yang lalu tepatnya dengan berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Proses perubahan masyarakat Indonesia menuju pilar-pilar demokrasi terasa semakin mendekati perkembangan yang menggembirakan. Sistem pemerintahan demokrasi memang dibenarkan bahwa rakyat memiliki kedaulatan untuk turut menentukan arah perubahan dalam roda pemerintahan negara. Akhir-akhir ini kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat terasa semakin meningkat. Salah satu indikasinya adalah semakin banyaknya unjuk rasa dan demonstasi masyarakat luas terhadap kebijakan tertentu yang diambil oleh aparat pemerintah maupun aparat swasta.<br />Di sisi lain demokrasi yang berkembang di Indonesia belumlah sedewasa demokrasi yang berkembang di negara maju seperti Inggris, Amerika, Australia atau negara-negara maju lainnya. Di negara kita seringkali demokrasi disalahgunakan oleh kepentingan-kepentingan politik yang tidak bersinergi positif. Semestinya semua kebijakan pemerintah yang baik harus didukung oleh semua komponen bangsa termasuk pihak oposisi. Tetapi sebaliknya kebijakan pemerintah yang salah sangat diperlukan suara pihak oposisi sebagai balance atau pengendalian terhadap kebijakan yang salah.<br />Pertanyaan<br />1. Apakah demokrasi itu?<br />2. Jelaskan bahwa demokrasi itu mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan sistem pemerintahan kerajaan!<br />3. Bagaimana pendapat anda tentang demokrasi dan kebebasan bersuara di Indonesia ini?<br />4. Apa yang harus kita perbuat dalam melaksanakan proses demokrasi menuju kemajuan bangsa Indonesia?<br />5. Sebutkan sisi negatif dari kebebasan bersuara bagi masyarakat luas di Indonesia!<br /><br />B. Proses Perubahan Sosial dalam Masyarakat <br />Berlangsungnya proses perubahan yang terjadi dalam setiap masyarakat sangat berbeda-beda. Ada yang cepat, ada pula yang lambat tergantung dari kondisi-kondisi alam, situasi kependudukan, dan situasi sosial budaya yang ada dalam masyarakat tersebut. Tetapi secara umum proses perubahan mengalami 3 tahapan utama, yaitu sebagai berikut:<br />1. Tahap Interaksi Budaya <br />Melalui kontaks dan komunikasi dengan masyarakat lain baik yang dilakukan secara individual maupun yang dilakukan secara kolektif telah memungkinkan adanya keinginan untuk meniru kemudian mengambil dan mengadopsi ke dalam struktur budaya sendiri. Tahap awal yang ditandai dengan bentuk-bentuk interaksi yang efektif antara struktur budaya yang satu dengan struktur budaya yang lain adalah tahap interaksi budaya. Tahap interaksi budaya ini akan menjadi efektif apabila dilakukan oleh reference group dalam suatu masyarakat. Artinya bahwa reference group ini merupakan pemimpin atau kelompok yang menjadi panutan dalam masyarakat. Sebagai contoh rombongan kepala negara yang berkunjung ke beberapa negara tetangga akan membuat kontak yang sangat intensif dan proses yang cepat untuk mengadopsi segala macam yang dianggap baik yang ada pada negara-negara yang dikunjungi. Misalnya masalah hukum, pendidikan, benih-benih tanaman unggul, produk-produk industri dan lain-lain. Tetapi apabila kontak dan komunikasi dilakukan oleh membership group yaitu kelompok-kelompok dalam masyarakat yang hanya berkedudukan sebagai anggota akan membuat proses percampuran unsur kebudayaan berlangsung kurang efektif.<br /><br />2. Tahap Identifikasi Kebudayaan <br />Pada dasarnya tahap identifikasi tahap kebudayaan merupakan tahap yang kedua setelah tahap kontak dan komunikasi berlangsung antara dua unsur masyarakat yang memiliki struktur budaya yang berbeda. Tahap identifikasi ini berlangsung dengan ditandai adanya proses seleksi terhadap unsur-unsur yang perlu dan memberikan manfaat sehingga dapat melengkapi unsur-unsur kebudayaan sendiri menjadi lebih baik. Proses identifikasi ini sangat ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut.<br />a. Adanya kesesuaian tingkat peradaban antara masyarakat yang mengadopsi dengan masyarakat yang diadopsi. Biasanya masyarakat yang diadopsi cenderung memiliki tingkat peradaban yang lebih tinggi daripada masyarakat yang mengadopsi. <br />b. Adanya kesesuaian tata nilai antara masyarakat yang mengadopsi dengan masyarakat yang diadopsi.<br />c. Adanya jalinan yang efektif dan akrab antara struktur masyarakat yang mengadopsi dengan struktur masyarakat yang diadopsi.<br /><br />3. Tahap Implementasi Budaya <br />Pada dasarnya tahap akhir dari proses perubahan sosial melalui kontak dan komunikasi dengan kebudayaan lain adalah tahap implementasi budaya. Dalam pelaksanaannya tahap implementasi budaya ditandai dengan penerapan unsur-unsur budaya masyarakat lain dalam struktur budaya sendiri. Untuk mengefektifkan proses implementasi ini diperlukan lembaga-lembaga sosial sebagai saluran yang efektif dalam proses implementasi budaya. Proses kelembagaan ini dilakukan mulai dari struktur sosial yang tertinggi hingga struktur sosial yang terendah. Prosesnya berlangsung secara infiltrasi ke dalam unsur-unsur kebudayaan masyarakat yang terkenal dengan nama institusionalised. <br /><br />C. Macam-macam Perubahan Sosial <br />Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung secara cepat maupun secara lambat. Perubahan-perubahan itu dapat memberikan pengaruh yang besar dan signifikan maupun perubahan-perubahan yang tidak membawa pengaruh. Adakalanya proses perubahan yang terjadi berlangsung secara paksaan atau otoriter maupun perubahan yang berlangsung secara damai. Untuk membahas lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat ditinjau dari bermacam-macam segi antara lain sebagai berikut: <br />1. Menurut Cepat Lambatnya Proses Perubahan <br />Perubahan sosial dan kebudayaan merupakan suatu gejala sosial yang pasti terjadi pada setiap masyarakat. Perubahan-perubahan ini terjadi sebagai akibat adanya pergaulan antar manusia dengan menyesuaikan perkembangan jaman dan peradaban manusia itu sendiri. Apabila kondisi masyarakat bersifat stabil dan kondusif, perubahan-perubahan yang terjadi merupakan suatu perubahan lambat yang bersifat menyempurnakan dari tahapan-tahapan berikutnya (evolusi). Tetapi apabila kondisi dalam masyarakat relatif bergejolak, maka perubahan dapat terjadi secara cepat dan fundamental. Inilah yang dinamakan revolusi. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang perubahan sosial dilihat dari cepat lambatnya proses perubahan akan diuraikan berikut ini.<br />a. Revolution <br />Pada dasarnya revolusi adalah suatu bentuk perubahan sosial dan budaya masyarakat yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat terhadap perubahan-perubahan yang bersifat sangat substansial. Revolusi sosial akan terjadi apabila memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut: <br />1) Adanya keinginan yang kuat dari sebagian atau sebagian besar warga masyarakat untuk melakukan perubahan.<br />2) Adanya pemimpin yang cakap dan berwibawa yang dapat menampung aspirasi warga masyarakat.<br />3) Adanya momentum atau waktu yang tepat.<br />4) Adanya dukungan yang relatif luas dari kalangan masyarakat.<br />Di Indonesia setidaknya telah terjadi suatu revolusi sosial selama 3 kali antara lain:<br />• Revolusi sosial yang terjadi sekitar Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945. Pada masa itu terjadi perubahan yang signifikan pada struktur pemerintahan, dari pemerintahan Hindia Belanda berganti sistem pemerintahan yang dipimpin oleh bangsa sendiri.<br />• Revolusi sosial yang terjadi pada akhir pemerintahan orde lama, yaitu sekitar tahun 1965-1966. Pada masa itu terjadi suatu revolusi sosial yang cukup signifikan yang ditandai dengan kelahiran orde baru sebagai suatu tatanan kehidupan untuk merombak tatanan kehidupan orde lama.<br />• Revolusi sosial yang terjadi pada akhir pemerintahan orde baru, yaitu sekitar tahun 1998. Pada masa itu terjadi suatu revolusi pemerintahan yang ditandai dengan berkembangnya pilar demokrasi kebebasan pers dan pemberantasan KKN. Sistem yang menggantikan adalah sistem pemerintahan masa reformasi hingga berlanjut pada pemerintahan kabinet Indonesia bersatu. <br /><br />b. Evolution <br />Yang dimaksud dengan evolusi adalah perubahan sosial dalam masyarakat yang berlangsung dalam waktu yang relatif panjang dengan substansi perubahan yang relatif sedikit dan bersifat menyempurnakan dari tahapan sebelumnya. Evolusi sosial terjadi justru dalam keadaan yang tertib dan harmonis karena dalam kondisi yang demikian ini masyarakat relatif terpenuhi semua keinginan dan harapannya dan tidak memungkinkan terjadinya konflik-konflik yang bersifat frontal.<br /><br />2. Menurut Ada Tidaknya Perencanaan Terhadap Perubahan Tersebut <br />a. Perubahan yang Direncanakan (Direct Changes)<br />Pada dasarnya direct change adalah perubahan yang direncanakan atau diprogramkan secara matang sebelum perubahan itu dilakukan. Di Indonesia perencanaan perubahan sosial dilakukan secara periodik yaitu setiap 5 tahun sekali yang disusun dalam bentuk garis-garis besar haluan negara (GBHN). Melalui GBHN inilah gambaran kehidupan seluruh bangsa akan terlihat dan terprogram untuk jangka waktu 5 tahun ke depan.<br />Perencanaan pembangunan yang baik yang merupakan perwujudan dari perencanaan perubahan sosial masyarakat, adalah perencanaan pembangunan yang penyusunannya melibatkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat, sehingga sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa. Apabila suatu program pembangunan dapat memenuhi kriteria tersebut di atas maka suatu program pembangunan akan mendapat dukungan dari kalangan luas masyarakat.<br />Perubahan yang direncanakan identik dengan istilah pembangunan, yaitu upaya melakukan perubahan secara terencana dan terprogram pada masa-masa sebelumnya. Pada dasarnya pembangunan merupakan serangkaian aktivitas yang teratur, terarah dan sistematis yang berupa aktivitas perbaikan dan penyempurnaan serta penagdaan hal-hal yang baru dalam rangka meningkatkan derajat kemakmuran. Untuk mengenal lebih lanjut mengenai pembangunan ini berikut akan dibahas berbagai hal yang berkaitan dengan upaya pembangunan yang dilakukan di Indonesia.<br />a. Tujuan Pembangunan <br />Tujuan pembangunan merupakan arah perubahan yang resmi yang akan dicapai bangsa Indonesia, oleh sebab itu pembangunan harus disosialisasikan kepada seluruh rakyat tanpa kecuali agar dapat dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia secara jujur. Mayoritas masyarakat Indonesia belum mengetahui tujuan pembangunan kita sekarang ini, oleh sebab itu juga sangat mustahil untuk dapat melaksanakannya. Tujuan pembangunan kita ke depan antara lain:<br />1) Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh,<br />2) Terwujudnya manusia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai iptek, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. <br />Dari visi pembangunan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan di Indonesia ke depan adalah bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang tertentu serta manusia yang tertentu pula.<br />Dalam kaitannya dengan masyarakat bertujuan:<br />1) Mewujudkan masyarakat yang damai, demokratis dan berkeadilan.<br />2) Mewujudkan masyarakat yang berdaya saing yang berarti menguasai mental yang baik serta menguasai Iptek<br />3) Mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera yang berarti memiliki peradaban yang tinggi memiliki perekonomian yang kuat dimana sandang, pangan dan papan dapat sepenuhnya terpenuhi.<br />Sedang dalam kaitannya dengan manusia-manusia yang dinginkan adalah:<br />1) Mewujudkan manusia yang sehat<br />2) Mewujudkan manusia yang mandiri<br />3) Mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa dan berakhlak mulia<br />4) Mewujudkan manusia yang cinta tanah air<br />5) Mewujudkan manusia yang berdasarkan hukum<br />6) Mewujudkan manusia yang menguasai Iptek<br />7) Mewujudkan manusia yang memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisplin<br /><br />b. Syarat-syarat Keberhasilan Pembangunan Menurut Tinjauan Sosiologis <br />1) Adanya stabilitas nasional yang sehat baik jasmani maupun rohani<br />2) Adanya aparatur pemerintah yang cakap berwibawa<br />3) Adanya partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat<br />4) Adanya perencanaan pembangunan yang baik dan realistis<br />5) Adanya modal dasar pembangunan yang positif<br /><br />c. Faktor Pendorong dan Penghambat Pembangunan <br />1) Faktor Pendorong Menurut Prof. Koentjaraningrat<br />Menurut Koentjaningrat nilai-nilai budaya suatu masyarakat yang dapat merupakan faktor pendorong pembangunan antara lain sebagai berikut:<br />• Nilai budaya berorientasi ke masa depan<br />Nilai budaya semacam ini mendorong manusia untuk melihat dan merencanakan masa depannya dengan lebih seksama dan teliti. Oleh karena itu, akan memaksa manusia untuk hidup berhati-hati dan berhemat.<br />• Nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan dan kekuatan alam<br />Nilai semacam ini akan menambah kemungkinan inovasi terutama dalam teknologi<br />• Nilai budaya tetap mau berusaha/berikhtiar<br />Manusia memandang hidup penuh dengan tantangan dan penderitaan, tetapi tetap mau berusaha supaya hidup ini menjadi lebih baik.<br />• Nilai budaya gotong-royong<br />Gotong royong merupakan ciri khas kepribadian bangsa Indonesia yang sudah turun-temurun.<br />Tentang nilai gotong royong ini, orang Indonesia mempunyai konsep sebagai berikut:<br />- Manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi di kelilingi oleh komunitas, masyarakat dan alam sekitarnya. Di dalam sistem makrokosmos tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai suatu unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar.<br />- Manusia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengans sesamanya.<br />2) Faktor Penghambat Pembangunan<br />Satu hal yang dapat menghambat pelaksanaan pembangunan adalah kurangnya partisipasi masyarakat yang dapat berupa sikap-sikap negatif antara lain:<br />• Pasrah menerima, yaitu sikap pasif. Artinya tidak ada reaksi positif terhadap keadaan dan perubahan yang terjadi.<br />• Kurang disiplin, yaitu suatu sikap mental seenaknya dalam berbagai hal terutama tidak mentaati peraturan-peraturan dan hukum yang berlaku.<br />• Kurang suka kerja keras, yaitu suatu sikap mental ogah-ogahan, santai dan suka mengulur-ulur waktu dalam pekerjaan.<br />• Tidak jujur, yaitu suatu sikap mental yang dalam berbagai pekerjaan dan kegiatan selalu mencari untung sendiri dengan jalan yang tidak dibenarkan, misalnya manipulasi, korupsi dan sebagainya.<br />• Hidup boros, yaitu sikap mental yang melakukan segala sesuatu dengan berlebih-lebihan, sehingga tidak tepat guna dan efisien.<br />• Tertutup terhadap pembaharuan, yaitu sikap mental yang tidak mau menerima perubahan-perubahan. Sikap tertutup ini dapat terjadi karena kepicikan, tapi dapat juga karena vested interest, yakni adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat dan dalam pada sekelompok masyarakat.<br />Berprasangka terhadap pembaharuan, yaitu suatu sikap mental yang memandang bahwa perubahan itu mempunyai akibat yang buruk, dan berwawasan sempit, sehingga secara tidak langsung akan membawa kepicikan bagi yang bersikap seperti itu. Padahal, justru dalam usaha pembangunan sangat dibutuhkan manusia sebagai pendukung pembangunan yang memiliki wawasan berpikir sangat luas.<br /><br />b. Perubahan yang Tidak Direncanakan (Indirect Change) <br />Yang dimaksud dengan indirect change adalah perubahan sosial suatu masyarakat yang berjalan secara alamiah (tidak diprogramkan sebelumnya). Perubahan yang seperti ini terjadi pada masyarakat dimana penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi belum sepenuhnya mampu mengolah dan mengendalikan alam untuk kepentingan hidup manusia. Masyarakat yang mempunyai tipe perubahan demikian ini adalah masyarakat terbelakang (under development country) dan masyarakat berkembang (development country). Tetapi melalui proses pergaulan antar bangsa dewasa ini hampir seluruh negara di dunia telah merencanakan matang-matang bentuk-bentuk perubahan kehidupan secara terencana.<br />Perubahan yang tidak direncanakan (indirect change) merupakan perubahan sosial masyarakat yang tidak terkendali artinya berada di luar kemampuan dan jangkauan manusia. Perubahan-perubahan ini seringkali berupa perubahan-perubahan yang dikendalikan oleh alam maupun perubahan-perubahan manusia sebagai akibat untuk menyesuaikan dengan kondisi-kondisi alam. Contoh-contoh perubahan yang tidak direncanakan antar lain: <br />1) Adanya peledakan penduduk, yaitu bertambahnya jumlah penduduk dalam jumlah yang snagat besar dalam waktu yang relatif pendek. Perubahan ini akan mengakibatkan terjadinya penurunan pendapatan, penurunan kualitas hidup, munculnya pengangguran, meningkatnya kriminalitas, meningkatnya harga tanah dan masih banyak lagi. <br />2) Munculnya perumahan kumuh dan pedagang kali lima di kota-kota besar. Apabila kita amati fenomena munculnya perumahan-perumahan kumuh dan pedagang kaki lima serta rumah-rumah liar ini merupakan fenomena nyata yang mengakiabtkan perubahan tatanan kehidupan di kota di luar perencanaan Pemda setempat. Perubahan sosial seperti ini sebagai akibat adanya peningkatan pengangguran atau sebaliknya perluasan lapangan pekerjaan di kota-kota besar. Masih banyak lagi contoh-contoh perubahan sosial serta fenomena-fenomena sosial yang ada di dalam masyarakat yang muncul secara tidak direncanakan.<br /><br />3. Menurut Besar Kecilnya Pengaruh<br />Sebagaimana telah kita ketahui bahwa kndisi masyarakat selalu mengalami perubahan. Perubahan-perubahan itu selalu menimbulkan pro dan kontra artinya darisuatu perubahan pasti ada pihak-pihak yang diuntungkan dan apsti ada pihak-pihak yang dirugikan. Hal itu terjadi karena setiap perubahan ada pengaruh baik yang buruk maupun yang baik dan pengaruh-pengaruh itu ada yang bersifat meluas ke seluruh penjuru kehidupan ada pula perubahan yang bersifat lokalistis. Untuk pembahasan tentang besar kecilnya perngaruh perubahan akan diuraikan berikut.<br />a. Perubahan yang tidak membawa pengaruh <br />Suatu perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat tidak akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap segi kehidupan yang lain apabila: <br />1) Perubahan itu terjadi pada ranting-ranting sub sistem sosial<br />2) Perubahan itu terjadi bersifat lokalistik karena tidak punya kaitan sistem dengan unsur-unsur sosial yang lain.<br />Contoh-contoh perubahan yang tidak membawa pengaruh besar:<br />• Perubahan mode pakaian <br />• Perubahan mode rumah <br />• Perubahan mode rambut<br /><br />b. Perubahan yang membawa pengaruh besar <br />Suatu perubahan sosial dalam masyarakat akan membawa pengaruh besar apabila:<br />1) Perubahan itu terjadi pada inti sistem yang terdapat dalam masyarakat.<br />2) Perubahan itu memberikan pengaruh terhadap segi kehidupan yang lain karena secara ekonomis berkaitan dengan segi-segi kehidupan yang lain.<br />Contoh perubahan sosial yang membawa pengaruh besar:<br />• Perubahan figur seorang presiden serta perubahan susunan kabinetnya<br />• Perubahan harga bahan bakar minyak<br />• Perubahan tarif listrik, telpon, dan air minum <br />• Perubahan suku bunga bank sentral <br />• Perubahan ejaan dalam bahasa<br /><br /><br /><br /><br />4. Menurut Waktu dan Proses Perubahannya <br />Dalam kehidupan sosial adakalanya perubahan terjadi dipengaruhi oleh adanya sistem-sistem tertentu. Misalnya adanya pergantian waktu masa pemerintahan, adanya pergantian musim, adanya tahun-tahun anggaran dan adanya periodisasi kegiatan sosial dalam masyarakat. Dengan adanya hal-hal tersebut perubahan terjadi dalam kurun waktu yang relatif tetap atau bersifat periodik. Tetapi di balik itu ada pula perubahan-perubahan yang bersifat alamiah dan liar semata-mata ditentukan penuh oleh alam. Mengenai saat-saat perubahan sosial itu terjadi kita mengenal perubahan periodik dan perubahan non periodik.<br />a. Perubahan yang Bersifat Periodik <br />Pada dasarnya perubahan periodik adalah perubahan sosial dalam masyarakat yang terjadi dalam kurun waktu yang tertentu sebagai akibat adanya sistem periodisasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Contoh perubahan periodik:<br />1) Perubahan musim tanam dalam kegiatan pertanian, misalnya pada musim hujan para petani banyak menanam padi. Tetapi pada musin kemarau para petani banyak menanam palawija. <br />2) Perubahan GBHN yang terjadi setiap 5 tahun sekali saat adanya pergantian anggota MPR hasil pemilihan umum yang baru.<br /><br />b. Perubahan yang Bersifat Non Periodik <br />Pada dasarnya perubahan non periodik adalah perubahan-perubahan yang terjadi secara tidak menentu yang dipengaruhi langsung oleh kondisi alam, misalnya:<br />1) Terjadinya bencana alam, gempa bumi, tanah longsor, badai dan topan, dan lain-lain yang terjadi pada saat-saat tertentu yang tidak dpat dipastikan. <br />2) Terjadinya wabah penyakit seperti antrak, Flu burung, penyakit kuku dan mulut dan lain-lain yang juga terjadi secara tidak menentu.<br /><br /><br /><br /><br />ASAH OTAK<br />Wacana<br />PRO KONTRA TENTANG PERUBAHAN HARGA MINYAK<br />Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak terikat oleh kesepakatan bersama yang dibuat oleh lembaga negara-negara penghasil minyak OPEC. Di pasaran dunia cenderung terjadi perubahan harga minyak menuju peningkatan. Hal ini dipicu oleh peningkatan produksi kendaraan bermotor dan ekspansi perusahaan untuk memperluas pemasarannya. Pada akhir tahun 2004 ini harga minyak dunia melambung tinggi, lebih dari 60%. Kenaikan ini disisi lain harga jual BBM produksi dalam negeri mengalami peningkatan tetapi di sisi lain subsidi yang harus dibayar pemerintah kepada pertamina juga menjadi semakin besar jauh melebihi prakiraan harga dalam penyusunan RAPBN.<br />Apabila kenaikan BBM dilakukan di tengah-tengah badai krisis ekonomi yang belum sembuh, akan membuat masyarakat menengah ke bawah mengalami tekanan ekonomi karena kenaikan BBM pasti diikuti oleh kenaikan harga barang yang lain. kejadian ini secara sosiologis akan menimbulkan kemerosotan moral dan ditandai dengan meningkatnya delinkuensi dan kriminalitas. Tetapi apabila harga BBM tidak dinaikkan maka pemerintah akan menjadi gepeng dan keropos karena harus mengeluarkan sejumlah subsidi untuk membayar kompensasi harga kepada pertamina.<br />Pertanyaan<br />1. Apakah yang dimaksud dengan OPEC itu?<br />2. Mengapa harga minyak dunia mengalami kecenderungan naik pada akhir tahun 2004?<br />3. Bagaimana menurut pendapat anda untuk mengatasi delematis tentang kenaikan harga BBM tersebut di atas?<br />4. Apa solusinya untuk mengatasi demonstrasi massa yang menentang kenaikan BBM?<br />5. Jelaskan bagaimana kaitan antara kenaikan BBM dengan menurunnya kualitas moral masyarakat! <br /><br />D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sosial <br />1. Faktor-faktor Penyebab Perubahan Sosial <br />Pada umumnya perubahan sosial dalam masyarakat disebabkan faktor-faktor yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri. Tetapi ada pula masyarakat modern dengan sistem jaringan komunikasi yang bersifat global banyak faktor-faktor luar masyarakat yang turut berpengaruh terhadap bentuk-bentuk perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Adapun faktor-faktor penyebab perubahan yang berasal dari dalam masyarakat meliputi kondisi penduduk, kreativitas terhadap penemuan hal-hal yang baru serta adanya gejolak sosial dari masyarakat itu sendiri.<br />Setiap kali terjadi perubahan maka yang harus dicermati adalah perubahan-perubahan itu harus diupayakan mengarah pada perubahan-perubahan yang progresif dengan sekecil mungkin memberikan dampak yang negatif bagi kalangan luas masyarakat. Pembahasan lebih lanjut tentang faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat adalah sebagai berikut.<br />a. Faktor yang berasal dari dalam masyarakat <br />1) Keadaan bertambah atau berkurangnya penduduk <br />Apabila jumlah penduduk bertambah secara signifikan maka yang terjadi adalah perbagai macam bentuk penyesuaian dalam pemenuhan kebutuhannya, misalnya pendirian unit-unit sekolah baru, rumah sakit, pelebaran jalan, munculnya pemukiman baru, pasar, swalayan, tempat hiburan dan lain-lain. Begitu pula jika terjadi suatu proses transisi demografi yang ebrsifat menurun maka secara mendadak jumlah penduduk berkurang sangat besar. Kondisi ini juga akan menimbulkan yang signifikan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat, misalnya yang terjadi di Jepang pada tahun 1945 paska bom atom Hirosima dan Nagasaki.<br />2) Adanya penemuan-penemuan baru<br />Penemuan baru dapat berbentuk discovery dan invention. Kedua-duanya akan menimbulkan suatu inovasi yang langsung berpengaruh dalam tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian penemuan-penemuan baru akan merombak tata kehidupan masyarakat yang lama yang dirasa tidak lagi sesuai. Sebagai contoh dengan berkembangnya stasiun televisi swasta yang beroperasi nonstop sepanjang waktu mengakibatkan gedung-gedung bioskop tidak lagi layak menjadi tempat hiburan seperti dulu. Perubahan ini terjadi karena adanya penemuan baru di bidang dunia pertelevisian, sistem rekaman, dan sistem pengiriman data rekaman. <br />3) Adanya pertentangan atau konflik sosial dalam masyarakat <br />Pada masyarakat multikultural secara struktural terdapat banyak budaya yang berlainan serta terdapat perbedaan sistem tata nilai antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Kondisi seperti ini pada umumnya akan menyebabkan terjadinya konflik. Dan setiap konflik ada kecenderungan membuat pihak tertentu menang atau kalah. Selanjutnya pihak-pihak yang menang akan melakukan suatu perubahan-perubahan sosial sesuai dengan misi mereka masing-masing. Dengan demikian suatu konflik dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat. Sementara konflik masih berkelanjutan, pihak yang menang kembali menjadi pihak yang kalah. Dan yang terjadi adalah perombakan sistem pemerintahan dan peraturan perundangan yang ada. Demikian terjadi berulang kali dalam masyarakat.<br />4) Terjadinya revolusi sosial dalam masyarakat itu sendiri<br />Pada dasarnya revolusi sosial adalah suatu bentuk perubahan cepat dan mendasar yang didukung oleh massa dalam jumlah yang besar. Revolusi sosial dapat berbentuk suatu peperangan berdarah atau tidak berdarah tetapi yang pasti revolusi sosial dalam rangka memunculkan perubahan-perubahan struktur sosial dalam suatu masyarakat. Contoh-contoh revolusi sosial telah disajikan di atas.<br /><br />b. Faktor yang berasal dari luar masyarakat <br />Dewasa ini dunia telah mengalami perkembangan telekomunikasi yang sangat pesat yang membuat seolah-olah dunia ini menjadi satu lingkungan kampung yang saling berdekatan. Keadaan ini disebabkan oleh adanya telekomunikasi melalui satelit yang dapat berlangsung nonstop dengan biaya yang relatif murah dan dapat menjangkau seluruh penjuru dunia. Keadaan yang demikian mengakibatkan faktor-faktor dari luar masyarakat secara efektif dapat mempengaruhi kondisi-kondisi dalam masyarakat sehingga terjadilah perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat tersebut. Adapun faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat itu antara lain:<br /><br /><br />1) Pengaruh adanya peperangan antar bangsa<br />Ada kecenderungan bahwa diantara bangsa-bangsa yang mempunyai lokalitas yang sama membentuk suatu ikatan kerjasama di berbagai segi kehidupan. Misalnya ASEAN, APEC, NATO dan lain-lain. Ada pula ikatan-ikatan kerjasama antar negara yang dibentuk berdasarkan kesamaan ideologis, misalnya OKI. Ikatan-ikatan kerjasama antar negara itu seringkali menjadi kelompok-kelompok pro dan kelompok-kelompok kontra. Dengan demikian peperangan antar bangsa snagat memungkinkan timbulnya pengaruh-pengaruh yang menguntungkan maupun yang merugikan dalam kehidupan suatu masyarakat.<br />2) Adanya pengaruh dari kebudayaan lain <br />Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa komunikasi yang menglobal mengakibatkan jalinan sosial antar bangsa menjadi sangat akrab. Kondisi ini mengakibatkan pengaruh-pengaruh yang efektid dari bangsa lain masuk ke dalam suatu bangsa. Misalnya dalam bentuk perdagangan, pendidikan, idiologi, seni, kemilietran dan lain sebagainya. <br />3) Pengaruh faktor-faktor alam <br />Lingkungan alam memang senantiasa mengalami perubahan-perubahan. Selanjutnya berubahnya lingkungan alam dapat mempengaruhi perubahan sosial dalam masyarakat. Contoh-contoh peruabhan lingkungan alam yang dapat mempengaruhi perubahan sosial budaya dalam masyarakat antara lain:<br />• Perubahan siang dan malam <br />• Perubahan suhu, tekanan, kelembaban<br />• Perubahan iklim, musim<br />• Perubahan kesuburan tanah<br />• Perubahan arah angin, dll <br /><br />2. Faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial<br />Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa perubahan sosial dapat terjadi karena faktor-faktor yang berasal dari dalam masyarakat maupun faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat. Setelah proses perubahan itu mulai bergulir ada faktor-faktor yang membuat perubahan tersebut bergulir menjadi lebih cepat atau bergulir menjadi lebih lambat. Faktor-faktor itulah yang dimaksud faktor pendorong dan faktor penghambat terhadap proses perubahan sosial dalam masyarakat. <br />a. Faktor Pendorong Perubahan Sosial dalam Masyarakat <br />Suatu proses perubahan akan menjadi lebih cepat karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses perubahan itu sendiri. Faktor-faktor itu antara lain:<br />1) Adanya kontak yang intensif<br />Apabila terjadi kontak dan komunikasi yang efektif antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, antara komponen masyarakat yang satu dengan komponen masyarakat yang lain, hal ini dapat mempercepat proses perubahan sosial dari masyarakat tersebut. Kontak yang intensif ini sebagai contoh adalah lokasi yang strategis. Masyarakat yang terletak pada daerah-daerah yang strategis yang mudah dijangkau oleh arus informasi dan arus inovasi dari masyarakat lain, masyarakat ini akan cenderung berubah dan berkembang lebih cepat bila dibandingkan dengan kondisi masyarakat yang sama yang berada jauh di pedalaman. Ini membuktikan bahwa komunikasi yang intensif dapat memeprcepat proses perubahan sosial masyarakat. <br />2) Adanya struktur masyarakat yang terbuka<br />Setiap masyarakat memiliki strukturnya sendiri-sendiri. Pada masyarakat tradisional mempunyai struktur yang sangat terikat oleh tradisi-tradisi masyarakat sehingga hubungan antar komponen masyarakat termasuk antar strata yang ada di dalam masyarakat berjalan secara lambat dan tersekat-sekat. Tetapi sebaliknya pada masyarakat modern yang mempunyai struktur sosial yang praktis dan rasional membuat struktur itu terbuka antar komponen masyarakat yang ada. Struktur masyarakat yang terbuka ini berarti memberikan peluang komunikasi yang bebas antar komponen masyarakat. Selanjutnya terbukanya komunikasi antar komponen masyarakat ini dapat mempercepat proses perubahan sosial bagi masyarakat yang mempunyai struktur terbuka itu. <br />3) Adanya struktur masyarakat yang heterogen <br />Pada masyarakat tradisional seperti masyarakat petani di pedalaman, masyarakat nelayan yang belum maju, mereka mempunyai suatu sistem sosial yang seragam, mempunyai mata pencaharian yang seragam serta mempunyai pola pikir dan presepsi yang seragam pula. Tetapi pada masyarakat perkotaan dimana unsur masyarakatnya sangat heterogen membuat ide-ide baru tercetus dan berpindah dari kelompok masyarakat yang satu kepada kelompok masyarakat yang lain. Heterogenits inilah akan mendorong munculnya aktivitas sosial yang lebih bermacam-macam ketimbang struktur yang homogen.<br />4) Adanya sikap toleransi<br />Persepsi masyarakat terhadap keberadaan dirinya seringkali menilai lebih tinggi dari kondisi masyarakat yang lain. Keadaan ini justru akan menghambat proses perubahan bagi masyarakatnya. Tapi sebaliknya dengan adanya toleransi sosial dalam arti mau memberi dan mau menerima terhadap hal-hal yang baru antar komponen dalam masyarakat akan memungkinkan terjadinya jalinan komunikasi yang baik. Keadaan ini dapat mempercepat proses perubahan sosial bagi masyarakat tersebut. Sebagai salah satu pertimbangan, orang yang besar toleransinya pasti akan banyak sahabat-sahabatnya. Dengan banyak sahabat-sahabatnya berarti banyak terjadi jalinan komunikasi dan pertukaran ide-ide dari orang lain. Kondisi inilah yang mendorong orang yang besar toleransinya berkembang pengetahuan sosialnya lebih cepat.<br />5) Adanya sikap mau menerima unsur kebudayaan lain <br />Adakalnya suatu masyarakat sangat fanatis artinya sulit untuk menerima masuknya unsur-unsur budaya lain karena menaruh kecurigaan terhadap unsur-unsur yang baru tersebut. Tetapi sebaliknya ada pula masyarakat yang bersifat terbuka artinya mau menerima masuknya unsur-unsur budaya yang lain. Apabila suatu masyarakat mempunyai sikap terbuka mau menerima unsur-unsur budaya lain walaupun dengan seleksi, maka akan membuat proses perubahan sosial bagi masyarakat tersebut relatif cepat.<br /><br />6) Adanya sikap tidak cepat puas terhadap apa yang telah dicapai<br />Apabila seseorang mempunyai sifat sulit untuk mencapai kepuasan dalam bekerja, maka orang itu akan cenderung menyempurnakan pekerjaannya ke arah yang lebih sempurna dan lebih baik lagi. Keadaan ini berlaku juga untuk sifat-sifat suatu masyarakat. Apabila hal ini terjadi masyarakat akan mempunyai perkembangan yang lebih pesat menuju kehidupan yang lebih baik.<br />7) Adanya lembaga pendidikan yang maju <br />Lembaga pendidikan pada dasarnya merupakan pusat budaya masyarakat artinya di dalam lembaga pendidikan terdapat proses transformasi nilai-nilai pengetahuan serta ketrampilan yang ada di dalam masyarakat. Melalui lembaga pendidikan yang maju dapat mempercepat proses transformasi budaya dari generasi tua kepada generasi muda.<br /><br />b. Faktor Penghambat Perubahan Sosial dalam Masyarakat <br />Tidak selamanya kondisi-kondisi dalam masyarakat selalu mendukung proses perubahan sosial dalam masyarakat tersebut. Tetapi ada kalanya justru terdapat kondisi-kondisi tertentu yang menghambat proses perubahan itu. Adapun hal-hal yang dapat menjadi penghambat proses perubahan sosial masyarakat adalah sebagai berikut.<br />1) Adanya social esolation (keterpencilan)<br />Masyarakat yang mempunyai kedudukan jauh di pedalaman dan jauh dari jangkauan transformasi dan informasi akan mengalami perlambatan dalam proses perkembangan menuju kemajuan. Pada dasarnya isolasi sosial juga dapat terjadi karena sifat masyarakat yang menutup diri bukan semata-mata berada di daerah yang terpencil. Keadaan yang demikian juga dapat menyebabkan perlambatan proses perubahan sosial.<br />2) Adanya struktur masyarakat yang tertutup<br />Sebagaimana disinggung di atas apabila masyarakat memiliki struktur yang tertutup berarti jalinan komunikasi antar komponen masyarakat terhambat oleh sekat-sekat tradisi dan norma-norma kebiasaan. Kondisi masyarakat yang seperti ini dapat menjadi penyebab terjadinya perlambatan proses perkembangan masyarakat itu sendiri.<br />3) Adanya struktur masyarakat yang homogen<br />Apabila kondisi masyarakat lebih bersifat seragam dalam mata pencaharian, struktur budaya, persepsi, maka akan membuat kemungkinan munculnya peluang ide-ide baru yang rendah. Kalau toh ada ide-ide baru itu juga bersifat seragam melingkup pada bidang yang sama yang dialami oleh banyak orang dalam masyarakat itu. Oleh karena itu harus diketahui khususnya dalam dunia pendidikan, tekanan-tekanan untuk menyeragamkan sesuatu sungguh merupakan suatu hambatan yang besar dalam proses perkembangan kejiwaan seorang anak.<br />4) Adanya sikap superior<br />Yang dimaksud dengan sikap superior adalah sikap sombong dan meremehkan pihak lain atau unsur-unsur masyarakat yang lain. Adanya sikap superior ini membuat orang tertutup untuk mengetahui hal-hal yang baru yang sesungguhnya perlu diketahui dan berada di dalam masyarakat yang dianggap remeh tadi. Pada akhirnya kejadian yang demikian ini akan membuat superior justru tertinggal dari perkembangan masyarakat pada umumnya.<br />5) Adanya sikap tertutup terhadap pembaharuan <br />Sikap tertutup terhadap pembaharuan salah satunya disebabkan karena sikap fanatik, yaitu sikap yang bersifat saklek yang menganggap sesuatu yang baik dan benar hanya pada dirinya atau sesuatu yang menjadi pilihannya. Sikap yang demikian ini sesungguhnya telah menghambat masuknya unsur-unsur baru yang lebih luas dari masyarakat yang lain.<br />6) Adanya sikap cepat puas terhadap apa yang telah dicapai<br />Apabila seseorang selalu mempunyai selera yang rendah berarti orang itu gampang mencapai suatu kepuasan walaupun belum dapat mencapai prestasi yang tinggi. Orang yang demikian ini mempunyai minat dan dorongan emosi yang rendah. Akibatnya ogah-ogahan untuk mengejar kemajuan yang lebih tinggi yang terkadang sulit dicapai. Hal serupa berlaku pula pada sifat-sifat masyarakat. Selanjutnya masyarakat yang mempunyai sifat apatis dan cepat puas terhadap apa yang dicapai dan dimiliki telah membuat proses perkembangan menjadi lambat. <br />7) Adanya lembaga pendidikan yang tertinggal<br />Sebagaimana disinggung di atas bahwa sekolah/lembaga pendidikan merupakan suatu pusat kebudayaan artinya di sekolah itulah terdapat budaya-budaya masyarakat yang sehari-hari dipakai dan dikembangkan. Dan di dalam lembaga pendidikan itu pula selalu terjadi proses transformasi nilai, pengetahuan dan ketrampilan dari generasi tua ke generasi muda. Maka dengan lembaga pendidikan yang tertinggal proses perkembangan masyarakat secara otomatis juga terhambat.<br /><br />E. Dampak Perubahan Sosial terhadap Kehidupan Masyarakat <br />Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak ada satu masyarakatpun yang berhenti dari perubahan. Ini berarti bahwa setiap masyarakat cepat atau lambat selalu terjadi proses perubahan. Setiapkali terjadi perubahan mesti ada pihak-pihak yang diuntungkan dan ada pihak-pihak yang dirugikan. Dengan demikian kita semua harus pandai dan peka terhadap perubahan agar tidak menjadi korban dari perubahan itu sendiri. <br />Pada dasarnya yang dimaksud dengan modernisasi adalah proses perubahan masyarakat beserta dengan kebudayaannya dari hal-hal yang bersifat tradisional menuju hal-hal yang bersifat modern. Proses modernisasi ini merombak pola pikir yang didasarkan pada tradisi-tradisi menjadi pola pikir yang rasional yang mengacu pada penalaran atau akal pikir manusia.<br />Globalisasi pada hakekatnya merupakan suatu kondisi meluasnya budaya yang seragam bagi seluruh masyarakat di dunia. Apabila seluruh masyarakat di dunia telah memiliki satu sistem budaya yang sama, maka boleh dikatakan proses globalisasi telah selesai. Proses globalisasi ini muncul sebagai akibat adanya arus informasi dan komunikasi yang selalu online setiap saat dan dapat dijangkau dengan biaya yang relatif murah. Sebagai akibatnya adalah masyarakat dunia menjadi satu lingkungan yang seolah-olah saling berdekatan dan menjadi satu sistem pergaulan dan satu sistem budaya yang sama.<br />Modernisasi dan globalisasi sebagai suatu perkembangan baru memunculkan pengaruh-pengaruh yang menguntungkan maupun yang merugikan, maka sebaiknya proses modernisasi dan globalisasi harus diseleksi secara matang dan bijaksana agar tidak menimbulkan pengkerdilan kemampuan manusia serta pengekrdilan struktur budaya masyarakat setempat. Melalui modernisasi dan globalisasi akan terjadi suatu aliran perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya-budaya khususnya dari negara-negara maju menuju ke negara-negara berkembangan dan terbelakang. Proses ini secara makro memang merupakan proses alam yang pasti terjadi sepanjang sejarah hidup manusia. Tetapi di sisi lain aliran ilmu pengetahuan dan teknologi budaya ini pasti akan menggusur dan memarjinalkan budaya-budaya lokal. Itulah sebabnya berikutr ini akan dibahas secara khusus mengenai dampak modernisasi dan globalisasi. <br />1. Pengaruh-pengaruh Positif Modernisasi dan Globalisasi <br />Sebagaimana telah kita ketahui bahwa modernisasi sesungguhnya merupakan suatu perkembangan dari rasionalisasi yaitu suatu gerakan untuk membuat segala sesuatu menjadi rasional dan dapat diterima oleh penalaran manusia. Perkembangan ini merupakan suatu kemajuan dalam struktur budaya manusia di seluruh dunia. Dampaknya adalah budaya-budaya tradisioal yang bersifat irasional akan termarjinalisasikan bahkan hanyut oleh budaya-budaya hasil modernisasi. Seiring dengan perkembgangan modernisasi di seluruh penjuru dunia, secara tidak disadari budaya-budaya masyarakat dunia telah hampir seragam seperti misalnya : adanya 5 bahasa internasional, adanya organisasi perdagangan dunia WTO, adanya lembaga-lembaga perserikatan bangsa-bangsa seperti WHO, Bank Dunia, IMF, ILO dan lain-lain. Kondisi yang demikian ini telah membuat masyarakat dunia menajdi satu sistem pergaulan apalagi dengan dibukanya sistem perdagangan bebas dari seluruh masyarakat dunia. Adapun pengaruh-pengaruh positif dan negatif dari proses modernisasi yang bergulir di seluruh penjuru dunia antara lain sebagai berikut:<br />a. Pengaruh positif modernisasi <br />Memang sejak awal modernisasi merupakan suatu rencana besar yang dilakukan oleh golongan cerdik pandai (scientist) untuk memajukan peradaban manusia. Upaya-upaya ini berbentuk perombakan pandangan-pandangan irasional menajdi pandangan-pandangan yang rasional sehingga efektifitas dan produktifitas kerja manusia akan meningkat. Adapun pengaruh-pengaruh modernisasi yang positif misalnya:<br />1) Meningkatnya efektifitas dan efisiensi kerja manusia sebagai akibat bertambahnya pengetahuan, bertambahnya peralatan teknologi yang serba canggih serta bertambahnya jarak jangkauan komunikasi antar manusia di dunia.<br />2) Meningkatnya produktivitas kerja manusia. Hasilnya dapat dilihat dalam bentuk meningkatnya produk-produk barang pada setiap prabrik sebagai akibat munculnya mekanisasi industri serta robotisasi. Keadaan ini telah membuat barang-barang produksi yang dihasilkan oleh manusia dalam aktivitas industri melonjak sangat signifikan. <br />3) Meningkatnya volume ekspor <br />Sebagai kelanjutan dari meningkatnya produktivitas kerja manusia dalam bentuk barang-barang hasil industri, maka dilanjutkan dengan meningkatnya volume perdagangan ke luar negeri (ekspor).<br />4) Tersedianya berbagai macam barang konsumsi<br />Melalui mekanisasi industri telah menghasilkan barang-barang konsumsi dalam jumlah besar dan bervariasi. Ini berarti bahwa barang-barang pemuas kebutuhan tersedia dalam banyak pilihan.<br />5) Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi<br />Modernisasi memang pada mulanya berawal di dunia pendidikan yang ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan an teknologi. Selanjutnya ilmu pengetahuan dan teknologi membuahkan suatu industrialsiasi dan meningkatkan peradapan dan pendapatan manusia. Pada perkembangan yang terakhir ilmu pengetahuan dan teknologi akan terdorong maju dengan tersedianya peluang-peluang pendapatan yang dimiliki oleh manusia akibat modernisasi itu sendiri.<br />6) Meluasnya lapangan pekerjaan <br />Dengan bertambahnya jumlah industri di seluruh penjuru dunia sesungguhnya telah membuat lapangan pekerjaan baru khususnya bagi mereka-mereka yang mempunyai bekal ketrampilan dan ilmu pengetahuan. Tetapi bagi mereka yang tidak memiliki bekal ketrampilan dan ilmu pengetahuan, kehadiran industri justru akan mendesak keberadaan mereka sebagai tenaga kerja.<br />7) Munculnya profesionalisme dan spesialisasi ketenagakerjaan <br />Industrialisasi serta dunia kerja yang dilengkapi dengan komputer dan peralatan canggih lainnya menuntut adanya profesionalisme dari setiap tenaga kerja. Disamping itu juga menuntut keahlian secara khusus (spesialisasi).<br /><br />b. Pengaruh positif globalisasi <br />Apabila kita amati dengan seksama bahwa globalisasi memunculkan celah-celah angin segar bagi sekelompok manusia seperti konsumen serta pengembangan hak-hak asasi manusia dalam berbagai hal. Adapun pengaruh-pengaruh positif dari globalisasi itu antara lain:<br />1) Adanya alternatif yang sangat bervariasi mengenai penyediaan barang-barang konsumsi<br />2) Adanya kecenderungan bagi konsumen untuk mendapatkan harga barang-barang secara murah.<br />3) Lancarnya proses penanaman modal dari negara donor pada negara-negara penerima modal<br />4) Lancarnya komunikasi antar individu maupun antar kelompok dalam skup wilayah sedunia<br />5) Lancarnya proses transaksi ekonomi antar negara maupun antar benua<br /><br />2. Pengaruh-pengaruh Negatif Modernisasi dan Globalisasi <br />Sebagaimana disinggung di depan bahwa di balik keuntungan-keuntungan akibat modernisasi dan globalisasi juga muncul pengaruh-pengaruh yang negatif yang merugikan kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Untuk membahas hal tersebut ikutilah keterangan berikut.<br />a. Pengaruh Negatif Modernisasi <br />Modernisasi yang seringkali tampak sebagai munculnya peralatan-peralatan baru serta sistem-sistem berpikir yang rasional telah menimbulkan dampak yang negatif antara lain:<br />1) Adanya perusakan alam dan pencemaran lingkungan <br />Dengan diketemukannya berbagai macam peralatan pertambangan, kehutanan, perikanan dan peternakan maka eksploitasi terhaap sumber-sumber alam seringkali berlebihan sehingga menimbulkan perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan alam itu sendiri. Sebagai contoh dengan munculnya gergaji mesin yang amat sangat efektif untuk menabang kayu, maka akan memeprcepat proses perusakan hutan seluruh dunia dan apabila hutan telah rusak maka yang terjadi adalah banjir dan tanah longsor yang mengerikan.<br />2) Adanya sikap konsumeristis <br />Yang dimaksud dengan sikap konsumeristis adalah sikap yang tergantung untuk membeli dan memakai produk-produk barang yang dihasilkan industri. Sebagai akibat dari sikap yang demikian ini masyarakat menjadi boros dan kurang mandiri dalam mengatasi berbagai permasalahan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kata lain konsumerisme adalah meluasnya sikap konsumtif di kalangan luas masyarakat.<br />3) Adanya penurunan kualitas moral manusia (demoralisasi) <br />Industrialsiasi sebagai perwujudan dari modernisasi telah menghasilkan berbagai macam produk barang pemuas kebutuhan hidup yang menarik untuk dimiliki. Keadaan ini telah membuat orang-orang tidak mampu tidak dapat menahan keinginannya sehingga mengambil jalan pintas untuk menipu korupsi termasuk mencuri barang-barang yang diingikannya. Dengan demikian sekecil apapun modernisasi telah membuat kriminalitas meningkat di dalam masyarakat.<br />4) Adanya keresahan sosial<br />Pada dasarnya keresahan sosial adalah suatu problema yang sulit untuk dipecahkan tetapi melanda banyak warga masyarakat. Keadaan yang seperti ini menimbulkan suatu kegelisahan atau keresakan sosial. Salah satu sebab terjadinya keresahan sosial misalnya adalah karena perkembangan teknologi peralatan manusia itu sendiri. Contoh: jalannya macet karena telah mengalami kelebihan jumlah mobil. <br />5) Menurunnya kemandirian dalam menghadapi masalah <br />Industrialisasi telah menghasilkan berbagai macam barang untuk membantu pekerjaan manusia seperti telepon, mobil, sepeda motor, kipas angin, mesin cuci, pompa air, setrika listrik, komputer dan lain-lain. Dengan bantuan peralatan tersebut di atas pekerjaan manusia menjadi mudah. Tetapi manakala peralatan-peralatan itu rusak atau tidak ada maka seseorang bisa berubah kemampuannya seperti orang yang lumpuh dan pemalas.<br />6) Meningkatnya sikap egois dan materislistis<br />Industrialisasi memang membuat manusia menjadi terbantu pekerjaan dan permasalahannya. Dengan demikian manusia tidak lagi membutuhkan keberadaan orang lain sehingga menjadi egois. Di sisi lain industrialisasi telah menghasilkan barang-barang yang sangat menarik untuk dimiliki. Keadaan ini telah membuat orang mencintai barang-barang yang bersifat keduniawian (materialistis).<br /><br />b. Pengaruh negatif globalisasi <br />Globalisasi dilihat dari dunia industri memang merupakan suatu ajang pertandingan diantara banyak peserta yang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Pertandingan ini tentu akan dimenangkan oleh mereka-mereka yang berkemampuan tinggi, yaitu industri-industri yang berada di negara maju yang telah lama memiliki kinerja dan sistem efisiensi yang tinggi. Sementara industri-industri yang manual dan industri-industri dengan sistem mekanis yang belum memiliki efisiensi yang tinggi akan gulung tikar. Adapun contoh-contoh konkrit dari pengaruh globalisasi antara lain:<br />1) Adanya tekanan-tekanan ekonomis dari negara-negara yang kuat terhadap-terhadap negara yang lemah.<br />2) Menjalarnya orang-orang asing dari negara-negara maju menuju negara-negara berkembang dan negara terbelakang.<br />3) Adanya persaingan yang bebas dalam ketenagakerjaan sehingga lebih menguntungkan orang-orang yang berkualitas.<br />4) Adanya persaingan yang bebas terhadap berbagai macam produk barang dan jasa. Keadaan ini sangat menghancurkan industri-industri kecil dan menengah yang belum memiliki standarisasi hasil produksi serta mekanisasi dalam proses pembuatan barang. <br /><br />3. Munculnya Disorganisasi <br />Menurut Robert Mclver perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat berakibat kepada keseimbangan hubungan sosial. Dengan kata lain perubahan sosial dapat mengakibatkan ketidakseimbangan hubungan sosial. Hal ini karena dalam kenyataannya, unsur-unsur sosial dalam masyarakat tidak selalu bersifat adjustive (dapat menyesuaikan diri) terhadap perubahan-perubahan.<br />Persoalan warga masyarakat dalam kaitannya dengan perubahan sosial adalah penyesuaian dengan unsur-unsur baru akibat perubahan sosial. Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan, pertama: masyarakat menemukan falsafah atau nilai baru, kedua: masyarakat tenggelam dalam persoalan-persoalan dan tidak dapat mengambil keputusan. Apabila yang terjadi adalah kemungkinan pertama, artinya masyarakat dapat saling menyesuaikan dengan keadaan baru, berarti dalam masyarakat terjadi interaksi sosial. Namun apabila yang terjadi adalah kemungkinan kedua, artinya tidak terjadi penyesusian terhadap keadaan baru, yang ebrarti pula masyarakat mengalami disintegrasi sosial.<br />Terjadinya disintegrasi sosial dalam masyarakat pada awalnya ditandai oleh keadaan yang dinamakan disorganisasi sosial. Gejala-gejalanya sebagai berikut:<br />a. Terjadi pertentangan antara norma-norma yang ada dalam masyarakat.<br />b. Tindakan para warga masyarakat tidak lagi sesuai dengan norma-norma masyarakat.<br />c. Tidak ada persamaan persepsi/pandangan di antara para warga masyarakat mengenai tujuan masyarakat.<br />d. Norma-norma masyarakat tidak berfungsi dengan baik sebagai alat pengndalian sosial untuk mencapai tujuan masyarakat.<br />e. Terjadi proses-proses sosial disosiatif. <br /><br />Bentuk-Bentuk Disintegrasi Sosial sebagai Akibat Proses Perubahan<br />Tidak selamanya proses perubahan menimbulkan hal yang baik. Tetapi seringkali didahului dengan bentuk-bentuk kontradiksi yang ada dalam masyarakat. Dan bentuk-bentuk seperti ini dapat membawa revisi terhadap kondisi kehidupan yang lebih baik. Tetapi ada pula yang berkelanjutan sehingga justru merusak tatanan kehidupan yang ada dalam masyarakat. Berikut ini adalah bentuk-bentuk diintegrasi sosial yang secara umum terjadi dalam masyarakat.<br /><br />a. Aksi Protes/Demonstrasi<br />Aksi protes/demonstrasi atau unjuk rasa adalah kegiatan dari sejumlah orang dengan tidak menggunakan kekerasan, mengorganisir diri untuk melakukan protes, mengungkapkan kekecewaan ataupun menyampaikan tuntutan terhadap suatu rezim, pemerintah atau pimpinan rezim atau pimpinan pemerintah, atau terhadap suatu ideologi, kebijaksanaan baik yang telah berlaku ataupun yang sedang direncanakan, terhadap suatu tindakan atau tindakan yang sedang direncanakan.<br />Aksi protes, demonstrasi atau unjuk rasa merupakan salah satu cara untuk menyapaikan kehendak atau aspirasi. Cara ini biasanya dilakukan setelah cara-cara lain, seperti penyampaian aspirasi melalui DPR/DPRD, tulisan atau artikel di surat kabar/majalah, tayangan televisi, dan sebagainya, dipandang tidak efektif.<br />Melalui aksi protes, demonstrasi atau unjuk rasa, kehendak atau aspirasi tersebut disampaikan melalui poster-poster, yel-yel, lagu-lagu, puisi, pidato atau orasi, pernyataan tertulis yang dibacakan, bahkan tidak jarang melalui pernyataan yang sangat keras sampai umpatan-umpatan dan caci maki.<br />Akibat adanya unjuk rasa antara lain kemacetan lalu lintas, karena secarafisik para pengunjuk rasa biasanya membentuk kerumunan atau arak-arakan di jalan besar atau lapangan yang ramai untuk mendapatkan perhatian publik dan mempertajam prasangka sehingga dihaapkan lebih mendapat dukungan publik.<br />Contoh aksi protes, demonstrasi atau unjuk rasa antara lain: gerakan mahasiswa di bawah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) pada tahun 1965, juga aksi para pelajar di bawah KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), unjuk rasa para ulaman pada tahun 1993 yang menuntut kepada Mensos Inten Suweno untuk dihapuskan judi terselusbung SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), juga aksi para mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR RI pada bulan Mei 1998 yang menuntut reformsi segala bidang dalam pemerintahan orde baru di bawah Presiden Soeharto.<br />Apabila tidak terkendali, aksi protes demonstrasi atau unjuk rasa dapat berubah menajdi riot (kerusuhan) ataupun armed attact (serangan bersenjata), yakni kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang dimaksud untuk melemahkan kekuatan kelompok lain. misalnya kerusuhan yang terjadi sekitar bulan mei 1998 di beberapa kota di Indonesia: Medan, Yogyakarta, Surakarta dan Jakarta.<br /><br />b. Pergolakan Daerah <br />Pergolakan daerah dapat terjadi karena:<br />1) Sentimen kedaerahan dan primodialisme lebih berkembang daripada sentimen nasional.<br />2) Sentralisasi kehidupan ekonomi dan politik yang mengakibatkan perbedaan pertumbuhan yang tajam antara pusat dengan daerah.<br /><br />c. Kriminalitas<br />Kriminalitas (kejahatan) dalam masyarakat akan tumbuh subur apabila dalam masyarakat terdapat ketimpangan sosial dan ekonomi, krisis ekonomi, tekanan mental, dendam,kecemburuan ataupun kebencian. Dalam studi sosiologi perilaku jahat dikualifikasikan sebagai perilaku menyimpang. Sebagaimana perilaku lain yang tidak menyimpang, perilaku jahat menjadi milik diri individu atau sekelompok orang juga melalui proses sosial, seperti asoasiasi dan sosialisasi.<br />White Collar Crime <br />Suatu bentuk kriminalitas yang khas dalam masyarakat adalah white collar crime (kejahatan kerah putih), yaitu kejahatan yang dilakukan oleh para penguasa atau para pengusaha di dalam menjalankan peran-peran sosialnya.<br />Pada mulanya dinamakan economics atau bussiniss criminality. Kejahatan jenis ini merupakan dampak dari perkembangan masyarakat yang pesat namun hanya menekankan pada aspek finansial material saja. Para pelakunya biasanya keadaan keuangannya kuat atau mempunyai kekuasaan sehingga memungkinkan melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya melanggar hukum tanpa dapat dikenai hukum.<br />Contoh white collar crime adalah korupsi. Dalam masyarakat paling tidak dikenal empat macam korupsi, yaitu:<br />1) Korupsi ekstorsif <br />Seseorang (pengusaha) memberikan suap (bribery) kepada penguasa politik agar mendapatkan perlindungan etas kepentingan-kepentingan ekonominya, misalnya untuk mendapatkan izin usaha yang sebenarnya melanggar norma atau hukum. Sebagai kompensasi di pengusaha menjanjikan keuntungan ekonomi kepada pengusaha. Dalam masyarakat korupsi ini dikenal sebagai kolusi (kongkalingkong).<br />2) Korupsi manipulatif <br />Yakni usaha kotor yang dilakukan oleh seseorang pengusaha (penguasa) untuk mendapatkan kebijaksanaan, aturan atau keputusan yang mendatangkan keuntungan ekonpmi bagi dirinya.<br />3) Korupsi nepotistik <br />Yakni perlakuan istimewa yang dilakukan oleh penguasa kepada para sanak keluarganya atau kaum kerabatnya (anak, menantu, keponakan, isteri, dan ipar) dalam rekuitmen ataupun pemberian aktivitas (proyek) yang mendatangkan keuntungan sosial, ekonomi maupun politik.<br />4) Korupsi subversif <br />Yakni pencurian kekayaan negara oleh para penguasa atau pengusaha yang merusakkan kehidupan ekonomi bangsa.<br />Contoh white collar crime yang lain: nepotisme dan kroniisme. Nepotisme berasal dari kata nepos (bahasa latin, artinya descent/keturunan), dan ismos (Yunani, artinya proses, tindakan atau praktek). Nepotisme merupakan proses, tindakan atau praktek pemberian perlakuan istimewa terhadap seseorang atau sekelompok orang di dalam rekuitmen, pengisian jabatan pada organisasi/asosiasi atau dalam memperoleh sumber-sumber ekonomi yang semata-mata didasarkan pada hubungan kekerabatan, kekeluargaan, bukan prestasi atau kemampuan.<br />Seperti halnya nepotisme, adalah kronisme (cronysm). Bedanya, pada kronisme pemberian hak-hak istimewa tersebut didasarkan pada hubungan pertemanan atau persahabatan.<br /><br />d. Kenakalan Remaja <br />Yang dimaksud dengan kenakalan remaja (delinkuensi) adalah semua bentuk aktivitas remaja yang belum dewasa hukum yang bertentangan dengan norma-norma sosial terutama norma hukum. Kenakalan remaja ini merupakan suatu bentuk ketimpangan penanganan terhadap pendidikan anak akibat ketidakmampuan orang tua, lingkungan sekolah, serta lingkungan masyarakat. Kenakalan remaja biasanya terjadi di kota-kota atau di masyarakat yang telah mendapatkan pengaruh kehidupan kota, yang terjadinya melalui tahap-tahap sebagai berikut:<br />1) Sense of value yang kurang ditanamkan oleh orang tua karena ketidakmampuan, ketidakmauan, atau tidak adanya kesempatan karena kesibukan.<br />2) Timbulnya organisasi-organisasi informal (klik atau geng) yang berperilaku menyimpang sehingga tidak disukai oleh masyarakat.<br />3) Timbulnya upaya-upaya remaja untuk mengubah keadaan dan disesuaikan dengan youth values.<br />Contoh-contoh kenakalan remaja antara lain: perkelahian pelajar, pelanggaran tata tertib sekolah seperti aksi coret-coret, merokok, berpakaian kurang sopan serta tindakan-tindakan lain yang tidak sesuai dengan norma sekolah. Disamping itu pelanggaran dalam lingkungan masyarakat seperti: cross-boy, cross-girl, pencurian, penganiayaan, pornografi, seks bebas, penyalahgunaan obat-obatan, alkoholisme, ngebutisme (mengendarai kendaraan secara sewenang-wenang di jalan umum), dan sebagainya.<br />Beberapa sebab kenakalan remaja antara lain:<br />1) Faktor intrinsik seperti faktor usia, jenis kelamin, faktor kedudukan dalam keluarga dan faktor intelegensi. <br />2) Disamping itu juga dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik seperti lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan pergaulan dan media massa yang dikenali sehari-hari.<br />Kenakalan remaja itu akan tampak menajdi semakin besar dan luas ketika lingkungan keluarga tidak mendukung karena orang tua tidak mampu memberikan waktu dan perhatiannya untuk anak-anaknya. Hal ini dapat terjadi antara lain:<br />Di keluarga kelas menengah-bawah (kurang mampu)<br />a) ketidakmampuan melakukan rekreasi secara sehat <br />b) kondisi perumahan yang kurang memenuhi syarat<br />c) ketidakmampuan orang tua menyekolahkan anak<br />d) demosntration effect (mementingkan penampilan)<br />Di keluarga kaya/mampu sebab utamanya adalah kesibukan orang tua sehingga tidak ada kesempatan untuk penanaman nilai, pemberian bimbingan dan kasih sayang, yang dipentingkan adalah tercukupinya kebutuhan material-finansial. <br /><br />F. Tantangan Perubahan secara Global Terhadap Eksistensi Budaya Bangsa Indonesia <br />Secara umum bahwa globalisasi merupakan suatu bentuk pergaulan manusia di seluruh dunia menjadi satu lingkungan yang akrab. Keadaan ini akan mengakiabtkan akulturasi kebudayaan, asimilasi kebudayaan serta penetrasi kebudayaan khususnya dari budaya-budaya di negara maju kepada budaya-budaya di negara berkembang dan terbelakang. Maka dapat disimpulkan bahwa jati diri yaitu corak-corak khas budaya lokal yang dimiliki suatu masyarakat akan tererosi dan akan termarjinalisasikan. Melihat gejala yang seperti itu maka perlu langkah-langkah antisipasi agar kita sebagai suatu bangsa dapat menyelamatkan struktur budaya kita pada generasi yang akan datang. Untuk membahas lebih jauh tentang tantangan globalisasi terhadap eksistensi jaridiri bangsa akan diuraikan secara terperinci pada uraian berikut.<br />1. Pengertian Era Globalisasi <br />Pada dasarnya era globalisasi adalah suatu era peradaban manusia di dunia yang ditandai dengan lancarnya komunikasi antar manusia di dunia sehingga masyarakat dunia menjadi satu sistem pergaulan yang intim. Jarak yang jauh antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak lagi menjdi kendala untuk berkomunikasi. Disamping itu adanya sekat-sekat batas wilayah negara tidak lagi menghalangi transaksi di berbagai segi kehidupan antar manusia di dunia. <br /><br />2. Pengaruh Globalisasi terhadap Eksistensi Jati Diri Bangsa <br />Dengan lancarnya komunikasi antar bangsa di dunia dalam era globalisasi telah membuat akrakteristik budaya-budaya lokal yang dimiliki oleh semua bangsa di dunia termasuk bansga Indonesia seakan terhimpit dan dipinggirkan oleh budaya-budaya besar dari negara-negara maju. Untuk mengatasi hal tersbut perlu adanya sikap-sikap preventif seperti misalnya melakukan reorientasi budaya lokal, revitalisasi budaya lokal dan refungsionalisasi budaya-budaya lokal. Program-program ini harus diimplementasikan oleh kekuasaan negara yang didukung oleh kalangan luas masyarakatnya. Dengan demikian budaya lokal akan terselamatkan dari kikisan budaya-budaya asing yang jauh lebih kuat. <br /><br />3. Beberapa Siasat untuk Melakukan Revitalisasi Budaya Lokal dan Jati Diri Bangsa <br />Sebagai suatu bangsa kita perlu melakukan pencegahan terhadap pudarnya kebduayaan bangsa Indonesia. Pada dasarnya budaya bangsa merupakan warisan leluhur yang perlu untuk dipertahankan dan dikembangkan sebagai aset dalam proses pembangunan menuju tata kehidupan yang lebih baik. Untuk membahasa lebih lanjut tentang langkah-langkah dalam proses revitalisasi budaya lokal dan jatidiri bangsa akan dibahas panjang lebar tentang budaya itu sediri.<br />a. Pengertian Budaya Lokal dan Jatidiri Bangsa <br />Pada dasarnya budaya lokal adalah budaya setempat yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat dalam bentuk negara. Pengertian ini identik dengan budaya nasional, misalnya adalah budaya Indonesia. Sedangkan budaya-budaya global yang telah dimiliki dan dipakai oleh kalangan luas bangsa-bansga di dunia antara lain, budaya barat seperti bangsa Inggris, sistem perdagangan bebas, sistem perekonomian kapital, hak-hak asasi manusia dan lain-lain. <br />Pada dasarnya yang dimaksud dengan jatidiri bangsa adalah semua karakter yang dimiliki suatu bangsa. Bangsa Indonesia juga memiliki jati dirinya yang tersendiri yang dapat membedakan bansga Indonesia dengan bangsa-bangsa yang lain di dunia. Adapun jati diri bangsa Indonesia antara lain:<br />1) Mengedepankan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa<br />2) Menjunjung tinggi harkat dan martabat orang lain (sopan santun)<br />3) Menempuh jalan musyawarah dalam mencapai suatu mufakat <br />4) Menjunjung tinggi gotong royong antar komponen masyarakat <br />5) Menghargai perbedaan-perbedaan, dll<br />b. Upaya Konkrit dalam Melakukan Revitalisasi Budaya Lokal dan Jatidiri Bangsa <br />Pada hakekatnya budaya adalah semua hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam hidup bermasyarakat. Kebudayaan Indonesia berarti merupakan buah budi kehidupan masyarakat Indonesia baik secara lokal, regional maupun secara nasional. Ini berarti bahwa seluruh kebudayaan Indonesia merupakan jatidiri bangsa. Berbicara soal jatidiri bangsa sesungguhnya kita telah membicarakan harga diri kita sebagai bangsa di tengah-tengah bangsa-bangsa lain di dunia. Bertolak dari hal itu maka mempertahankan jatidiri bangsa dalam wujud budaya lokal, regional maupun budaya nasional merupakan sebagai suatu upaya untuk mempertahankan harga diri kita sebagai suatu bangsa.<br />Majunya telekomunikasi memang telah melancarkan proses percampuran antara kebudayaan lokal, regional maupun nasional dengan kebudayaan-kebudayaan asing. Percampuran ini di satu sisi memang diperlukan untuk menyempurnakan struktur budaya kita sesuai dengan perkembangan zaman. Tetapi di sisi lain apabila percampuran itu didominasi oleh masuknya budaya-budaya asing ke dalam budaya lokal, regional dan nasional berarti telah menggantikan peranan budaya lokal, regional dan nasional atau dengan kata lain mendesak budaya kita.<br />Untuk mengantisipasi hal tersebut kita perlu melakukan suatu seleksi yang rasional. Ini berarti bahwa tidak semua budaya asing yang masuk harus ditolak, melainkan sebagian yang memang diperlukan kiranya perlu juga untuk juga diadobsi sebagai sarana untuk melengkapi budaya kita. Tetapi budaya-budaya tertentu yang dirasa akan mendesak keberadaan bduaya-budaya lokal, budaya regional dan nasional yang notabene merupakan kepribadian kita tegas-tegas harus kita tolak.<br />Ada beberapa cara yang strategis untuk membentengeni budaya-budaya lokal, regional dan nasional antara lain: <br />1) Reorientasi Budaya (culture reorientation)<br />Yang dimaksud dengan reorientasi budaya adalah aktivitas untuk menengok kembali keberadaan budaya kita baik dalam bentuk sub-sub budaya yang kecil maupun sub-sub budaya dalam skala yang besar. Aktivitas reorientasi ini merupakan langkah awal untuk memperkenalkan budaya kita sendiri kepada generasi baru yang belum memahami nama, fungsi serta asal-usul dari suatu sub kebudayaan tertentu. Reorientasi budaya pada dasarnya juga merupakan aktivitas untuk menghidupkan kembali keberadaan budaya tertentu di tengah-tengah masyarakat dalam langkah yang paling dini.<br />2) Revitalisasi Budaya (culture revitalization)<br />Melihat fungsi dari unsur-unsur budaya tertentu yang bersifat lokal, regional maupun nasional, ada kalanya fungsi itu tidaklah dapat dijalankan secara baik. Oleh karena itu perlu adanya langkah-langkah untuk menguatkan dan menyempurnakan fungsi-fungsi budaya kita sendiri. Dengan demikian dapat kembali berfungsi sebagaimana mestinya. Contoh revitalisasi budaya: <br />• Memberikan bantuan dana maupun peralatan kepada kelompok-kelompok reog, sanggar tari, kerajinan ukir tradisional, paguyuban wayang orang, paguyuban ringgit purwo dan lain-lain.<br />• Mengorganisasikan artis-artis budaya-budaya lokal untuk memperoleh pembinaan dan pendanaan untuk mengembangkan profesinya masing-masing sebagai sarana untuk memperkuat keberadaan mereka sebagai cagar budaya lokal.<br />3) Refungsionalisasi Budaya (culture refungsionalization)<br />Refungsionalisasi budaya harus dilakukan dalam rangka untuk membuat budaya itu mengakar kuat dan berfungsi sangat fundamental bagi keperluan kehidupan sehari-hari masyarakat. Contoh refungsionalissi budaya:<br />• Merekayasa ulang penampilan wayang orang di layar televisi dengan sistem yang lebih canggih, sehingga digemari oleh penontonnya. Langkah ini merupakan langkah untuk menyempurnakan fungsi wayang orang sebagai hiburan masyarakat dengan nuansa budaya lokal.<br />• Menyempurnakan penampilan ketoprak dengan kemasan baru seperti ketoprak humor. Dengan demikian ketoprak humor dapat menguat fungsinya dan digemari oleh masyarakat sebagai hiburan alternatif disamping hiburan-hiburan yang berasal dari budaya manca negara.<br />4) Pelembagaan Budaya (culture institusionalized)<br />Sebagaimana kita ketahui bahwa kebudayaan itu seringkali melekat dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Misalnya budaya agama, budaya birokrasi, budaya ekonomi budaya teknologi, budaya adat dan lain-lain. Secara mendasar kebudayaan-kebudayaan itu akan hidup dari lembaga yang menopangnya. Contoh <br />• Budaya agama seperti pakaian muslim, kerucut masjid, sajadah, peci, jilbab dan makromah dan lain-lain itu akan berkembang dan bertahan manakala lembaga keagamaan Islam itu berkembang dalam masyarakat. Ini berlaku juga untuk agama-agama yang lain dan demikian pula halnya masing-masing agama mempunyai budaya agama sebagaimana disebutkan pada budaya Islam tersebut di atas.<br />• Budaya adat misalnya di Jawa kita mengenal trah atau paguyuban yang didirikan berdasarkan persamaan darah dan keturunan. Melalui budayaadat ini ada sistem kekerabatan, sistem pembagian warisan, pertemuan keluarga, pekawinan adat dan lain-lain. budaya-budaya ini juga akan tetap berkembang dan setidaknya bertahan manakala lembaga-lembaga adat itu masih ada dan berfungsi di tengah-tengah masyarakat.<br />Membuat lembaga untuk menghidupkan suatu struktur budaya tertentu memang diperlukan suatu sistem untuk mewujudkannya. Lembaga-lembaga itu tentu di bawah binaan oleh pemerintah yang memiliki otoritas resmi dala suatu negara. Misalnya: KONI untuk melembagakan aktivitas olahraga agar tetap ada dengan cabang yang telah didaftar sebagai bagian dari Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).<br />5) Implementasi Budaya (culture implementation)<br />Yang dimaksud dengan implementasi budaya adalah suatu cara untuk mewujudkan pemanfaatan secara konkret dari suatu struktur budaya ke dalam fungsi yang nyata bagi kehidupan sehari-hari warga masyarakat. Pada akhirnya implementasi budaya merupakan bagian ujung tombak yang paling menentukan untuk menyelamatkan erosi budaya lokal, regional dan nasional dari budaya asing. Contoh-contoh implementasi budaya:<br />• Pagelaran wayang kulit yang dicanangkan oleh pemerintah daerah setiap tanggal 17 Agustus untuk hiburan masyarakat.<br />• Pementasan kesenian daerah dari seluruh tanah air pada event nasional menjelang peringatan sumpah pemuda tanggal 28 Oktober pada setiap tahun.<br />• Perlombaan seluruh cabang olahraga untuk kawasan Asia, Asia Tenggara maupun di tingkat nasional setiap 5 tahun sekali.<br />• Festival karaton di seluruh Indonesia setiap 5 tahun sekali, dan lain-lain.<br />Dengan implementasi budaya ini akhirnya setiap sub kebudayaan akan memperoleh kesempatan untuk berkembang karena telah melembaga dan teraktualisasikan secara konkret pada waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan.<br /><br />G. Upaya Strategis untuk Mengatasi Erosi Budaya Lokal Indonesia <br />Dengan globalisasi yang ditandai dengan lancarnya komunikasi antar bangsa akan membawa peluang tererosinya budaya-budaya lokal oleh budaya asing. Untuk mengatasi hal itu kita dapat melakukan proteksi terhadap budaya-budaya lokal bangsa kita sendiri antara lain dengan cara.<br />1. Mengenal Budaya Bangsa<br />Untuk mencegah memudarnya budaya bangsa, terlebih dahulu kita harus mengetahui berbagai hal yang menyangkut mengenai budaya bangsa kita sendiri. Pada hakekatnya setiap bangsa memang mempunyai struktur budaya yang berbeda-beda yang terjadi secara turun temurun dari generasi yang terdahulu. Di Indonesia kita mengenal budaya agama, budaya suku, budaya birokrasi dan budaya asing. Keempat struktur budaya ini terakumulasi secara konpleks hingga kadang-kadang sangat sulit untuk dibeda-bedakan.<br />Untuk mengenal lebih jauh tentang kebudayaan-kebudayaan bangsa Indonesia berikut ini akan dibahas panjang lebar yang berkaitan dengan budaya, antara lain bahwa Indonesia adalah negara yang masyarakatnya terdiri dari bermacam-macam suku dengan struktur budaya yang berbeda-beda, seperti suku Jawa, suku Sunda, suku Betawi, suku Melayu, suku Batak, suku Dayak, Ambon, Bali, Sasak, Flores dan lain-lain. budaya-budaya daerah ini harus dipertahankan dengan memberikan perlindungan melalui pengembangan budaya di sekolah-sekolah baik SD, SLTP, SMA maupun di perguruan tinggi.<br />Secara umum masyarakat Indonesia memiliki kesamaan-kesamaan yang dimiliki oleh suku-suku tersebut di atas antara lain: menjunjung tinggi norma-norma sopan santun dan menghargai harkat martabat orang lain, bermusyawarah untuk mencapai suatu mufakat, suka mengembangkan gotong royong, berkeadilan sosial dengan mengembangkan tipa slira serta memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi dan keimnanan serta ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.<br />Untuk mengungkapkan berbagai hal yang berkaitan dengan budaya secara mendasar maka perlu diketahui hal-hal sebagai berikut. <br />a. Pengertian Budaya<br />Kata kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa Sanksekerta yang berarti akal, kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk) sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan iktiar manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan adalah cultural, berasal dari kata culure (bahasa Yunani) yang berarti mengerjakan tanah. Dengan mengerjakan tanah, manusia mulai hidup sebagai penghasil makanan (food producing). Hal ini, berarti manusia telah berbudi daya tidak hanya memungut hasil alam saja (food gathering). Dalam sejarah kebudayaan, banyak benda sejarah (artefact) yang digunakan sebagai bukti bahwa manusia telah berbudaya. Kata cultuur, dalam bahasa Belanda, masih mengandung pengertian tanah (ingat Cultuur Stelsel yang dilaksanakan pemerintah Belanda di Indonesia dalam abad XIX) dan sekaligus juga berarti kebudayaan seperti kata culture dalam bahasa Inggris.<br />Koentjaraningrat mengatakan, bahwa kebudayaan antara lain berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yag harus dibiasakan dengan belajar keseluruhan dari hasil budi pekerti.<br />A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn dalam bukunya “Culture, A Critical Review of Concepts and Definitions” (1952), mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi dan penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya.<br />Malinowski menyebutkan bahwa kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan atau berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap tingkat kebutuhan yang menghadirkan corak budaya yang khas. Misalnya, guna memenuhi kebutuhan manusia akan keselamatannya, maka timbul kebudayaan yang berupa perlindungan, yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu, seperti lembaga kemasyarakatan.<br />C.A. Van Peursen mengatakan bahwa dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan kehidupan kelompok orang dapat berlainan dengan hewan. Oleh karena itu, manusia tidak dapat hidup begitu saja di tengah alam.<br />Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantoro, berarti buah budi manusia yakni hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yang terdiri alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan lahir yang bersifat tertib dan damai.<br />Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat luas. Sebab, semua laku dan perbuatan tercakup di dalamnya dan dapat diungkapkan pada basis dan cara berpikir termasuk di dalamnya perasaan karena perasaan juga merupakan maksud dari pikiran.<br /><br />b. Unsur-unsur Budaya <br />Secara univresal kebudayaan manusia terdiri dari tujuh unsur antara lain sebagai berikut:<br />1) Sistem religi dan upacara keagamaan merupakan produk manusia religius. Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur, tanggap bahwa kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang maha besar yang dapat menghitamputihkan kehidupannya. Oleh karena itu, manusia takut, sehingga menyembah-Nya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama. Untuk membujuk kekuatan besar tersebut, agar mau menuruti kemauan manusia dilakukan usaha yang diwujudkan sebagai upacara keagamaan.<br />2) Sistem organisasi kemasyarakatan merupakan produk dari manusia sebagai homo socius. Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah. Namun, dengan akalnya manusia membentuk kekuatan dengan menyusun organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat dengan cara menyusun organisasi kemasyarakatan hidupnya. Dalam masyarakat tradisional, sistem gotong-royong seperti yang terdapat di Indonesia merupakan contoh yang khas, sedangkan dalam masyarakat modern pengaturannya sudah dalam tingkat negara bahkan antar bangsa.<br />3) Sistem pengetahuan merupakan produk dari manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan dapat diperoleh dari pemikiran sendiri, di samping itu dapat juga dari pemikiran orang lain. Kemampuan manusia untuk mengingat apa yang telah diketahui, kemudian disampaikan kepada orang lain melalui bahasa sehingga pengetahuan ini menyebar luas dari satu generasi ke generasi berikutnya.<br />4) Sistem mata pencaharian merupakan produk dari manusia sebagai homo economicus menjadikan tingkat kehidupan manusia secara terus menerus meningkat. Dalam tingkat food producing terjadi kemajuan yang pesat. Setelah bercocok tanam, kemudian beternak, lalu mengusahakan kerajinan, berdagang, sehingga manusia makin dapat mencukupi kebutuhannya yang terus meningkat (rising demands) yang kadang-kadang cenderung sebagai keserakahan.<br />5) Sistem teknologi dan peralatan merupakan produksi dari manusia sebagai homo faber. Bersumber dari pemikiran yang cerdas serta dibantu dengan tangannya yang dapat memegang sesuatu dengan erat, manusia dapat menciptakan sekaligus mempergunakan suatu alat. Dengan alat-alat ciptannya itu, manusia dapat lebih mampu mencukupi kebutuhannya daripada binatang. Misalnya, dengan mobil manusia dapat lebih cepat daripada kijang, dengan kapal dapat lebih cepat daripada ikan lumba-lumba, dan dapat terbang di udara melebihi burung. Selain menguntungkan, alat tersebut dapat juga merugikan, misalnya manusia memperoleh kecelakaan yang kadang-kadang fatal.<br />6) Bahasa merupakan produk dari manusia homo longuens. Bahasa manusia pada mulanya diwujudkan dalam bentuk (kode), yang kemudian disempurnakan dalam bentuk bahasa lisan dan akhirnya menjadi bahasa tulisan yang disebut simbol. Ernest Casirier menyebut manusia sebagai animal symbol symbolic. Bahasa-bahasa yang telah maju memiliki kekayaan kata (Kosa kata) yang jumlahnya makin banyak dan komunikatif.<br />Kesenian merupakan hasil dari manusia sebagai homo aesteticus. Setelah manusia dapat mencukupi kebutuhan fisiknya, maka manusia perlu dan selalu mencari pemuas untuk kebutuhan psikisnya. Manusia tidak hanya semata-mata memenuhi kebutuhan isi perut saja, tetapi mereka perlu juga memuaskan pandangan mata yang indah, mendengarkan suara yang merdu, dan rasa cecep dengan makanan lebih lezat. Semuanya itu dapat dipenuhi melalui kesenian. Oleh karena itu, kesenian merupakan kebutuhan kenikmatan setelah kebutuhan fisiknya terpenuhi. Jadi, kesenian ditempatkan sebagai unsur terakhir karena enam kebutuhan sebelumnya, pada umumnya harus dipenuhi lebih dahulu.<br /><br />c. Wujud Budaya <br />Koentjaraningrat dalam bukunya “Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan”, menyebutkan bahwa paling sedikit ada tiga wujud kebudayaan yaitu sebagai berikut:<br />1) Sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.<br />2) Sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat<br />3) Sebagai benda-benda hasil karya manusia.<br /><br />d. Sifat-sifat Budaya <br />Secara umum, dikemukakan tujuh sifat kebudayaan, yaitu beraneka ragam, didapatkan dan diteruskan secara sosial dengan pelajaran, dijabarkan dalam komponen-komponen, mempunyai struktur, mempunyai nilai, bersifat statis atau dinamis, dan dibagi dalam bidang atau aspek. Masing-masing diuraikan sebagai berikut:<br />1) Kebudayaan Beraneka Ragam<br />Keanekaragaman kebudayaan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain karena manusia tidak memiliki struktur anatomi secara khusus pada tubuhnya, sehingga harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Oleh karena itu, kebudayaan yang diciptakanpun disesuaikan dengan kebutuhan hidupnya. Selain itu, keanekaragaman juga disebabkan oleh perbedaan kadar atau bobot dalam budaya satu bangsa dengan bangsa lain. Sehingga pakaian, rumah, dan makanan bangsa Indonesia di daerah tropik jauh berbeda dengan yang diperlukan oleh bangsa Eskimo di daerah kutub.<br />2) Kebudayaan dapat Diteruskan secara Sosial dengan Pelajaran<br />Penerusan kebudayaan dapat dilakukan secara horizontal dan vertikal. Penerusan secara horisontal apabila dilakukan terhadap satu generasi dan biasanya lisan, sedangkan penerusan vertikal dilakukan antar generasi dengan jalan melalui (literer). Dengan daya ingat yang tinggi, manusia mampu menyimpan pengalaman sendiri maupun yang diperoleh dari orang lain.<br />3) Kebudayaan Dijabarkan dalam Komponen-Komponen Biologi, Psikologi, dan Sosiologi<br />Biologi, psikologi, dan sosiologi merupakan tiga komponen yang membentuk pribadi manusia. Secara bilogis, manusia memiliki sifat-sifat yang diturunkan oleh orang tuanya (hereditas) yang diperoleh waktu dalam kandungan sebagai kodrat pertama (primary nature). Bersamaan dengan itu, manusia juga memiliki sifat-sifat psikologi yang sebagian diperolehnya dari orang tuanya sebagai dasar atau pembawaan. Setelah seorang bayi dilahirkan dan berkembang menjadi anak dalam alam kedunia (secondary nature), maka terbentuk pribadinya oleh lingkungan, khususnya melalui pendidikan. Manusia sebagai unsur masyarakat dalam lingkungan ikut serta dalam pembentukan kebudayaan.<br />4) Kebudayaan Mempunyai Struktur<br />Culture universal yang dikemukakan, unsur-unsurnya dapat dibagi dalam bagian-bagian yang lebih kecil yang disebut traits complex, lalu terbagi lagi dalam items. Misalnya, sistem ekonomi dapat dibagi antara lain menjadi bertani. Untuk bertani diperlukan bajak dan cangkul. Kedua alat tersebut dapat dipisahkan lagi menjadi unsur yang terkecil. Seperti halnya pada bertani, begitu pula dengan kebudayaan nasional misalnya, terdiri atas kebudayaan suku bangsa yang merupakan subkultural yang dapat dibagi lagi menurut daerah, agama, adat istiadat dan sebagainya.<br />5) Kebudayaan yang Mempunyai Nilai<br />Nilai kebudayaan (culture value) adalah relatif, bergantung pada siapa yang memberikan nilai dan alat pengukur apa yang digunakan. Bangsa timur, misalnya cenderung menggunakan ukuran rohani sebagai alat penilaiannya, sedangkan bangsa barat dengan ukuran materi (lihat kembali sistem nilai yang dikemukakan Kluckhohn).<br />6) Kebudayaan Mempunyai Sifat Statis dan Dinamis <br />Ada kebudayaan yang sifatnya rohani dan ada yang sifatnya kebendaan (spiritual dan culture), ada kebudayaan darat dan kebudayaan maritim (terra dan culture), dan ada kebudayaan menurut daerah (kebudayaan suatu bangsa atau subsuku bangsa). Semuanya bergantung pada siapa yang mau membedakannya dan untuk apa itu dilakukan.<br /><br />2. Mengenal Jati Diri Bangsa <br />Bangsa Indonesia yang merupakan bangsa yang multikultural memiliki karakteriastik budaya yang beraneka ragam. Tiap-tiap daerah (suku bangsa) memiliki struktur budayanya masing-masing yang berbeda dengan struktur budaya suku bangsa yang lain. Tetapi secara nasional keseluruhan dari karakteristik budaya daerah dari suku-suku bansga yang ada di Indonesia merupakan jatidiri bangsa.<br />Ada banyak hal yang dapat mengerosikan jatidiri bangsa itu menjadi corak yang baru yang sangat berlainan dari struktur budaya asli masyarakat Indonesia. Banyak contoh bahwa budaya Indonesia telah mengalai erosi yang cukup lanjut dan memprihatinkan. Ibaratkan baju, budaya Indonesia sudah tidak lagi disebut baju yang utuh melainkan baju yang telah compang camping. Sehingga para ahli banyak menulis artikel tentang upaya untuk merajut kembali budaya nasional Indonesia. Ini berarti bahwa kerusakan budaya nasional kita telah mencapai tahap yang memprihatinkan. Sebagai contoh:<br />• Masyarakat Jawa sudah tidak lagi meyenangi pakaian Jawa, tidak lagi mengerti bahasa Jawa dan tidak lagi mengerti tentang tulisan JAwa. Dari contoh ini berlaku juga untuk masyarakat Sunda, juga masyarakat Batak, Dayak, Madura, Toraja, Bali, Sasak dan suku-suku bangsa yang lain. Yang terjadi bahwa budaya-budaya asing seperti pakaian kerja, pakaian olahraga serta pakaian bebas telah banyak dipilih sebagian besar warga masyarakat. Demikian pula orang berbahasa asing seperti Inggis, Arab, China, Jerman, Jepang tampak lebih bangga ketimbang dia menggunakan bahasanya sendiri secara benar. Ini berarti bahwa fungsi bahasa kita tidak lagi eksis sesuai dengan perkembangan jaman sehingga ditinggalkan oleh pemiliknya. Sementara mereka lebih senang menggunakan bahasa asing sesuai dengan kepentingannya.<br />Ada banyak cara untuk melakukan pelindungan terhadap budaya-budaya lokal agar tidak terkikis oleh budaya asing, antara lain:<br />a. Memasukkan ke dalam kurikulum sekolah mulai dari jenjang sekolah dasar, menengah, hingga di perguruan tinggi.<br />b. Melakukan perlindungan (proteksi) terhadap produk-produk budaya asing, misalnya mencegah masuknya film-film asing yang didabing ke dalam bahasa Indonesia. Ini dilakukan untuk mengembangkan perfilman Indonesia.<br />c. Membuat lembaga budaya yang mengelola, memotivasi perkembangan budaya-budaya daerah dan budaya nasional. Misalnya lembaga pengembangan bahasa Indonesia (LPBI). Lembaga ini merupakan lembaga formal untuk mempertahankan perkembangan bahasa Indonesia ke arah yang benar dan standar.<br />d. Menetapkan cagar budaya lokal, daerah dan nasional.<br />e. Memberikan perlindungan hukum terhadap situs-situs peninggalan budaya kuno agar tidak tererosi oleh perkembangan jaman dan percampuran dari budaya asing yang lebih baru.<br />f. Membentuk lembaga budaya yang menjadi duta budaya Indonesia. Lembaga ini didirikan dalam rangka untuk mempromosikan budaya-budaya Indonesia ke luar negeri untuk kepentingan pengembangan budaya dan pariwisata nasional.<br />g. Melakukan diskusi, seminar, dan simposium untuk memperbincangkan tentang penyelamatan budaya lokal, regional dan nasional.<br />h. Mengembangkan sektor kepariwisataan dengan objek budaya dan kesenian daerah yang ada di Indonesia.<br /><br />UJI KOMPETENSI BAB 1<br />A. Soal Obyektif <br />1. Proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu satu kepada individu lain dan dari masyarakat satu ke masyarakat lain disebut ….<br />a. difusi <br />b. fusi<br />c. disosiasi<br />d. akulturasi <br />e. ekomodasi<br />2. Proses perubahan kebudayaan yang dilakukan dg kekerasan serta paksaan oleh pihak yang kuat kepada pihak yang lemah disebut ….<br />a. difusi<br />b. evolusi<br />c. revolusi<br />d. penetration violent<br />e. penetration posefique <br />3. Faktor pendorong yang paling kuat terhadap timbulnya penemuan terbaru adalah ….<br />a. rasa tidak puas terhadap hal-hal yang sudah ada<br />b. adanya kesadaran masyarakat akan kurangnya unsur-unsur kebudayaan baru <br />c. adanya penghargaan terhadap penemuan baru <br />d. banyaknya tenaga ahli yang rajin meneliti untuk inovasi <br />e. keinginan untuk menyaingi bangsa lain yang sudah maju <br />4. Perubahan yang terjadi secara lambat,dalam bentuk perkembangan dan perubahan yg relaatif sedikit disebut ….<br />a. renovasi<br />b. revolusi<br />c. evolusi<br />d. regenerasi<br />e. ekologi<br />5. Segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat adalah definisi perubahan sosial menurut ….<br />a. Mac Iver<br />b. Selo Soemardjan <br />c. Parsudi Suparlan <br />d. Gillin dan Gillin <br />e. William F. Oghburn <br />6. Di bawah ini adalah bentuk-bentuk proses disintegrasi sebagai akibat perubahan sosial dalam masyarakat, kecuali ….<br />a. pergolakan daerah<br />b. aksi protes dan demontrasi<br />c. kriminalitas<br />d. kenakalan remaja <br />e. kontrol sosial<br />7. Salah satu proses disentrasi sebagai akibat perubahan sosial adalah aksi protes, maksudnya ….<br />a. pergolakan massa sebagai perwujudan rasa tidak puas terhadap kejadian dalam masyarakat. <br />b. peristiwa disintegrasi yang mempermasalahkan persoalan-persoalan yang menyangkut keamanan.<br />c. suatu bentuk kontrol sosial yang menuju ke arah kerusakan dan kerugian <br />d. suatu bentuk kontrol sosial yang menuju ke arah perbaikan dan kemajuan<br />e. gejala sosial yang pada umumnya merupakan ide kelompok kecil orang.<br />8. Contoh situasi yang menandai terjadinya disintegrasi sebagai akibat perubahan sosial adalah ….<br />a. berkurangnya informasi<br />b. semakin beratnya tugas polisi<br />c. banyaknya keluarga inti<br />d. merosotnya wibawa pemimpin<br />e. adanya tuntutan hak azasi <br />9. Dari pernyataan-pernyataan berikut yang tidak benar adalah ….<br />a. Perubahan sosial pasti dialami oleh semua masyarakat<br />b. perubahan memang merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan<br />c. perubahan yang dialami oleh masyarakat selalu sama<br />d. perubahan sosial dan perubahan kebudayaan dapat dipisahkan dalam teori <br />e. perubahan sosial dapat terjadi pada sistem kelembagaan, maupun sistem nilai.<br />10. Tindakan menunjukkan kekecewaan atau ketidakpuasan di dalam masyarakat melalui kecaman pedas disebut ….<br />a. kenakalan remaja<br />b. kriminalitas<br />c. pemberontakan<br />d. unjuk rasa<br />e. pergolakan kelompok<br />11. Dampak perubahan sosial dalam masyarakat dikatakan positif apabila ….<br />a. ada peningkatan efisiensi dan efektivitas perilaku warga masyarakat<br />b. dapat mengurangi biaya operasional bagi pemerintah<br />c. menimbulkan aktifitas baru dalam masyarakat<br />d. perubahan yg terjadi telah sesuai dengan norma-norma yang berlaku<br />e. sebagian anggota masyarakat menerimanya dengan senang hati<br />12. Pentingnya integrasi sosial dan integrasi kebudayaan bagi masyarakat Indonesia adalah ….<br />a. mengutamakan pendapat individu dalam masyarakat <br />b. menghasilkan pola hidup yang serasi dalam kehidupan bersama<br />c. mempertebal semanta nasionalisme bagi masyarakat <br />d. menciptakan kesamaan pendapat yang berbeda<br />e. mewujudkan kebhinekaan kebudayaan daerah<br />13. Yang menyebabkan suatu kebudayaan cenderung untuk bertahan apabila ….<br />a. kebudayaan itu bersifat statis<br />b. masyarakat selalu berkembang <br />c. masyarakat banyak tinggal di pedesaan<br />d. kebudayaan tsb.masih berfungsi sebagai diharapkan<br />e. telah menjadi etos bagi masyarakat <br />14. Perhatikan pernyataan berikut;<br />1. sangsi norma tidak berfungsi sebagaimana mestinya<br />2. menurunnya wibawa para tokoh pemimpin kelompok<br />3. tidak adanya persamaan pandang anggota-anggota masyarakat mengenai tujuannya<br />4. sebagian besar anggota kelompok mematuhi norma-norma yang berlaku <br />5. terjadinya proses-proses sosial yang bersifat disosiatif seperti persaingan, pertentangan<br />Gejala-gejala disintegrasi ditandai dengan adanya ….<br />a. 1, 2, dan 3<br />b. 1, 2 dan 4<br />c. 1, 2 dan 5<br />d. 1, 3 dan 4<br />e. 2, 3 dan 5<br />15. Proses inkulturasi yaitu proses social dimana individu ….<br />a. mempelajari sikap untuk berperilaku sesuai dengan kelompoknya<br />b. membentuk kepribadian melalui perasaan nafsu, emosi sepanjang hidupnya<br />c. bertingkah laku sesuai dengan ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam kehidupan yang nyata<br />d. menyesuaikan diri dengan hasrat untuk menyatu dengan lingkungan alam <br />e. mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat pranata sosial dan norma sosial yang hidup dalam kebudayaan masyarakatnya. <br />16. Perubahan secara cepat yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat disebut ….<br />a. evolusi <br />b. volusi <br />c. revolusi<br />d. resolusi<br />e. revaluasi<br />17. Penghambat proses perubahan sosial yang berasal dari masyarakat itu sendiri adalah ….<br />a. Sikap masyarakat yg tertutup dengan pola pikir tradisional <br />b. masyarakat yang penduduknya masih keturunan<br />c. masyarakat yang majemuk baik ras, agama, kebudayaan <br />d. masyarakat yang rasa kegotongroyongannya masih tinggi<br />e. masyarakat yang penduduknya umumnya bermatapencaharian industri<br />18. Di bawah ini yangrelatif paling mudah mengalami perubahan adalah ….<br />a. bahasa<br />b. agama<br />c. mode pakaian <br />d. kesenian<br />e. bentuk bangunan<br />19. Akibat perubahan sosial dan kebudayaan yang sangat dikhawairkan oleh masyarakat luas adalah akan timbulnya ….<br />a. konflik<br />b. integrasi sosial <br />c. sosialisasi penduduk <br />d. gangguan keseimbangan sistem <br />e. krisis kebudayaan <br />20. Perubahan social dan kebudayaan yang direncanakan pihak-pihak tertentu merupakan salah satu perubahan yang dikehendaki. Fihak yang menghendaki adanya perubahan disebut ….<br />a. agent of change <br />b. social of change <br />c. the leader of change <br />d. planned of change <br />e. power of change <br />21. Proses perubahan kebudayaan yang dilakukan dg kekerasan serta paksaan oleh pihak yang kuat kepada pihak yang lemah disebut ….<br />a. difusi<br />b. evolusi<br />c. revolusi<br />d. penetration violent<br />e. penetration posefique <br />22. Di bawah ini adalah bentuk-bentuk proses disintegrasi sebagai akibat perubahan sosial dalam masyarakat, kecuali ….<br />a. pergolakan daerah<br />b. aksi protes dan demontrasi<br />c. kriminalitas<br />d. kenakalan remaja <br />e. kesenjangan sosial<br />23. Salah satu proses disentrasi sebagai akibat perubahan sosial adalah konflik sosial, maksudnya ….<br />a. pergolakan dua kelompok massa atau lebih yg ditandai benturan fisik . <br />b. peristiwa disintegrasi yang mempermasalahkan persoalan-persoalan yang menyangkut keamanan.<br />c. suatu bentuk kontrol sosial yang menuju ke arah kerusakan dan kerugian <br />d. suatu bentuk kontrol sosial yang menuju ke arah perbaikan dan kemajuan<br />e. gejala sosial yang pada umumnya merupakan ide kelompok kecil orang.<br />24. Contoh situasi yang menandai terjadinya disintegrasi sebagai akibat perubahan sosial adalah….<br />a. berkurangnya informasi<br />b. semakin beratnya tugas polisi<br />c. banyaknya keluarga inti<br />d. tidak dipatuhinya norma-norma <br />e. adanya tuntutan hak azasi <br />25. Dari pernyataan-pernyataan berikut yangmerupakan pernyataan yg benar adalah ….<br />a. perubahan progrewsif pasti dialami oleh semua masyarakat<br />b. perusahaan memang selalu dapat dielakkan<br />c. perubahan yang dialami oleh masyarakat tidak selalu sama<br />d. perubahan sosial dan perubahan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dalam teori <br />e. perubahan sosial menekankan pada sistem kelembagaan, perubahan kebudayaan menekankan sistem nilai.<br />26. Proses percaampuran dua unsur kebudayaan atau lebih dari suatu masyarakat ke masyarakat yg lain yg berlangsung secara damai disebut ….<br />a. asimilasi <br />b. fusi<br />c. disosiasi<br />d. akulturasi <br />e. ekomodasi<br />27. Akibat dari perubahan sosial dalam bentuk reformasi, dikategorikan negatif apabila….<br />a. ada peningkatan biaya anggaran bagi pemerintah<br />b. perubahan yg terjadi tidak dapat memberi kemakmuran masyarakat luas<br />c. merusak system aktivitas yg telah mapan dalam masyarakat<br />d. tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku<br />e. sebagian anggota masyarakat belum mau menerimanya <br />28. Yang menyebabkan suatu kebudayaan cenderung untuk berubah adalah bila….<br />a. kebudayaan itu bersifat statis<br />b. masyarakat selalu berkembang <br />c. masyarakat banyak tinggal di pedesaan<br />d. dipandang sudah tidak berfungsi seperti diharakan<br />e. telah menjadi etos bagi masyarakat <br />29. Penghambat proses perubahan sosial dal kebudayaan yang berasal dari luar masyarakat adalah ….<br />a. Bencana alam yg bertubi-tubi <br />b. masyarakat yang penduduknya masih keturunan asing<br />c. masyarakat yang majemuk baik ras, agama, kebudayaan <br />d. masyarakat yang rasa kegotongroyongannya mulai memudar <br />e. pengaruh masyarakat industri<br />30. Proses asimilasi yaitu proses social dimana dalam masyarakat tejadi ….<br />a. Proses mempelajari sikap untuk berperilaku sesuai dengan kelompoknya<br />b. proses membentuk kepribadian melalui perasaan nafsu, emosi sepanjang hidupnya<br />c. aktivitasbertingkah laku sesuai dengan ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam kehidupan yang nyata<br />d. prosesmenyesuaikan diri dengan hasrat untuk menyatu dengan lingkungan alam <br />e. percampuran unsur kebudayan antar masyarakat secara homogen . <br />31. Perubahan tatanan kehidupan sebagai bentuk revisi hidup terhadap hal-hal tidak baik menuju perbaikan yang selanjutnya berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat luas disebut ….<br />a. evolusi <br />b. volusi <br />c. reformasi <br />d. resolusi<br />e. revaluasi<br />32. Salah satu contoh Akibat perubahan sosial dan kebudayaan yang negatif adalah ….<br />a. Percampuran unsur budaya<br />b. integrasi sosial <br />c. sosialisasi penduduk <br />d. keseimbangan sistem terganggu <br />e. krisis kebudayaan <br />33. Perubahan social dan kebudayaan yang direncanakan pihak-pihak tertentu merupakan salah satu perubahan yang dikehendaki yg sering disebut ….<br />a. Direct change <br />b. social of change <br />c. the leader of change <br />d. planned of change <br />e. power of change <br />34. Apabila kita bertindak sebagai agent of change maka untuk melakukan perubahan, perlu dilaksanakan langkah-langkah seperti berikut ini:<br />1. Melakukan implementasi dari rencana perubahan yang sudah dibuat<br />2. Melakukan evaluasi dan tindak lanjut<br />3. Mencari informasi yang selengkap-lengkapnya sebagai bahan untuk menyusun perubahan<br />4. Melakukan penyusunan rencana perubahan dengan melibatkan komponen terkait<br />5. Melakukan sosialisasi terhadap pihak-pihak yang terkait mengenai rencana perubahan<br />Berdasarkan informasi tersebut di atas, tata urutan yang benar adalah ….<br />a. 1, 2, 3, 4, 5<br />b. 2, 3, 4, 5, 1<br />c. 3, 4, 5, 2, 1<br />d. 3, 4, 5, 1, 2<br />e. 4, 5, 1, 3, 2<br />35. Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempercepat perubahan sosial dalam masyarakat, kecuali ….<br />a. lembaga pendidikan yang maju <br />b. struktur masyarakat yang majemuk <br />c. struktur masyarakat yang tertutup<br />d. adanya sikap tidak cepat puas terhadap apa yang dicapai<br />e. adanya sikap mau menghargai karya orang lain <br /><br /><br /><br />B. Soal Essay <br />1. Apakah yang dimaksud dengan perubahan sosial?<br /> <br /> <br /> <br /> <br />2. Sebut dan jelaskan 2 teori perubahan yang anda anggap paling benar!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />3. Sebut dan jelaskan faktor-faktor internal yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />4. Sebut dan jelaskan faktor-faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />5. Apa yang dimaksud dengan direct change dan indirect change?<br /> <br /> <br /> <br /> <br />6. Jelaskan bahwa untuk melakukan suatu perubahan yang membawa pengaruh besar, agen of change harus bertindak sangat hati-hati!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />7. Bagaimana menyusun suatu perencanaan pembangunan yang baik? Jelaskan!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />8. Tuliskan 5 dampak positif pembangunan dan modernisasi!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />9. Tuliskan 5 dampak negatif dari pembangunan dan modernisasi!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />10. Tuliskan 4 syarat terjadinya revolusi sosial!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />Retno Sosiologihttp://www.blogger.com/profile/05064436971676102162noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-135174975849666515.post-23862438174748655522012-02-13T20:48:00.000-08:002012-02-13T20:48:06.120-08:00PERUBAHAN SOSIALRINGKASAN MATERI<br />A. Batasan tentang Perubahan Sosial <br />1. Pengertian Perubahan Sosial <br />Yang dimaksud dengan perubahan sosial adalah perubahan situasi dalam masyarakat baik perubahan progresif maupun regresif sebagai akibat adanya ketidaksesuaian diantara unsur-unsur sosial yang ada sehingga membentuk suatu pola kehidupan dan aktivitas yang baru. Pada masyarakat tradisional perubahan-perubahan sosial yang terjadi semata-mata didasarkan pada unsur-unsur alam. Tetapi pada masyarakat modern perubahan-perubahan ini mutlak ditentukan oleh tangan dan pikiran manusia dalam bentuk suatu perencanaan pembangunan yang matang.<br />Ciri-ciri perubahan sosial pada masyarakat tradisional:<br />a. Proses perubahannya berlangsung secara lambat<br />b. Tanpa adanya suatu perencanaan yang matang <br />c. Proses perubahannya berlangsung relatif lebih kondusif artinya tidak mengundang banyak pertentangan dan permusuhan di antara unsur sosial yang ada.<br />d. Proses perubahannya didasarkan pada tradisi-tradisi yang ada<br />Ciri-ciri perubahan pada masyarakat modern:<br />a. Proses perubahannya berlangsung secara cepat<br />b. Adanya perencanaan yang matang serta diadministrasikan secara sistematis<br />c. Seringkali proses perubahannya berlangsung secara tidak kondusif artinya sering mengundang banyak pertentangan dan permusuhan di antara unsur sosial yang ada.<br />d. Proses perubahannya bersifat rasional yang dilandasi oleh akal pikir manusia dan ilmu pengetahuan.<br /><br />2. Teori-teori tentang Perubahan Sosial <br />Ada beberapa teori tentang bagaimana proses perubahan sosial budaya terjadi dalam masyarakat. Teori-teori itu antara lain: <br />a. Menurut Pitiran A. Sorokin <br />Pitirin Sorokin berpendapat bahwa perubahan sosial dalam masyarakat bsia bersifat periodik maupun bersifat non periodik. Lebih jauh Pitirin Sorokin mengatakan bahwa kalau perubahan-perubahan dalam masyarakat itu terjadi secara periodik, yang bersifat tetap, maka justru perubahan yang terjadi merupakan perubahan-perubahan yang kurang baik. Perubahan yang baik justru perubahan yang bersifat fleksibel sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat sesuai dengan perkembangan yang diperlukan.<br /><br />b. Menurut F. Ogburn <br />Menurut Ogburn bahwa perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat disebabkan karena adanya kondisi-kondisi tertentu, misalnya kondisi ekonomis, kondisi teknologis, kondisi geografis, kondisi biologis, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada aspek kehidupan sosial lainnya.<br /><br /><br />c. Menurut Mac Iver dan Charles H. Page <br />Menurut Mac Iver dan Charles H. Page perubahan sosial dalam masyarakat terjadi karena masyarakat ingin mempertahankan keseimbangan sementara waktu terus berjalan, keadaan yang ada dalam masyarakat tidak lagi sesuai dengan keinginan. Oleh sebab itu masyarakat dituntut untuk melakukan penyesusian agar keseimbangan dalam masyarakat tetap terwujud. <br /><br />d. Menurut Samuel Koening <br />Menurut Samuel Koening dalam bukunya yang berjudul Man and Society dijelaskan bahwa perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat merupakan sesuatu yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia itu sendiri.<br /><br />3. Karakteristik Manusia Modern sebagai Acuan Sumber Daya Manusia dalam Perubahan <br />Menurut Prof. Alex Inkeles (Amerika Serikat), ada 9 unsur, yaitu:<br />a. Menghargai waktu dan berorientasi masa depan.<br />b. Memiliki perencanaan dan pengorganisasian.<br />c. Percaya diri, manusia modern percaya bahwa seseorang dapat belajar untuk menguasai lingkungan.<br />d. Memiliki sikap untuk menerima hal-hal yang baru dan terbuka untuk perubahan.<br />e. Menyatakan pendapat (opini) mengenal lingkungan sendiri di luar lingkungannya serta bersikap demokratis.<br />f. Perhitungan, segala persoalan dapat dipecahkan oleh lembaga-lembaga yang ada.<br />g. Menghargai harkat manusia lain.<br />h. Lebih percaya pada ilmu dan teknologi.<br />i. Menjunjung tinggi suatu sikap dimana imbalan yang diterima seseorang harus seimbang dengan prestasinya dalam masyarakat.<br /><br /><br /><br />ASAH OTAK<br />Wacana <br />PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA<br />Indonesia yang merupakan negara demokrasi terus mengalami proses perubahan menuju peningkatan demokratisasi yang bergulir sejak bulan Mei tahun 1998 yang lalu tepatnya dengan berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Proses perubahan masyarakat Indonesia menuju pilar-pilar demokrasi terasa semakin mendekati perkembangan yang menggembirakan. Sistem pemerintahan demokrasi memang dibenarkan bahwa rakyat memiliki kedaulatan untuk turut menentukan arah perubahan dalam roda pemerintahan negara. Akhir-akhir ini kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat terasa semakin meningkat. Salah satu indikasinya adalah semakin banyaknya unjuk rasa dan demonstasi masyarakat luas terhadap kebijakan tertentu yang diambil oleh aparat pemerintah maupun aparat swasta.<br />Di sisi lain demokrasi yang berkembang di Indonesia belumlah sedewasa demokrasi yang berkembang di negara maju seperti Inggris, Amerika, Australia atau negara-negara maju lainnya. Di negara kita seringkali demokrasi disalahgunakan oleh kepentingan-kepentingan politik yang tidak bersinergi positif. Semestinya semua kebijakan pemerintah yang baik harus didukung oleh semua komponen bangsa termasuk pihak oposisi. Tetapi sebaliknya kebijakan pemerintah yang salah sangat diperlukan suara pihak oposisi sebagai balance atau pengendalian terhadap kebijakan yang salah.<br />Pertanyaan<br />1. Apakah demokrasi itu?<br />2. Jelaskan bahwa demokrasi itu mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan sistem pemerintahan kerajaan!<br />3. Bagaimana pendapat anda tentang demokrasi dan kebebasan bersuara di Indonesia ini?<br />4. Apa yang harus kita perbuat dalam melaksanakan proses demokrasi menuju kemajuan bangsa Indonesia?<br />5. Sebutkan sisi negatif dari kebebasan bersuara bagi masyarakat luas di Indonesia!<br /><br />B. Proses Perubahan Sosial dalam Masyarakat <br />Berlangsungnya proses perubahan yang terjadi dalam setiap masyarakat sangat berbeda-beda. Ada yang cepat, ada pula yang lambat tergantung dari kondisi-kondisi alam, situasi kependudukan, dan situasi sosial budaya yang ada dalam masyarakat tersebut. Tetapi secara umum proses perubahan mengalami 3 tahapan utama, yaitu sebagai berikut:<br />1. Tahap Interaksi Budaya <br />Melalui kontaks dan komunikasi dengan masyarakat lain baik yang dilakukan secara individual maupun yang dilakukan secara kolektif telah memungkinkan adanya keinginan untuk meniru kemudian mengambil dan mengadopsi ke dalam struktur budaya sendiri. Tahap awal yang ditandai dengan bentuk-bentuk interaksi yang efektif antara struktur budaya yang satu dengan struktur budaya yang lain adalah tahap interaksi budaya. Tahap interaksi budaya ini akan menjadi efektif apabila dilakukan oleh reference group dalam suatu masyarakat. Artinya bahwa reference group ini merupakan pemimpin atau kelompok yang menjadi panutan dalam masyarakat. Sebagai contoh rombongan kepala negara yang berkunjung ke beberapa negara tetangga akan membuat kontak yang sangat intensif dan proses yang cepat untuk mengadopsi segala macam yang dianggap baik yang ada pada negara-negara yang dikunjungi. Misalnya masalah hukum, pendidikan, benih-benih tanaman unggul, produk-produk industri dan lain-lain. Tetapi apabila kontak dan komunikasi dilakukan oleh membership group yaitu kelompok-kelompok dalam masyarakat yang hanya berkedudukan sebagai anggota akan membuat proses percampuran unsur kebudayaan berlangsung kurang efektif.<br /><br />2. Tahap Identifikasi Kebudayaan <br />Pada dasarnya tahap identifikasi tahap kebudayaan merupakan tahap yang kedua setelah tahap kontak dan komunikasi berlangsung antara dua unsur masyarakat yang memiliki struktur budaya yang berbeda. Tahap identifikasi ini berlangsung dengan ditandai adanya proses seleksi terhadap unsur-unsur yang perlu dan memberikan manfaat sehingga dapat melengkapi unsur-unsur kebudayaan sendiri menjadi lebih baik. Proses identifikasi ini sangat ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut.<br />a. Adanya kesesuaian tingkat peradaban antara masyarakat yang mengadopsi dengan masyarakat yang diadopsi. Biasanya masyarakat yang diadopsi cenderung memiliki tingkat peradaban yang lebih tinggi daripada masyarakat yang mengadopsi. <br />b. Adanya kesesuaian tata nilai antara masyarakat yang mengadopsi dengan masyarakat yang diadopsi.<br />c. Adanya jalinan yang efektif dan akrab antara struktur masyarakat yang mengadopsi dengan struktur masyarakat yang diadopsi.<br /><br />3. Tahap Implementasi Budaya <br />Pada dasarnya tahap akhir dari proses perubahan sosial melalui kontak dan komunikasi dengan kebudayaan lain adalah tahap implementasi budaya. Dalam pelaksanaannya tahap implementasi budaya ditandai dengan penerapan unsur-unsur budaya masyarakat lain dalam struktur budaya sendiri. Untuk mengefektifkan proses implementasi ini diperlukan lembaga-lembaga sosial sebagai saluran yang efektif dalam proses implementasi budaya. Proses kelembagaan ini dilakukan mulai dari struktur sosial yang tertinggi hingga struktur sosial yang terendah. Prosesnya berlangsung secara infiltrasi ke dalam unsur-unsur kebudayaan masyarakat yang terkenal dengan nama institusionalised. <br /><br />C. Macam-macam Perubahan Sosial <br />Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung secara cepat maupun secara lambat. Perubahan-perubahan itu dapat memberikan pengaruh yang besar dan signifikan maupun perubahan-perubahan yang tidak membawa pengaruh. Adakalanya proses perubahan yang terjadi berlangsung secara paksaan atau otoriter maupun perubahan yang berlangsung secara damai. Untuk membahas lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat ditinjau dari bermacam-macam segi antara lain sebagai berikut: <br />1. Menurut Cepat Lambatnya Proses Perubahan <br />Perubahan sosial dan kebudayaan merupakan suatu gejala sosial yang pasti terjadi pada setiap masyarakat. Perubahan-perubahan ini terjadi sebagai akibat adanya pergaulan antar manusia dengan menyesuaikan perkembangan jaman dan peradaban manusia itu sendiri. Apabila kondisi masyarakat bersifat stabil dan kondusif, perubahan-perubahan yang terjadi merupakan suatu perubahan lambat yang bersifat menyempurnakan dari tahapan-tahapan berikutnya (evolusi). Tetapi apabila kondisi dalam masyarakat relatif bergejolak, maka perubahan dapat terjadi secara cepat dan fundamental. Inilah yang dinamakan revolusi. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang perubahan sosial dilihat dari cepat lambatnya proses perubahan akan diuraikan berikut ini.<br />a. Revolution <br />Pada dasarnya revolusi adalah suatu bentuk perubahan sosial dan budaya masyarakat yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat terhadap perubahan-perubahan yang bersifat sangat substansial. Revolusi sosial akan terjadi apabila memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut: <br />1) Adanya keinginan yang kuat dari sebagian atau sebagian besar warga masyarakat untuk melakukan perubahan.<br />2) Adanya pemimpin yang cakap dan berwibawa yang dapat menampung aspirasi warga masyarakat.<br />3) Adanya momentum atau waktu yang tepat.<br />4) Adanya dukungan yang relatif luas dari kalangan masyarakat.<br />Di Indonesia setidaknya telah terjadi suatu revolusi sosial selama 3 kali antara lain:<br />• Revolusi sosial yang terjadi sekitar Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945. Pada masa itu terjadi perubahan yang signifikan pada struktur pemerintahan, dari pemerintahan Hindia Belanda berganti sistem pemerintahan yang dipimpin oleh bangsa sendiri.<br />• Revolusi sosial yang terjadi pada akhir pemerintahan orde lama, yaitu sekitar tahun 1965-1966. Pada masa itu terjadi suatu revolusi sosial yang cukup signifikan yang ditandai dengan kelahiran orde baru sebagai suatu tatanan kehidupan untuk merombak tatanan kehidupan orde lama.<br />• Revolusi sosial yang terjadi pada akhir pemerintahan orde baru, yaitu sekitar tahun 1998. Pada masa itu terjadi suatu revolusi pemerintahan yang ditandai dengan berkembangnya pilar demokrasi kebebasan pers dan pemberantasan KKN. Sistem yang menggantikan adalah sistem pemerintahan masa reformasi hingga berlanjut pada pemerintahan kabinet Indonesia bersatu. <br /><br />b. Evolution <br />Yang dimaksud dengan evolusi adalah perubahan sosial dalam masyarakat yang berlangsung dalam waktu yang relatif panjang dengan substansi perubahan yang relatif sedikit dan bersifat menyempurnakan dari tahapan sebelumnya. Evolusi sosial terjadi justru dalam keadaan yang tertib dan harmonis karena dalam kondisi yang demikian ini masyarakat relatif terpenuhi semua keinginan dan harapannya dan tidak memungkinkan terjadinya konflik-konflik yang bersifat frontal.<br /><br />2. Menurut Ada Tidaknya Perencanaan Terhadap Perubahan Tersebut <br />a. Perubahan yang Direncanakan (Direct Changes)<br />Pada dasarnya direct change adalah perubahan yang direncanakan atau diprogramkan secara matang sebelum perubahan itu dilakukan. Di Indonesia perencanaan perubahan sosial dilakukan secara periodik yaitu setiap 5 tahun sekali yang disusun dalam bentuk garis-garis besar haluan negara (GBHN). Melalui GBHN inilah gambaran kehidupan seluruh bangsa akan terlihat dan terprogram untuk jangka waktu 5 tahun ke depan.<br />Perencanaan pembangunan yang baik yang merupakan perwujudan dari perencanaan perubahan sosial masyarakat, adalah perencanaan pembangunan yang penyusunannya melibatkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat, sehingga sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa. Apabila suatu program pembangunan dapat memenuhi kriteria tersebut di atas maka suatu program pembangunan akan mendapat dukungan dari kalangan luas masyarakat.<br />Perubahan yang direncanakan identik dengan istilah pembangunan, yaitu upaya melakukan perubahan secara terencana dan terprogram pada masa-masa sebelumnya. Pada dasarnya pembangunan merupakan serangkaian aktivitas yang teratur, terarah dan sistematis yang berupa aktivitas perbaikan dan penyempurnaan serta penagdaan hal-hal yang baru dalam rangka meningkatkan derajat kemakmuran. Untuk mengenal lebih lanjut mengenai pembangunan ini berikut akan dibahas berbagai hal yang berkaitan dengan upaya pembangunan yang dilakukan di Indonesia.<br />a. Tujuan Pembangunan <br />Tujuan pembangunan merupakan arah perubahan yang resmi yang akan dicapai bangsa Indonesia, oleh sebab itu pembangunan harus disosialisasikan kepada seluruh rakyat tanpa kecuali agar dapat dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia secara jujur. Mayoritas masyarakat Indonesia belum mengetahui tujuan pembangunan kita sekarang ini, oleh sebab itu juga sangat mustahil untuk dapat melaksanakannya. Tujuan pembangunan kita ke depan antara lain:<br />1) Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh,<br />2) Terwujudnya manusia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai iptek, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. <br />Dari visi pembangunan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan di Indonesia ke depan adalah bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang tertentu serta manusia yang tertentu pula.<br />Dalam kaitannya dengan masyarakat bertujuan:<br />1) Mewujudkan masyarakat yang damai, demokratis dan berkeadilan.<br />2) Mewujudkan masyarakat yang berdaya saing yang berarti menguasai mental yang baik serta menguasai Iptek<br />3) Mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera yang berarti memiliki peradaban yang tinggi memiliki perekonomian yang kuat dimana sandang, pangan dan papan dapat sepenuhnya terpenuhi.<br />Sedang dalam kaitannya dengan manusia-manusia yang dinginkan adalah:<br />1) Mewujudkan manusia yang sehat<br />2) Mewujudkan manusia yang mandiri<br />3) Mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa dan berakhlak mulia<br />4) Mewujudkan manusia yang cinta tanah air<br />5) Mewujudkan manusia yang berdasarkan hukum<br />6) Mewujudkan manusia yang menguasai Iptek<br />7) Mewujudkan manusia yang memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisplin<br /><br />b. Syarat-syarat Keberhasilan Pembangunan Menurut Tinjauan Sosiologis <br />1) Adanya stabilitas nasional yang sehat baik jasmani maupun rohani<br />2) Adanya aparatur pemerintah yang cakap berwibawa<br />3) Adanya partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat<br />4) Adanya perencanaan pembangunan yang baik dan realistis<br />5) Adanya modal dasar pembangunan yang positif<br /><br />c. Faktor Pendorong dan Penghambat Pembangunan <br />1) Faktor Pendorong Menurut Prof. Koentjaraningrat<br />Menurut Koentjaningrat nilai-nilai budaya suatu masyarakat yang dapat merupakan faktor pendorong pembangunan antara lain sebagai berikut:<br />• Nilai budaya berorientasi ke masa depan<br />Nilai budaya semacam ini mendorong manusia untuk melihat dan merencanakan masa depannya dengan lebih seksama dan teliti. Oleh karena itu, akan memaksa manusia untuk hidup berhati-hati dan berhemat.<br />• Nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan dan kekuatan alam<br />Nilai semacam ini akan menambah kemungkinan inovasi terutama dalam teknologi<br />• Nilai budaya tetap mau berusaha/berikhtiar<br />Manusia memandang hidup penuh dengan tantangan dan penderitaan, tetapi tetap mau berusaha supaya hidup ini menjadi lebih baik.<br />• Nilai budaya gotong-royong<br />Gotong royong merupakan ciri khas kepribadian bangsa Indonesia yang sudah turun-temurun.<br />Tentang nilai gotong royong ini, orang Indonesia mempunyai konsep sebagai berikut:<br />- Manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi di kelilingi oleh komunitas, masyarakat dan alam sekitarnya. Di dalam sistem makrokosmos tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai suatu unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar.<br />- Manusia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengans sesamanya.<br />2) Faktor Penghambat Pembangunan<br />Satu hal yang dapat menghambat pelaksanaan pembangunan adalah kurangnya partisipasi masyarakat yang dapat berupa sikap-sikap negatif antara lain:<br />• Pasrah menerima, yaitu sikap pasif. Artinya tidak ada reaksi positif terhadap keadaan dan perubahan yang terjadi.<br />• Kurang disiplin, yaitu suatu sikap mental seenaknya dalam berbagai hal terutama tidak mentaati peraturan-peraturan dan hukum yang berlaku.<br />• Kurang suka kerja keras, yaitu suatu sikap mental ogah-ogahan, santai dan suka mengulur-ulur waktu dalam pekerjaan.<br />• Tidak jujur, yaitu suatu sikap mental yang dalam berbagai pekerjaan dan kegiatan selalu mencari untung sendiri dengan jalan yang tidak dibenarkan, misalnya manipulasi, korupsi dan sebagainya.<br />• Hidup boros, yaitu sikap mental yang melakukan segala sesuatu dengan berlebih-lebihan, sehingga tidak tepat guna dan efisien.<br />• Tertutup terhadap pembaharuan, yaitu sikap mental yang tidak mau menerima perubahan-perubahan. Sikap tertutup ini dapat terjadi karena kepicikan, tapi dapat juga karena vested interest, yakni adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat dan dalam pada sekelompok masyarakat.<br />Berprasangka terhadap pembaharuan, yaitu suatu sikap mental yang memandang bahwa perubahan itu mempunyai akibat yang buruk, dan berwawasan sempit, sehingga secara tidak langsung akan membawa kepicikan bagi yang bersikap seperti itu. Padahal, justru dalam usaha pembangunan sangat dibutuhkan manusia sebagai pendukung pembangunan yang memiliki wawasan berpikir sangat luas.<br /><br />b. Perubahan yang Tidak Direncanakan (Indirect Change) <br />Yang dimaksud dengan indirect change adalah perubahan sosial suatu masyarakat yang berjalan secara alamiah (tidak diprogramkan sebelumnya). Perubahan yang seperti ini terjadi pada masyarakat dimana penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi belum sepenuhnya mampu mengolah dan mengendalikan alam untuk kepentingan hidup manusia. Masyarakat yang mempunyai tipe perubahan demikian ini adalah masyarakat terbelakang (under development country) dan masyarakat berkembang (development country). Tetapi melalui proses pergaulan antar bangsa dewasa ini hampir seluruh negara di dunia telah merencanakan matang-matang bentuk-bentuk perubahan kehidupan secara terencana.<br />Perubahan yang tidak direncanakan (indirect change) merupakan perubahan sosial masyarakat yang tidak terkendali artinya berada di luar kemampuan dan jangkauan manusia. Perubahan-perubahan ini seringkali berupa perubahan-perubahan yang dikendalikan oleh alam maupun perubahan-perubahan manusia sebagai akibat untuk menyesuaikan dengan kondisi-kondisi alam. Contoh-contoh perubahan yang tidak direncanakan antar lain: <br />1) Adanya peledakan penduduk, yaitu bertambahnya jumlah penduduk dalam jumlah yang snagat besar dalam waktu yang relatif pendek. Perubahan ini akan mengakibatkan terjadinya penurunan pendapatan, penurunan kualitas hidup, munculnya pengangguran, meningkatnya kriminalitas, meningkatnya harga tanah dan masih banyak lagi. <br />2) Munculnya perumahan kumuh dan pedagang kali lima di kota-kota besar. Apabila kita amati fenomena munculnya perumahan-perumahan kumuh dan pedagang kaki lima serta rumah-rumah liar ini merupakan fenomena nyata yang mengakiabtkan perubahan tatanan kehidupan di kota di luar perencanaan Pemda setempat. Perubahan sosial seperti ini sebagai akibat adanya peningkatan pengangguran atau sebaliknya perluasan lapangan pekerjaan di kota-kota besar. Masih banyak lagi contoh-contoh perubahan sosial serta fenomena-fenomena sosial yang ada di dalam masyarakat yang muncul secara tidak direncanakan.<br /><br />3. Menurut Besar Kecilnya Pengaruh<br />Sebagaimana telah kita ketahui bahwa kndisi masyarakat selalu mengalami perubahan. Perubahan-perubahan itu selalu menimbulkan pro dan kontra artinya darisuatu perubahan pasti ada pihak-pihak yang diuntungkan dan apsti ada pihak-pihak yang dirugikan. Hal itu terjadi karena setiap perubahan ada pengaruh baik yang buruk maupun yang baik dan pengaruh-pengaruh itu ada yang bersifat meluas ke seluruh penjuru kehidupan ada pula perubahan yang bersifat lokalistis. Untuk pembahasan tentang besar kecilnya perngaruh perubahan akan diuraikan berikut.<br />a. Perubahan yang tidak membawa pengaruh <br />Suatu perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat tidak akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap segi kehidupan yang lain apabila: <br />1) Perubahan itu terjadi pada ranting-ranting sub sistem sosial<br />2) Perubahan itu terjadi bersifat lokalistik karena tidak punya kaitan sistem dengan unsur-unsur sosial yang lain.<br />Contoh-contoh perubahan yang tidak membawa pengaruh besar:<br />• Perubahan mode pakaian <br />• Perubahan mode rumah <br />• Perubahan mode rambut<br /><br />b. Perubahan yang membawa pengaruh besar <br />Suatu perubahan sosial dalam masyarakat akan membawa pengaruh besar apabila:<br />1) Perubahan itu terjadi pada inti sistem yang terdapat dalam masyarakat.<br />2) Perubahan itu memberikan pengaruh terhadap segi kehidupan yang lain karena secara ekonomis berkaitan dengan segi-segi kehidupan yang lain.<br />Contoh perubahan sosial yang membawa pengaruh besar:<br />• Perubahan figur seorang presiden serta perubahan susunan kabinetnya<br />• Perubahan harga bahan bakar minyak<br />• Perubahan tarif listrik, telpon, dan air minum <br />• Perubahan suku bunga bank sentral <br />• Perubahan ejaan dalam bahasa<br /><br /><br /><br /><br />4. Menurut Waktu dan Proses Perubahannya <br />Dalam kehidupan sosial adakalanya perubahan terjadi dipengaruhi oleh adanya sistem-sistem tertentu. Misalnya adanya pergantian waktu masa pemerintahan, adanya pergantian musim, adanya tahun-tahun anggaran dan adanya periodisasi kegiatan sosial dalam masyarakat. Dengan adanya hal-hal tersebut perubahan terjadi dalam kurun waktu yang relatif tetap atau bersifat periodik. Tetapi di balik itu ada pula perubahan-perubahan yang bersifat alamiah dan liar semata-mata ditentukan penuh oleh alam. Mengenai saat-saat perubahan sosial itu terjadi kita mengenal perubahan periodik dan perubahan non periodik.<br />a. Perubahan yang Bersifat Periodik <br />Pada dasarnya perubahan periodik adalah perubahan sosial dalam masyarakat yang terjadi dalam kurun waktu yang tertentu sebagai akibat adanya sistem periodisasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Contoh perubahan periodik:<br />1) Perubahan musim tanam dalam kegiatan pertanian, misalnya pada musim hujan para petani banyak menanam padi. Tetapi pada musin kemarau para petani banyak menanam palawija. <br />2) Perubahan GBHN yang terjadi setiap 5 tahun sekali saat adanya pergantian anggota MPR hasil pemilihan umum yang baru.<br /><br />b. Perubahan yang Bersifat Non Periodik <br />Pada dasarnya perubahan non periodik adalah perubahan-perubahan yang terjadi secara tidak menentu yang dipengaruhi langsung oleh kondisi alam, misalnya:<br />1) Terjadinya bencana alam, gempa bumi, tanah longsor, badai dan topan, dan lain-lain yang terjadi pada saat-saat tertentu yang tidak dpat dipastikan. <br />2) Terjadinya wabah penyakit seperti antrak, Flu burung, penyakit kuku dan mulut dan lain-lain yang juga terjadi secara tidak menentu.<br /><br /><br /><br /><br />ASAH OTAK<br />Wacana<br />PRO KONTRA TENTANG PERUBAHAN HARGA MINYAK<br />Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak terikat oleh kesepakatan bersama yang dibuat oleh lembaga negara-negara penghasil minyak OPEC. Di pasaran dunia cenderung terjadi perubahan harga minyak menuju peningkatan. Hal ini dipicu oleh peningkatan produksi kendaraan bermotor dan ekspansi perusahaan untuk memperluas pemasarannya. Pada akhir tahun 2004 ini harga minyak dunia melambung tinggi, lebih dari 60%. Kenaikan ini disisi lain harga jual BBM produksi dalam negeri mengalami peningkatan tetapi di sisi lain subsidi yang harus dibayar pemerintah kepada pertamina juga menjadi semakin besar jauh melebihi prakiraan harga dalam penyusunan RAPBN.<br />Apabila kenaikan BBM dilakukan di tengah-tengah badai krisis ekonomi yang belum sembuh, akan membuat masyarakat menengah ke bawah mengalami tekanan ekonomi karena kenaikan BBM pasti diikuti oleh kenaikan harga barang yang lain. kejadian ini secara sosiologis akan menimbulkan kemerosotan moral dan ditandai dengan meningkatnya delinkuensi dan kriminalitas. Tetapi apabila harga BBM tidak dinaikkan maka pemerintah akan menjadi gepeng dan keropos karena harus mengeluarkan sejumlah subsidi untuk membayar kompensasi harga kepada pertamina.<br />Pertanyaan<br />1. Apakah yang dimaksud dengan OPEC itu?<br />2. Mengapa harga minyak dunia mengalami kecenderungan naik pada akhir tahun 2004?<br />3. Bagaimana menurut pendapat anda untuk mengatasi delematis tentang kenaikan harga BBM tersebut di atas?<br />4. Apa solusinya untuk mengatasi demonstrasi massa yang menentang kenaikan BBM?<br />5. Jelaskan bagaimana kaitan antara kenaikan BBM dengan menurunnya kualitas moral masyarakat! <br /><br />D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sosial <br />1. Faktor-faktor Penyebab Perubahan Sosial <br />Pada umumnya perubahan sosial dalam masyarakat disebabkan faktor-faktor yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri. Tetapi ada pula masyarakat modern dengan sistem jaringan komunikasi yang bersifat global banyak faktor-faktor luar masyarakat yang turut berpengaruh terhadap bentuk-bentuk perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Adapun faktor-faktor penyebab perubahan yang berasal dari dalam masyarakat meliputi kondisi penduduk, kreativitas terhadap penemuan hal-hal yang baru serta adanya gejolak sosial dari masyarakat itu sendiri.<br />Setiap kali terjadi perubahan maka yang harus dicermati adalah perubahan-perubahan itu harus diupayakan mengarah pada perubahan-perubahan yang progresif dengan sekecil mungkin memberikan dampak yang negatif bagi kalangan luas masyarakat. Pembahasan lebih lanjut tentang faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat adalah sebagai berikut.<br />a. Faktor yang berasal dari dalam masyarakat <br />1) Keadaan bertambah atau berkurangnya penduduk <br />Apabila jumlah penduduk bertambah secara signifikan maka yang terjadi adalah perbagai macam bentuk penyesuaian dalam pemenuhan kebutuhannya, misalnya pendirian unit-unit sekolah baru, rumah sakit, pelebaran jalan, munculnya pemukiman baru, pasar, swalayan, tempat hiburan dan lain-lain. Begitu pula jika terjadi suatu proses transisi demografi yang ebrsifat menurun maka secara mendadak jumlah penduduk berkurang sangat besar. Kondisi ini juga akan menimbulkan yang signifikan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat, misalnya yang terjadi di Jepang pada tahun 1945 paska bom atom Hirosima dan Nagasaki.<br />2) Adanya penemuan-penemuan baru<br />Penemuan baru dapat berbentuk discovery dan invention. Kedua-duanya akan menimbulkan suatu inovasi yang langsung berpengaruh dalam tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian penemuan-penemuan baru akan merombak tata kehidupan masyarakat yang lama yang dirasa tidak lagi sesuai. Sebagai contoh dengan berkembangnya stasiun televisi swasta yang beroperasi nonstop sepanjang waktu mengakibatkan gedung-gedung bioskop tidak lagi layak menjadi tempat hiburan seperti dulu. Perubahan ini terjadi karena adanya penemuan baru di bidang dunia pertelevisian, sistem rekaman, dan sistem pengiriman data rekaman. <br />3) Adanya pertentangan atau konflik sosial dalam masyarakat <br />Pada masyarakat multikultural secara struktural terdapat banyak budaya yang berlainan serta terdapat perbedaan sistem tata nilai antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Kondisi seperti ini pada umumnya akan menyebabkan terjadinya konflik. Dan setiap konflik ada kecenderungan membuat pihak tertentu menang atau kalah. Selanjutnya pihak-pihak yang menang akan melakukan suatu perubahan-perubahan sosial sesuai dengan misi mereka masing-masing. Dengan demikian suatu konflik dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat. Sementara konflik masih berkelanjutan, pihak yang menang kembali menjadi pihak yang kalah. Dan yang terjadi adalah perombakan sistem pemerintahan dan peraturan perundangan yang ada. Demikian terjadi berulang kali dalam masyarakat.<br />4) Terjadinya revolusi sosial dalam masyarakat itu sendiri<br />Pada dasarnya revolusi sosial adalah suatu bentuk perubahan cepat dan mendasar yang didukung oleh massa dalam jumlah yang besar. Revolusi sosial dapat berbentuk suatu peperangan berdarah atau tidak berdarah tetapi yang pasti revolusi sosial dalam rangka memunculkan perubahan-perubahan struktur sosial dalam suatu masyarakat. Contoh-contoh revolusi sosial telah disajikan di atas.<br /><br />b. Faktor yang berasal dari luar masyarakat <br />Dewasa ini dunia telah mengalami perkembangan telekomunikasi yang sangat pesat yang membuat seolah-olah dunia ini menjadi satu lingkungan kampung yang saling berdekatan. Keadaan ini disebabkan oleh adanya telekomunikasi melalui satelit yang dapat berlangsung nonstop dengan biaya yang relatif murah dan dapat menjangkau seluruh penjuru dunia. Keadaan yang demikian mengakibatkan faktor-faktor dari luar masyarakat secara efektif dapat mempengaruhi kondisi-kondisi dalam masyarakat sehingga terjadilah perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat tersebut. Adapun faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat itu antara lain:<br /><br /><br />1) Pengaruh adanya peperangan antar bangsa<br />Ada kecenderungan bahwa diantara bangsa-bangsa yang mempunyai lokalitas yang sama membentuk suatu ikatan kerjasama di berbagai segi kehidupan. Misalnya ASEAN, APEC, NATO dan lain-lain. Ada pula ikatan-ikatan kerjasama antar negara yang dibentuk berdasarkan kesamaan ideologis, misalnya OKI. Ikatan-ikatan kerjasama antar negara itu seringkali menjadi kelompok-kelompok pro dan kelompok-kelompok kontra. Dengan demikian peperangan antar bangsa snagat memungkinkan timbulnya pengaruh-pengaruh yang menguntungkan maupun yang merugikan dalam kehidupan suatu masyarakat.<br />2) Adanya pengaruh dari kebudayaan lain <br />Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa komunikasi yang menglobal mengakibatkan jalinan sosial antar bangsa menjadi sangat akrab. Kondisi ini mengakibatkan pengaruh-pengaruh yang efektid dari bangsa lain masuk ke dalam suatu bangsa. Misalnya dalam bentuk perdagangan, pendidikan, idiologi, seni, kemilietran dan lain sebagainya. <br />3) Pengaruh faktor-faktor alam <br />Lingkungan alam memang senantiasa mengalami perubahan-perubahan. Selanjutnya berubahnya lingkungan alam dapat mempengaruhi perubahan sosial dalam masyarakat. Contoh-contoh peruabhan lingkungan alam yang dapat mempengaruhi perubahan sosial budaya dalam masyarakat antara lain:<br />• Perubahan siang dan malam <br />• Perubahan suhu, tekanan, kelembaban<br />• Perubahan iklim, musim<br />• Perubahan kesuburan tanah<br />• Perubahan arah angin, dll <br /><br />2. Faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial<br />Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa perubahan sosial dapat terjadi karena faktor-faktor yang berasal dari dalam masyarakat maupun faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat. Setelah proses perubahan itu mulai bergulir ada faktor-faktor yang membuat perubahan tersebut bergulir menjadi lebih cepat atau bergulir menjadi lebih lambat. Faktor-faktor itulah yang dimaksud faktor pendorong dan faktor penghambat terhadap proses perubahan sosial dalam masyarakat. <br />a. Faktor Pendorong Perubahan Sosial dalam Masyarakat <br />Suatu proses perubahan akan menjadi lebih cepat karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses perubahan itu sendiri. Faktor-faktor itu antara lain:<br />1) Adanya kontak yang intensif<br />Apabila terjadi kontak dan komunikasi yang efektif antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, antara komponen masyarakat yang satu dengan komponen masyarakat yang lain, hal ini dapat mempercepat proses perubahan sosial dari masyarakat tersebut. Kontak yang intensif ini sebagai contoh adalah lokasi yang strategis. Masyarakat yang terletak pada daerah-daerah yang strategis yang mudah dijangkau oleh arus informasi dan arus inovasi dari masyarakat lain, masyarakat ini akan cenderung berubah dan berkembang lebih cepat bila dibandingkan dengan kondisi masyarakat yang sama yang berada jauh di pedalaman. Ini membuktikan bahwa komunikasi yang intensif dapat memeprcepat proses perubahan sosial masyarakat. <br />2) Adanya struktur masyarakat yang terbuka<br />Setiap masyarakat memiliki strukturnya sendiri-sendiri. Pada masyarakat tradisional mempunyai struktur yang sangat terikat oleh tradisi-tradisi masyarakat sehingga hubungan antar komponen masyarakat termasuk antar strata yang ada di dalam masyarakat berjalan secara lambat dan tersekat-sekat. Tetapi sebaliknya pada masyarakat modern yang mempunyai struktur sosial yang praktis dan rasional membuat struktur itu terbuka antar komponen masyarakat yang ada. Struktur masyarakat yang terbuka ini berarti memberikan peluang komunikasi yang bebas antar komponen masyarakat. Selanjutnya terbukanya komunikasi antar komponen masyarakat ini dapat mempercepat proses perubahan sosial bagi masyarakat yang mempunyai struktur terbuka itu. <br />3) Adanya struktur masyarakat yang heterogen <br />Pada masyarakat tradisional seperti masyarakat petani di pedalaman, masyarakat nelayan yang belum maju, mereka mempunyai suatu sistem sosial yang seragam, mempunyai mata pencaharian yang seragam serta mempunyai pola pikir dan presepsi yang seragam pula. Tetapi pada masyarakat perkotaan dimana unsur masyarakatnya sangat heterogen membuat ide-ide baru tercetus dan berpindah dari kelompok masyarakat yang satu kepada kelompok masyarakat yang lain. Heterogenits inilah akan mendorong munculnya aktivitas sosial yang lebih bermacam-macam ketimbang struktur yang homogen.<br />4) Adanya sikap toleransi<br />Persepsi masyarakat terhadap keberadaan dirinya seringkali menilai lebih tinggi dari kondisi masyarakat yang lain. Keadaan ini justru akan menghambat proses perubahan bagi masyarakatnya. Tapi sebaliknya dengan adanya toleransi sosial dalam arti mau memberi dan mau menerima terhadap hal-hal yang baru antar komponen dalam masyarakat akan memungkinkan terjadinya jalinan komunikasi yang baik. Keadaan ini dapat mempercepat proses perubahan sosial bagi masyarakat tersebut. Sebagai salah satu pertimbangan, orang yang besar toleransinya pasti akan banyak sahabat-sahabatnya. Dengan banyak sahabat-sahabatnya berarti banyak terjadi jalinan komunikasi dan pertukaran ide-ide dari orang lain. Kondisi inilah yang mendorong orang yang besar toleransinya berkembang pengetahuan sosialnya lebih cepat.<br />5) Adanya sikap mau menerima unsur kebudayaan lain <br />Adakalnya suatu masyarakat sangat fanatis artinya sulit untuk menerima masuknya unsur-unsur budaya lain karena menaruh kecurigaan terhadap unsur-unsur yang baru tersebut. Tetapi sebaliknya ada pula masyarakat yang bersifat terbuka artinya mau menerima masuknya unsur-unsur budaya yang lain. Apabila suatu masyarakat mempunyai sikap terbuka mau menerima unsur-unsur budaya lain walaupun dengan seleksi, maka akan membuat proses perubahan sosial bagi masyarakat tersebut relatif cepat.<br /><br />6) Adanya sikap tidak cepat puas terhadap apa yang telah dicapai<br />Apabila seseorang mempunyai sifat sulit untuk mencapai kepuasan dalam bekerja, maka orang itu akan cenderung menyempurnakan pekerjaannya ke arah yang lebih sempurna dan lebih baik lagi. Keadaan ini berlaku juga untuk sifat-sifat suatu masyarakat. Apabila hal ini terjadi masyarakat akan mempunyai perkembangan yang lebih pesat menuju kehidupan yang lebih baik.<br />7) Adanya lembaga pendidikan yang maju <br />Lembaga pendidikan pada dasarnya merupakan pusat budaya masyarakat artinya di dalam lembaga pendidikan terdapat proses transformasi nilai-nilai pengetahuan serta ketrampilan yang ada di dalam masyarakat. Melalui lembaga pendidikan yang maju dapat mempercepat proses transformasi budaya dari generasi tua kepada generasi muda.<br /><br />b. Faktor Penghambat Perubahan Sosial dalam Masyarakat <br />Tidak selamanya kondisi-kondisi dalam masyarakat selalu mendukung proses perubahan sosial dalam masyarakat tersebut. Tetapi ada kalanya justru terdapat kondisi-kondisi tertentu yang menghambat proses perubahan itu. Adapun hal-hal yang dapat menjadi penghambat proses perubahan sosial masyarakat adalah sebagai berikut.<br />1) Adanya social esolation (keterpencilan)<br />Masyarakat yang mempunyai kedudukan jauh di pedalaman dan jauh dari jangkauan transformasi dan informasi akan mengalami perlambatan dalam proses perkembangan menuju kemajuan. Pada dasarnya isolasi sosial juga dapat terjadi karena sifat masyarakat yang menutup diri bukan semata-mata berada di daerah yang terpencil. Keadaan yang demikian juga dapat menyebabkan perlambatan proses perubahan sosial.<br />2) Adanya struktur masyarakat yang tertutup<br />Sebagaimana disinggung di atas apabila masyarakat memiliki struktur yang tertutup berarti jalinan komunikasi antar komponen masyarakat terhambat oleh sekat-sekat tradisi dan norma-norma kebiasaan. Kondisi masyarakat yang seperti ini dapat menjadi penyebab terjadinya perlambatan proses perkembangan masyarakat itu sendiri.<br />3) Adanya struktur masyarakat yang homogen<br />Apabila kondisi masyarakat lebih bersifat seragam dalam mata pencaharian, struktur budaya, persepsi, maka akan membuat kemungkinan munculnya peluang ide-ide baru yang rendah. Kalau toh ada ide-ide baru itu juga bersifat seragam melingkup pada bidang yang sama yang dialami oleh banyak orang dalam masyarakat itu. Oleh karena itu harus diketahui khususnya dalam dunia pendidikan, tekanan-tekanan untuk menyeragamkan sesuatu sungguh merupakan suatu hambatan yang besar dalam proses perkembangan kejiwaan seorang anak.<br />4) Adanya sikap superior<br />Yang dimaksud dengan sikap superior adalah sikap sombong dan meremehkan pihak lain atau unsur-unsur masyarakat yang lain. Adanya sikap superior ini membuat orang tertutup untuk mengetahui hal-hal yang baru yang sesungguhnya perlu diketahui dan berada di dalam masyarakat yang dianggap remeh tadi. Pada akhirnya kejadian yang demikian ini akan membuat superior justru tertinggal dari perkembangan masyarakat pada umumnya.<br />5) Adanya sikap tertutup terhadap pembaharuan <br />Sikap tertutup terhadap pembaharuan salah satunya disebabkan karena sikap fanatik, yaitu sikap yang bersifat saklek yang menganggap sesuatu yang baik dan benar hanya pada dirinya atau sesuatu yang menjadi pilihannya. Sikap yang demikian ini sesungguhnya telah menghambat masuknya unsur-unsur baru yang lebih luas dari masyarakat yang lain.<br />6) Adanya sikap cepat puas terhadap apa yang telah dicapai<br />Apabila seseorang selalu mempunyai selera yang rendah berarti orang itu gampang mencapai suatu kepuasan walaupun belum dapat mencapai prestasi yang tinggi. Orang yang demikian ini mempunyai minat dan dorongan emosi yang rendah. Akibatnya ogah-ogahan untuk mengejar kemajuan yang lebih tinggi yang terkadang sulit dicapai. Hal serupa berlaku pula pada sifat-sifat masyarakat. Selanjutnya masyarakat yang mempunyai sifat apatis dan cepat puas terhadap apa yang dicapai dan dimiliki telah membuat proses perkembangan menjadi lambat. <br />7) Adanya lembaga pendidikan yang tertinggal<br />Sebagaimana disinggung di atas bahwa sekolah/lembaga pendidikan merupakan suatu pusat kebudayaan artinya di sekolah itulah terdapat budaya-budaya masyarakat yang sehari-hari dipakai dan dikembangkan. Dan di dalam lembaga pendidikan itu pula selalu terjadi proses transformasi nilai, pengetahuan dan ketrampilan dari generasi tua ke generasi muda. Maka dengan lembaga pendidikan yang tertinggal proses perkembangan masyarakat secara otomatis juga terhambat.<br /><br />E. Dampak Perubahan Sosial terhadap Kehidupan Masyarakat <br />Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak ada satu masyarakatpun yang berhenti dari perubahan. Ini berarti bahwa setiap masyarakat cepat atau lambat selalu terjadi proses perubahan. Setiapkali terjadi perubahan mesti ada pihak-pihak yang diuntungkan dan ada pihak-pihak yang dirugikan. Dengan demikian kita semua harus pandai dan peka terhadap perubahan agar tidak menjadi korban dari perubahan itu sendiri. <br />Pada dasarnya yang dimaksud dengan modernisasi adalah proses perubahan masyarakat beserta dengan kebudayaannya dari hal-hal yang bersifat tradisional menuju hal-hal yang bersifat modern. Proses modernisasi ini merombak pola pikir yang didasarkan pada tradisi-tradisi menjadi pola pikir yang rasional yang mengacu pada penalaran atau akal pikir manusia.<br />Globalisasi pada hakekatnya merupakan suatu kondisi meluasnya budaya yang seragam bagi seluruh masyarakat di dunia. Apabila seluruh masyarakat di dunia telah memiliki satu sistem budaya yang sama, maka boleh dikatakan proses globalisasi telah selesai. Proses globalisasi ini muncul sebagai akibat adanya arus informasi dan komunikasi yang selalu online setiap saat dan dapat dijangkau dengan biaya yang relatif murah. Sebagai akibatnya adalah masyarakat dunia menjadi satu lingkungan yang seolah-olah saling berdekatan dan menjadi satu sistem pergaulan dan satu sistem budaya yang sama.<br />Modernisasi dan globalisasi sebagai suatu perkembangan baru memunculkan pengaruh-pengaruh yang menguntungkan maupun yang merugikan, maka sebaiknya proses modernisasi dan globalisasi harus diseleksi secara matang dan bijaksana agar tidak menimbulkan pengkerdilan kemampuan manusia serta pengekrdilan struktur budaya masyarakat setempat. Melalui modernisasi dan globalisasi akan terjadi suatu aliran perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya-budaya khususnya dari negara-negara maju menuju ke negara-negara berkembangan dan terbelakang. Proses ini secara makro memang merupakan proses alam yang pasti terjadi sepanjang sejarah hidup manusia. Tetapi di sisi lain aliran ilmu pengetahuan dan teknologi budaya ini pasti akan menggusur dan memarjinalkan budaya-budaya lokal. Itulah sebabnya berikutr ini akan dibahas secara khusus mengenai dampak modernisasi dan globalisasi. <br />1. Pengaruh-pengaruh Positif Modernisasi dan Globalisasi <br />Sebagaimana telah kita ketahui bahwa modernisasi sesungguhnya merupakan suatu perkembangan dari rasionalisasi yaitu suatu gerakan untuk membuat segala sesuatu menjadi rasional dan dapat diterima oleh penalaran manusia. Perkembangan ini merupakan suatu kemajuan dalam struktur budaya manusia di seluruh dunia. Dampaknya adalah budaya-budaya tradisioal yang bersifat irasional akan termarjinalisasikan bahkan hanyut oleh budaya-budaya hasil modernisasi. Seiring dengan perkembgangan modernisasi di seluruh penjuru dunia, secara tidak disadari budaya-budaya masyarakat dunia telah hampir seragam seperti misalnya : adanya 5 bahasa internasional, adanya organisasi perdagangan dunia WTO, adanya lembaga-lembaga perserikatan bangsa-bangsa seperti WHO, Bank Dunia, IMF, ILO dan lain-lain. Kondisi yang demikian ini telah membuat masyarakat dunia menajdi satu sistem pergaulan apalagi dengan dibukanya sistem perdagangan bebas dari seluruh masyarakat dunia. Adapun pengaruh-pengaruh positif dan negatif dari proses modernisasi yang bergulir di seluruh penjuru dunia antara lain sebagai berikut:<br />a. Pengaruh positif modernisasi <br />Memang sejak awal modernisasi merupakan suatu rencana besar yang dilakukan oleh golongan cerdik pandai (scientist) untuk memajukan peradaban manusia. Upaya-upaya ini berbentuk perombakan pandangan-pandangan irasional menajdi pandangan-pandangan yang rasional sehingga efektifitas dan produktifitas kerja manusia akan meningkat. Adapun pengaruh-pengaruh modernisasi yang positif misalnya:<br />1) Meningkatnya efektifitas dan efisiensi kerja manusia sebagai akibat bertambahnya pengetahuan, bertambahnya peralatan teknologi yang serba canggih serta bertambahnya jarak jangkauan komunikasi antar manusia di dunia.<br />2) Meningkatnya produktivitas kerja manusia. Hasilnya dapat dilihat dalam bentuk meningkatnya produk-produk barang pada setiap prabrik sebagai akibat munculnya mekanisasi industri serta robotisasi. Keadaan ini telah membuat barang-barang produksi yang dihasilkan oleh manusia dalam aktivitas industri melonjak sangat signifikan. <br />3) Meningkatnya volume ekspor <br />Sebagai kelanjutan dari meningkatnya produktivitas kerja manusia dalam bentuk barang-barang hasil industri, maka dilanjutkan dengan meningkatnya volume perdagangan ke luar negeri (ekspor).<br />4) Tersedianya berbagai macam barang konsumsi<br />Melalui mekanisasi industri telah menghasilkan barang-barang konsumsi dalam jumlah besar dan bervariasi. Ini berarti bahwa barang-barang pemuas kebutuhan tersedia dalam banyak pilihan.<br />5) Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi<br />Modernisasi memang pada mulanya berawal di dunia pendidikan yang ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan an teknologi. Selanjutnya ilmu pengetahuan dan teknologi membuahkan suatu industrialsiasi dan meningkatkan peradapan dan pendapatan manusia. Pada perkembangan yang terakhir ilmu pengetahuan dan teknologi akan terdorong maju dengan tersedianya peluang-peluang pendapatan yang dimiliki oleh manusia akibat modernisasi itu sendiri.<br />6) Meluasnya lapangan pekerjaan <br />Dengan bertambahnya jumlah industri di seluruh penjuru dunia sesungguhnya telah membuat lapangan pekerjaan baru khususnya bagi mereka-mereka yang mempunyai bekal ketrampilan dan ilmu pengetahuan. Tetapi bagi mereka yang tidak memiliki bekal ketrampilan dan ilmu pengetahuan, kehadiran industri justru akan mendesak keberadaan mereka sebagai tenaga kerja.<br />7) Munculnya profesionalisme dan spesialisasi ketenagakerjaan <br />Industrialisasi serta dunia kerja yang dilengkapi dengan komputer dan peralatan canggih lainnya menuntut adanya profesionalisme dari setiap tenaga kerja. Disamping itu juga menuntut keahlian secara khusus (spesialisasi).<br /><br />b. Pengaruh positif globalisasi <br />Apabila kita amati dengan seksama bahwa globalisasi memunculkan celah-celah angin segar bagi sekelompok manusia seperti konsumen serta pengembangan hak-hak asasi manusia dalam berbagai hal. Adapun pengaruh-pengaruh positif dari globalisasi itu antara lain:<br />1) Adanya alternatif yang sangat bervariasi mengenai penyediaan barang-barang konsumsi<br />2) Adanya kecenderungan bagi konsumen untuk mendapatkan harga barang-barang secara murah.<br />3) Lancarnya proses penanaman modal dari negara donor pada negara-negara penerima modal<br />4) Lancarnya komunikasi antar individu maupun antar kelompok dalam skup wilayah sedunia<br />5) Lancarnya proses transaksi ekonomi antar negara maupun antar benua<br /><br />2. Pengaruh-pengaruh Negatif Modernisasi dan Globalisasi <br />Sebagaimana disinggung di depan bahwa di balik keuntungan-keuntungan akibat modernisasi dan globalisasi juga muncul pengaruh-pengaruh yang negatif yang merugikan kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Untuk membahas hal tersebut ikutilah keterangan berikut.<br />a. Pengaruh Negatif Modernisasi <br />Modernisasi yang seringkali tampak sebagai munculnya peralatan-peralatan baru serta sistem-sistem berpikir yang rasional telah menimbulkan dampak yang negatif antara lain:<br />1) Adanya perusakan alam dan pencemaran lingkungan <br />Dengan diketemukannya berbagai macam peralatan pertambangan, kehutanan, perikanan dan peternakan maka eksploitasi terhaap sumber-sumber alam seringkali berlebihan sehingga menimbulkan perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan alam itu sendiri. Sebagai contoh dengan munculnya gergaji mesin yang amat sangat efektif untuk menabang kayu, maka akan memeprcepat proses perusakan hutan seluruh dunia dan apabila hutan telah rusak maka yang terjadi adalah banjir dan tanah longsor yang mengerikan.<br />2) Adanya sikap konsumeristis <br />Yang dimaksud dengan sikap konsumeristis adalah sikap yang tergantung untuk membeli dan memakai produk-produk barang yang dihasilkan industri. Sebagai akibat dari sikap yang demikian ini masyarakat menjadi boros dan kurang mandiri dalam mengatasi berbagai permasalahan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kata lain konsumerisme adalah meluasnya sikap konsumtif di kalangan luas masyarakat.<br />3) Adanya penurunan kualitas moral manusia (demoralisasi) <br />Industrialsiasi sebagai perwujudan dari modernisasi telah menghasilkan berbagai macam produk barang pemuas kebutuhan hidup yang menarik untuk dimiliki. Keadaan ini telah membuat orang-orang tidak mampu tidak dapat menahan keinginannya sehingga mengambil jalan pintas untuk menipu korupsi termasuk mencuri barang-barang yang diingikannya. Dengan demikian sekecil apapun modernisasi telah membuat kriminalitas meningkat di dalam masyarakat.<br />4) Adanya keresahan sosial<br />Pada dasarnya keresahan sosial adalah suatu problema yang sulit untuk dipecahkan tetapi melanda banyak warga masyarakat. Keadaan yang seperti ini menimbulkan suatu kegelisahan atau keresakan sosial. Salah satu sebab terjadinya keresahan sosial misalnya adalah karena perkembangan teknologi peralatan manusia itu sendiri. Contoh: jalannya macet karena telah mengalami kelebihan jumlah mobil. <br />5) Menurunnya kemandirian dalam menghadapi masalah <br />Industrialisasi telah menghasilkan berbagai macam barang untuk membantu pekerjaan manusia seperti telepon, mobil, sepeda motor, kipas angin, mesin cuci, pompa air, setrika listrik, komputer dan lain-lain. Dengan bantuan peralatan tersebut di atas pekerjaan manusia menjadi mudah. Tetapi manakala peralatan-peralatan itu rusak atau tidak ada maka seseorang bisa berubah kemampuannya seperti orang yang lumpuh dan pemalas.<br />6) Meningkatnya sikap egois dan materislistis<br />Industrialisasi memang membuat manusia menjadi terbantu pekerjaan dan permasalahannya. Dengan demikian manusia tidak lagi membutuhkan keberadaan orang lain sehingga menjadi egois. Di sisi lain industrialisasi telah menghasilkan barang-barang yang sangat menarik untuk dimiliki. Keadaan ini telah membuat orang mencintai barang-barang yang bersifat keduniawian (materialistis).<br /><br />b. Pengaruh negatif globalisasi <br />Globalisasi dilihat dari dunia industri memang merupakan suatu ajang pertandingan diantara banyak peserta yang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Pertandingan ini tentu akan dimenangkan oleh mereka-mereka yang berkemampuan tinggi, yaitu industri-industri yang berada di negara maju yang telah lama memiliki kinerja dan sistem efisiensi yang tinggi. Sementara industri-industri yang manual dan industri-industri dengan sistem mekanis yang belum memiliki efisiensi yang tinggi akan gulung tikar. Adapun contoh-contoh konkrit dari pengaruh globalisasi antara lain:<br />1) Adanya tekanan-tekanan ekonomis dari negara-negara yang kuat terhadap-terhadap negara yang lemah.<br />2) Menjalarnya orang-orang asing dari negara-negara maju menuju negara-negara berkembang dan negara terbelakang.<br />3) Adanya persaingan yang bebas dalam ketenagakerjaan sehingga lebih menguntungkan orang-orang yang berkualitas.<br />4) Adanya persaingan yang bebas terhadap berbagai macam produk barang dan jasa. Keadaan ini sangat menghancurkan industri-industri kecil dan menengah yang belum memiliki standarisasi hasil produksi serta mekanisasi dalam proses pembuatan barang. <br /><br />3. Munculnya Disorganisasi <br />Menurut Robert Mclver perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat berakibat kepada keseimbangan hubungan sosial. Dengan kata lain perubahan sosial dapat mengakibatkan ketidakseimbangan hubungan sosial. Hal ini karena dalam kenyataannya, unsur-unsur sosial dalam masyarakat tidak selalu bersifat adjustive (dapat menyesuaikan diri) terhadap perubahan-perubahan.<br />Persoalan warga masyarakat dalam kaitannya dengan perubahan sosial adalah penyesuaian dengan unsur-unsur baru akibat perubahan sosial. Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan, pertama: masyarakat menemukan falsafah atau nilai baru, kedua: masyarakat tenggelam dalam persoalan-persoalan dan tidak dapat mengambil keputusan. Apabila yang terjadi adalah kemungkinan pertama, artinya masyarakat dapat saling menyesuaikan dengan keadaan baru, berarti dalam masyarakat terjadi interaksi sosial. Namun apabila yang terjadi adalah kemungkinan kedua, artinya tidak terjadi penyesusian terhadap keadaan baru, yang ebrarti pula masyarakat mengalami disintegrasi sosial.<br />Terjadinya disintegrasi sosial dalam masyarakat pada awalnya ditandai oleh keadaan yang dinamakan disorganisasi sosial. Gejala-gejalanya sebagai berikut:<br />a. Terjadi pertentangan antara norma-norma yang ada dalam masyarakat.<br />b. Tindakan para warga masyarakat tidak lagi sesuai dengan norma-norma masyarakat.<br />c. Tidak ada persamaan persepsi/pandangan di antara para warga masyarakat mengenai tujuan masyarakat.<br />d. Norma-norma masyarakat tidak berfungsi dengan baik sebagai alat pengndalian sosial untuk mencapai tujuan masyarakat.<br />e. Terjadi proses-proses sosial disosiatif. <br /><br />Bentuk-Bentuk Disintegrasi Sosial sebagai Akibat Proses Perubahan<br />Tidak selamanya proses perubahan menimbulkan hal yang baik. Tetapi seringkali didahului dengan bentuk-bentuk kontradiksi yang ada dalam masyarakat. Dan bentuk-bentuk seperti ini dapat membawa revisi terhadap kondisi kehidupan yang lebih baik. Tetapi ada pula yang berkelanjutan sehingga justru merusak tatanan kehidupan yang ada dalam masyarakat. Berikut ini adalah bentuk-bentuk diintegrasi sosial yang secara umum terjadi dalam masyarakat.<br /><br />a. Aksi Protes/Demonstrasi<br />Aksi protes/demonstrasi atau unjuk rasa adalah kegiatan dari sejumlah orang dengan tidak menggunakan kekerasan, mengorganisir diri untuk melakukan protes, mengungkapkan kekecewaan ataupun menyampaikan tuntutan terhadap suatu rezim, pemerintah atau pimpinan rezim atau pimpinan pemerintah, atau terhadap suatu ideologi, kebijaksanaan baik yang telah berlaku ataupun yang sedang direncanakan, terhadap suatu tindakan atau tindakan yang sedang direncanakan.<br />Aksi protes, demonstrasi atau unjuk rasa merupakan salah satu cara untuk menyapaikan kehendak atau aspirasi. Cara ini biasanya dilakukan setelah cara-cara lain, seperti penyampaian aspirasi melalui DPR/DPRD, tulisan atau artikel di surat kabar/majalah, tayangan televisi, dan sebagainya, dipandang tidak efektif.<br />Melalui aksi protes, demonstrasi atau unjuk rasa, kehendak atau aspirasi tersebut disampaikan melalui poster-poster, yel-yel, lagu-lagu, puisi, pidato atau orasi, pernyataan tertulis yang dibacakan, bahkan tidak jarang melalui pernyataan yang sangat keras sampai umpatan-umpatan dan caci maki.<br />Akibat adanya unjuk rasa antara lain kemacetan lalu lintas, karena secarafisik para pengunjuk rasa biasanya membentuk kerumunan atau arak-arakan di jalan besar atau lapangan yang ramai untuk mendapatkan perhatian publik dan mempertajam prasangka sehingga dihaapkan lebih mendapat dukungan publik.<br />Contoh aksi protes, demonstrasi atau unjuk rasa antara lain: gerakan mahasiswa di bawah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) pada tahun 1965, juga aksi para pelajar di bawah KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), unjuk rasa para ulaman pada tahun 1993 yang menuntut kepada Mensos Inten Suweno untuk dihapuskan judi terselusbung SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), juga aksi para mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR RI pada bulan Mei 1998 yang menuntut reformsi segala bidang dalam pemerintahan orde baru di bawah Presiden Soeharto.<br />Apabila tidak terkendali, aksi protes demonstrasi atau unjuk rasa dapat berubah menajdi riot (kerusuhan) ataupun armed attact (serangan bersenjata), yakni kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang dimaksud untuk melemahkan kekuatan kelompok lain. misalnya kerusuhan yang terjadi sekitar bulan mei 1998 di beberapa kota di Indonesia: Medan, Yogyakarta, Surakarta dan Jakarta.<br /><br />b. Pergolakan Daerah <br />Pergolakan daerah dapat terjadi karena:<br />1) Sentimen kedaerahan dan primodialisme lebih berkembang daripada sentimen nasional.<br />2) Sentralisasi kehidupan ekonomi dan politik yang mengakibatkan perbedaan pertumbuhan yang tajam antara pusat dengan daerah.<br /><br />c. Kriminalitas<br />Kriminalitas (kejahatan) dalam masyarakat akan tumbuh subur apabila dalam masyarakat terdapat ketimpangan sosial dan ekonomi, krisis ekonomi, tekanan mental, dendam,kecemburuan ataupun kebencian. Dalam studi sosiologi perilaku jahat dikualifikasikan sebagai perilaku menyimpang. Sebagaimana perilaku lain yang tidak menyimpang, perilaku jahat menjadi milik diri individu atau sekelompok orang juga melalui proses sosial, seperti asoasiasi dan sosialisasi.<br />White Collar Crime <br />Suatu bentuk kriminalitas yang khas dalam masyarakat adalah white collar crime (kejahatan kerah putih), yaitu kejahatan yang dilakukan oleh para penguasa atau para pengusaha di dalam menjalankan peran-peran sosialnya.<br />Pada mulanya dinamakan economics atau bussiniss criminality. Kejahatan jenis ini merupakan dampak dari perkembangan masyarakat yang pesat namun hanya menekankan pada aspek finansial material saja. Para pelakunya biasanya keadaan keuangannya kuat atau mempunyai kekuasaan sehingga memungkinkan melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya melanggar hukum tanpa dapat dikenai hukum.<br />Contoh white collar crime adalah korupsi. Dalam masyarakat paling tidak dikenal empat macam korupsi, yaitu:<br />1) Korupsi ekstorsif <br />Seseorang (pengusaha) memberikan suap (bribery) kepada penguasa politik agar mendapatkan perlindungan etas kepentingan-kepentingan ekonominya, misalnya untuk mendapatkan izin usaha yang sebenarnya melanggar norma atau hukum. Sebagai kompensasi di pengusaha menjanjikan keuntungan ekonomi kepada pengusaha. Dalam masyarakat korupsi ini dikenal sebagai kolusi (kongkalingkong).<br />2) Korupsi manipulatif <br />Yakni usaha kotor yang dilakukan oleh seseorang pengusaha (penguasa) untuk mendapatkan kebijaksanaan, aturan atau keputusan yang mendatangkan keuntungan ekonpmi bagi dirinya.<br />3) Korupsi nepotistik <br />Yakni perlakuan istimewa yang dilakukan oleh penguasa kepada para sanak keluarganya atau kaum kerabatnya (anak, menantu, keponakan, isteri, dan ipar) dalam rekuitmen ataupun pemberian aktivitas (proyek) yang mendatangkan keuntungan sosial, ekonomi maupun politik.<br />4) Korupsi subversif <br />Yakni pencurian kekayaan negara oleh para penguasa atau pengusaha yang merusakkan kehidupan ekonomi bangsa.<br />Contoh white collar crime yang lain: nepotisme dan kroniisme. Nepotisme berasal dari kata nepos (bahasa latin, artinya descent/keturunan), dan ismos (Yunani, artinya proses, tindakan atau praktek). Nepotisme merupakan proses, tindakan atau praktek pemberian perlakuan istimewa terhadap seseorang atau sekelompok orang di dalam rekuitmen, pengisian jabatan pada organisasi/asosiasi atau dalam memperoleh sumber-sumber ekonomi yang semata-mata didasarkan pada hubungan kekerabatan, kekeluargaan, bukan prestasi atau kemampuan.<br />Seperti halnya nepotisme, adalah kronisme (cronysm). Bedanya, pada kronisme pemberian hak-hak istimewa tersebut didasarkan pada hubungan pertemanan atau persahabatan.<br /><br />d. Kenakalan Remaja <br />Yang dimaksud dengan kenakalan remaja (delinkuensi) adalah semua bentuk aktivitas remaja yang belum dewasa hukum yang bertentangan dengan norma-norma sosial terutama norma hukum. Kenakalan remaja ini merupakan suatu bentuk ketimpangan penanganan terhadap pendidikan anak akibat ketidakmampuan orang tua, lingkungan sekolah, serta lingkungan masyarakat. Kenakalan remaja biasanya terjadi di kota-kota atau di masyarakat yang telah mendapatkan pengaruh kehidupan kota, yang terjadinya melalui tahap-tahap sebagai berikut:<br />1) Sense of value yang kurang ditanamkan oleh orang tua karena ketidakmampuan, ketidakmauan, atau tidak adanya kesempatan karena kesibukan.<br />2) Timbulnya organisasi-organisasi informal (klik atau geng) yang berperilaku menyimpang sehingga tidak disukai oleh masyarakat.<br />3) Timbulnya upaya-upaya remaja untuk mengubah keadaan dan disesuaikan dengan youth values.<br />Contoh-contoh kenakalan remaja antara lain: perkelahian pelajar, pelanggaran tata tertib sekolah seperti aksi coret-coret, merokok, berpakaian kurang sopan serta tindakan-tindakan lain yang tidak sesuai dengan norma sekolah. Disamping itu pelanggaran dalam lingkungan masyarakat seperti: cross-boy, cross-girl, pencurian, penganiayaan, pornografi, seks bebas, penyalahgunaan obat-obatan, alkoholisme, ngebutisme (mengendarai kendaraan secara sewenang-wenang di jalan umum), dan sebagainya.<br />Beberapa sebab kenakalan remaja antara lain:<br />1) Faktor intrinsik seperti faktor usia, jenis kelamin, faktor kedudukan dalam keluarga dan faktor intelegensi. <br />2) Disamping itu juga dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik seperti lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan pergaulan dan media massa yang dikenali sehari-hari.<br />Kenakalan remaja itu akan tampak menajdi semakin besar dan luas ketika lingkungan keluarga tidak mendukung karena orang tua tidak mampu memberikan waktu dan perhatiannya untuk anak-anaknya. Hal ini dapat terjadi antara lain:<br />Di keluarga kelas menengah-bawah (kurang mampu)<br />a) ketidakmampuan melakukan rekreasi secara sehat <br />b) kondisi perumahan yang kurang memenuhi syarat<br />c) ketidakmampuan orang tua menyekolahkan anak<br />d) demosntration effect (mementingkan penampilan)<br />Di keluarga kaya/mampu sebab utamanya adalah kesibukan orang tua sehingga tidak ada kesempatan untuk penanaman nilai, pemberian bimbingan dan kasih sayang, yang dipentingkan adalah tercukupinya kebutuhan material-finansial. <br /><br />F. Tantangan Perubahan secara Global Terhadap Eksistensi Budaya Bangsa Indonesia <br />Secara umum bahwa globalisasi merupakan suatu bentuk pergaulan manusia di seluruh dunia menjadi satu lingkungan yang akrab. Keadaan ini akan mengakiabtkan akulturasi kebudayaan, asimilasi kebudayaan serta penetrasi kebudayaan khususnya dari budaya-budaya di negara maju kepada budaya-budaya di negara berkembang dan terbelakang. Maka dapat disimpulkan bahwa jati diri yaitu corak-corak khas budaya lokal yang dimiliki suatu masyarakat akan tererosi dan akan termarjinalisasikan. Melihat gejala yang seperti itu maka perlu langkah-langkah antisipasi agar kita sebagai suatu bangsa dapat menyelamatkan struktur budaya kita pada generasi yang akan datang. Untuk membahas lebih jauh tentang tantangan globalisasi terhadap eksistensi jaridiri bangsa akan diuraikan secara terperinci pada uraian berikut.<br />1. Pengertian Era Globalisasi <br />Pada dasarnya era globalisasi adalah suatu era peradaban manusia di dunia yang ditandai dengan lancarnya komunikasi antar manusia di dunia sehingga masyarakat dunia menjadi satu sistem pergaulan yang intim. Jarak yang jauh antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak lagi menjdi kendala untuk berkomunikasi. Disamping itu adanya sekat-sekat batas wilayah negara tidak lagi menghalangi transaksi di berbagai segi kehidupan antar manusia di dunia. <br /><br />2. Pengaruh Globalisasi terhadap Eksistensi Jati Diri Bangsa <br />Dengan lancarnya komunikasi antar bangsa di dunia dalam era globalisasi telah membuat akrakteristik budaya-budaya lokal yang dimiliki oleh semua bangsa di dunia termasuk bansga Indonesia seakan terhimpit dan dipinggirkan oleh budaya-budaya besar dari negara-negara maju. Untuk mengatasi hal tersbut perlu adanya sikap-sikap preventif seperti misalnya melakukan reorientasi budaya lokal, revitalisasi budaya lokal dan refungsionalisasi budaya-budaya lokal. Program-program ini harus diimplementasikan oleh kekuasaan negara yang didukung oleh kalangan luas masyarakatnya. Dengan demikian budaya lokal akan terselamatkan dari kikisan budaya-budaya asing yang jauh lebih kuat. <br /><br />3. Beberapa Siasat untuk Melakukan Revitalisasi Budaya Lokal dan Jati Diri Bangsa <br />Sebagai suatu bangsa kita perlu melakukan pencegahan terhadap pudarnya kebduayaan bangsa Indonesia. Pada dasarnya budaya bangsa merupakan warisan leluhur yang perlu untuk dipertahankan dan dikembangkan sebagai aset dalam proses pembangunan menuju tata kehidupan yang lebih baik. Untuk membahasa lebih lanjut tentang langkah-langkah dalam proses revitalisasi budaya lokal dan jatidiri bangsa akan dibahas panjang lebar tentang budaya itu sediri.<br />a. Pengertian Budaya Lokal dan Jatidiri Bangsa <br />Pada dasarnya budaya lokal adalah budaya setempat yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat dalam bentuk negara. Pengertian ini identik dengan budaya nasional, misalnya adalah budaya Indonesia. Sedangkan budaya-budaya global yang telah dimiliki dan dipakai oleh kalangan luas bangsa-bansga di dunia antara lain, budaya barat seperti bangsa Inggris, sistem perdagangan bebas, sistem perekonomian kapital, hak-hak asasi manusia dan lain-lain. <br />Pada dasarnya yang dimaksud dengan jatidiri bangsa adalah semua karakter yang dimiliki suatu bangsa. Bangsa Indonesia juga memiliki jati dirinya yang tersendiri yang dapat membedakan bansga Indonesia dengan bangsa-bangsa yang lain di dunia. Adapun jati diri bangsa Indonesia antara lain:<br />1) Mengedepankan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa<br />2) Menjunjung tinggi harkat dan martabat orang lain (sopan santun)<br />3) Menempuh jalan musyawarah dalam mencapai suatu mufakat <br />4) Menjunjung tinggi gotong royong antar komponen masyarakat <br />5) Menghargai perbedaan-perbedaan, dll<br />b. Upaya Konkrit dalam Melakukan Revitalisasi Budaya Lokal dan Jatidiri Bangsa <br />Pada hakekatnya budaya adalah semua hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam hidup bermasyarakat. Kebudayaan Indonesia berarti merupakan buah budi kehidupan masyarakat Indonesia baik secara lokal, regional maupun secara nasional. Ini berarti bahwa seluruh kebudayaan Indonesia merupakan jatidiri bangsa. Berbicara soal jatidiri bangsa sesungguhnya kita telah membicarakan harga diri kita sebagai bangsa di tengah-tengah bangsa-bangsa lain di dunia. Bertolak dari hal itu maka mempertahankan jatidiri bangsa dalam wujud budaya lokal, regional maupun budaya nasional merupakan sebagai suatu upaya untuk mempertahankan harga diri kita sebagai suatu bangsa.<br />Majunya telekomunikasi memang telah melancarkan proses percampuran antara kebudayaan lokal, regional maupun nasional dengan kebudayaan-kebudayaan asing. Percampuran ini di satu sisi memang diperlukan untuk menyempurnakan struktur budaya kita sesuai dengan perkembangan zaman. Tetapi di sisi lain apabila percampuran itu didominasi oleh masuknya budaya-budaya asing ke dalam budaya lokal, regional dan nasional berarti telah menggantikan peranan budaya lokal, regional dan nasional atau dengan kata lain mendesak budaya kita.<br />Untuk mengantisipasi hal tersebut kita perlu melakukan suatu seleksi yang rasional. Ini berarti bahwa tidak semua budaya asing yang masuk harus ditolak, melainkan sebagian yang memang diperlukan kiranya perlu juga untuk juga diadobsi sebagai sarana untuk melengkapi budaya kita. Tetapi budaya-budaya tertentu yang dirasa akan mendesak keberadaan bduaya-budaya lokal, budaya regional dan nasional yang notabene merupakan kepribadian kita tegas-tegas harus kita tolak.<br />Ada beberapa cara yang strategis untuk membentengeni budaya-budaya lokal, regional dan nasional antara lain: <br />1) Reorientasi Budaya (culture reorientation)<br />Yang dimaksud dengan reorientasi budaya adalah aktivitas untuk menengok kembali keberadaan budaya kita baik dalam bentuk sub-sub budaya yang kecil maupun sub-sub budaya dalam skala yang besar. Aktivitas reorientasi ini merupakan langkah awal untuk memperkenalkan budaya kita sendiri kepada generasi baru yang belum memahami nama, fungsi serta asal-usul dari suatu sub kebudayaan tertentu. Reorientasi budaya pada dasarnya juga merupakan aktivitas untuk menghidupkan kembali keberadaan budaya tertentu di tengah-tengah masyarakat dalam langkah yang paling dini.<br />2) Revitalisasi Budaya (culture revitalization)<br />Melihat fungsi dari unsur-unsur budaya tertentu yang bersifat lokal, regional maupun nasional, ada kalanya fungsi itu tidaklah dapat dijalankan secara baik. Oleh karena itu perlu adanya langkah-langkah untuk menguatkan dan menyempurnakan fungsi-fungsi budaya kita sendiri. Dengan demikian dapat kembali berfungsi sebagaimana mestinya. Contoh revitalisasi budaya: <br />• Memberikan bantuan dana maupun peralatan kepada kelompok-kelompok reog, sanggar tari, kerajinan ukir tradisional, paguyuban wayang orang, paguyuban ringgit purwo dan lain-lain.<br />• Mengorganisasikan artis-artis budaya-budaya lokal untuk memperoleh pembinaan dan pendanaan untuk mengembangkan profesinya masing-masing sebagai sarana untuk memperkuat keberadaan mereka sebagai cagar budaya lokal.<br />3) Refungsionalisasi Budaya (culture refungsionalization)<br />Refungsionalisasi budaya harus dilakukan dalam rangka untuk membuat budaya itu mengakar kuat dan berfungsi sangat fundamental bagi keperluan kehidupan sehari-hari masyarakat. Contoh refungsionalissi budaya:<br />• Merekayasa ulang penampilan wayang orang di layar televisi dengan sistem yang lebih canggih, sehingga digemari oleh penontonnya. Langkah ini merupakan langkah untuk menyempurnakan fungsi wayang orang sebagai hiburan masyarakat dengan nuansa budaya lokal.<br />• Menyempurnakan penampilan ketoprak dengan kemasan baru seperti ketoprak humor. Dengan demikian ketoprak humor dapat menguat fungsinya dan digemari oleh masyarakat sebagai hiburan alternatif disamping hiburan-hiburan yang berasal dari budaya manca negara.<br />4) Pelembagaan Budaya (culture institusionalized)<br />Sebagaimana kita ketahui bahwa kebudayaan itu seringkali melekat dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Misalnya budaya agama, budaya birokrasi, budaya ekonomi budaya teknologi, budaya adat dan lain-lain. Secara mendasar kebudayaan-kebudayaan itu akan hidup dari lembaga yang menopangnya. Contoh <br />• Budaya agama seperti pakaian muslim, kerucut masjid, sajadah, peci, jilbab dan makromah dan lain-lain itu akan berkembang dan bertahan manakala lembaga keagamaan Islam itu berkembang dalam masyarakat. Ini berlaku juga untuk agama-agama yang lain dan demikian pula halnya masing-masing agama mempunyai budaya agama sebagaimana disebutkan pada budaya Islam tersebut di atas.<br />• Budaya adat misalnya di Jawa kita mengenal trah atau paguyuban yang didirikan berdasarkan persamaan darah dan keturunan. Melalui budayaadat ini ada sistem kekerabatan, sistem pembagian warisan, pertemuan keluarga, pekawinan adat dan lain-lain. budaya-budaya ini juga akan tetap berkembang dan setidaknya bertahan manakala lembaga-lembaga adat itu masih ada dan berfungsi di tengah-tengah masyarakat.<br />Membuat lembaga untuk menghidupkan suatu struktur budaya tertentu memang diperlukan suatu sistem untuk mewujudkannya. Lembaga-lembaga itu tentu di bawah binaan oleh pemerintah yang memiliki otoritas resmi dala suatu negara. Misalnya: KONI untuk melembagakan aktivitas olahraga agar tetap ada dengan cabang yang telah didaftar sebagai bagian dari Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).<br />5) Implementasi Budaya (culture implementation)<br />Yang dimaksud dengan implementasi budaya adalah suatu cara untuk mewujudkan pemanfaatan secara konkret dari suatu struktur budaya ke dalam fungsi yang nyata bagi kehidupan sehari-hari warga masyarakat. Pada akhirnya implementasi budaya merupakan bagian ujung tombak yang paling menentukan untuk menyelamatkan erosi budaya lokal, regional dan nasional dari budaya asing. Contoh-contoh implementasi budaya:<br />• Pagelaran wayang kulit yang dicanangkan oleh pemerintah daerah setiap tanggal 17 Agustus untuk hiburan masyarakat.<br />• Pementasan kesenian daerah dari seluruh tanah air pada event nasional menjelang peringatan sumpah pemuda tanggal 28 Oktober pada setiap tahun.<br />• Perlombaan seluruh cabang olahraga untuk kawasan Asia, Asia Tenggara maupun di tingkat nasional setiap 5 tahun sekali.<br />• Festival karaton di seluruh Indonesia setiap 5 tahun sekali, dan lain-lain.<br />Dengan implementasi budaya ini akhirnya setiap sub kebudayaan akan memperoleh kesempatan untuk berkembang karena telah melembaga dan teraktualisasikan secara konkret pada waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan.<br /><br />G. Upaya Strategis untuk Mengatasi Erosi Budaya Lokal Indonesia <br />Dengan globalisasi yang ditandai dengan lancarnya komunikasi antar bangsa akan membawa peluang tererosinya budaya-budaya lokal oleh budaya asing. Untuk mengatasi hal itu kita dapat melakukan proteksi terhadap budaya-budaya lokal bangsa kita sendiri antara lain dengan cara.<br />1. Mengenal Budaya Bangsa<br />Untuk mencegah memudarnya budaya bangsa, terlebih dahulu kita harus mengetahui berbagai hal yang menyangkut mengenai budaya bangsa kita sendiri. Pada hakekatnya setiap bangsa memang mempunyai struktur budaya yang berbeda-beda yang terjadi secara turun temurun dari generasi yang terdahulu. Di Indonesia kita mengenal budaya agama, budaya suku, budaya birokrasi dan budaya asing. Keempat struktur budaya ini terakumulasi secara konpleks hingga kadang-kadang sangat sulit untuk dibeda-bedakan.<br />Untuk mengenal lebih jauh tentang kebudayaan-kebudayaan bangsa Indonesia berikut ini akan dibahas panjang lebar yang berkaitan dengan budaya, antara lain bahwa Indonesia adalah negara yang masyarakatnya terdiri dari bermacam-macam suku dengan struktur budaya yang berbeda-beda, seperti suku Jawa, suku Sunda, suku Betawi, suku Melayu, suku Batak, suku Dayak, Ambon, Bali, Sasak, Flores dan lain-lain. budaya-budaya daerah ini harus dipertahankan dengan memberikan perlindungan melalui pengembangan budaya di sekolah-sekolah baik SD, SLTP, SMA maupun di perguruan tinggi.<br />Secara umum masyarakat Indonesia memiliki kesamaan-kesamaan yang dimiliki oleh suku-suku tersebut di atas antara lain: menjunjung tinggi norma-norma sopan santun dan menghargai harkat martabat orang lain, bermusyawarah untuk mencapai suatu mufakat, suka mengembangkan gotong royong, berkeadilan sosial dengan mengembangkan tipa slira serta memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi dan keimnanan serta ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.<br />Untuk mengungkapkan berbagai hal yang berkaitan dengan budaya secara mendasar maka perlu diketahui hal-hal sebagai berikut. <br />a. Pengertian Budaya<br />Kata kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa Sanksekerta yang berarti akal, kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk) sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan iktiar manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan adalah cultural, berasal dari kata culure (bahasa Yunani) yang berarti mengerjakan tanah. Dengan mengerjakan tanah, manusia mulai hidup sebagai penghasil makanan (food producing). Hal ini, berarti manusia telah berbudi daya tidak hanya memungut hasil alam saja (food gathering). Dalam sejarah kebudayaan, banyak benda sejarah (artefact) yang digunakan sebagai bukti bahwa manusia telah berbudaya. Kata cultuur, dalam bahasa Belanda, masih mengandung pengertian tanah (ingat Cultuur Stelsel yang dilaksanakan pemerintah Belanda di Indonesia dalam abad XIX) dan sekaligus juga berarti kebudayaan seperti kata culture dalam bahasa Inggris.<br />Koentjaraningrat mengatakan, bahwa kebudayaan antara lain berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yag harus dibiasakan dengan belajar keseluruhan dari hasil budi pekerti.<br />A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn dalam bukunya “Culture, A Critical Review of Concepts and Definitions” (1952), mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi dan penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya.<br />Malinowski menyebutkan bahwa kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan atau berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap tingkat kebutuhan yang menghadirkan corak budaya yang khas. Misalnya, guna memenuhi kebutuhan manusia akan keselamatannya, maka timbul kebudayaan yang berupa perlindungan, yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu, seperti lembaga kemasyarakatan.<br />C.A. Van Peursen mengatakan bahwa dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan kehidupan kelompok orang dapat berlainan dengan hewan. Oleh karena itu, manusia tidak dapat hidup begitu saja di tengah alam.<br />Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantoro, berarti buah budi manusia yakni hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yang terdiri alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan lahir yang bersifat tertib dan damai.<br />Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat luas. Sebab, semua laku dan perbuatan tercakup di dalamnya dan dapat diungkapkan pada basis dan cara berpikir termasuk di dalamnya perasaan karena perasaan juga merupakan maksud dari pikiran.<br /><br />b. Unsur-unsur Budaya <br />Secara univresal kebudayaan manusia terdiri dari tujuh unsur antara lain sebagai berikut:<br />1) Sistem religi dan upacara keagamaan merupakan produk manusia religius. Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur, tanggap bahwa kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang maha besar yang dapat menghitamputihkan kehidupannya. Oleh karena itu, manusia takut, sehingga menyembah-Nya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama. Untuk membujuk kekuatan besar tersebut, agar mau menuruti kemauan manusia dilakukan usaha yang diwujudkan sebagai upacara keagamaan.<br />2) Sistem organisasi kemasyarakatan merupakan produk dari manusia sebagai homo socius. Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah. Namun, dengan akalnya manusia membentuk kekuatan dengan menyusun organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat dengan cara menyusun organisasi kemasyarakatan hidupnya. Dalam masyarakat tradisional, sistem gotong-royong seperti yang terdapat di Indonesia merupakan contoh yang khas, sedangkan dalam masyarakat modern pengaturannya sudah dalam tingkat negara bahkan antar bangsa.<br />3) Sistem pengetahuan merupakan produk dari manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan dapat diperoleh dari pemikiran sendiri, di samping itu dapat juga dari pemikiran orang lain. Kemampuan manusia untuk mengingat apa yang telah diketahui, kemudian disampaikan kepada orang lain melalui bahasa sehingga pengetahuan ini menyebar luas dari satu generasi ke generasi berikutnya.<br />4) Sistem mata pencaharian merupakan produk dari manusia sebagai homo economicus menjadikan tingkat kehidupan manusia secara terus menerus meningkat. Dalam tingkat food producing terjadi kemajuan yang pesat. Setelah bercocok tanam, kemudian beternak, lalu mengusahakan kerajinan, berdagang, sehingga manusia makin dapat mencukupi kebutuhannya yang terus meningkat (rising demands) yang kadang-kadang cenderung sebagai keserakahan.<br />5) Sistem teknologi dan peralatan merupakan produksi dari manusia sebagai homo faber. Bersumber dari pemikiran yang cerdas serta dibantu dengan tangannya yang dapat memegang sesuatu dengan erat, manusia dapat menciptakan sekaligus mempergunakan suatu alat. Dengan alat-alat ciptannya itu, manusia dapat lebih mampu mencukupi kebutuhannya daripada binatang. Misalnya, dengan mobil manusia dapat lebih cepat daripada kijang, dengan kapal dapat lebih cepat daripada ikan lumba-lumba, dan dapat terbang di udara melebihi burung. Selain menguntungkan, alat tersebut dapat juga merugikan, misalnya manusia memperoleh kecelakaan yang kadang-kadang fatal.<br />6) Bahasa merupakan produk dari manusia homo longuens. Bahasa manusia pada mulanya diwujudkan dalam bentuk (kode), yang kemudian disempurnakan dalam bentuk bahasa lisan dan akhirnya menjadi bahasa tulisan yang disebut simbol. Ernest Casirier menyebut manusia sebagai animal symbol symbolic. Bahasa-bahasa yang telah maju memiliki kekayaan kata (Kosa kata) yang jumlahnya makin banyak dan komunikatif.<br />Kesenian merupakan hasil dari manusia sebagai homo aesteticus. Setelah manusia dapat mencukupi kebutuhan fisiknya, maka manusia perlu dan selalu mencari pemuas untuk kebutuhan psikisnya. Manusia tidak hanya semata-mata memenuhi kebutuhan isi perut saja, tetapi mereka perlu juga memuaskan pandangan mata yang indah, mendengarkan suara yang merdu, dan rasa cecep dengan makanan lebih lezat. Semuanya itu dapat dipenuhi melalui kesenian. Oleh karena itu, kesenian merupakan kebutuhan kenikmatan setelah kebutuhan fisiknya terpenuhi. Jadi, kesenian ditempatkan sebagai unsur terakhir karena enam kebutuhan sebelumnya, pada umumnya harus dipenuhi lebih dahulu.<br /><br />c. Wujud Budaya <br />Koentjaraningrat dalam bukunya “Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan”, menyebutkan bahwa paling sedikit ada tiga wujud kebudayaan yaitu sebagai berikut:<br />1) Sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.<br />2) Sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat<br />3) Sebagai benda-benda hasil karya manusia.<br /><br />d. Sifat-sifat Budaya <br />Secara umum, dikemukakan tujuh sifat kebudayaan, yaitu beraneka ragam, didapatkan dan diteruskan secara sosial dengan pelajaran, dijabarkan dalam komponen-komponen, mempunyai struktur, mempunyai nilai, bersifat statis atau dinamis, dan dibagi dalam bidang atau aspek. Masing-masing diuraikan sebagai berikut:<br />1) Kebudayaan Beraneka Ragam<br />Keanekaragaman kebudayaan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain karena manusia tidak memiliki struktur anatomi secara khusus pada tubuhnya, sehingga harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Oleh karena itu, kebudayaan yang diciptakanpun disesuaikan dengan kebutuhan hidupnya. Selain itu, keanekaragaman juga disebabkan oleh perbedaan kadar atau bobot dalam budaya satu bangsa dengan bangsa lain. Sehingga pakaian, rumah, dan makanan bangsa Indonesia di daerah tropik jauh berbeda dengan yang diperlukan oleh bangsa Eskimo di daerah kutub.<br />2) Kebudayaan dapat Diteruskan secara Sosial dengan Pelajaran<br />Penerusan kebudayaan dapat dilakukan secara horizontal dan vertikal. Penerusan secara horisontal apabila dilakukan terhadap satu generasi dan biasanya lisan, sedangkan penerusan vertikal dilakukan antar generasi dengan jalan melalui (literer). Dengan daya ingat yang tinggi, manusia mampu menyimpan pengalaman sendiri maupun yang diperoleh dari orang lain.<br />3) Kebudayaan Dijabarkan dalam Komponen-Komponen Biologi, Psikologi, dan Sosiologi<br />Biologi, psikologi, dan sosiologi merupakan tiga komponen yang membentuk pribadi manusia. Secara bilogis, manusia memiliki sifat-sifat yang diturunkan oleh orang tuanya (hereditas) yang diperoleh waktu dalam kandungan sebagai kodrat pertama (primary nature). Bersamaan dengan itu, manusia juga memiliki sifat-sifat psikologi yang sebagian diperolehnya dari orang tuanya sebagai dasar atau pembawaan. Setelah seorang bayi dilahirkan dan berkembang menjadi anak dalam alam kedunia (secondary nature), maka terbentuk pribadinya oleh lingkungan, khususnya melalui pendidikan. Manusia sebagai unsur masyarakat dalam lingkungan ikut serta dalam pembentukan kebudayaan.<br />4) Kebudayaan Mempunyai Struktur<br />Culture universal yang dikemukakan, unsur-unsurnya dapat dibagi dalam bagian-bagian yang lebih kecil yang disebut traits complex, lalu terbagi lagi dalam items. Misalnya, sistem ekonomi dapat dibagi antara lain menjadi bertani. Untuk bertani diperlukan bajak dan cangkul. Kedua alat tersebut dapat dipisahkan lagi menjadi unsur yang terkecil. Seperti halnya pada bertani, begitu pula dengan kebudayaan nasional misalnya, terdiri atas kebudayaan suku bangsa yang merupakan subkultural yang dapat dibagi lagi menurut daerah, agama, adat istiadat dan sebagainya.<br />5) Kebudayaan yang Mempunyai Nilai<br />Nilai kebudayaan (culture value) adalah relatif, bergantung pada siapa yang memberikan nilai dan alat pengukur apa yang digunakan. Bangsa timur, misalnya cenderung menggunakan ukuran rohani sebagai alat penilaiannya, sedangkan bangsa barat dengan ukuran materi (lihat kembali sistem nilai yang dikemukakan Kluckhohn).<br />6) Kebudayaan Mempunyai Sifat Statis dan Dinamis <br />Ada kebudayaan yang sifatnya rohani dan ada yang sifatnya kebendaan (spiritual dan culture), ada kebudayaan darat dan kebudayaan maritim (terra dan culture), dan ada kebudayaan menurut daerah (kebudayaan suatu bangsa atau subsuku bangsa). Semuanya bergantung pada siapa yang mau membedakannya dan untuk apa itu dilakukan.<br /><br />2. Mengenal Jati Diri Bangsa <br />Bangsa Indonesia yang merupakan bangsa yang multikultural memiliki karakteriastik budaya yang beraneka ragam. Tiap-tiap daerah (suku bangsa) memiliki struktur budayanya masing-masing yang berbeda dengan struktur budaya suku bangsa yang lain. Tetapi secara nasional keseluruhan dari karakteristik budaya daerah dari suku-suku bansga yang ada di Indonesia merupakan jatidiri bangsa.<br />Ada banyak hal yang dapat mengerosikan jatidiri bangsa itu menjadi corak yang baru yang sangat berlainan dari struktur budaya asli masyarakat Indonesia. Banyak contoh bahwa budaya Indonesia telah mengalai erosi yang cukup lanjut dan memprihatinkan. Ibaratkan baju, budaya Indonesia sudah tidak lagi disebut baju yang utuh melainkan baju yang telah compang camping. Sehingga para ahli banyak menulis artikel tentang upaya untuk merajut kembali budaya nasional Indonesia. Ini berarti bahwa kerusakan budaya nasional kita telah mencapai tahap yang memprihatinkan. Sebagai contoh:<br />• Masyarakat Jawa sudah tidak lagi meyenangi pakaian Jawa, tidak lagi mengerti bahasa Jawa dan tidak lagi mengerti tentang tulisan JAwa. Dari contoh ini berlaku juga untuk masyarakat Sunda, juga masyarakat Batak, Dayak, Madura, Toraja, Bali, Sasak dan suku-suku bangsa yang lain. Yang terjadi bahwa budaya-budaya asing seperti pakaian kerja, pakaian olahraga serta pakaian bebas telah banyak dipilih sebagian besar warga masyarakat. Demikian pula orang berbahasa asing seperti Inggis, Arab, China, Jerman, Jepang tampak lebih bangga ketimbang dia menggunakan bahasanya sendiri secara benar. Ini berarti bahwa fungsi bahasa kita tidak lagi eksis sesuai dengan perkembangan jaman sehingga ditinggalkan oleh pemiliknya. Sementara mereka lebih senang menggunakan bahasa asing sesuai dengan kepentingannya.<br />Ada banyak cara untuk melakukan pelindungan terhadap budaya-budaya lokal agar tidak terkikis oleh budaya asing, antara lain:<br />a. Memasukkan ke dalam kurikulum sekolah mulai dari jenjang sekolah dasar, menengah, hingga di perguruan tinggi.<br />b. Melakukan perlindungan (proteksi) terhadap produk-produk budaya asing, misalnya mencegah masuknya film-film asing yang didabing ke dalam bahasa Indonesia. Ini dilakukan untuk mengembangkan perfilman Indonesia.<br />c. Membuat lembaga budaya yang mengelola, memotivasi perkembangan budaya-budaya daerah dan budaya nasional. Misalnya lembaga pengembangan bahasa Indonesia (LPBI). Lembaga ini merupakan lembaga formal untuk mempertahankan perkembangan bahasa Indonesia ke arah yang benar dan standar.<br />d. Menetapkan cagar budaya lokal, daerah dan nasional.<br />e. Memberikan perlindungan hukum terhadap situs-situs peninggalan budaya kuno agar tidak tererosi oleh perkembangan jaman dan percampuran dari budaya asing yang lebih baru.<br />f. Membentuk lembaga budaya yang menjadi duta budaya Indonesia. Lembaga ini didirikan dalam rangka untuk mempromosikan budaya-budaya Indonesia ke luar negeri untuk kepentingan pengembangan budaya dan pariwisata nasional.<br />g. Melakukan diskusi, seminar, dan simposium untuk memperbincangkan tentang penyelamatan budaya lokal, regional dan nasional.<br />h. Mengembangkan sektor kepariwisataan dengan objek budaya dan kesenian daerah yang ada di Indonesia.<br /><br />UJI KOMPETENSI BAB 1<br />A. Soal Obyektif <br />1. Proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu satu kepada individu lain dan dari masyarakat satu ke masyarakat lain disebut ….<br />a. difusi <br />b. fusi<br />c. disosiasi<br />d. akulturasi <br />e. ekomodasi<br />2. Proses perubahan kebudayaan yang dilakukan dg kekerasan serta paksaan oleh pihak yang kuat kepada pihak yang lemah disebut ….<br />a. difusi<br />b. evolusi<br />c. revolusi<br />d. penetration violent<br />e. penetration posefique <br />3. Faktor pendorong yang paling kuat terhadap timbulnya penemuan terbaru adalah ….<br />a. rasa tidak puas terhadap hal-hal yang sudah ada<br />b. adanya kesadaran masyarakat akan kurangnya unsur-unsur kebudayaan baru <br />c. adanya penghargaan terhadap penemuan baru <br />d. banyaknya tenaga ahli yang rajin meneliti untuk inovasi <br />e. keinginan untuk menyaingi bangsa lain yang sudah maju <br />4. Perubahan yang terjadi secara lambat,dalam bentuk perkembangan dan perubahan yg relaatif sedikit disebut ….<br />a. renovasi<br />b. revolusi<br />c. evolusi<br />d. regenerasi<br />e. ekologi<br />5. Segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat adalah definisi perubahan sosial menurut ….<br />a. Mac Iver<br />b. Selo Soemardjan <br />c. Parsudi Suparlan <br />d. Gillin dan Gillin <br />e. William F. Oghburn <br />6. Di bawah ini adalah bentuk-bentuk proses disintegrasi sebagai akibat perubahan sosial dalam masyarakat, kecuali ….<br />a. pergolakan daerah<br />b. aksi protes dan demontrasi<br />c. kriminalitas<br />d. kenakalan remaja <br />e. kontrol sosial<br />7. Salah satu proses disentrasi sebagai akibat perubahan sosial adalah aksi protes, maksudnya ….<br />a. pergolakan massa sebagai perwujudan rasa tidak puas terhadap kejadian dalam masyarakat. <br />b. peristiwa disintegrasi yang mempermasalahkan persoalan-persoalan yang menyangkut keamanan.<br />c. suatu bentuk kontrol sosial yang menuju ke arah kerusakan dan kerugian <br />d. suatu bentuk kontrol sosial yang menuju ke arah perbaikan dan kemajuan<br />e. gejala sosial yang pada umumnya merupakan ide kelompok kecil orang.<br />8. Contoh situasi yang menandai terjadinya disintegrasi sebagai akibat perubahan sosial adalah ….<br />a. berkurangnya informasi<br />b. semakin beratnya tugas polisi<br />c. banyaknya keluarga inti<br />d. merosotnya wibawa pemimpin<br />e. adanya tuntutan hak azasi <br />9. Dari pernyataan-pernyataan berikut yang tidak benar adalah ….<br />a. Perubahan sosial pasti dialami oleh semua masyarakat<br />b. perubahan memang merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan<br />c. perubahan yang dialami oleh masyarakat selalu sama<br />d. perubahan sosial dan perubahan kebudayaan dapat dipisahkan dalam teori <br />e. perubahan sosial dapat terjadi pada sistem kelembagaan, maupun sistem nilai.<br />10. Tindakan menunjukkan kekecewaan atau ketidakpuasan di dalam masyarakat melalui kecaman pedas disebut ….<br />a. kenakalan remaja<br />b. kriminalitas<br />c. pemberontakan<br />d. unjuk rasa<br />e. pergolakan kelompok<br />11. Dampak perubahan sosial dalam masyarakat dikatakan positif apabila ….<br />a. ada peningkatan efisiensi dan efektivitas perilaku warga masyarakat<br />b. dapat mengurangi biaya operasional bagi pemerintah<br />c. menimbulkan aktifitas baru dalam masyarakat<br />d. perubahan yg terjadi telah sesuai dengan norma-norma yang berlaku<br />e. sebagian anggota masyarakat menerimanya dengan senang hati<br />12. Pentingnya integrasi sosial dan integrasi kebudayaan bagi masyarakat Indonesia adalah ….<br />a. mengutamakan pendapat individu dalam masyarakat <br />b. menghasilkan pola hidup yang serasi dalam kehidupan bersama<br />c. mempertebal semanta nasionalisme bagi masyarakat <br />d. menciptakan kesamaan pendapat yang berbeda<br />e. mewujudkan kebhinekaan kebudayaan daerah<br />13. Yang menyebabkan suatu kebudayaan cenderung untuk bertahan apabila ….<br />a. kebudayaan itu bersifat statis<br />b. masyarakat selalu berkembang <br />c. masyarakat banyak tinggal di pedesaan<br />d. kebudayaan tsb.masih berfungsi sebagai diharapkan<br />e. telah menjadi etos bagi masyarakat <br />14. Perhatikan pernyataan berikut;<br />1. sangsi norma tidak berfungsi sebagaimana mestinya<br />2. menurunnya wibawa para tokoh pemimpin kelompok<br />3. tidak adanya persamaan pandang anggota-anggota masyarakat mengenai tujuannya<br />4. sebagian besar anggota kelompok mematuhi norma-norma yang berlaku <br />5. terjadinya proses-proses sosial yang bersifat disosiatif seperti persaingan, pertentangan<br />Gejala-gejala disintegrasi ditandai dengan adanya ….<br />a. 1, 2, dan 3<br />b. 1, 2 dan 4<br />c. 1, 2 dan 5<br />d. 1, 3 dan 4<br />e. 2, 3 dan 5<br />15. Proses inkulturasi yaitu proses social dimana individu ….<br />a. mempelajari sikap untuk berperilaku sesuai dengan kelompoknya<br />b. membentuk kepribadian melalui perasaan nafsu, emosi sepanjang hidupnya<br />c. bertingkah laku sesuai dengan ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam kehidupan yang nyata<br />d. menyesuaikan diri dengan hasrat untuk menyatu dengan lingkungan alam <br />e. mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat pranata sosial dan norma sosial yang hidup dalam kebudayaan masyarakatnya. <br />16. Perubahan secara cepat yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat disebut ….<br />a. evolusi <br />b. volusi <br />c. revolusi<br />d. resolusi<br />e. revaluasi<br />17. Penghambat proses perubahan sosial yang berasal dari masyarakat itu sendiri adalah ….<br />a. Sikap masyarakat yg tertutup dengan pola pikir tradisional <br />b. masyarakat yang penduduknya masih keturunan<br />c. masyarakat yang majemuk baik ras, agama, kebudayaan <br />d. masyarakat yang rasa kegotongroyongannya masih tinggi<br />e. masyarakat yang penduduknya umumnya bermatapencaharian industri<br />18. Di bawah ini yangrelatif paling mudah mengalami perubahan adalah ….<br />a. bahasa<br />b. agama<br />c. mode pakaian <br />d. kesenian<br />e. bentuk bangunan<br />19. Akibat perubahan sosial dan kebudayaan yang sangat dikhawairkan oleh masyarakat luas adalah akan timbulnya ….<br />a. konflik<br />b. integrasi sosial <br />c. sosialisasi penduduk <br />d. gangguan keseimbangan sistem <br />e. krisis kebudayaan <br />20. Perubahan social dan kebudayaan yang direncanakan pihak-pihak tertentu merupakan salah satu perubahan yang dikehendaki. Fihak yang menghendaki adanya perubahan disebut ….<br />a. agent of change <br />b. social of change <br />c. the leader of change <br />d. planned of change <br />e. power of change <br />21. Proses perubahan kebudayaan yang dilakukan dg kekerasan serta paksaan oleh pihak yang kuat kepada pihak yang lemah disebut ….<br />a. difusi<br />b. evolusi<br />c. revolusi<br />d. penetration violent<br />e. penetration posefique <br />22. Di bawah ini adalah bentuk-bentuk proses disintegrasi sebagai akibat perubahan sosial dalam masyarakat, kecuali ….<br />a. pergolakan daerah<br />b. aksi protes dan demontrasi<br />c. kriminalitas<br />d. kenakalan remaja <br />e. kesenjangan sosial<br />23. Salah satu proses disentrasi sebagai akibat perubahan sosial adalah konflik sosial, maksudnya ….<br />a. pergolakan dua kelompok massa atau lebih yg ditandai benturan fisik . <br />b. peristiwa disintegrasi yang mempermasalahkan persoalan-persoalan yang menyangkut keamanan.<br />c. suatu bentuk kontrol sosial yang menuju ke arah kerusakan dan kerugian <br />d. suatu bentuk kontrol sosial yang menuju ke arah perbaikan dan kemajuan<br />e. gejala sosial yang pada umumnya merupakan ide kelompok kecil orang.<br />24. Contoh situasi yang menandai terjadinya disintegrasi sebagai akibat perubahan sosial adalah….<br />a. berkurangnya informasi<br />b. semakin beratnya tugas polisi<br />c. banyaknya keluarga inti<br />d. tidak dipatuhinya norma-norma <br />e. adanya tuntutan hak azasi <br />25. Dari pernyataan-pernyataan berikut yangmerupakan pernyataan yg benar adalah ….<br />a. perubahan progrewsif pasti dialami oleh semua masyarakat<br />b. perusahaan memang selalu dapat dielakkan<br />c. perubahan yang dialami oleh masyarakat tidak selalu sama<br />d. perubahan sosial dan perubahan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dalam teori <br />e. perubahan sosial menekankan pada sistem kelembagaan, perubahan kebudayaan menekankan sistem nilai.<br />26. Proses percaampuran dua unsur kebudayaan atau lebih dari suatu masyarakat ke masyarakat yg lain yg berlangsung secara damai disebut ….<br />a. asimilasi <br />b. fusi<br />c. disosiasi<br />d. akulturasi <br />e. ekomodasi<br />27. Akibat dari perubahan sosial dalam bentuk reformasi, dikategorikan negatif apabila….<br />a. ada peningkatan biaya anggaran bagi pemerintah<br />b. perubahan yg terjadi tidak dapat memberi kemakmuran masyarakat luas<br />c. merusak system aktivitas yg telah mapan dalam masyarakat<br />d. tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku<br />e. sebagian anggota masyarakat belum mau menerimanya <br />28. Yang menyebabkan suatu kebudayaan cenderung untuk berubah adalah bila….<br />a. kebudayaan itu bersifat statis<br />b. masyarakat selalu berkembang <br />c. masyarakat banyak tinggal di pedesaan<br />d. dipandang sudah tidak berfungsi seperti diharakan<br />e. telah menjadi etos bagi masyarakat <br />29. Penghambat proses perubahan sosial dal kebudayaan yang berasal dari luar masyarakat adalah ….<br />a. Bencana alam yg bertubi-tubi <br />b. masyarakat yang penduduknya masih keturunan asing<br />c. masyarakat yang majemuk baik ras, agama, kebudayaan <br />d. masyarakat yang rasa kegotongroyongannya mulai memudar <br />e. pengaruh masyarakat industri<br />30. Proses asimilasi yaitu proses social dimana dalam masyarakat tejadi ….<br />a. Proses mempelajari sikap untuk berperilaku sesuai dengan kelompoknya<br />b. proses membentuk kepribadian melalui perasaan nafsu, emosi sepanjang hidupnya<br />c. aktivitasbertingkah laku sesuai dengan ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam kehidupan yang nyata<br />d. prosesmenyesuaikan diri dengan hasrat untuk menyatu dengan lingkungan alam <br />e. percampuran unsur kebudayan antar masyarakat secara homogen . <br />31. Perubahan tatanan kehidupan sebagai bentuk revisi hidup terhadap hal-hal tidak baik menuju perbaikan yang selanjutnya berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat luas disebut ….<br />a. evolusi <br />b. volusi <br />c. reformasi <br />d. resolusi<br />e. revaluasi<br />32. Salah satu contoh Akibat perubahan sosial dan kebudayaan yang negatif adalah ….<br />a. Percampuran unsur budaya<br />b. integrasi sosial <br />c. sosialisasi penduduk <br />d. keseimbangan sistem terganggu <br />e. krisis kebudayaan <br />33. Perubahan social dan kebudayaan yang direncanakan pihak-pihak tertentu merupakan salah satu perubahan yang dikehendaki yg sering disebut ….<br />a. Direct change <br />b. social of change <br />c. the leader of change <br />d. planned of change <br />e. power of change <br />34. Apabila kita bertindak sebagai agent of change maka untuk melakukan perubahan, perlu dilaksanakan langkah-langkah seperti berikut ini:<br />1. Melakukan implementasi dari rencana perubahan yang sudah dibuat<br />2. Melakukan evaluasi dan tindak lanjut<br />3. Mencari informasi yang selengkap-lengkapnya sebagai bahan untuk menyusun perubahan<br />4. Melakukan penyusunan rencana perubahan dengan melibatkan komponen terkait<br />5. Melakukan sosialisasi terhadap pihak-pihak yang terkait mengenai rencana perubahan<br />Berdasarkan informasi tersebut di atas, tata urutan yang benar adalah ….<br />a. 1, 2, 3, 4, 5<br />b. 2, 3, 4, 5, 1<br />c. 3, 4, 5, 2, 1<br />d. 3, 4, 5, 1, 2<br />e. 4, 5, 1, 3, 2<br />35. Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempercepat perubahan sosial dalam masyarakat, kecuali ….<br />a. lembaga pendidikan yang maju <br />b. struktur masyarakat yang majemuk <br />c. struktur masyarakat yang tertutup<br />d. adanya sikap tidak cepat puas terhadap apa yang dicapai<br />e. adanya sikap mau menghargai karya orang lain <br /><br /><br /><br />B. Soal Essay <br />1. Apakah yang dimaksud dengan perubahan sosial?<br /> <br /> <br /> <br /> <br />2. Sebut dan jelaskan 2 teori perubahan yang anda anggap paling benar!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />3. Sebut dan jelaskan faktor-faktor internal yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />4. Sebut dan jelaskan faktor-faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />5. Apa yang dimaksud dengan direct change dan indirect change?<br /> <br /> <br /> <br /> <br />6. Jelaskan bahwa untuk melakukan suatu perubahan yang membawa pengaruh besar, agen of change harus bertindak sangat hati-hati!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />7. Bagaimana menyusun suatu perencanaan pembangunan yang baik? Jelaskan!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />8. Tuliskan 5 dampak positif pembangunan dan modernisasi!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />9. Tuliskan 5 dampak negatif dari pembangunan dan modernisasi!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />10. Tuliskan 4 syarat terjadinya revolusi sosial!<br /> <br /> <br /> <br /> <br />Retno Sosiologihttp://www.blogger.com/profile/05064436971676102162noreply@blogger.com0